Jumat, 23 April 2021

Radhar Panca Dahana, Mewakafkan Hidup untuk Kebudayaan

Radhar Panca Dahana (26 Maret 1965 – 22 April 2021)
 
Kenedi Nurhan
kompas.id, 22 April 2021
 
Budayawan Radhar Panca Dahana telah berpulang, Kamis (22/4/2021) malam di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Untuk mengenang beliau, berikut ini adalah wawancara Kompas dengan Radhar yang diterbitkan 26/6/2014. Di hari itu pula, Radhar menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas tahun 2014.
 
Entah oleh siapa dan kapan pertama kali sebutan “budayawan” dilekatkan kepada lelaki bertubuh ringkih itu. Sebuah atribusi yang disematkan untuk mengukuhkan kerja-kerja kebudayaan yang dia geluti secara serius sejak usia sangat muda: 13 tahun!
 
Dia sendiri, sebagai pribadi, merasa risi atas pelabelan itu. Dalam beberapa kesempatan di hadapan banyak orang, semisal ketika tampil sebagai pembicara di satu seminar saat pemandu memperkenalkan para pembicara, ia bahkan kerap menyatakan penolakannya atas sebutan superlatif “budayawan” itu.
 
Terlebih ketika kini banyak beredar ”budayawan-budayawan” salon, yang dalam kenyataan sesungguhnya tidak lebih hanya berperan sebagai joker alias badut untuk menghibur para elite atau pemegang kekuasaan. Para ”budayawan” semacam ini hanya memainkan elektisisme obskur dalam pelisanan yang diindah-indahkan, sekadar untuk membuat publik tercengang dan bahkan geli.
 
”Secara tidak bergurau saya lebih memilih posisi sebagai kuncen kebudayaan. (Semacam) anjing penjaga kebudayaan di mana orang datang hanya untuk berziarah, mengenang, mencari wangsit, atau malah mensyukuri bahwa kebudayaan (di negeri ini) telah terbujur seperti mayat, menjadi zombie,” kata lelaki, yang sejak 13 tahun terakhir harus bolak-balik ke rumah sakit —tiga kali seminggu—untuk menjalani hemodialisis (cuci darah) karena masalah gagal ginjal yang menderanya.
 
Dia, lelaki bertubuh ringkih itu, tak lain adalah Radhar Panca Dahana. Dalam jagat kebudayaan di Tanah Air, ia tak hanya dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, serta pekerja dan pengkaji teater. Dia pun bukan sekadar inisiator berbagai kegiatan kebudayaan. Sebutlah seperti ketika ia menggagas penyelenggaraan debat capres dan cawapres dengan para budayawan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, menjelang Pemilu 2009. Bahkan, kalau mau jujur, Forum Kebudayaan Dunia (World Culture Summit) di Bali pada 2013 kiranya tak lepas dari gagasan yang ia usulkan kepada pasangan SBY/Boediono agar bila terpilih (saat itu) kiranya mempertimbangkan untuk menyelenggarakan KTT Kebudayaan Dunia, lengkap dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya.
 
Lebih dari dari itu, alumnus FISIP UI yang kemudian memperdalam kajian bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Perancis, ini adalah sosok pemikir lintas-disiplin ilmu. Namun, bagaimanapun, masalah-masalah kebudayaan selalu melapiki setiap kajian dan atau analisis yang ia dedahkan ke khalayak terhadap berbagai fenomena keindonesiaan kita hari ini.
 
Selalu mencari
 
Sebagai warga bangsa yang secara sadar memosisikan diri sebagai kuncen kebudayaan, mencoba hidup sedikit zumud atau asketis agar terhindar dari seretan arus kepentingan di pusaran kuasa pada berbagai bidang kehidupan, Radhar bahkan sampai pada pilihan hidup yang mungkin terdengar muskil sekaligus berlebihan: hidup dari dan untuk kebudayaan!
 
Alasannya sederhana. Bahwa, kebudayaan harus dijaga demi masih tegaknya maruah manusia dan realitas sebagai socius atau bangsa. Karena itu, kata Radhar, ”Saya secara spesifik mewakafkan seluruh daya kemanusiaan saya untuk menjaga, memelihara, dan—jika masih bisa—tetap mengembangkan kebudayaan. Karena dengannya sebuah bangsa, juga manusia dalam satuan terkecilnya, masih dapat mengalami perkembangan kualitas di semua dimensi kehidupannya.”
 
Dalam pandangan Radhar, kebudayaan Indonesia dalam arti yang sesungguhnya saat ini diperlakukan tidak sebagai organisme yang hidup. Banyak kalangan, terutama pemerintah (dan negara), hanya memperalat kebudayaan untuk kepentingan masing-masing. Bahkan makna kebudayaan dipersempit, disalahpahami, hanya sebagai pernyataan dan produk yang dapat teramati.
 
Kebudayaan di negeri ini mengalami apa yang ia sebut semacam materialisasi hingga ke tempat yang paling sempit: komodifikasi! ”Satu bentuk apresiasi kasar yang menempatkan kebudayaan lebih sebagai perangkat yang dapat dikooptasi atau diperalat untuk meneguhkan kekuasaan,” ujarnya.
 
Kebudayaan dalam pemaknaan semacam itulah yang merisaukan Radhar. Ketika hampir semua elemen bangsa bukan hanya tidak mengacuhkannya, tetapi juga menganggapnya secara keliru sebagai manekin di etalase peradaban, kata Radhar, kebudayaan kita sesungguhnya sudah dalam keadaan mati suri. Meski belum mati dalam arti yang sebenarnya, tetapi ia sudah terbujur bagai mayat dan tinggal menunggu waktu untuk dimakamkan.
 
Maka, di sanalah lelaki bertubuh ringkih itu memutuskan berdiri sebagai kuncen kebudayaan. ”Maka, dengan romantis murahan,” kata Radhar sambil terkekeh, ”saya tegas menyatakan kepada hampir semua elite negeri ini, termasuk ketika tampil di hadapan sejumlah petinggi satu partai besar: siapa pun yang masih berusaha mendekati makam itu dan mencoba memastikan kematian kebudayaan, ia harus melompati dulu tulang belulang kuncennya!”
 
Karena itu, Radhar tak pernah berhenti mencari di mana, kapan dan mengapa kebudayaan sejatinya bangsa ini terkubur, sebelum akhirnya diambilalih oleh model ”kebudayaan baru” yang kemudian membentuk peradaban kita hari ini. Sebuah ”peradaban baru” yang dalam pendekatannya berpotensi melahirkan konflik, antara lain karena kecenderungannya yang dominatif dan materialistik. Model kebudayaan semacam itu jelas kian menjauhkan kita dari model kebudayaan yang membentuk peradaban sejatinya manusia kepulauan seperti Indonesia.
 
Dalam proses pencarian itu, Radhar menelusurinya jauh ke belakang, bahkan hingga ke masa prasejarah. Ia tak tak pernah berhenti menggali berbagai sumber tertulis tentang peradaban awal bangsa ini lewat tulisan-tulisan hasil penelitian para ahli di bidangnya, juga menemui dan berdiskusi dengan mereka. Dan dalam pencarian itu Radhar semakin diyakinkan pada tesis awalnya: bahwa peradaban dan keadaban bangsa kepulauan ini sejatinya dilapiki oleh model kehidupan manusia sebagai individu yang komunal.
 
Mereka, kata Radhar, mengembangkan peradaban dan keadaban sebagai ”manusia maritim”, di mana keberadaan individu-individu yang komunal itu secara eksistensial berangkat dari pemahaman dan kesadaran—dari ontologis hingga kosmologis—pada tata cara hidup dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir. Dunia bersama, yang mengartikulasikan kepentingan individu dalam konteks komunitas. Sebuah ciri khas peradaban ”manusia maritim”.
 
”Manusia yang dibentuk oleh kultur laut dan pesisir adalah manusia yang membangun permukiman, sosial, ekonomi, dan politiknya dalam sebuah ’kota’ pantai atau bandar. Di sanalah manusia maritim Indonesia berkembang sesuai kondisi alamiah: menjadi masyarakat hibrid (melting pot society) yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif,” tutur Radhar.
 
Kebudayaan dalam perspektif peradaban dan keadaban sebagai sebuah bangsa maritim—bukan bangsa agraris yang salah kaprah itu, berikut peradaban kontinental, ”peradaban daratan”, yang justru kini lebih mendominasi alam pikir dan alam tindak masyarakat di negeri kepulauan ini—jika dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa, diyakininya akan menjadi katalisator bagi perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik di masa depan. ”Manusia maritim, itulah jati diri sesungguhnya bangsa ini,” kata Radhar.
 
Manusia pemberontak
 
Radhar adalah tipikal manusia pemberontak. Pada usia 10 tahun ia sudah menulis cerpen (”Tamu Tak Diundang”), yang materinya ia ambil dari peristiwa di lingkungan terdekat: teror yang tiap hari dialami ibunya dari penagih utang. Sejak itu, memasuki usia pra-remaja, Radhar kecil sudah ikut sibuk berkesenian di berbagai tempat.
 
Takut pada ancaman sang bapak yang tak memperbolehkannya ikut berbagai kegiatan tersebut, pada usia 13 tahun ia memutuskan kabur dari rumah orangtuanya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. ”Pukul 10 malam, sehabis dihukum habis-habisan dengan pukulan rotan, dengan mulut masih menyimpan darah, saya berdiri di pintu belakang rumah dan berkata, ’tidak ada demokrasi di rumah ini’, lalu menghilang di gelap malam.” Setelah itu pergi lagi, dan memulai apa yang ia sebut sebagai perantauan hidup. ”Sampai hari ini, merantau di tanah kelahiran sendiri,” ujarnya.
 
Sejak itu ia menjalani kehidupan bohemian di berbagai pusat kesenian, terutama di kawasan Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Sejak itu pula ia banyak bergaul dengan banyak seniman dan sesekali bertatap muka dengan mereka yang sudah ditasbihkan sebagai budayawan, seperti Rendra dan Umar Kayam, sambil tetap bersekolah.
 
Untuk hidup ia mengandalkan honor tulisan dari berbagai majalah anak dan remaja, sampai akhirnya ia mendapat kesempatan membantu Koma, koran remaja sisipan majalah Hai. Lebih dari itu, selama beberapa tahun Radhar kecil ikut membantu liputan untuk harian Kompas. Tak hanya liputan kebudayaan, ia juga kerap mendapat tugas liputan di bidang metropolitan (biasanya berita-berita kriminalitas) dan olahraga.
 
”Di Kompas saya tak hanya belajar segala hal, juga mendapat honor yang membuat saya merasa menjadi remaja terkaya di Bulungan. Agar tidak diketahui bapak, nama asli sengaja saya sembunyikan, lalu dipakailah nama Reza Morta Vileni sebagai nama pena untuk berita dan tulisan-tulisan kreatif saya di saat remaja,” kata Radhar sembari tertawa mengenang masa remajanya yang penuh warna.
 
Saat magang di Kompas, perhatian Radhar pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaan diakuinya makin terasah. Lihatlah satu berita kecil pada edisi Kompas Minggu, 27 Februari 1983. Terselip di sela-sela komik strip dan rubrik ”Teka Teki Silang”, sebuah berita kriminalitas muncul di bawah judul: ”Surat cintanya dicolong maling”. Isi beritanya, rumah dramawan Putu Wijaya dibobol maling.
 
Alih-alih berfokus pada emas dan berlian bernilai sekitar Rp 1 juta (nilai saat itu) yang raib, Reza si penulis berita yang tak lain adalah Radhar Panca Dahana justru lebih memilih sudut pandang berbeda: segepok surat cinta Putu Wijaya dan istrinya yang ikut lenyap disambar maling yang justru jadi bahan cerita dalam berita kecil tersebut.
 
Kini, dalam kondisi sakit yang menderanya, semangat hidupnya lebih ditopang karena kecintaannya pada kebudayaan. Adapun aktivitas menulis menjadi semacam obat penyembuh. Sedikitnya sudah 20 buku ia terbitkan, beberapa lagi masih menunggu pihak penerbit untuk dibukukan.
 
”Sobat, tanpa bisa menulis, dan tanpa ada ruang untuk menampung tulisan-tulisanku, sebetulnya aku sudah bukan apa-apa lagi,” ujarnya sekali waktu, terdengar sangat memelas, ketika pada 2007 ia ”dihukum” tak boleh menulis selama tiga bulan di harian ini lantaran artikelnya yang dimuat Kompas juga dimuat di media lain.
 
Radhar Panca Dahana
Lahir: Jakarta, 26 Maret 1965
 
Pendidikan:
- Departemen Sosiologi FISIP, Universitas Indonesia (1994)
- Université de French Comte, Besançon, Perancis (CLA, 1997-1998)
- Ecole des Hautes Études en Science Sociales, Paris, Perancis (DEA, 1998-2000)
 
* Publikasi (data 2014): Lebih dari 20 buku dalam bentuk kumpulan puisi, novel, esai, naskah teater, komik sudah diterbitkan, di antaranya: Simponi Duapuluh (1985, puisi); Lalu Waktu (1994, puisi); Lalu Batu (2003, puisi); Manusia Istana (2012, puisi); Ganjar & Leungli (1995, novel); Republik Reptil (2010, naskah drama); Dusta dan Kebenaran dalam Sastra (2001, esai); Ideologi Politik dalam Teater Modern Indonesia (2001, esai); Menjadi Manusia Modern (2002, esai); Jejak Posmodernisme (2004, esai); Teater dalam Tiga Dunia (2013, esai); dan Mat Jagung: Kabut Manusia (2009, komik populer).
 
* Kegiatan (data 2014): Memulai debut sebagai sastrawan sejak usia 10 tahun, lewat cerpennya, ”Tamu Tak Diundang”, di harian Kompas. Kemudian menapaki karier jurnalistik sebagai redaktur tamu majalah Kawanku (1977), pernah menjadi reporter lepas di sejumlah media, wartawan dan editor di majalah Jakarta-Jakarta (1988-1990); Redaktur Pelaksana Vista FMTV (1992-1994), Wakil Pemimpin Redaksi Vista-TV (1994-1996), pendiri dan Presiden Federasi Teater Indonesia (sejak 2004), pendiri dan Sekjen PEN Indonesia (asosiasi penulis internasional yang berpusat di London), dan diundang sebagai pembicara tentang sastra dan kebudayaan negara.
 
* Penghargaan (data 2014): Satu dari lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996); Paramadina Award (2005); Duta Terbaik Pusaka Bangsa, Duta Lingkungan Hidup sejak tahun 2004; Medali Prix de la Francophonie dari 15 negara berbahasa Perancis (2007).
 
***
https://sastra-indonesia.com/2021/04/radhar-panca-dahana-mewakafkan-hidup-untuk-kebudayaan/

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar