Radar Surabaya, 22 Mei 2016
Aku lahir dari pohon kelapa yang mengakar di tanah subur. Tubuh ibuku sering digerayangi monyet-monyet bayaran milik majikan. Naik turun. Tak heran bila kemaluan monyet-monyet menggaruk tubuh elok ibuku. Buah ranum ibuku dibotaki monyet-monyet itu.
Sepanjang pengetahuanku, tak pernah kulihat monyet menguliti kelapa. Bila ada, mungkin pengetahuanku hanya seujung kuku. Menghabisi pisang lebih mudah bagi monyet, ketimbang bersusah payah menguliti kelapa. Tapi monyet tetaplah monyet, mereka selalu patuh pada perintah majikan. Kadang, monyet lebih nurut dibanding manusia.
Aku tidak secerdas Google. Tapi aku punya sebintik pengetahuan yang layak dibagi. Biar pun aku tidak lihai bercerita. Bagaimana aku bisa mengenal Google, nanti kau akan tahu sendiri.
Mata monyet-monyet itu menyala merah. Mereka antusias menyaksikan buruh kupas sedang sibuk menguliti kelapa-kelapa ranum yang mereka petik. Bagi monyet, cara buruh mengupas kelapa sangat modern: tombak menancap di tanah, ujungnya yang tajam dijadikan pusaka untuk menelanjangi kelapa. Sesekali, monyet melihat keringat asin buruh menetesi kelapa yang dikuliti. Rasa asin inilah yang sering kucecap.
Monyet-monyet kegirangan ketika buruh melempar beberapa keping kelapa yang diiris kotak-kotak. Sedangkan sang majikan kegirangan ketika pemilik kebun melempar Rupiah kepadanya.
Buah kelapa ini diolah jadi santan. Disebar-luaskan ke banyak wilayah. Bila hasilnya lumayan gede, santan pun menyeberang ke pulau tetangga. Tapi, di sini, aku hadir bukan untuk bercerita tentang santan, tapi tentang diriku sendiri. Maaf saja bila terdengar narsis.
Industri kreatif memaksa manusia untuk berpikiran brilian demi menambang Rupiah. Sisa hasil produksi, serabut kelapa, pun bisa berubah menjadi benda sejenis aku. Memang sih, benda seperti aku selalu disepelekan. Tapi tanpa aku, keramik-keramik mahal sepertimu pasti kotor oleh jejak manusia. Aku dilahirkan untuk menjagamu dari kotor.
Nasib jelek selalu menempel padaku. Ribuan kali aku diinjak-injak. Ya, sama sepertimu. Aku diludahi, ditempeli permen karet bekas, bahkan nyaris terbakar karena puntung rokok. Satu-satunya hiburan adalah ketika ada mahasiswi cantik lewat pakai rok pendek; aku bisa melihat paha mulus dan mengintip celana dalamnya. Tapi itu sangat jarang terjadi di kampus ini. Pihak universitas melarang mahasiswi memakai rok pendek. Toh itu hanya larangan, kapan saja bisa dilanggar.
Gunungan serabut kelapa di kebun kemudian diangkut ke pabrik perakitan keset aneka ukuran. Layaknya sulap, dalam beberapa hari, serabut-serabut kelapa yang berbentuk absurd itu kemudian menjelma lempengan persegi panjang. Tak perlu kuceritakan secara detail tentang penjelmaan serabut kelapa menjadi lempengan persegi panjang.
Pabrik perakitan keset ini menghasilkan tiga ukuran dan dua kelas (halus atau kasar). Ukuran ini adalah 60 centimeter kali 1 meter, 60 centimeter kali 1,5 meter, dan 60 centimeter kali 2 meter. Harganya pun disesuaikan dengan ukuran dan kelas. Antara Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu. Harga ini bisa berubah sewaktu-waktu menyesuaikan nilai tukar Dollar Amerika terhadap Rupiah—juga tergantung kepiawaian pembeli adu retorika dengan penjual.
Pada mula kelahiran, aku tidak tahu berapa ukuran dan kelasku. Namun, setelah masuk gudang pengap, barulah aku tahu. Penjaga gudang menempeliku dengan stiker bertuliskan ‘halus 60 centimeter kali 2 meter’.
Aku berasal dari percampuran ribuan serabut kelapa. Urusan kelamin; aku bingung. Aku cowok atau cewek? Tapi, meskipun hanya lempengan benda, aku menjadi bergairah jika melihat cewek cantik.
Soal nama, bangsa kami hanya punya satu nama. Semua keset berbagai ukuran dan kelas selalu disematkan nama ‘welcome’. Satu sama lain memanggil ‘welcome’, dan ‘welcome’ yang dimaksud si pemanggil pasti akan merasa. Ajaib, bukan?
Masing-masing dari kami tak tahu persis soal usia. Sebab dalam proses kelahiran di pabrik, kami masih memiliki memori jangka pendek. Belum bisa mengingat hal-hal detail seperti waktu dan kronologis. Tapi begitu masuk gudang, kami tiba-tiba memiliki memori jangka panjang.
Aku mendekam di gudang sekitar lima hari, bersama ratusan ‘welcome’ lainnya. Satu per satu di antara kami dikirim ke wilayah pemesanan. Di antara kawan-kawanku ada yang dikirim ke gedung pemerintahan, mall, tempat-tempat ibadah, bank, minimarket, kantor-kantor, sedangkan aku dikirim ke sebuah kampus mewah.
Sebelum dipajang di pintu utama kampus, dua hari lamanya aku ditimbun di ruang serba guna kampus. Seingatku, aku adalah satu-satunya keset di ruang serba guna itu. Benda lainnya adalah pot kembang, beberapa bola futsal, sepeda usang, papan tulis, kain pel, beberapa kondom bekas, dan tentu saja benda sebangsamu, keramik, yang mengambang di permukaan semen.
Ruang serba guna kampus selalu sepi. Tapi, di saat pagi, selalu ada aktivitas yang membuatku teringat dengan masa silam. Sepasang manusia, lelaki botak dan perempuan muda, merajut sebuah adegan. Adegan ini sama persis ketika monyet-monyet bayaran sedang memanjati tubuh ibu untuk memetik kelapa.
Lelaki botak serius memanjati tubuh perempuan muda. Bergantian. Keduanya terlihat sama-sama menikmati. Tapi ada gurat penyesalan yang menyembul di wajah perempuan muda itu. Si perempuan pasrah ketika lelaki botak menjadikannya sapi perah.
“Saya janji semester ini kamu pasti lulus.”
“Janji lho, Pak! Jangan sampai meleset!”
“Saya sudah buatkan skripsi untukmu. Emm, soal sidang skripsi, biarlah nanti saya yang mengkondisikannya.”
Adegan selesai. Koleksi kondom bekas bertambah. Lelaki botak keluar dari ruang serba guna terlebih dahulu. Tak berapa lama, si perempuan pun menyusul keluar. Selama beradegan, mereka tidak sadar sudah melakukannya di atas tubuhku. Membuat nafasku megap-megap menahan sesuatu yang tak bisa aku tuangkan dalam kalimat. Tapi, aku sanggup merekam semuanya dalam memori jangka panjangku.
Siang harinya, ketika nafasku tak lagi megap-megap, aku digotong keluar. Dipajang di depan pintu utama kampus. Di sinilah nasib jelek selalu merundungku. Semua manusia yang hendak masuk kampus, pasti menginjak tubuhku. Segala macam alas kaki pernah kurasakan. Sepatu kanvas, sandal selop, sandal gunung, sepatu bot, hingga sepatu cewek hak tinggi pernah merendahkan harga diriku. Kau pasti juga mengalaminya. Tapi nasibmu lebih beruntung, sebab selalu ada jongos yang bersedia membersihkanmu. Jongos bayaran. Sedangkan aku menyelamatkanmu dari kotor tanpa bayaran.
Hinaan tersakit datang dari pengguna sepatu hak tinggi. Hak tinggi yang lancip terasa sakit menusuk-nusuk tubuhku. Bila sekedar menginjak dan kemudian lewat, tak apalah. Tapi kalo berdiri berlama-lama di atas tubuhku, pasti meninggalkan sakit dan bekas lubang akibat tusukan hak tinggi.
Ada sedikit hiburan di depan pintu utama kampus—setidaknya aku bisa melupakan nasib jelek ini. Celoteh mahasiswa-mahasiswi yang sedang lesehan di depan kampus membuatku jadi manusia. Manusia dalam angan-anganku belaka. Ingin aku ikut ngobrol dengan mereka. Tapi, jelas mereka tak akan mendengar suaraku. Yang kuyakini, hanya kau yang bisa mendengar suaraku.
Siang hari adalah waktu yang ramai di pintu utama kampus. Lokasi ini mereka gunakan untuk sekedar menunggu jam kuliah, atau membuang penat setelah menelan ocehan dosen yang membosankan. Kebanyakan mereka menggunakan lokasi ini untuk berselancar di dunia maya. Maklum, jaringan internet gratis tanpa kabel memiliki kecepatan lebih tinggi di lokasi ini, ketimbang lokasi lainnya di sekitaran kampus. Mereka doyan gratisan. Bila sudah berselancar, mereka seperti monyet-monyet yang sedang makan kelapa yang sudah diiris kotak-kotak. Tak peduli dengan kondisi sekitar.
Pernah suatu kali aku mengintip smartphone milik seorang mahasiswa. Di mesin pencari Google, ia mengetik sebuah nama, dan memencet ikon gambar. Seperti sulap, layar smartphone itu menyodori gambar-gambar perempuan telanjang. Mahasiswa seperti ini biasanya mengunyah gambar-gambar telanjang sambil mengisap rokok. Celakanya, puntung rokok selalu dipadamkan dengan cara menghujamkannya ke tubuhku.
Beda lagi dengan smartphone para mahasiswi. Kebanyakan mereka membuka Facebook, menelusuri akun-akun jualan online. Mereka berburu pernak-pernik cewek seperti behel, lipstik, bandana, krim pemutih wajah, pensil alis, dan sesekali juga membuka situs-situs jorok seperti kelakuan mahasiswa.
Melihat gelagat manusia kampus ini, sering aku menyesali nasib jelek yang menimpaku. Sampai kapan pun, aku hanya lempengan persegi panjang. Selalu disepelekan. Suaraku tak didengar, bahkan oleh semut-semut yang memperkosa tubuhku. Jika disuruh memilih, aku lebih suka menjadi kelapa. Aku bisa ngobrol dengan saudara sepohon. Dan yang terpenting, aku bisa merasakan kasih sayang pohon ibu.
Kau enak, keramik! Kau selalu ditempatkan bergerombol bersama benda sebangsamu. Benda sebangsamu juga punya aneka ragam nama. Tidak seperti benda sebangsaku. Oh, mengapa keset selalu akrab dengan nasib jelek? Lepaskan kutukan ini!
“Mengapa nasib jelek ada padaku?” Tiba-tiba terdengar ceracau mahasiswi. Dia duduk lesehan di dekatku. Penyesalan terpendar di wajahnya. Wajah itu sudah tersimpan di memori jangka panjangku. Seketika aku melupakan karibku; si keramik.
Suara mahasiswi itu serak. Pelan. Ditujukan untuk dirinya sendiri. Tak ada manusia yang mendengarnya. Tapi aku dapat menangkap ceracau-ceracaunya. Sebaliknya, dia tak mampu mendengar teriakanku.
“Demi menaikkan tarif, aku harus mendapatkan gelar sarjana. Posisi sekretaris di perusahaan bonafit itu pasti kupegang. Ayam kampus akan berganti jadi ayam kantoran,” umpatnya dalam hati, dan aku tetap bisa mendengarnya.
“Setelah wisuda nanti, paling sedikit tarifku naik tiga ratus persen untuk sekali kencan,” katanya sambil menggigit bibirnya sendiri. “Sekarang, tak apalah nasib jelek merundungku. Biarlah dosen botak itu meniduriku gratis tiap pagi, sebagai upah bikin skripsi.”
Tangannya meraih rokok di dalam tas. Bibir cantiknya beradu dengan sebatang rokok. Disulut. Asap mentol meroket tinggi. “Toh nasibku tidak sejelek nasib keset ini,” desisnya sambil mematikan rokok, menghujamkannya ke arah tubuhku.
Studio Cak Die Rezim Surabaya, 2015 http://sastra-indonesia.com/2021/06/ayam-kampus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar