Pendekar Bahasa. Judul buku berisi kumpulan esai bahasa yang ditulis Holy Adib ini menarik untuk kita simak. Simak di sini artinya baca dengan teliti dan penuh perhatian. Tentu makna simak ini bakal menimbulkan persoalan bahasa. Terlebih, di KBBI cuma tercantum dua makna, yakni mendengarkan (memperhatikan) baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang; dan meninjau (memeriksa, mempelajari) dengan teliti. Makna kedua ini memang mendekati makna yang saya sebut di awal tadi, hanya lebih spesifik ketimbang sekadar membaca.
Memang bahasa itu bersifat dinamis. Soal simak atau mendengarkan tadi juga ada dalam salah satu esai Adib. Dalam esai berjudul “Mendengarkan Buku” (hlm 159), Adib berusaha menjelaskan bahwa frasa yang dulu tak berterima suatu saat bisa saja bisa diterima. Tentu, mendengarkan buku pada masa lampau merupakan frasa yang ngawur. Mana ada buku bisa didengarkan. Buku itu ya dibaca, dipelototi.
Nah, berkat munculnya teknologi aplikasi pintar, semacam Google Play Books dan Listeno, mendengarkan atau menyimak buku bukan lagi suatu hal yang mustahil dilakukan. Frasa “mendengarkan atau menyimak buku” juga jadi berterima. Begitulah sedikit gambaran bahwa bahasa dinamis, berubah-ubah, dan ikut perkembangan zaman.
Pendekar bukan pakar
Beberapa waktu yang lampau, Eko Endarmoko meluncurkan buku kumpulan esai bahasa berjudul Polisi Bahasa. Polisi bahasa dimaksudkan sebagai sebuah istilah untuk orang yang kerap menjadi polisi, yakni memberi peringatan pada orang lain yang dianggap melanggar rambu-rambu lalu lintas berbahasa. Polisi sendiri merupakan penegak hukum yang menegakkan kebenaran berdasarkan pada fakta hukum, dalam hal ini pelbagai aturan-aturan dalam berbahasa. Polisi bahasa ini kerap disebut “ceriwis” oleh Eko Endarmoko.
Nah, soal kata pendekar yang digunakan Adib, dia sendiri menjelaskan dalam bukunya yang terbit pada November 2019 ini. Dalam esai “Pendekar Bahasa” (hlm 19), Adib menjelaskan, “dalam buku Sendi-Sendi Ilmiah bagi Pembinaan Bahasa (2010), Harimurti menjelaskan bahwa pendekar bahasa adalah sarjana dalam bidang di luar ilmu bahasa yang menyumbangkan pikirannya bagi kemajuan bahasa (Indonesia).”
Dengan begitu terjawab sudah, bahwa pendekar bahasa adalah mereka yang memiliki kepedulian terhadap bahasa Indonesia. Seperti dikutip Adib dari Harimurti, mereka yang peduli terhadap bahasa itu mampu mencurahkan kepeduliaannya terhadap bahasa dari sudut pandang masing-masing. Karena setiap dari para pendekar bahasa memiliki kepakarannya masing-masing, tapi bukan pakar bahasa.
Misalnya saja, mereka yang memiliki kepakaran dalam hal ekonomi, kedokteran, hukum, dan sebagainya. Semua itu memiliki kontribusi terhadap bahasa Indonesia, baik untuk hal ejaan, tata bahasa, maupun pemerkayaan kosakata dan istilah. Jadi, bahasa memang tak bisa berdiri sendiri. Apalagi sekadar polisi. Bahasa juga butuh pendekar.
Sikap Bahasa
Buku ini juga menjadi sikap penulisnya. Beberapa esai dalam buku ini berisi sikap Adib terhadap kebijakan soal penamaan, mulai dari nama klub sepak bola sampai nama acara berskala nasional. Adib menggugat pihak-pihak yang kerap lebih suka menggunakan bahasa asing tinimbang bahasa Indonesia.
Bagi Adib, begitu juga bagi kita, seharusnya bahasa Indonesai bisa menempati tempat lebih utama untuk digunakan daripada bahasa asing. Tentu saja, semua bergantung konteksnya. Jika konteksnya untuk keperluan internasional, tak ada salahnya nginggris.
Namun, untuk sekadar acara lokal atau keperluan-keperluan lokal, termasuk nasional, dengan sasaran dalam negeri bukankah lebih baik menggunakan bahasa Indonesia? Begitulah semestinya kita mampu bersikap tegas dalam persoalan berbahasa.
Tentang siapa Holy Adib, ia merupakan kolomnis di Beritagar.id. Khususnya menulis soal bahasa Indonesia dan permasalahannya. Itulah mengapa buku ini jadi berbobot dan pantas untuk kita simak sambil minum kopi.
Buku setebal 176 halaman ini bisa menjadi referensi pemerkaya wawasan kebahasaan kita, terutama soal wacana bahasa Indonesia. Karena berisi kumpulan esai, buku ini pun tak menyajikan pembahasan yang betul-betul utuh layaknya makalah atau karangan ilmiah. Kendati begitu, bukan berarti pembahasannya ngawur. Penulisnya yang merupakan jurnalis cukup menyajikan argumentasi, yang mungkin di beberapa bagian akan mengundang ketidaksetujuan pembaca.
Itu hal yang wajar saja. Jadi, setuju atau tidak dengan isi dan kesimpulan di tiap-tiap esainya, kembali pada keputusan dan pendiran para pembaca sekalian.
7 Februari 2020
Judul: Pendekar Bahasa
Penulis: Holy Adib
Penerbit: Basa Basi, Yogyakarta
Tebal: 176 hlm
ISBN: 978 623 7920 39 1
http://sastra-indonesia.com/2021/04/pendekar-bahasa-bukan-pakar-bahasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar