Ramadhan Karta Hadimadja, setelah sekian lama terbaring sakit di Cape Town, Afrika Selatan, Kamis, 16 Maret, sekitar Pukul 8.30 waktu setempat, pergi sudah menjumpai Sang Khalik. Salah seorang tokoh pendiri Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta itu, sungguh sebuah teladan. Ia figur sastrawan yang konsisten dalam melawan kebrengsekan, teguh pada apa pun yang diyakini sebagai kebenaran, dan solider pada persahabatan. Kang Atun, yang sangat bersahaja dan rendah hati, telah mengajari banyak hal, bagaimana kita memusuhi penindasan dan pemanipulasian, membuka ruang toleransi antar-agama, sikap tawadu, dan berjuang dalam membentangkan sastra, seni, budaya, dan martabat manusia.
Dalam acara diskusi novel Manifesto Khalifatullah karya Achdiat Karta Mihardja di Taman Ismail Marzuki, 9 Juni 2005, jauh-jauh dari Cape Town, Ramadhan sengaja datang hanya untuk acara itu. Sebuah solidaritas dan apresiasi atas prestasi seorang kawan yang dalam usia 95 tahun masih mampu berkarya telah ditunjukkan Ramadhan tanpa pamrih. Adakah di antara kita punya solidaritas semacam itu?
***
Saya mengenal Ramadhan KH lewat “Priangan si Jelita” sebuah puisi panjang yang bercerita tentang keindahan alam Pasundan, tanah kelahiran si penyair. Sebuah lanskap alam pegunungan yang membentang dari Burangrang dan Tangkuban Perahu sampai Pangrango dan Gunung Gede. Tentang kehijauan pepohonan yang berombak dari Bandung hingga Bogor. Antologi puisi inilah yang mengantarkan Ramadhan mendapat hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/1958.
Keluarga Permana (1978) adalah novel Ramadhan yang memperlihatkan pesan toleransi antar-agama. Novel yang terkesan sebagai pengembangan atas cerpennya, “Antara Kepercayaan” (Prosa, September 1955) itu mengusung pentingnya ketakwaan dan pentingnya menghargai segala bentuk kepercayaan. Dalam cerpen “Antara Kepercayaan” mengecam keras segala sikap fanatisme buta dan taklid yang tak berdasar.
Dasawarsa tahun 1950-an Ramadhan memulai kiprah kesastrawanannya. Sejumlah sastrawan Sunda ketika itu berlahiran. Menyusul sang kakak, Aoh Karta Hadimadja, Achdiat Karta Mihardja, Rusman Sutiasumarga, dan Mh. Rustandi Kartakusuma, muncul nama-nama Dodong Djiwapradja, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Ajatrohaedi, Ramadhan KH, dan entah siapa lagi. Dasawarsa 1950-an, Jakarta seperti mendapat serbuan sastrawan dari berbagai daerah, yang dikatakan Ajip Rosidi sebagai Angkatan Sastrawan Terbaru. Mereka mengusung kultur lokal dan menebarkan berbagai kosakata daerah masuk dan menyelinap ke dalam khazanah sastra Indonesia. Dan secara tematik, memperlihatkan kebebasan kreasi yang di belakangnya, menyelusup berbagai ideologi kemanusiaan.
Dalam deretan nama-nama sastrawan Sunda itu, Ajip Rosidi mencuat sendiri sebagai sastrawan yang paling produktif. Sementara Ramadhan KH yang usai bekerja di Sticusa, Amsterdam, kembali ke tanah air. Ia membawa drama Frederico Garcia Lorca (Rumah Bernarda Alba, 1957 dan Yerma, 1959), dan terkejut ketika negerinya dilanda royan, sebuah kata untuk mengungkapkan berbagai penyakit yang melanda sebuah negeri merdeka bernama Indonesia. Korupsi dan manipulasi seperti royan, penyakit yang biasa dialami seorang ibu sesudah melahirkan. Royan Revolusi (1970) menggambarkan situasi yang terjadi tahun 1950-an itu. Novel yang memenangi hadiah pertama Sayembara Ikapi/Unesco 1968 itu -bersama Kota Palopo yang Terbakar dan Ziarah, Iwan Simatupang, sungguh memperlihatkan sikap dan keprihatinan Ramadhan tentang bahaya epidemi korupsi, penyelewengan, dan penyalahgunaan jabatan.
Royan Revolusi melalui tokoh Idrus, seperti merepresentasikan sosok seorang Ramadhan yang tak mau kompromi dengan penyuapan. Ia memusuhi korupsi dan manipulasi. Ia tetap bergeming pada hati nuraninya. Itu pula yang dihadapi tokoh Abdurahman dalam Kemelut Hidup (1975), meski ia harus tergusur oleh perubahan zaman. Problem yang sama yang juga terjadi pada diri tokoh Hidayat dalam Ladang Perminus (1990) ketika ia berada dalam gurita suap-menyuap yang melanda perusahaan minyak nasional (Pertamina?).
Tokoh utama dalam novel-novel Ramadhan KH laksana kegelisahan dan obsesi pengarangnya. Selalu, tokoh-tokoh itu dihadapkan pada jihad melawan nafsu dan godaan duniawi: uang, jabatan, dan perempuan. Ketika moral dan hati nurani para pejabat pemerintah hancur dan masyarakat secara tidak langsung ikut “mendukung” kehancuran itu, harus ada seseorang yang tampil menjadi “juru selamat”. Maka, Idrus, Abdurahman, atau Hidayat, mesti hadir menunjukkan jati dirinya, memperlihatkan konsistensinya bermusuhan dengan korupsi, manipulasi, dan segala bentuk penyelewengan. Ia tetap bergeming meskipun uang, jabatan, dan perempuan berada di hadapan matanya.
Dalam konteks peta novel Indonesia, tidak terlalu banyak novel Indonesia yang mengangkat problem seperti itu. Senja di Jakarta dan Tanah Gersang (Mochtar Lubis), Jalan Terbuka (Ali Audah) dan novel-novel Ramadhan yang disebutkan tadi adalah yang termasuk yang sedikit itu. Dan sesungguhnya novel-novel itu justru menunjukkan keberanian pengarangnya dalam menyampaikan kritik sosialnya. Ladang Perminus, bahkan secara jelas membongkar serangkaian penyelewengan yang terjadi di perusahaan minyak nasional (: Pertamina). Dalam konteks itu, tentu saja novel-novel Ramadhan menjadi penting sebagai bentuk tanggung jawab kepengarangannya. Itulah sesungguhnya peran sosial pengarang. Ramadhan telah melaksanakan peran itu dengan sangat baik.
Jika kini korupsi terjadi di mana-mana, pejabat pemerintah, wakil-wakil rakyat, dan para pejabat daerah, ramai-ramai berjamaah menimbun uang dan mempertontonkan jurus-jurus ampuh melakukan korupsi, Ramadhan KH telah memberi isyarat hampir lima puluh tahun yang lalu. Dengan demikian, novel-novel Ramadhan tidak hanya menggambarkan potret sosial pada zamannya, tetapi juga semacam ramalan tentang bahaya korupsi yang bakal melanda negeri ini. Bukankah negeri ini hancur lantaran ulah para koruptor itu?
Barangkali penting juga pejabat pemerintah, wakil-wakil rakyat, dan raja-raja kecil di daerah membaca novel-novel Ramadhan KH ini. Siapa tahu mereka kembali ke jalan yang benar. Melalui novel-novelnya, Ramadhan telah meramalkan bahaya korupsi yang bakal menjadi wabah epidemi, penyakit menular yang akan menghancurkan bangsa ini. Ramadhan telah mengajari kita untuk memusuhi para koruptor!
***
Seruling dan pantun
Di malam gelap
Menyeret pulang
Turun di kali Citarum
Dan aku kembali
Ke pangkuan asal
Bunda,
Dan aku kembali
Ke pelukan asal
Kiranya
Dengan tambah tua!
Maka, meski Pak Ramadhan telah kembali ke pangkuan asal, lewat karya-karyanya, ia telah meninggalkan warisan: mutiara tentang sikap hidup. Sebagai anak manusia, kami telah banyak belajar dari sikap dan konsistensi perjuangan Ramadhan KH di bidang sastra dan budaya. Tawadu dan rendah hati. Tak ada kompromi bagi para koruptor dan pejabat yang tak amanah. Selamat jalan, Kang Atun! Mari kita melanjutkan perjuangannya memusuhi para koruptor!
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2009/01/musuh-para-koruptor-ramadhan-kh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar