Pada KBU sebuah wartel laki-laki itu kecewa. Perempuan itu tidak mengizinkan dirinya datang.
“Jangan marah, ya. Jangan marah….”
“Iyaa………”
“Bener. Jangan marah, ya!”
“Ya, santai saja. Santai, santai, santai,…”
Mereka diam.
“Oke, sudah kalau begitu. Terima kasih.”
Percakapan terhenti. Laki-laki itu menutup gagang telepon.
*
Di atas vespa keluaran tahun tujuhpuluhsembilan pikiran laki-laki itu meloncat ke mana-mana. Sementara ruas jalan cukup ramai oleh kendaraan. Berlalu-lalang di bawah sinar lampu jalan. Malam belum larut. Dan kondisi udara di kota ini akhir-akhir ini terasa cukup menusuk pori-pori sampai ke tulang.
Bangsat. Rupanya dia lebih mementingkan FTv. Asu. Bajingan.
Laki-laki itu membawa laju vespa itu ke jalan perkampungan setelah mencapai pertigaan. Tidak banyak kendaraan yang lewat di sana. Namun, beberapa orang laki-laki dan perempuan terlihat berjalan cukup membuat jalan itu cukup padat. Di beberapa warung makan, beberapa laki-laki dan perempuan duduk berhadapan. Sementara di hampir seluruh beranda depan rumah di kanan-kiri jalan itu, beberapa laki-laki dan perempuan tampak berbincang-bincang.
Laki-laki itu mengendorkan tarikan gas setelah melihat sepeda motor di halaman sebuah rumah. Pandangan matanya menyerobot sela-sela daun dan dinding berlobang. Tampak dua orang laki-laki dan perempuan asyik berbicara. Laki-laki itu mengawasi. Sementara vespa yang dikendarainya terus melaju pelan.
Ah, benarkah ia membohongiku.
Ia teringat cerita temannya bahwa banyak laki-laki yang mencoba mengerami cinta di dada perempuan itu.
Bajingan. Tapi, bukankah tidak hanya dia saja, perempuan yang tinggal di rumah itu.
Laki-laki itu mengarahkan pandangan matanya kembali ke arah sepeda motor itu. Kemudian menariknya kembali, menatap jauh menembus pertigaan jalan di depan.
Jancuk. Rupanya aku dikalahkan oleh FTv. Hanya FTv. Ah, bajingan.
Setelah mencapai pertigaan, laki-laki itu membawa vespa menyusuri ruas jalan yang cukup besar.
*
“Jancok!” umpat laki-laki itu. Seorang tukang becak tiba-tiba saja menyeberang.
“Tengak-tengok, Pak. Nggak nyelonong saja,” katanya lagi. Tukang becak itu tersenyum santai kemudian berlalu dengan acuh tak acuh. Beberapa orang berdiri di depan rumah memperhatikannya, namun laki-laki itu tak memperdulikannya. Ia kemudian mencoba menyalakan mesin.
Asu. Bajingan.
Ia kemudian turun. Men-standarkan vespa di atas kaki besinya yang tua. Beberapa orang masih memperhatikannya. Laki-laki itu memiringkan vespanya, mengalirkan aliran bensin campur ke mesin. Setelah beberapa kali kayuhan, mesin vespa itu terdengar menderu. Laki-laki dan vespa itu melaju kembali.
“Hee, bajingan! Asu!” umpatnya ketika sebuah sedan memotong lajunya tanpa memberi tanda. Kemudian terus melaju, menyusuri jalan kecil.
*
Laki-laki itu mengurangi kecepatan. Kemudian berhenti di antara kerumunan kendaraan di depan lampu merah. Pikiran laki-laki itu masih belum terkumpul. Wajahnya kusut. Sementara di sampingnya, dua orang laki-laki dan perempuan tengah bercanda-mesra di atas sepeda motor bebek. Laki-laki itu bernyanyi-nyanyi sendiri. Mencoba menenangkan hati dan mengumpulkan pikirannya.
Laki-laki itu menggerakkan setir. Di kaca spion, ia melihat mereka berdua berbisik-bisik dan tertawa kecil. Sementara tangan si laki-laki menunjuk-nunjuk kepadanya.
Bajingan. Rupanya benar. Mereka mengolok-olok diriku.
“Hee, bajingan. Minta dihajar, ya!”
Mereka buru-buru menyingkirkan pandangan matanya dari laki-laki itu. Sementara beberapa orang yang ada di sana memandangi mereka. Ada yang hendak tumpah di dada laki-laki itu. Namun, ketika ia hendak melayangkan kepalan tangannya, dua orang laki-laki dan perempuan itu melesat bersama nyala lampu hijau.
“Bajingan. Asu. Mentang-mentang….,” laki-laki itu tidak meneruskan katanya, terganggu bunyi klakson beberapa kendaraan.
*
Laki-laki itu bersandar di dinding kamarnya. Pikirannya masih tak karuan. Ingin sekali ia memukul dan menendang orang.
Bajingan semuanya. Bahkan untuk berkelahi pun aku tak punya kesempatan.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dan sebotol minuman berkarbonisasi dari tasnya yang dibelinya sebelum pulang. Setelah menyalakan sebatang rokok dan menenggak minuman, ia mengambil sebuah koran di meja. Ia membolak-balik lembaran koran itu. Melihat jadwal acara televisi.
Tidak. Perempuan itu tidak berbohong.
Ee, tapi bisa saja dia berbohong.
Ah, tidak. Coba lihat ini. Memang ada FTv.
Ee, Jangan tertipu. Pada mulanya barangkali perempuan itu nonton FTv. Namun, setelah laki-laki itu datang, ia menemuinya dan memberikan kesempatan untuk mengerami cinta di dadanya. Ee, jangan salah!
Tidak mungkin. Perempuan itu pasti nonton FTv.
Laki-laki itu menenggak minuman kembali. Kemudian menghisap rokoknya.
Ya, bolehlah perempuan itu tidak berbohong. Tapi, perempuan itu bangsat.
Bajingan. Masak kamu dikalahkan oleh FTv. Dan parahnya lagi kamu hanya bilang: ya, santai saja. Goblok. Laki-laki kok begitu. Lemah. Seharusnya kamu marahi perempuan itu. Kau harus seperti Wawan.
Si Wawan?
Ya, si Wawan. Bukankah dia bercerita pernah memukul perempuan yang mengecewakan dirinya.
O, ya. Aku ingat.
Itu baru laki-laki. Biar perempuan itu tidak meremehkanmu.
Tidak, tidak, tidak. Aku bukan Wawan. Dan aku tidak akan memukul perempuan meskipun aku pantas marah.
Dasar laki-laki lemah!
Hee, diam. Aku tidak lemah. Tapi, aku hanya mencintai perempuan itu.
Tapi, perempuan itu bangsat. Jancukan.
Jancukan?
Ya. Jancukan. Bajingan. Dan dia telah…
Tapi, aku sungguh-sungguh mencintainya.
Tapi, dia bangsat.
Benarkah?
Iya.
Jadi perempuan itu bangsat?
Iya, bangsat. Tidak hanya itu, perempuan itu juga jancukan, bajingan, asu, kampang, tai, ngent……
Diam ngentot!
Jjddaarkkk. Botol minuman itu pecah tersepai-sepai di lantai. *
Laki-laki itu kembali menghisap rokoknya yang sudah memanaskan jari-jarinya. Kemudian membuangnya ke dalam asbak. Pandangan matanya kemudian menerawang jauh menembus dinding kamar. Menjangkau perempuan itu.
Apakah kau bohong padaku?
Tidak.
Tapi, siapa laki-laki di ruang tamu itu?
Dia temanku.
Ah, jangan bohong!
Aku tidak bohong.
Kenapa kau menghindar seperti menggoda saja?
Siapa yang menghindar? Aku tak pernah menghindar.
Ah, kau jangan bohong. Karena setiap kali aku ke tempatmu, kau selalu keluar.
Memang ada keperluan.
Keperluan apa?! Pergi dengan laki-laki itu. Ya, ya, aku sering melihat kau pergi dengan laki-laki itu.
Itu karena kau jarang pergi menemuiku.
Ah, alasan. Setiap kali aku pergi, kau selalu tak ada.
Itu karena kau tak memberitahu dulu.
Tapi, tadi?!
Memang aku tadi lagi tanggung.
Nonton FTv?
Iya.
Ah, bohong. Kau pasti sedang asyik dengan laki-laki itu.
Tidak. Aku nonton FTv.
Bohong.
Tidak.
Bohong.
Tidak.
Diam, bangsat!
Jjdaarkkk. Asbak kaca itu pecah tersepai-sepai di lantai.
Tak lama kemudian, laki-laki itu mengambil sebatang rokok lagi. Ia menyulutnya. Asap tembakau keluar dari mulutnya dengan sekali hembusan kuat.
Ah, bangsat kau, perempuan. Rupanya kau lebih mementingkan FTv.
Berarti dia tidak bohong?
Ehm, mungkin….
Bagus. Kalau begitu, dia tidak mengarang-ngarang alasan. Jujur dan tegas. Aku suka perempuan seperti itu. Kau harus mendapatkannya!
Tapi, dia membuatku kecewa. Buktinya aku sudah jauh-jauh ke sana, tapi dia tidak mau menerimaku.
Itu karena dia sudah terbawa dalam cerita FTv itu. Kau harus menghargainya. Dan salahmu sendiri tidak meneleponnya sore tadi. Dan bukankah kau sendiri pernah menggagalkan janjimu pergi ke sana hanya karena ada Moto GP di TV?
Itu karena aku lupa kalau malam itu ada Moto GP.
Huu, dasar! Maunya menang sendiri.
Hee, bajingan. Siapa kau? Begitu mudah menyalah…..
Diam. Berdirilah di depan cermin itu!
Laki-laki itu beranjak menggeser tubuhnya.
Coba perhatikan!
Apanya yang per……..?!
Diam! Perhatikan dengan teliti!
Laki-laki itu memperhatikan dengan teliti. Sebentar tangannya meraba wajahnya. Perlahan-lahan ia melihat jantungnya bergetar kencang. Lambungnya mengerut. Dadanya tersedak-desak sesak. Darahnya merangkak ke atas. Otak dan pikirannya berceceran. Semuanya bergerak dengan cepat. Lassz-lassz-lassz.
Dan ctyaar. Refleks tangan laki-laki itu menghantam cermin. Melihat `@#$$%^&* tersenyum di sana.
***
http://sastra-indonesia.com/2008/12/dalam-cermin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar