“Perlu seratus cahaya
untuk kesadaran agung.”
– Chakrasamvara
Paman sudah mati, dan aku
tak ingin mengenangnya.
Tak ingin terjebak dalam gelap
kenangan itu. Penjara pengap
penuh coret dan hitungan akan
waktu.
Karenanya aku nyalakan 101
lampu lemak yak. Tidak. Aku
tidak pernah takut Paman datang
dengan muka cemberut dalam
mimpiku.
Aku hanya tak ingin kegelisahan
jadi tuhan (dalam Genesis, Ia berjalan
di taman sambil berteriak pada
Adam dan Hawa dalam semak).
Tak perlu ada ziarah. Paman sudah
mati, dan aku tak sedang ingin
menyapanya.
Aku nyalakan 101 lampu lemak yak
bagi perjalananku ke Shangri-La (di
sana, tak ada Paman atau kenangan
akan dia).
Meski aku tahu, cahaya dari 101
lampu lemak itu tak bakal sampai
di kaki Kun Lun.
2018
Kau Mati dan Hidup Kembali dalam Doa Kami
Tenang. Aku akan berdoa,
meski tak tahu: arwahmu
sedang berjalan di Hunza
atau sampai di Sinchuan.
Dan setelah dikremasi,
abumu hendak kubawa
dalam sebuah ziarah.
Meski kenangan akanmu
sering membuat aku tertawa
sendiri.
Tapi itu sebelum kulihat
uap tipis melayang
sedikit di atas secarik sutra.
2018
Pesan dari Bardo
Kematian Paman seperti
mekar kuntum memori yang
sadar dan tepat waktunya.
Dunia adalah jambangan
besar abu sisa kremasi.
Pada dindingnya, aku melihat
masa lalu, kini, dan nanti saling
menutupi diri seperti bulu-bulu
gagak. Hitam dan tegas.
Tujuh hari nanti, dalam sebuah
ziarah, isinya akan ditumpah.
Lalu kita pulang ke rumah
masing-masing dengan perasaan
lega. Seperti habis-habisan berlaga
dan menang. Hanya pesan
dari Bardo akan terngiang,
“Masa sulit hanya slilit. Kau tinggal
putuskan – mencongkelnya atau
hanya terus-menerus dongkol.”
2018
Kepala di Mata Uang
Di hadapan uang, kau sering
bimbang – siapa raja dan siapa
hamba? Seperti menerka decing
dan terbukanya gambar: kepala/angka?
Satu dinar, gambar kepala kaisar,
tak soal jika bergusar; hidup sekadar
mencari uang untuk membayar
aneka tagihan & pajak yang besar?
Di hadapan uang, kau sering
merasa kurang. Bukankah buah
sudah dipetik dari sembarang ranting
dan pohon ditebang di seluruh lembah?
Masih, katanya, hidup adalah
perih menabung dan mencari untung.
Sebab ada yang akan bertanya – sudah
jadi berapa sepuluh talenta yang dulu itu?
Namun, tak bijak kau menolak,
tak baik pula menampik. Jika
ada tiga puluh keping uang perak,
hendakkah kau berkhianat pula?
2017
Dedy Tri Riyadi adalah seorang pekerja iklan, tinggal di Jakarta. Buku-buku puisinya antara lain Liburan Penyair (2014) dan Berlatih Solmisasi (2017). https://puisikompas.wordpress.com/2018/04/21/puisi-dedy-tri-riyadi-6/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar