Maman S. Mahayana *
Sebuah amplop tak terlalu besar, tergeletak di meja kerja. Pasti kiriman buku, pikirku. Dalam sebulan, selalu saja ada dua atau tiga bungkusan seperti itu dikirim teman sastrawan dari berbagai daerah. Meski hampir tak pernah berkirim balasan, aku selalu berterima kasih. Juga berdoa agar mereka terus berkarya dan punya semangat dan napas kreatif yang panjang. Kupikir, doa jauh lebih bermakna ketimbang balasan basa-basi.
Benar! Sebuah antologi cerpen, berjudul Corat-Coret di Toilet (2000) karya Eka Kurniawan. Nama itu jarang jumpa di koran minggu. Satu-dua sempat kubaca. Cerpen-cerpennya tampak masih mencari bentuk. Ada napas surealis dan coba menyamarkan beberapa tokohnya. Kadang juga agak realis, meski ia acapkali lalai menyembunyikan suara dirinya sebagai dalang. Malah dalam “Corat-Coret di Toilet” cukup kuat nada komedi-satirenya. Cerdas juga usahanya mengangkat hal kecil yang remeh-temeh menjadi problem kemanusiaan. Di sana ada dendam mendalam pada penguasa. Beberapa catatan kutulis dalam buku itu. Kupikir, meski bahasanya lincah dengan narasi mengalir, ia tetap akan berada di garis belakang deretan nama Joni Ariadinata, Agus Noor, Dorothea Rosa Herliany, Indra Tranggono, dan komunitas cerpenis Yogya lainnya.
Benarlah dugaanku. Nama itu seperti tenggelam. Layaknya sebuah perkenalan, kesan pertama yang dihadirkannya, cukup memberi pesona. Dan itu kemudian hilang ketika sosoknya tiba-tiba raib. Aku menduga, pasti ia sibuk bekerja, mengeruk uang, atau lintang-pukang mencari cinta. Biasalah, orang-orang macam itu kerap cuek abis lantaran over convident.
***
Siang yang buram. Tumpukan buku kumal di loakan. Mahasiswa tergesa-gesa. Gang Kober yang sempit. Aku berada di antara itu dan tergoda pada deretan buku baru. Sejumlah buku terjemahan tak menarik perhatian. Pernah kapok, lantaran terjemahannya buruk. Di antara itu, terselip sebuah nama yang pernah kukenal: Eka Kurniawan! Sebuah novel gendut: Cantik itu Luka (Yogyakarta: Akypress, Desember 2002). Edan juga napasnya. Jadi, ia raib untuk sebuah novel setebal 517 halaman. Begitulah kesimpulanku.
***
Ambisius! Itulah kesan yang segera menyergapku. Dari sudut jumlah halaman, ambisi Eka lewat novelnya, memang berhasil menumbangkan banyak nama. Bahkan, dalam perjalanan novel Indonesia, Cantik itu Luka telah mencatat rekor baru sebagai novel paling tebal yang dihasilkan sebagai karya pertama. Dengan ukuran huruf 10 karakter dan tebal 517 halaman, maka sesungguhnya novel ini –jika menggunakan huruf 12 karakter—sangat mungkin dapat mendekati, menyamai atau bahkan melebih Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer yang tebalnya 751 halaman. Jadi, dalam urusan tebal halaman, Cantik itu Luka telah berhasil membuat sejarah.
Tetapi, novel tidaklah sekadar berurusan dengan tebal-tipisnya halaman. Di sana ada yang disebut koherensi, keterpaduan! Dalam pandangan kaum strukturalis, sastra diperlakukan sebagai struktur. Ia dibangun atas sejumlah unsur yang bersifat fungsional, berjalin-kelindan, saling mendukung dan komplementer. Hubungan struktural itulah yang menjadi kriteria berhasil tidaknya sebuah karya. Segenap unsur intrinsik, berintegrasi dan bersatu-padu, dengan masing-masing berfungsi secara khas. Ia hadir dan menciptakan sebuah dunia rekaan yang membangun estetika fiksional. Di sana, juga berlaku logika novel –sesuai dengan ragamnya— yang penting untuk mengukuhkan estetika novel itu sendiri.
Periksalah, misalnya, kegelisahan dan trauma seorang tokoh Hasan (Atheis), Guru Isa (Jalan Tak Ada Ujung) atau Tamin (Pulang). Ia dibangun secara logis lantaran ada peristiwa dahsyat yang melatarbelakanginya. Catatan Bawah Tanah—Dostoyevski, atau Negeri Salju—Yasunari Kawabata, lebih rumit lagi. Pikiran, perasaan, dan tindakan, bisa tumplek semua, terjadi dalam satu peristiwa. Di sana, logika psikologis tak berlaku, seperti juga yang terjadi pada diri Tokoh Kita (Ziarah), Barman (Khotbah di atas Bukit), Aku (Telegram) atau Rafilus (Rafilus) yang tak bermain dalam konflik batin, melainkan dalam rangkaian peristiwa dan lompatan pikiran. Di situ, logika dicampakkan, pikiran lepas, tak terkungkung ruang dan waktu. Ia bebas menclok ke sana-sini. Masa lalu, kini, dan masa depan, dapat sekaligus bertumpang-tindih dalam satu peristiwa. Tumbangnya Seorang Diktator—Gabriel Garcia Marquez atau Tuan Presiden—Miguel Asturias masih berada dalam satu jalur, meski selalu ada kekhasan. Di antara itu, dapat kita jejerkan Hempasan Gelombang—Taufik Ikram Jamil atau Hujan Pagi—Samad Said. Keduanya bermain dalam tataran realitas faktual-historis di tengah halusinasi dan mimpi.
Tetapi, ketika kita berbicara tentang sejarah, maka fakta seyogianya tak meleceng. Lihat saja fakta historis Tambera—Utuy T. Sontani, perang antarpuak dan campur tangan kolonial (Hulubalang Raja), pergeseran konsep priayi Jawa (Para Priyayi), perubahan sosial perilaku –pemikiran kaum terpelajar pribumi (empat serangkai Bumi Manusia) atau lahir dan tumbuhnya nasionalisme (Burung-Burung Manyar). Simaklah hiruk-pikuk perang para shogun (Musashi dan Taiko)—Eiji Yoshikawa. Fakta sejarah an sich menjadi bagian penting guna membangun estetika. Mereka sama sekali tak mempermainkan fakta. Sebaliknya, ketika fakta sejarah melenceng, logika estetik novel itu akan berantakan, koherensi mengalami hingar (noisy).
Begitu juga jika hendak memasuki realisme atau membuat potret sosial dan bermain dengan deskripsi latar yang bertumpu pada detail. Fakta geografis dan latar material, mesti ditempatkan dalam bidikan yang tepat. Paling tidak, mendekati fakta an sich. Periksa saja “Harmoni”—Idrus, Ronggeng Dukuh Paruk—Ahmad Tohari atau Saksi Mata—Seno Gumira Ajidarma. Dalam kualitas yang lebih memukau, coba bergaul dengan Madame Bovary—Gustav Flaubert, Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich—Alexandre Solzenitsin, Dataran Tortila—John Steinbeck, atau Shansiro dan Rahasia Hati—Natsume Soseki. Mereka memanfaatkan detail begitu rupa. Kita seperti sedang melihat potret sosial dengan latar tempat yang mempesona. Lalu, apa yang terjadi dengan Cantik itu Luka—Eka Kurniawan?
***
Seorang pelukis pemula berhasrat jadi maestro. Ia sedang mempelajari makna lukisan abstraks—ekspresionistik Affandi yang tak kunjung dipahaminya. Affandi memulai lewat gaya realis. Pelukis muda itupun melakukan hal yang sama. Namun, kesabaran memang milik orang-orang bijak. Ia tak punya kearifan itu. Lahirlah sebuah lukisan yang luar biasa abstraksnya dan cenderung ngawur. Ia senang mesti tak memahami estetikanya. Menurutnya, itulah karya agung; sebuah monumen bagi dirinya, dan bukan untuk khalayak orang lain.
***
Estetika model mana yang hendak dimainkan Eka Kurniawan dalam Cantik itu Luka? Absurdisme yang memporakporadakan logika formal, realisme yang membidik detail, aspek sejarah yang taat asas pada fakta sejarah, konflik batin yang mengusung gejolak psikologis, atau peristiwa pikiran yang hendak mengangkat gagasan filosofis? Mencermati isinya, kita seperti memasuki sebuah dunia yang di sana, segalanya ada.
Sebagai sebuah karya kreatif, apa pun yang dilakukan kreator semuanya boleh-boleh saja. Sah! Apalagi jika kita menghubungkannya dengan konsep licentia poetica. Pemberontakan atas konvensi menjadi penting untuk mengusung kebaruan. Tetapi, jangan pula lupa. Inovasi dengan tujuan sekadar berbeda, juga tidaklah elok. Malah, cenderung berbahaya! Di sinilah duduk soalnya. Inovasi selalu beranjak dari sejarah estetika yang melatarbelakanginya. Ia dilakukan untuk menawarkan estetika baru yang melatardepaninya. Oleh karena itu, persoalan estetika tetap harus menjadi titik pijak, langkah berangkat, dan tujuan yang hendak dicapai. Tanpa kesadaran itu, ia akan terjerembab, jatuh pada kubangan main-main yang ngawur.
Boleh jadi, itu yang kita jumpai dalam Cantik itu Luka. Terkesan, Eka bermaksud hendak mencampuradukkan semuanya. Maka, di sana kita akan menjumpai logika yang berantakan, fakta sejarah yang unchronicle, latar psikologis yang irasional, dan penokohan yang seragam. Nada, kosa kata, dan pemikiran yang keluar dari hampir semua tokohnya, berasal dari satu pribadi: Sang Pengarang! Aneh, semua tokoh berbicara dengan nada yang sama!
“… Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian.” Itulah kalimat pembuka novel itu. Sebuah provokasi yang seolah-olah hendak menjerat pembaca lewat gaya surealisme. Logika formal jelas hendak dipermainkan. Dengan nalar ini, kita masih dapat menerima ketika ada pernyataan: nisan tanpa nama yang selama 21 tahun tak terawat, dikenal semua orang sebagai kuburan Dewi Ayu. Tak ada perubahan. Eka seperti menganggap waktu 21 tahun sama dengan 21 hari. Dan di kawasan itu, seolah-olah hanya ada satu kuburan.
Dalam karya yang bermaksud mencampakkan logika, kejanggalan itu tak terlalu jadi soal. Tetapi masalahnya lain ketika ia mengangkat latar waktu pada zaman tertentu. Dewi Ayu, keturunan Belanda, pelacur zaman Jepang, dan melanjutkan karier kepelacurannya selepas merdeka. Di sinilah soalnya. Periksalah Khotbah di Atas Bukit, Ziarah, “Godlob” atau karya-karya yang mencampakkan logika. Di sana, latar waktu bisa terjadi kapan saja dengan lokasi yang juga bisa di mana saja. Dengan begitu, titik tekan pada gagasan atau pemikiran filosofis, bisa berlaku di sembarang waktu dan tempat. Ia sekaligus menunjukkan bahwa gagasan tak terikat ruang dan waktu.
Pilihan latar waktu yang dikedepankan Eka Kurniawan pada gilirannya berakibat fatal. Bagaimana mungkin masa itu di sebuah kampung ada tukang ojek, etalase toko, tukang foto keliling, susu beruang, kotak sumbangan, mobil angkutan, mie bakso, terminal dengan premannya dan sederet panjang latar material dan istilah yang hanya ada pada zaman kini? Pelacur yang dikatakan sebagai penjaja seks komersial, misalnya, (hlm. 128) tentu saja sangat janggal, karena di zaman Orde Baru pun istilah itu belum ada.
Begitu juga kata preman. Pada zaman Belanda berkonotasi netral sebagai orang yang tak punya pekerjaan (vrijman). Kini maknanya sudah mengalami pergeseran. Makna yang sekarang itulah yang dilekatkan pada dua tokoh, Maman Gendeng dan Edi Idiot. Kedua preman itu kemudian bertarungan selama tujuh hari tujuh malam (hlm. 129). Luar biasa! Tetapi tak ada satu jurus pun yang diperlihatkan kedua tokoh itu. Jadi sekadar main-main untuk menunjukkan pengaruh cerita silat Kho Ping Ho, tentu saja boleh. Tetapi, itu tampak lebih menyerupai gombal saat pewartaan pertarungan selama tujuh hari tujuh malam tak ada pengaruhnya dalam cerita keseluruhan. Jadi, bisa saja kata itu diganti menjadi satu jam, satu hari atau satu bulan. Tokh, maknanya tak berbeda dan tak mempengaruhi apapun bagi struktur cerita.
Ada juga kelucuan yang terjadi pada peristiwa perjalanan tokoh Maman Gendeng. Untuk sampai di Halimunda, ia mengarungi lautan melewati Selat Sunda hingga laut Selatan. Ketika berada di laut Selatan ia dihadang sepasang hiu. Maka ia pun ke daratan dahulu berburu rusa dan memberikannya kepada hiu itu sekadar untuk bersahabat dengan sepasang hiu itu. Jadi, mustahillah peristiwa itu terjadi. Lebih mustahil lagi keberadaan Halimunda. Sebab, setelah melewati laut Selatan, sampailah ia di Halimunda. Jika begitu, Halimunda boleh jadi berada di salah satu pulau di kawasan Australia. Sejumlah istilah kemiliteran pada zaman Jepang atau perang kemerdekaan, juga digunakan Eka secara serampangan. Terkadang sekadar tempelan, artifisial, dan bahkan sering kali keliru.
Secara keseluruhan, novel ini hendak mengangkat ketokohan seorang pelacur Dewi Ayu. Lewat tokoh itu, cerita mengalir liar melibatkan begitu banyak tokoh sampai berakhir pada percintaan Krisan dan si Cantik yang buruk rupa. Ada kesan, Eka mencoba memanfaatkan mitologi, foklore, sejarah, dan cerita silat. Sebagai sebuah novel yang digarap dengan ambisi besar, Eka –sengaja atau tidak—tampak sangat mengabaikan fakta. Ia condong sekadar mengandalkan lintasan narasi dan gagasan yang keluar deras. Dengan hanya mengandalkan itu, cerita jadinya liar melanggar apapun. Dalam hal itulah, seyogianya pengarang berlaku selektif. Pasalnya, gagasan laksana mata air. Ia bisa mengalir menjelma jadi sungai bening, selokan kecil, parit-parit pesawahan, air pancuran yang gemerecik, atau sungai raksasa dengan arus yang deras. Ke mana pun mata air itu mengalir, ia mesti tetap berada dalam aliran sungai. Tetapi, ketika ia tak terkendali, ia akan menjadi air bah yang bakal menabrak dan memporakporandakan apa pun. Ia akan menjadi musibah jika gagal dikendalikan.
Catatan kecil ini, tentu tidak dimaksudkan sebagai usaha memereteli novel yang begitu tebal itu. Bagaimanapun, napas panjang Eka sungguh merupakan potensi yang mengagumkan. Niscaya, ia akan menghasilkan sebuah monumen yang mempesona jika ia punya kesabaran untuk mengendapkan dahulu karyanya, mengedit di sana-sini, dan merevisi segala sesuatu yang mungkin salah nalar, keliru fakta, atau terjadinya obral kalimat mubazir. Hanya dengan cara itu, serangkaian hingar bakal dapat dihindarkan.
Di samping itu, perlu juga diperhatikan ihwal estetika yang hendak dipilihnya. Soalnya berkaitan dengan cara penyajian unsur intrinsik yang hendak dibangun. Dalam hal itu, seleksi atas peristiwa yang perlu dan tak perlu, menjadi penting. Sebab, lewat seleksi itu pula bangunan estetik menjelma. Dengan demikian, pilihan estetik mengandung konsekuensi. Justru di situlah estetika dalam seni memainkan perannya.
***
Hakikat novel adalah cerita. Dan cerita itu berangkat dari fakta. Ketika fakta hendak ditumpahkan, imajinasi ikut mengolahnya. Dalam proses pengolahan itulah, diperlukan nalar, wawasan, intelektualitas, dan kesadaran estetik. Lewat cara itu, kelak sangat mungkin cerita jadi monumen, tonggak, atau –jika tak pandai membangun dan meraciknya—ia akan membentuk sebongkah artefak tak bermakna atau bahkan kue tawar yang segera basi. Lalu di mana tempatnya novel Cantik itu Luka? Apakah ia pantas menjadi monumen atau artefak tak bermakna? Jawabnya, untuk sementara, dapatlah kita tafsirkan sebagai air bah yang mengalir deras tak terkendali. Demikianlah!
***
_________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar