TENTANG WAKTU
Panorama senjakala begitu muram
angkasa tersaput awan kelabu
usia melaju dipagut waktu.
Segala mimpi mengawang dan hampa
akhirnya menjadi fana. Di paruh usia
iringan semut sering menjalari sekujur badan
menggerogoti tulang. Ilalang, semak belukar
terhampar makin meninggi di kebun belakang.
Daun-daun meranggas
gugur satu-satu jatuh di tanah kering.
Desau angin kencang
lewati kisi-kisi jendela hati.
Cermin kaca di beranda rumahku penuh debu
entah, telah berapa abad tak diseka?
Pada sebuah titik
kulihat dirimu samar-samar. Kadang hilang
kadang berbilang-bilang. Entah ragu atau bimbang
teriakanku tersekat dikerongkongan
kau pun lenyap di kegelapan.
Waktu bergulir tanpa henti
tertatih-tatih meniti hari.
Di rembang petang, sehabis hujan reda
pernah kulihat bianglala kembar
sekumpulan angsa berenang di angkasa
pesona alam yang tak mudah kulupa.
Menghirup kopi racikan Ibu
tercium aroma masa lalu
kasih yang tak pernah beku
mata-air sepanjang waktu.
Lewat bayang mimpi, barulah kupahami
Waktu, tak berjalan sendiri.
Jakarta, Mei 2006
KUN FAYA KUN
Asal mula segala amsal
Bermula dari tiada menjadi ada
dari kosong sampai isi
dari hidup sampai mati.
"Kun Faya Kun!" "Jadilah, maka terjadilah!"
Lewat kaca jendela,
aku melihat mega berlayar
arungi samudra sampai muara
Kulihat sejumlah peristiwa
Pertemuan hati;
Amir Hamzah nyanyi sunyi
dzikir mengeja Illahi
Hamzah Fansuri bercakap-cakap
dengan angin
perihal mustika puisi
sampai tirakat merpati.
Tampak serombongan Santo melantunkan
puja-puji dan doa-doa bagi keselamatan dunia
Malaikat serta Bidadari
meniupkan gita hawa murni
Lewat tembang
para Resi, Sufi, Rahib, Bhiksu,
Pendeta dan Wiku menyatu jadi satu.
Mengalunkan damai bagi semesta
mengikuti jalan rohani sambil meniti sepi
mengaliri udara menghidupi jagat raya
menelusuri jalan sutera para pencinta
memasuki kisah penyair pengembara
membuka kunci semesta, amboi
sambil menyapa penghuni nirwana
dan mengetuk pintu rahasia
langit Nya.
"Tapi siapa yang tahu,
waktu saat itu membeku!"
(Melalui kisi-kisi diatas jendela
terpaan sinar pagi terangi hati
melalui cermin jiwa, hati berkaca
untuk mengaji hal ikhwal melati)
Asal mula segala amsal
Bermula dari
"Kun Faya Kun!"
Jakarta, November 1999
Amien Kamil lahir di Jakarta pada tahun 1963. Lebih dikenal sebagai 'teaterawan nyentrik' dengan rambut gimbalnya. Namun, seniman yang suka nongkrong di Bulungan ini juga banyak menulis puisi. Sajak-sajaknya dipublikasikan di berbagai media massa dan sering dibacakan di panggung. Kumpulan sajak terbarunya, Tamsil Tubuh yang Terbelah, terbit bulan Juni 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar