Edisikhusustempo, 12 Agu 2002
GENERASI pendiri republik ini, yaitu para bapak bangsa, dikenal sebagai orang yang sangat terdidik dan terpelajar. Mereka bisa disejajarkan dengan kaum terpelajar di negeri lain mana pun pada masa itu, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Tapi pembawaan tiap orang telah membuat mereka masing-masing menghayati keterpelajarannya dengan cara yang khas, yang sedikit berbeda satu dan yang lainnya. Bung Karno, misalnya, boleh dikata salah satu orang yang paling banyak dan luas bacaannya pada masa itu, yang mengikuti perkembangan politik dunia dengan penuh perhatian dan gairah.
Namun yang mencolok pada dirinya adalah perhatian seorang politisi sejati tanpa minat khusus pada the state of the art dari perkembangan ilmu pengetahuan masa itu. Sjahrir adalah tipe intelektual dengan kecenderungan cendekiawan yang barangkali paling kuat di antara rekan seangkatannya. Seorang intelektual tidak mencari dan mengumpulkan pengetahuan sebagai tujuan utamanya, tapi menerjemahkan pengetahuan dan erudisinya menjadi sikap moral atau visi kebudayaan. Haji Agus Salim, sang poliglot, mempergunakan pengetahuannya untuk mengajari kader-kader politiknya di samping memanfaatkan kemahiran bahasa asingnya yang luar biasa itu untuk keperluan diplomasi.
Tan Malaka barangkali orang yang mengambil peranan sadar sebagai ideolog dan memakai semua informasi ilmiah untuk memberikan pendasaran pada ideologinya. Di antara politisi masa itu mungkin dialah seorang ideolog dengan kemampuan foundationalist yang paling solid. Pada hemat saya, Hatta tampil secara mengesankan dengan sikap seorang sarjana, seorang scholar, yang di samping berjuang dan terlibat aktif secara politik, selalu memberikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata cara yang jamak dalam dunia akademis.
Di antara para bapak bangsa itu barangkali hanya dia seorang (dan Tan Malaka, sampai tingkat tertentu) yang tekun menuliskan buku-buku teks, baik dalam bidang ekonomi (Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi), sejarah filsafat (Alam Pikiran Yunani,), maupun filsafat ilmu pengetahuan (Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan). Selain itu, dia selalu teliti memberikan sumber dan rujukan untuk gagasan yang diumumkannya dalam tulisan lepas di media massa. Maka seseorang yang tertarik pada sejarah ilmu pengetahuan akan segera melihat ke mana Hatta berorientasi pada waktu itu untuk bidang-bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya.
Dalam ilmu ekonomi, dia tidak banyak terpukau pada ekonomi klasik, tapi pada aliran historis dan ekonomi politik. Hatta selalu membedakan dengan tegas teori ekonomi, politik ekonomi, dan orde ekonomi. Gagasan-gagasan ekonominya lebih berorientasi pada Gustav Schmoller, Werner Sombart, dan Karl Marx daripada Adam Smith. Ilmu ekonomi dalam pandangannya bukanlah ilmu yang ahistoris seperti matematika, melainkan ilmu sosial yang hidup menurut perkembangan zaman, sehingga buku teksnya memakai judul “ekonomi sosiologi”. Dalam sejarah filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan, orientasi utamanya adalah pada paham neokantianisme. Nama seperti H. Rickert dan W. Windelband, tokoh neokantian dari mazhab Heidelberg yang memberikan perhatian khusus pada sejarah filsafat dan filsafat sejarah, dan sering menjadi referensi Hatta, dengan mudah menandai kecenderungan itu. Seterusnya, dalam sosiologi, dia banyak memakai Max Weber, yang pada waktu itu menegaskan perbedaan hakiki antara ilmu sosial sebagai ilmu empiris dan sosial-politik sebagai praktek yang mengutarakan ideal-ideal kemasyarakatan yang harus dicapai. Ilmu sosial bukanlah alat ideologi, melainkan suatu disiplin ilmiah yang bertugas melukiskan dan menjelaskan kenyataan masyarakat.
Sjahrir memang pernah menulis bahwa Hatta hampir tidak punya perhatian pada sastra: “Dalam seluruh perpustakaan H, misalnya, terdapat hanya sebuah roman saja, dan tentang itu pun ia memberikan penjelasan (…) bahwa buku itu dihadiahkan orang kepadanya. Padahal tak bisa disangkal bahwa ia termasuk puncak golongan intelektual kita yang dididik di Eropa.” Ada kesan di sini seakan-akan Sjahrir menyesali bahwa Hatta hanya membaca kepustakaan yang berhubungan dengan bidang studinya, atau surat kabar, dan paling banter sedikit buku hiburan untuk menghilangkan ketegangan saraf. Kritik seperti ini mungkin harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Sebab, Hatta ternyata fasih sekali mengutip sastrawan dunia seperti Goethe, Schiller, dan Victor Hugo, dan pastilah tidak hanya membaca di waktu senggang zijn krant en soms nog wat ontspanningslectuur, sebagaimana dicemaskan Sjahrir. Kecenderungan kepada ilmu pengetahuan ini menonjol juga pada diri Sutan Sjahrir, yang dalam sepucuk suratnya menyatakan bahwa dia sebetulnya ingin mendalami studi kebudayaan tapi harus menjalankan tugas-tugas politik.
Namun Sjahrir belum sempat mewujudkan niatnya itu (misalnya menuliskan sebuah buku yang utuh tentang kebudayaan) meskipun Indonesische Overpeinzingen atau Renungan dan Perjuangan merupakan refleksi filsafat kebudayaan yang amat mendalam dan kritis serta masih terlalu sedikit dipelajari sampai hari ini. Hatta tidak hanya menyatakan keinginannya, tapi juga mewujudkannya. Yang menarik dalam tulisan-tulisan ilmiahnya (dan juga dalam tulisan politik dan jurnalistiknya) ialah usaha Hatta untuk membahasakan hampir semua gagasan ilmiah dan filosofis itu dengan padanan dalam bahasa Indonesia tanpa menimbulkan kesan kaku atau artifisial.
Dengan tidak ada referensi sebelumnya dalam bahasa ini, dapatlah dibayangkan betapa sulitnya menjelaskan gagasan filsafat dan ilmu pengetahuan dengan kosakata bahasa Indonesia. Sampai sekarang pun tidak banyak ilmuwan yang dapat mengindonesiakan secara memuaskan konsep ceteris paribus dalam bahasa Latin atau other things being equal dalam bahasa Inggris. Konsep itu mengatakan bahwa suatu gejala yang dijelaskan akan muncul lagi kalau syarat-syarat kemunculannya itu tidak berubah. Tapi pada awal 1950-an Hatta sudah menulis, “Sebab itu ilmu dalam segala keterangannya senantiasa mengemukakan syarat: ‘kalau yang selainnya tidak berubah.’ Syarat ini biasa disebut dengan perkataan Latin ‘ceteris paribus’.
Pendeknya keterangan ilmu sebenarnya begini duduknya kalau begini jadinya, begitu kelanjutan (akibatnya), asal saja yang selainnya tidak berubah.” Dengan mudah dan ringan dia menjelaskan metode induksi sebagai “jalan (yang) bermula dengan mengumpulkan bukti dan daripada bukti-bukti itu dicari kebulatannya.” Sebaliknya, pada metode deduksi “orang bermula dengan menerima kebenarannya. Kemudian baru diuji kebenarannya dengan memeriksa keadaannya dalam satu-satunya.” Pada titik inilah kelihatan bagaimana pribadi Hatta sebagai orang yang mengutamakan disiplin, menghayati ilmu pengetahuan juga pertama-tama sebagai disiplin, seperti juga dia menghayati organisasi politik, administrasi, agama, dan tata negara sebagai disiplin. Seterusnya, disiplin ilmiah baginya menjadi suatu alat atau perkakas untuk bekerja. Keyakinannya ini sedemikian kuatnya sehingga dapat memberikan kesan seolah-olah dia seorang penganut instrumentalisme epistemologis. Dalam paham instrumentalis diandaikan bahwa pengetahuan tidak punya substansi kebenaran, tapi hanya menjadi “jembatan keledai” yang dapat membawa kita kepada pengetahuan yang benar. Menurut istilah-istilah Hatta, teori ilmu pengetahuan tidak lain dari suatu “stenogram (yang) terambil dari suatu pengalaman” dan “alat untuk mencari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.” Dalam pandangan saya, pernyataan itu adalah ungkapan seorang guru yang ingin mencegah sikap dogmatis dalam diri para muridnya, agar tidak memandang teori ilmu pengetahuan sebagai doktrin yang harus dipegang teguh tanpa kritik.
Teori haruslah dipandang sebagai peralatan yang dapat digunakan dan harus diperbaiki terus-menerus. Seandainya benar bahwa Hatta punya keyakinan instrumentalis yang konsekuen, niscaya dia tidak akan sibuk mengajarkan teori-teori ekonomi, yang dalam pandangannya bertugas “memberi keterangan tentang tabiat manusia yang umum dilakukannya dalam tindakannya menuju kemakmuran.” Definisi itu memang mirip suatu stenogram tentang pengalaman kita mengamati tingkah laku ekonomi dan jelas mengungkapkan suatu substansi pengetahuan dan bukan sekadar “jembatan keledai” yang tidak mengandung suatu pengertian dalam dirinya sendiri tapi hanya menjadi pengantar ke suatu pengertian lain.
Dalam istilah epistemologi modern, ilmu pada dasarnya bukan hanya merupakan context of discovery, melainkan sekaligus context of justification. Ilmu bukan hanya jalan atau cara untuk menemukan, melainkan juga jalan dan cara untuk memeriksa dan menguji apa yang telah ditemukan. Hal ini semakin jelas kalau kita melihat sikap Hatta dalam politik. Bagi dia, politik bukan sekadar cara, strategi, dan taktik, tapi juga mengandung sesuatu yang harus dapat dibenarkan secara rasional. Dalam polemik tentang pencalonannya sebagai anggota Tweede Kamer di Den Haag, Desember 1932, muncul kritik keras dari Sukarno yang menganggap tindakan itu telah menafikan sikap nonkoperasi dalam politik Hatta. Menghadapi kritik itu, Hatta mengemukakan bahwa kata-kata Sukarno memang ibarat magnet yang dengan mudah menarik siapa pun yang membacanya.
Dia mengakui pula bahwa bakat istimewa Sukarno itu sesuatu yang berguna dan amat diperlukan dalam menggerakkan orang ke suatu tujuan politik. Tapi, kalau orang hendak memberikan penerangan kepada masyarakat, gaya yang menarik itu harus dihadapi dengan tenang dan diperiksa dengan teliti isinya. Ketika Sukarno mengatakan bahwa nonkoperator yang prinsipiil harus menolak bekerja sama dengan semua lembaga yang didirikan oleh pemerintah kolonial, Hatta menjawab bahwa Tweede Kamer tidak didirikan oleh pemerintah kolonial, tapi oleh pemerintah Belanda untuk rakyat Belanda. Siapa yang duduk dalam Tweede Kamer dapat menjatuhkan pemerintahan yang sah di Belanda, suatu hal yang amat berlainan dengan Volksraad di Hindia Belanda yang mustahil menjatuhkan gubernur jenderal. Ilustrasi ini hendak menunjukkan bahwa Hatta bukanlah seorang instrumentalis, melainkan seseorang yang percaya kepada sesuatu yang substansial.
Pendiriannya tentang ilmu pengetahuan, keagamaan, dan ketatanegaraan penuh dengan gagasan substansif yang siap dipertahankannya. Barangkali saja posisi seperti inilah yang tidak memungkinkannya bertahan lama dalam pemerintahan, tatkala dia melihat bahwa politik semakin menjadi taktik dan siasat tapi tidak lagi mempertahankan tujuan tempat segala siasat harus dikerahkan. “Siapa yang takut dilamun ombak, jangan berumah di tepi air,” begitu dia menulis suatu waktu tentang orang yang hendak berpolitik tanpa risiko. Sayang bahwa suatu ketika air telah menjadi banjir bandang, sehingga Hatta dengan perhitungan yang dingin dan hati yang getir mengundurkan diri dari sana karena yakin tak ada rumah yang dapat tegak di bibir banjir.
*) Ignas Kleden, Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs, Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2016/02/mohammad-hatta-yang-berumah-di-tepi-air/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar