Akhmad Sekhu
kabaretegal.com, 5 Okt 2020
Dunia kepenulisan melahirkan penulis berbakat, Sasti Gotama. Latar belakang pendidikan dan profesi kedokteran, justru membuatnya dapat mengolah cerita dan konflik dengan baik. Awalnya, ia menulis hanya sebagai sarana terapi, tapi karena di tahun 2018 lalu dirinya sempat sakit, dan membaik setelah sering menulis. Ia kini semakin eksis di dunia kepenulisan. Beberapa karyanya dimuat di media cetak maupun daring, bahkan memenangkan berbagai lomba kepenulisan.
“Pertama kali saya coba menulis, bulan April 2018 di salah satu grup Facebook, walaupun masih kacau tanda baca dan struktur kalimat. Baru awal tahun 2019, belajar ke salah satu mentor dan memberanikan diri mengirimkan karya ke media massa,” kata Sasti Gotama, memaparkan awal dirinya terjun ke dunia kepenulisan kepada wartawan, (5/10/2020).
Penulis kelahiran Malang, Jawa Timur, itu menerangkan perihal ide dalam penulisannya. “Dari sumber bacaan dan fenomena sekitar. Untuk bacaan, ada yang dari buku penulis lain, ada pula yang dari media lain. Misalnya cerpen yang di Tempo itu, asal idenya saat membaca di Quora, ada seorang penulis yang menceritakan tentang kelakuan ART-nya yang meminjam baju tanpa izin, lalu mengembalikan ke lemari secara diam-diam. Bahan tersebut saya kembangkan dengan memasukkan kritik sosial dari fenomena di sekitar saya,” terang, jebolan kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Dalam cerpen itu, lanjut Sasti, dirinya menyisipkan fenomena yang ia temui di wilayah kerjanya dulu, yaitu kondisi sosial ekonomi keluarga yang memiliki balita gizi buruk. “Orang tua si balita berasal dari keluarga tidak mampu dan memiliki banyak anak, tetapi menolak program KB. Juga adanya fenomena nikah muda pada anak-anak yang masih usia belia di wilayah tersebut,” ungkapnya mantap.
Sasti mengaku dirinya sudah resign sebagai dokter umum per Agustus kemarin dan fokus mengurus pendidikan anak-anak, yang sejak pandemi, harus belajar di rumah. “Saat ini, saya sedang fokus mengerjakan penerjemahan buku. Untuk menulis, biasanya malam,” bebernya.
Menurut Sasti, pengalaman yang paling berkesan dalam proses kreatif menulis. Ia pernah merombak total satu cerpen, karena adanya masukan dari guru menulisnya, yang mengatakan bahwa tulisannya seperti pamflet, dan ia menyadari perkataan sang guru benar apa adanya. “Walaupun tulisan itu sudah masuk meja editor, saya minta izin kepada editor tersebut untuk merombak total cerpen itu. Cerpen itu berjudul “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam” yang sebentar lagi meluncur dari Diva Press. Mungkin cerpen itulah, satu-satunya cerpen saya yang melewati editing hingga puluhan kali, sampai akhirnya dirombak total,” tegasnya.
Sasti menyampaikan, latar belakang kedokteran masih mempengaruhi dalam proses kreatif menulisnya. Hal-hal tertentu masihlah digunakan, terutama sebagai subteks, misalnya ilmu yang ia pelajari di bidang psikiatri, mengenai mekanisme atas pertahanan ego. “Pada cerpen di Tempo, saya gunakan mekanisme pertahanan ego ‘denial’ sebagai subteks. Sedangkan pada cerpen di Kompas, saya alegorikan tiga unsur kepribadian Freud dalam tokoh-tokoh cerita tersebut,” urainya.
Obsesi dan harapan Sasti Gotama dalam dunia kepenulisan, yang awalnya menulis sebagai sarana terapi, lantaran sakit kemudian membaik setelah sering menulis. “Saya tidak pernah menyangka, bisa sampai di titik ini. Harapan saya, semoga bisa berkembang terus menerus,” pungkas Sasti sumringah.
***
http://sastra-indonesia.com/2021/06/sasti-gotama-awali-menulis-sebagai-terapi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar