Sigit Susanto *
“Sastra?Baru-baru ini saya membeli karya lengkap dari Molieré seharga 9 Frank, kemudian saya pergi membeli pizza untuk dimakan seharga 17 Frank,“ (Gion Mathias Cavelty).
“Anda sudah mati?“ “Ya,“ kata pemburu, “seperti yang Anda saksikan. Beberapa tahun silam, yang jelas sudah bertahun-tahun, saya tergelincir dari sebuah batu cadas di hutan Schwarzwald di Jerman, ketika itu saya mengejar seekor kambing liar. Sejak itu lah saya mati.“ “Tapi Anda masih hidup juga,“ kata wali kota.
“Bisa dibilang begitu,“ kata pemburu, “sepertinya saya juga hidup. Perahu yang mengantar kematian saya itu salah arah, sebuah putaran yang salah setir pada navigasinya, sebuah kecerobohan dari nahkodanya, membelok ke arah alam kehidupan yang indah, saya tak tahu, kehidupan seperti apa itu, yang saya ketahui, bahwa tinggal di bumi, kemudian perahu saya sejak itu telah berlayar di perairan duniawi. Begitulah saya bepergian, yang hanya ingin hidup di pegunungan, setelah kematian saya melewati semua negara di dunia.“
Sepotong kisah di atas dari cerpen berjudul Pemburu Gracchus (Der Jäger Gracchus) karya Franz Kafka. Cerpen bergaya surealis ini menggambarkan seorang pemburu bernama Gracchus sudah mati, tapi masih bisa hidup kembali di hutan bebas. Selaras dengan kisah menghidupkan orang mati yang kesasar ke dunia lain ini, juga bisa ditemukan pada novel I Swasta, Setahun di Bedahulu karya Anak Agung Panji Tisna. Tokoh Da Gde Selem kesasar hidup di dunia menjelma menjadi seekor harimau, minta dikembalikan ke alam ruh orang yang meninggal melalui adegan pembunuhan tragis, seperti pada penggalan kisah berikut:
“Hai orang muda, aku tahu dan kenal akan dikau. Pada air mukamu dapat kulihat, bahwa engkau boleh aku pertjajai. Aku ini datang dari sebuah negeri jang sudah parlina, hendak mentjari jalan lepas. Anak perempuan ketjil jang aku dukung ini, sebangsa djua dengan daku, walau ia memakai kain lain sekalipun. Kelak ia akan mendjadi kawan kepadamu dalam perdjalananmu. Tetapi sekarang hendaklah engkau tolong mempersatukan dia dengan daku dahulu.“
Narasi yang dibangun oleh Kafka dan Panji Tisna di atas, tipis-tipis saja selisihnya. Kafka yang berlatar budaya Eropa benar-benar menghidupkan pemburu yang meninggal, sedang Panji Tisna membangkitkan ruh Da Gde Selem dalam bentuk simbolis lewat seekor harimau. Kedua kisah yang berbeda pengarang itu sama-sama mengusung keresahan ruh di alam gaib. Jika ditilik lebih jauh, novel I Swasta, Setahun di Bedahulu diterbitkan tahun 1938, sedang cerpen Kafka Pemburu Gracchus diterbitkan tahun 1917. Kafka, sastrawan Yahudi di Cheko ini dijuluki sebagai pengarang berhaluan ekspresionis yang getol mengusung dunia simbol. Panji Tisna yang tergolong pengarang angkatan 30-an, banyak mengusung nuansa kebalian dengan latar budaya Hindu. Begitulah keindahan sastra, meskipun kedua pengarang hidup dalam kurun waktu dan jarak geografi yang berbeda, toh karya bisa saling memeluk mesra. Kafka lahir di Praha tahun 1883 dan meninggal tahun 1924. Panji Tisna lahir di Buleleng tahun 1908 dan meninggal tahun 1978.
Saya masih ingat tahun 1970-an ketika di bangku SD di kampungku di Boja, Kendal, Jawa-Tengah, sering mendapatkan tes pelajaran bahasa Indonesia. Pertanyaannya kira-kira, “Siapakah nama pengarang novel Sukreni Gadis Bali?“ Biasanya jawabnya sudah disediakan dalam bentuk multiple choice: a.b.c.d. Kala itu nama Panji Tisna sudah melekat erat di benak teman-teman sekelas, tinggal memberi tanda silang atau lingkaran pada nama Panji Tisna. Meskipun anak SD tahu judul buku dan nama pengarangnya, saya jamin mereka tak mengerti apa isi ceritanya. Maklum lah pelajaran bahasa Indonesia kita belum sampai pada menyuntuki teks, baru sampai pada menghafalkan nama pengarang dan judul karya. Tapi yang masih saya ingat di benak, bahwa buku Sukreni Gadis Bali dengan sampul gadis Bali terselip bunga jepun (kamboja) di rambut dengan latar pura, sering terlihat di perpustakaan sekolah.
Anak Panji Tisna di Depan Saya
Setelah saya menamatkan sekolah di kampung, saya melanjutkan kuliah di Akademi Bahasa Asing (AKABA 17) milik yayasan 17 Agustus UNTAG di Semarang. Pada tahun 1984 itu di kelas saya kedatangan seorang dosen perempuan dari IKIP Negeri Semarang bernama A.A. Durya Suryawati. Ia mengajar kami pelajaran conversation. Harus saya akui, kebanyakan teman-teman takut berbicara bahasa Inggris. Ibu Durya, aku akhirnya menyebutnya, walau ada yang memanggil Ibu Suryawati, memotivasi kami semua dengan sangat baik. Selain ia ramah, juga cara mengajarnya sangat menarik. Perkenalan saya semakin erat, ketika diminta cerita dalam bahasa Inggris tentang liburan yang baru lalu. Kebetulan saya tidur tiga hari di rumah teman di dekat candi Prambanan. Setiap malam saya nonton sendratari Ramayana. Nah, kisah itulah saya ceritakan di depan kelas. Perlahan Ibu Durya mulai mengenal saya, dianggap pemberani dan tak takut salah. Saya pun mulai tahu, ia berasal dari Bali. Interaksi saya dengan Ibu Durya sekitar tiga tahun dan saya selalu mendapat nilai b, saat itu.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada 19 Juni 2008 saya kaget saat bedah buku saya Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 2 di Puri Agung Singaraja atas ajakan Bli Agung Brawida, bertemu Ibu Durya lagi. Aku baru tahu, ternyata ia putri kandung Panji Tisna, yang selama di kampus di Semarang tak ada orang yang tahu. Ia di depan saya sejak di kampus. Saat bertemu itu ia memberitahu, sudah pensiun dan menikmati masa istirahatnya.
Usai dari kuliah bahasa Inggris, saya nekat merantau ke Bali dengan satu tujuan, ingin menjadi guide. Selama tujuh tahun (1988-1996) saya menjadi guide bahasa Jerman pada kantor Trio Bali Tours di Denpasar. Tentu saja sebagai guide yang biasa mengantar tamu keliling Bali, sering pula kami mengunjungi pura Meduwe Karang dan Pura Beji di Singaraja. Pada akhirnya makan siang atau menginap di pantai Lovina. Pada waktu itu saya hanya sedikit bercerita kepada para turis tentang nama Lovina berasal dari Love Indonesia yang memberi nama sastrawan Panji Tisna. Pada waktu itu saya tak tahu di mana rumah Panji Tisna. Maklum lah memang bahan bacaan ataupun pada saat ujian mencari izin menjadi guide di Dinas Pariwisata Bali, tak pernah saya baca ada informasi diselipkan sastrawan Panji Tisna. Apa saja karyanya dan bagaimana riwayatnya, yang menonjol hanya ia mencetuskan nama Lovina.
Pantai Lovina, Albena dan Il Postino
Pada tahun 1996 saya kawin dengan turis Swiss yang saya pandu dan diboyong untuk tinggal di Swiss. Ternyata istri saya suka melancong, maka mulai kami susun rencana perjalanan ke berbagai negara. Sampai kini saya tinggal selama 19 tahun di Swiss, sudah mengunjungi sekitar 43 negara di dunia. Kisah-kisah itu saya tulis dalam buku perjalanan berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, jilid, 1 (2005), 2. (2008), 3. (2012).
Dari banyak pantai yang pernah kami singgahi, ada dua pantai yang punya kaitan dengan sastra. Pertama, pantai Albena, sekitar 30 km dari kota Warna, Bulgaria. Albena adalah nama tokoh dalam novel karangan sastrawan Bulgaria, Jordan Jovkov. Entah bagaimana ceritanya, sehingga pantai itu diberi nama sang tokoh novel.
Kedua, pantai di pulau Procida, sebelah pulau Capri, di seberang Napoli, Italia. Pantai berpasir hitam itu awalnya menjemukan, karena nyaris sepi tak menarik. Setelah saya temukan sumber referensi, ternyata di pantai itu lah film Il Postino dibuat. Sedang Pablo Neruda sendiri tinggal di pulau Capri, sebelahnya. Mendadak saya terbelalak lagi dan mencoba membayangkan, bagaimana Neruda mengajari Mario, si tukang pos membuat metafora. “Langit menangis, apa artinya?“ tanya Neruda. Mario yang sedang jatuh cinta dengan Beatrice dan belajar menulis surat cinta menjawab, “hujan.“
Ketika saya mengunjungi kedua pantai di atas, di benak saya lekas tersusupi pantai Lovina. Secara nama, pantai Albena seperti pantai Lovina, karena sama-sama diberi nama oleh sastrawan setempat. Adapun secara alam, pantai di pulau Procida mirip dengan pantai Lovina, mengingat sama-sama berpasir hitam, sedang pantai Albena berpasir putih.
Yang membedakan ketiga pantai di atas, bahwa pada beberapa hand-book pulau Bali cenderung sejarah nama Lovina dan Panji Tisna alpa diberitakan. Hal ini sangat disayangkan. Padahal pantai Lovina punya potensi literasi seperti di Italia dan Bulgaria itu.
Puri Agung Singaraja dan Rumah Ibsen di Oslo
Karena saya menyukai sastra, maka dalam perjalanan ke berbagai negara saya berusaha keras untuk mampir ke rumah-rumah para sastrawan dunia. Bahkan bila perlu saya mendatangi ke kuburan dan mencari patungnya. Seperti saya mendatangi kuburan Franz Kafka di Praha, nisan James Joyce di Zurich, Swiss dan makam Karl Marx di London Utara, Inggris.
12 rumah sastrawan yang pernah saya dan istri datangi, antara lain: 1. Rumah Goethe dan Schiller di Weimar, Jerman. 2. Rumah Hemingway di Havana, Kuba. 3. Rumah Franz Kafka di Praha, Cheko. 4. Rumah Dostojewsky di Leningrad, Rusia. 5. Rumah Ismail Kadare di Gjirokaster, Albania. 6. Rumah Sigmund Freud di Wina, Austria. 7. Rumah Hermann Hesse, di Calw, Jerman. 8. Rumah James Joyce di Dublin, Irlandia dan di Zürich, Swiss. 9. Rumah Henrik Ibsen di Oslo, Norwegia. 10. Rumah Anne Frank di Amsterdam. 11. Rumah Multatuli di Amsterdam. 12. Rumah Ho Chi Minh di Hanoi, Vietnam.
Dari 12 rumah sastrawan dunia itu, yang saya anggap mirip dengan Puri Agung adalah rumahnya Henrik Ibsen, penulis naskah drama terkemuka Norwegia. Saya memasuki bangunan tingkat dua rumah Ibsen itu dari ruang ke ruang, hingga ke perpustakaan pribadi dan dapur. Terlihat pula mesin ketik kuno, juga mirip di Puri Agung. Rumah Henrik juga sebagai rumah singgah, karena ia lebih banyak berada di luar negeri. Sama seperti Puri Agung hanya dipakai transit, mengingat Panji Tisna lebih nyaman memburu intuisi dan menulis di bukit Tukad Cebol atau di pantai Lovina.
Membayangkan Panji Tisna lebih suka menulis di bukit jeruk di Tukad Cebol, saya teringat rumah Paman Ho alias Ho Chi Minh di Hanoi, yang rumah panggungnya sederhana dari kayu dan asri. Ada kemiripan antara Paman Ho dan Panji Tisna. Keduanya adalah sosok yang sederhana. Paman Ho suka menulis di kebun dekat kolam ikan peliharaannya. Keduanya sama-sama pemimpin negeri. Paman Ho yang gemar menulis puisi itu sering cara memberi tugas kepada bawahannya pun ditulis dalam bentuk puisi.
Sejatinya seorang sastrawan yang merangkap sebagai negarawan atau presiden, tak hanya Panji Tisna dan Paman Ho, ada lagi yakni Vàclav Havel. Ia penyair sekaligus aktivis pasifis yang menjadi presiden di Cheko. Namun jika dirunut jauh ke belakang lagi, akan bertemu penyair kawakan Jerman, Goethe. Ia adalah juga sebagai negarawan dari kerajaan Weimar. Ia si juru runding brilian menghadapi Napoleon. Akibat kejeniusannya Goethe untuk bangsa Jerman, maka namanya dipatrikan dalam lembaga budaya bergengsi bernama Goethe Institut.
Nama Jalan dan Patung
Setahu saya di tanah air ada dua nama jalan dari sastrawan besar. Pertama, di Lebak ada jalan Multatuli, bahkan ada nama BRI Multatuli, SD Multatuli dan apotek Multatuli. Kedua, jalan Tagore di Solo, karena dulu RabindranathTagore pernah mengunjungi Solo.
Di Praha ada nama jalan Nerudova, dari nama lengkap Jan Nepomuk Neruda, seorang peraih nobel sastra dari Cheko. Bahkan paling unik ada nama halte trem Ulysses di kota Zurich, Swiss, karena Joyce saat menuliskan novel tersebut tinggal di dekat halte itu. Informasi terbaru saya dengar akan ada jalan baru di Belanda, yakni jalan Munir, untuk mengenang aktivis orang hilang yang meninggal akibat diberi minuman mematikan di pesawat garuda.
Dari pengamatan saya selama jalan-jalan, menjumpai banyak patung sastrawan. Mereka antara lain: patung Goethe dan Schiller di Weimar. Ada patung Hemingway menghadap pantai Havana. Patung Fernando Pessoa, bapak penyair Portugal di kota Lisabon. Patung James Joyce di Dublin dan di kuburannya di Zürich. Patung Oscar Wilde pada sebuah taman di Dublin. Patung Franz Kafka di Praha. Patung Hans Christian Andersen di Kopenhagen. Patung Multatuli dan Anne Frank di Amsterdam. Patung Tolstoy di Moskow. Patung Dostowjesky di depan perpustakaan nasional di Moskow.
Saya percaya orang belajar sastra tak harus langsung menjamah teksnya secara serius, tapi bisa dimulai lewat cara yang sepele, misal dengan mengenal nama jalan dari sastrawan atau patungnya. Dari situ mungkin akan timbul rasa penasaran terlebih dahulu. Jika rasa penasaran ini membukit bisa berujung tertarik membaca karyanya. Adapun gagasan untuk membuat jalan dan patung Panji Tisna, perlu diwujudkan. Terobosan nama jalan dan patung, hemat saya akan lebih baik, jika dibuat oleh komunitas sastra atau seni dengan disokong oleh pribadi-pribadi yang peduli akan pentingnya sastra, juga peran pihak swasta atau pemerintah.
Forum Reading Group
Pada buku ini sudah banyak disebutkan, betapa nama sastrawan Panji Tisna masih kurang dikenal di kalangan masyarakat sendiri, apalagi pada wisatawan asing. Meskipun karya-karyanya sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa asing. Lebih-lebih dengan derasnya pariwisata di Bali, sumbangan Lovina dengan sunset dan atraksi ikan lumba-lumba menjelang fajar, cukup besar. Cuma sayang sang pencetus nama Lovina nyaris terabaikan. Lalu bagaimana memperkenalkan kembali nama besar sastrawan kita ini beserta karya-karyanya?
James Joyce pernah berujar, “I`ve put in so many enigmas and puzzles that it will keep professors busy for centuries arguing over what I meant and that`s the only way of insuring one`s immortality.“
Ucapan Joyce di atas menjawab pertanyaan penerjemahnya bahasa Prancis saat menerjemahkan novelnya Ulysses. Novel itu sudah berumur 93 tahun (1922-2015), namun kenapa sampai sekarang novel tersebut masih diminati? Joyce punya cara untuk memperpanjang memori pembaca agar namanya tetap dikenang. Dengan menyusupkan banyak teka-teki, kerumitan cerita, negasi-negasi, informasi eksiklopedis, yang ternyata membentuk sebuah keindahan alami. Berjibunnya bahasa dunia dan akrobatik bahasa membuat pembaca merasa ditantang untuk lebih tahu. Bukan malah undur diri dan kapok, justru diterbitkan buku anotasi untuk mendampingi memecahkan kompleknya cerita. Dengan seringnya novel tersebut dibaca dari generasi ke generasi berikutnya, secara otomatis nama Joyce ikut terseret diingat oleh pembaca. Sekali lagi, bukan nama yang utama, supaya tak terperosok pada arus pengkultusan, namun memang kualitas karya satu-satunya yang harus ditabrakkan dengan dinamika peradaban terkini.
Menurut saya karya klasik akan kekal dengan ciri-ciri karya tersebut meskipun sudah ratusan tahun, bahkan ditinggal mati pengarangnya, selalu akan dicetak ulang. Tak sampai di situ, bahkan bisa menyeberang lintas bahasa dan benua. Biasanya karya klasik akan berumur panjang jika kalimat-kalimatnya pada karya tersebut dibetot menjadi aforisme-aforisme baru dalam berbagai forum di zaman berikutnya. Kaum intelektual sering menyitir ungkapan-ungkapan bahkan nama tokoh fiktifnya dipakai sebagai nama orang sungguhan, termasuk nama jalan, gedung atau situs lain. Nietzsche menyebut, “Semua yang baik itu berasal dari warisan.“
Untuk menyebut sebagai contoh saja, tiga karya klasik dunia yang lazim kita kenal yakni Odyssey karya Homer, Ramayana karya Walmiki dan Faust karya Goethe. Odyssey dianggap sebagai karya monumental yang menarik sepanjang masa. Faust karya Goethe tidak tersosialisasi secara luas pada publik Jerman, kemungkinan tingkat kerumitannya. Sebaliknya kisah Ramayana, meskipun dari India, tapi anak-anak terutama di Bali dan Jawa banyak yang hafal di luar kepala.
Kembali ke karya-karya Panji Tisna. Panji Tisna tergolong angkatan Pujangga Baru, apakah karyanya sudah mengklasik? Kenapa generasi sekarang bisa disebut melupakannya? Apakah karya-karyanya sudah tak sesuai dengan peradaban sekarang? Masih banyak pertanyaan bisa diajukan. Yang jelas, karya yang berhasil dicetak ulang, bisa berasal dari berbagai faktor. Entah itu karena faktor tangan-tangan terampil kita atau good will dari kesadaran akan literasi dari pihak-pihak tertentu. Betapa terampilnya tangan-tangan pendorong cetak ulang itu, sesungguhnya karya akan beradu sendiri di pasaran. Thomas Mann menyebutnya dalam bahasa Latin, Habent sua fata libelli artinya buku punya nasibnya sendiri.
Kebetulan sejak tahun 2006 hingga kini tahun 2015, saya ikut Reading Group novel Ulysses pada Yayasan James Joyce di Zürich, Swiss. Sebuah novel biografi Ulysses dengan ketebalan sekitar 800 halaman ini dibaca dalam teks aslinya bahasa Inggris selama tiga tahun. Kenapa lama, karena pertemuan setiap hari Selasa selama 1,5 jam itu hanya membaca 3-4 halaman. Beberapa kosa-kata sulit atau langka dicarikan sejarah teksnya atau ditafsirkan ulang. Menginjak tahun 2015 ini atau membaca tahun ke 9 ini saya sudah khatam Ulysses ketiga kali, kini sedang membaca ke empat kalinya. Anehnya, tak pernah bosan, seperti ada banyak sumber mata air yang terus mengucur.
Saya hanya bisa membayangkan, jika karya-karya Panji Tisna, baik Ni Rawit, Ceti, dan Penjual Orang, I Swastika, Setahun di Bedahulu atau Sukreni Gadis Bali dibuatkan semacam forum Reading Group seperti di Zürich, barangkali bisa menjadi pemantik baru bagi pembaca sekarang. Tempatnya tentu bisa dipilih entah di Puri Agung atau di pantai Lovina.
Kelebihan format Reading Group ini, selain pembaca menikmati karena dibaca superlelet, juga bisa mendalami banyak hal baik gaya penulisan pengarangnya maupun isi cerita. Tak sampai di situ, jika kegiatan Reading Group ini rutin diadakan, bisa masuk dalam calender of event pada brosur dan buku pariwisata Bali. Ini sudah terbukti, kadang ketika kami asyik membaca Ulysses dalam grup, tiba-tiba ada turis asing mengetuk pintu di Yayasan James Joyce. Mereka datang karena tahu kegiatan reading Ulysses sudah masuk pada hand-book yang ditenteng para turis. Maka para turis dunia penyuka Ulysses sengaja meluangkan waktu, jika tiba di Swiss, hendak bergabung dengan Reading Group.
Sejak empat tahun silam saya memperkenalkan format Reading Group ini ke komunitas sastra di kampungku di Kendal dan pada sebuah taman baca Multatuli di Lebak. Hasilnya cukup signifikan. Pada komunitas sastra di kampungku, diadakan pembacaan novel The Old Man and The Sea karya Heminway, novel setebal 120-an halaman itu tuntas dibaca bersama selama tiga tahun. Mengingat teksnya dalam bahasa Inggris, maka perlu waktu lama juga. Reading Group di taman baca Multatuli di Lebak memilih novel Max Hevalaar karya Multatuli sesuai latar ceritanya memang di Lebak.
Novel dengan ketebalan 400-an halaman itu dituntaskan dalam 11 bulan. Gaung bersambut, dalam satu tahun berjalan, sudah didatangi pengamat sastra dari Italia ke Lebak. Mungkin karena novelnya tentang kolonial Belanda, maka ada rombongan kecil travel Biro Garuda Orient Belanda serta wartawan Belanda mendatangi Lebak. Mereka datang ke pedalaman Lebak hanya dengan satu tujuan, menyaksikan dari dekat bocah-bocah kampung membaca bersama novel Max Havelaar.
Bukan tidak mungkin, Reading Group karya Panji Tisna akan menjadi obor menyalanya api sastra di Singaraja dan Bali pada umumnya. Dengan demikian Panji Tisna sekali dayung, bisa memajukan sastra dan wisata. Sebab itulah saya menamai tulisan pendek ini Litera-tour ala Panji Tisna.
Semoga pembaca buku ini bisa sedikit terobati atas kealpaan karya dan sosok sastrawan Bali Panji Tisna yang semakin jauh dari ingatan kita. Semua atribut pengarang merupakan entry menuju karya.
Zug, Menjelang tahun 2015.
_____________________
*) Sigit Susanto, penyuka sastra, perjalanan dan yoga, berdomisili di Swiss.
http://sastra-indonesia.com/2020/04/litera-tour-ala-panji-tisna/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar