Itulah teks yang sarat kandungan sepi yang mencekam. Padahal kami tak punya kecurigaan apa pun pada nasib. Tentu saja masing-masing dari kami sudah punya anak. Mereka senang berlarian di halaman rumah. Apakah kelak mereka akan jadi penyair, misalnya, kami tak tahu. Kami tidak menyerahkannya kepada takdir. Daya dan upaya kami sudah maksimal.Hanya tema-tema kesepian yang sanggup meluluhkan perasaan kami. Kesepian yang bisa melangit. Kesepian akan senantiasa memeluk kami dengan mesra dan syahdu. Orang-orang tentu berjalan dengan kesepiannya masing-masing. Kesepian berjalan-jalan dengan enaknya. Jadi, apakah kesepian itu?
Kawanku menangis sejadi-jadinya. Kebetulan kami jalan berdampingan. Malam yang gerah belum juga mau berganti cuaca. Kami membayangkan betapa nyamannya hawa pegunungan yang sejuk. Toh kami sering merasakannya. Hawa pegunungan yang sejuk, ya, adalah lawan dari kegerahan, tempat tinggal terasa menjadi sumpek dan sumuk. Kami memesan kipas angin untuk mengusir gerah. Cerita pendek selalu jatuh di halaman seni hari minggu. Mereka, diam-diam berlomba-lomba menciptakan narasi. Kata-kata berluncuran seperti air terjun di situ. Bahasa sangat diperalat untuk menyampaikan pengertian. Ternyata ada yang bosan dan jemu. Kami pun, akhirnya, ikut menari dalam bahasa. Bahasa yang universal.
Sebab pengertian demi pengertian justru membuat kami semakin tak mengerti. Kami pun membuat keranjang untuk menampung sampah kata. Kadang, mereka mengusulkan sesuatu dengan penuh semangat. Hari hari kami dipenuhi oleh sejumlah tuntutan. Maka kami pun berkelit dalam bahasa.
TAK ADA GERHANA
Mereka menuntut dengan kata-kata yang kasar. Suara keprihatinan berubah wujud menjadi bensin. Maka kami pun tak bergeming, lari tunggang langgang menyelamatkan tubuh kami agar tak terluka.
Tapi kawan, tak ada kesedihan yang terlalu di situ. Kita seperti burung, yang selalu berkicau di pagi hari. Ada yang menyebut dirinya putra kelana. Kadang kita pingin punya studio rekaman yang bagus, dengan kualitas alat terbaik. Hari-hari akan dipenuhi dengan suara bising, sejumlah musik kita putar berulang-ulang. Kita tenggelam di situ. Tapi siapa tahu ada sebaris nada yang tiba-tiba menyelinap dalam pikiran dan menjadi sebuah lagu. Kita adalah seniman, bukan? Ia rasa waktu memang tak bisa dipacu dengan kencang seperti menghela kuda liar. Mungkin di matahari ada diskon. Wijaya menarik napas dalam-dalam. Dalam hatinya ia merasa persaingan semakin ketat. “Sekarang, aku hanya bertahan hidup”. Masa depan seperti gurun pasir gersang, dimana aku mati kehausan di situ. Aku tak kuat menahan teriknya matahari, sementara Ramayana justru menghantamku dari belakang. Ternyata ia adalah musuh baruku yang paling tangguh. Roxy pun setali tiga uang. Jagoan imitasi dari Amerika itu juga ingin unjuk gigi dihadapanku. Padahal lama aku tak ada yang mengusik. Mereka yang tumbuh di sekelilingku hanyalah jagoan tengik yang tak ada artinya. Sebentar lagi aku menyerah kalah. Hanya tunggu waktu dimana saatnya akan segera tiba.
***
Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post. Puisinya yang dimuat di koran Bali Post itulah yang menarik, waktu itu redakturnya Umbu Landu Paranggi. Tahun 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak, besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan tinggi di Yogyakarta, -boleh jadi tradisi berpikir kritisnya terbangun dari sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tidak lepas dari tangan dinginnya. Ia Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, dan pernah mengomandani kelompok budayawan serta seniman yang menolak Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) tahun 2002. Ia bersama gerbong para budayawan “bawah tanah” sempat mendirikan DKB-Reformasi, sebagai tandingan DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak budaya yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa dianggap remeh, terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas secara berkala dan melakukan kajian sastra pula penulisan sejarah Banyuwangi. Tahun 1998, menjadi salah satu dari kelompok muda yang menghadirkan alm. W.S. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi para penyair Jawa-Bali “Cadik”, sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di masa itu bukan main-main mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Di tahun itu juga, bersama penyair dan budayawan lain, ia mengemukakan sikap anti kekerasan menyoal peristiwa “santet” di Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2010/12/prosa-prosa-fatah-yasin-noor/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar