Fatah Anshori *
Kita kerap melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang busuk, tidak teratur dan beberapa mengatakan terkutuk. Kita sedang dihadapkan pada chaos, seorang teman pernah mengeluh seperti itu sambil mengusap-usap dahinya di depanku.
Menjalani hidup di kota yang tidak terlalu kota katakanlah Lamongan, Bojonegoro, atau Tuban kita akan kerap melihat kehidupan masyarakat desa dengan berbagai permasalahannya. Jika kau akrab dengan warung kopi, dan kerap bertemu dengan orang-orang desa. Kau akan melihat sekaligus mendengar permasalahan hidup mereka yang diceritakan secara suka cita. Sesekali satir namun juga dengan humor yang tampak bersahabat dengan bahasa keseharian kita.
Sambil menyeruput kopi dan menghisap sebatang udud. Bibir masyarakat kita pandai sekali menceritakan kegetiran hidupnya. Seputar kegagalan bertani di ladang kerontang, atau harga jual hasil panen yang anjlok, percintaan antara putri kiyai dan begundal kampung, kisah serong istri seorang teman, hingga bagaimana cara masyarakat kita merayakan chaos yang semacam itu.
Dalam cerita pendek teman saya Farid—begitu saya memanggil penulis muda yang kerap kita kenal dengan nama lengkap Ahmad Farid Yahya—kita akan menjumpai kegetiran hidup yang semacam itu bahkan lebih pekat, jika kita benar-benar menjadi Sukirno, tokoh yang sejak awal hingga akhir kita dengarkan dengan takzim, keluh kesahnya.
Membaca pembukaan cerita pendek berjudul Sukirno, kita akan segera mengenal tokoh kita ini dari monolog interiornya. Ia segera mengenalkan diri beserta latar belakangnya dengan amat percaya diri. Berikut kita simak pembukaan cerita Farid:
“Namaku Sukirno. Seorang petani tembakau di desa terpencil di Kabupaten Bojonegoro. Aku seorang duda. Bercerai dari istriku dua bulan yang lalu hanya karena aku miskin. Tapi apa benar aku miskin Aku kaya. Sekali lagi, aku kaya! Tembakau berkarung-karung ini, harusnya bisa jadi uang berkarung-karung pula. Lalu kauanggap aku miskin? Kurasa kau yang tak waras.”
Dalam narasi barusan kita bisa mencium adanya suatu rasa percaya diri atau kebanggaan yang kuat terhadap nasib yang telah dipilih tokoh kita ini dalam hidupnya. Juga ada beberapa informasi sekaligus yang kita dapatkan dari narasi barusan. Seperti di mana cerita ini berlangsung dan profesi dari tokoh kita ini. Membaca awal pembukaan cerita pendek ini seolah memasuki rumah dengan pintu yang segera dibuka lebar barangkali ditendang sehingga pintu terjatuh dan kita bisa melihat dengan leluasa isi rumah. Tidak seperti kebanyakan cerita-cerita pendek lain yang biasanya memaparkan segalanya dengan hati-hati seolah pembaca diberi teropong kecil dan penulis bebas mengarahkan ke mana teropong itu harus di hadapkan, sehingga pembaca akan mengalami kelelahan dan sekaligus pengalaman estetik suatu sudut cerita jika penulis berhasil melakukannya. Tapi dalam cerpen Sukirno, Farid seolah menyajikan cara yang berbeda, ia seolah menggotong semesta cerita ke hadapan pembaca yang tidak memakai teropong.
Selanjutnya tokoh kita ini, Sukirno. Melalui monolog interiornya ia melompat ke belakang. Menuturkan kejadian demi kejadian yang ia alami. Bagaimana mulanya ia menjelaskan tentang ideologi-ideologi yang ia pegang terhadap istrinya, hingga sang istri memperoleh suatu hikmah, atau pencerahan baru tentang pramatisme untuk hidup. Hingga akhirnya ia mengenal facebook dan Wak Martono.
“…Mantan istriku itu memulai perselingkuhan busuknya ketika ia rajin main facebook. Aku yang saban hari bekerja, tak pernah berpikir bahwa kegemaran istriku itu akan menjadi malapetaka dalam rumah tanggaku. Sekali pernah kutanyakan mengapa Wak Martono sering mengomentari postingan istriku”
Kejadian semacam ini memang kerap sekali terjadi di sekitar kita, seorang istri berkenalan dengan pria lain di facebook. Berhenti di sini, kita akan mengerti bagaimana Farid jeli terhadap ironi yang kerap terjadi di masyarakat kita lalu mencomotnya ke dalam ceritanya. Cara yang semacam ini bisa menjadi kelebihan dan kekurangan. Dalam Belajar Mencintai Kambing, buku kumpulan cerpen Mahfud Ikhwan, kita akan dihadapkan pada banyak sekali realisme yang entah mengapa dikerjakan secara matang. Mahfud seolah mampu meracik apa yang menarik dari segala yang tampak murahan—karena tiap hari kita menyaksikannya. Dan kita tidak asing dengan semua itu, sehingga ketika membacanya kita akan dihadapkan pada romantisme yang receh namun berharga. Sementara kekurangannya, boleh jadi kita terlalu asing dengan bentuk-bentuk surealis, fantasy dan semacamnya.
Kemudian cerita dipaparkan dari mulut Narator, dari awal hingga akhir. Dalam cerpen ini kita akan menemui beberapa hal yang jarang kita sadari telah menjadi budaya di masyarakat. Seperti ketika sang narator yang merangkap Sukirno, menyetujui ajakan Jarwo membeli tuwak sebagai minuman pelengkap saat orkes musik berlangsung. Tanpa kita sadari perilaku semacam itu telah melekat dalam tingkah laku masyarakat kita. Dan sesuatu yang melekat dan dilakukan berulang-ulang secara sadar atau tidak sadar tentu boleh kita sebut sebagai budaya hingga kearifan lokal.
Membaca berulang-ulang cerpen Sukirno karya Farid, saya meyakini bahwa ini adalah bentuk usaha Farid untuk menunjukkan sisi-sisi gelap dari realitas yang terjadi di sekitar kita. Sebagaimana yang pernah disinggung Binhad dalam Sastra Perkelaminan, yang kerap dicibir karena mengangkat perkara-perkara tabu yang intinya mampu merusak moral masyarakat kita jika diangkat sebagai sebuah karya, yang nyatanya perkara tabu itu telah mengakar dalam dunia yang sedang kita jalani. Dalam cerpen ini saya juga melihat bagaimana Farid berusaha sebisa mungkin untuk melemparkan kembali ke depan mata kita ironi yang kerap terjadi hari-hari ini. Sementara jika kita mengamati beberapa penulis baru yang bermunculan di era digital, tulisan-tulisan mereka jauh dari realitas yang terjadi di masyakat. Sebaliknya mereka menciptakan dunia-dunia baru dalam ceritanya. Katakanlah Surya Gemilang, barangkali penulis ini masih sesuai dengan Farid, hanya selisih satu tahun lebih tua dari Farid. Jika kita membaca cerpen-cerpen Surya kita akan menemukan banyak keganjilan, bagaimana seorang di televisi mendadak keluar dan berbicara dengan kita, bagaimana seorang tokoh dengan tubuh kecil bisa melompat sangat tinggi untuk memetik bunga di langit-langit rumah.
Boleh dikatakan Surya sangat matang dalam teknik penceritaan, dan barangkali sudah bosan dengan realitas sehari-hari akhirnya ia menulis cerita yang semacam itu. Surya hanya satu dari kebanyakan yang lain. Sementara Farid dalam hal ini, teknik penceritaan yang ditunjukkan dalam cerpen Sukirno miliknya ini, belum menunjukkan kekayaan atau kebaharuan dalam teknik bercerita. Saya rasa ini akan berkembang seiring kekayaan membaca penulisnya dan ketidakmalasan untuk selalu berlatih dan tidak takut untuk bereksplorasi dalam bercerita. Di sini saya tidak ingin menunjukkan titik-titik kelemahan itu, saya rasa pembaca yang baik pasti mengerti di mana letak titik-titik itu.
Pada akhirnya tulisan ini bermuara pada bocah itu lagi, yang sikap pesimisme nya kelewat sangar. Adalah Dea yang pernah berujar, bagaimana kita bisa mengendalikan cerita. Saya memaknai ini dengan kesadaran dalam menulis cerita. Kita mengerti apa yang sedang kita tulis, kita tahu sedang meracik metafora, kita tahu sedang bercerita dengan show atau tell. Saya harap Farid dalam menulis cerpen Sukirno, benar-benar dalam kondisi yang sadar telah melakukan apa.
Agustus, 2020
NB: Makalah sederhana untuk mengulas cerpen Sukirno karya Ahmad Farid Yahya sebagai bahan diskusi Candrakirana Kostela ke-167.
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2020/12/kesadaran-dalam-menenggak-tuwak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar