Nurel Javissyarqi
**
I
Terima kasih kepada
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember,
yang mengadakan “Jember Gemar Membaca” dalam rangkaian kegiatan Festifal
Literasi Nusantara untuk memperingati Dies Natalis UNEJ ke 55, kali ini tahun
2019 membedah buku saya “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI),” dan
bukunya Taufiq Wr. Hidayat “Agama Para Bajingan.” Hari ini tanggal-bulan bersejarah
bagi ketiga tokoh Panitia Triumviraat; dr. R. Achmad, R. Th. Soengedi, R. M.
Soerachman, yakni para pendiri Yayasan Universitas Tawang Alun (UNITA) 5
Oktober 1957, mendapat dukungan penuh Bupati Jember R. Soedjarwo saat itu, sehingga
pada 9 November 1964, berdirilah Universitas Negeri Djember (UNED). Rektor
pertamanya dr. R. Achmad, dan sebab perbaikan susunan kata dari ejaan lama ke
ejaan yang disempurnakan (EYD), Universitas Negeri Djember berubah nama Universitas
Negeri Jember (UNEJ). Walau kini kata “Negeri” dihilangkan jadi Universitas
Jember, nama UNEJ sudah telanjur melekat di dunia pendidikan. (Undangan acara +
Wikipedia).
19 Desember 2015, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan meresmikan gerakan Jember Membaca untuk Gerakan
Indonesia Membaca. Langkah ini dilanjutkan Bupati Jember (Periode 2016-2021)
dr. Hj. Faida, MMR. Jauh sebelum itu, Juki (panggilan akrab Muhammad Marzuki),
pemuda lulusan SMA, asal Dusun Tutul, Tegalsari, Ambulu, mendirikan Perpustakan
Gratis pada bagian komplek masjid di desanya. Berawal dari keprihatinannya sewaktu
nongkrong di warung-warung kopi, kawan-kawannya kerap tidak nyambung ketika ngobrol
soal sejarah, lantas terbit krentekan niatnya
menabung setiap bulan demi membeli buku-buku, dananya dari sisa keuntungan
usaha kecilnya sablon kaos manual. Menariknya, dia menolak sumbangan buku,
inilah sikap kehati-hatinya kalau-kalau bukunya hilang atau tak kunjung dikembalikan
oleh peminjam. Kegiatan yang dilakukan Juki, sayup-sayup telah dilakoninya sekitar
10 tahun sebelum berita ini diturunkan (Jawa Pos R.J. 3 Oktober 2016),
mengelola perpustakaan pribadinya untuk masyarakat sekitar.
***
II
Dan sudah 12 tahun lebih
tidak ke sini, terakhir 13 Juli 2007 saat menunggu pementasan naskah saya “Zaitun,
Cahaya di atas Cahaya,” penulisannya di Yogyakarta, Jl. Nagan Lor No. 21, 2001.
Sedang pagelarannya diadakan Komunitas Teater Tiang UNEJ, garapan sutradara
muda Tomtom. Sambil menantikan malam pertunjukan, saya menulis epilog untuk
novel seorang kawan A. Syauqi Sumbawi “Dunia Kecil ; Panggung dan Omong
Kosong,” penerbit PUstaka puJAngga, 11 September tahun itu juga (2007). Ada
perasaan senang tersenyum kecil, kala menandatangani penutupnya, sebab
menyakini kelak banyak orang terkelabuhi, seolah penulis epilognya sempat
ngajar di UNEJ. Itulah salah satu cara membikin jejak mencipta bayangan lebih
satu arah, ini bukan tindakan kebohongan, toh nyata ditulis muakhirnya di kampus
Universitas Negeri Jember. Andai, bedah buku nanti tidak jadi, sebab manusia
hanya berencana, namun Tuhan penentunya, Insyaallah
tetap datang, sambil mencari pekabaran di jalan-jalan terlewati, daun-daun
pemberi berita, membaca di balik kemenjadian, atau batalnya ketentuan yang
belum ditetapkan.
Saya urai peragraf
di atas, sambil menjumput kesaksian dari temuan masa lalu, yang dapat dibilang
kelewat jauh mewaktu. Dipetik demi langkah ke depan peroleh sesuatu, yakni makna
kehadiran itu sendiri. “Dan sudah 12 tahun lebih tidak ke sini.” Ini bentuk
jangkauan, istilah lain jangka, bisa jadi nujum (ramalan), lantaran kata “ke
sini” belum terlaksana; catatan berikut baru pengadaan sebagai gawan makalah, jika nanti disebar panitia
bagi kenangan para peserta. Dapat pula ini sudah terjadi, lantaran ditulis di
status facebook secara online, dan ketika ada seorang tinggal di Jember melihat
kegiatan berikut, jelas yang terkerjakan telah sampai.
Naskah dengan prolog
Surat An-Nur Ayat 35 al-Qur’an tersebut, butuh 6 tahun sampai ada yang sudi
mementaskan sukarela, tidak di kota Yogya seperti penulisannya, bukan di
Lamongan tempat kelahiran saya. Nasibnya dipanggungkan di Jember dan kota
Pahlawan, berkat keakraban dengan Rodli TL, teaterawan Lamongan yang mengabdikan
hidupnya di jalur pertunjukan, yang barangkali hanya dia seorang merelakan
kediamannya dijelmakan panggung untuk melestarikan teater di Lamongan khususnya
dengan gerbong teater anak SangBala, Rodli TL alumni UNEJ dan Tomtom adik
angkatannya. Meski semasa di Jogya saya sempat mendirikan Komunitas Sastrawan
Tugu Indonesia (KSTI) bersama pelaku teater Si Thenk, disamping penyair Y. Wibowo,
dan kawan-kawan lain, naskah Zaitun belum mencapai takdirnya dipanggungkan. Begitulah
waktu membaca nafas-nafas dikeluar-masuknya, adanya persamaan berjumpa, jika
tiada persinggungan, percampuran meruap memberkah, lantaran perbedaan ialah
rahmat.
Diri ini mungkin
tergolong suka meneliti kejadian, dan jika terlanjur biasa, akan menduduki insan
“titen” istilah Jawanya; tajam membaca perubahan, lembut menyimak gejala
sekeliling, bening menyinauhi gejolak tengah terjadi. Sebelum undangan bedah
buku, ada acara melibatkan saya dibatalkan. Padahal menarik, membincang novelnya
HAMKA “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck,” di salah satu sekolah menengah Kota
Gresik. Ketika berita ketidakjadian terdengar, dalam batin malah senang,
lantaran menurut kebiasaan akan mendapat perihal tak terduga, bisa jadi diskusi
MMKI di UNEJ kali ini penggantinya. Ah, membayang kampus itu, dan bayangan menaungi
pribadi dalam diam, serupa bayang-bayang menulis buku, ada angan ingin dibicarakan
di kampus ini-itu, di tempat itu dan ini. Anganan melambung tersebut mendekati
tingkah penujum, karena tidak memiliki apa-apa untuk ke mana-mana, hanya
berkendara kata-kata dengan keyakinan, Alhamdulillah
hampir sesuai bayangan semula.
Selain tindak
pembatalan biasa peroleh gantinya, ada kebiasaan lain menandai akan diundang di
suatu acara, yakni ketika peroleh kaos gratisan dari siapapun. Dalam hati
tersenyum, sebab merasai sebentar lagi ada kegiatan sastra berhubungan saya. Di
balik itu, semacam jamu menggagalkan kehawatiran diri, yakni rasa ketakutan yang
terkerjakan tiada manfaat bagi sesama, seminimal kala nafas masih bersarung
badan. Atau tidakkah menjelma siksaan dunia-akhirat, seumpama pengabdian tidak
sampai? Ataukah di situ ujian ketulusan, keikhlasan? Dan demi menggenapi rasa syukur,
biasanya membuat catatan, siapa tahu kelak membuku sebagai tanda langkah, biar terjaga
tidak menguap dimakan usia. Maka, saya manfaatkan betul apresiasi teman-teman
mengupas karya saya, akan diri purnakan balas menulis kepadanya. Jadi teringat
almarhum Fahrudin Nasrulloh, mencatat perjalanan Penerbit PUstaka puJAngga di
Jawa Pos, saya jawab pula meski tidak dikirimkan ke JP, namun ada yang sengaja
ditunda, Raudal Tanjung Banua mencipta puisi kepada saya, belum juga diri
tergerak membuat sepucuk sajak untuknya.
Mengenang
perjalanan ke Jember beberapa kali waktu lampau bersama Rodli TL mengendarai
motor, dan bisa dipastikan ke Malang jua. Jadi teringat beberapa nama pernah bareng
menaiki motor, Mardi Luhung bisa dihitung dalam ingatan lima kali ke Madura, ke
Jombang juga. Raudal sekali ke Purwokerto, Fahrudin ke Mojokerto, Ngalam, dan Surabaya.
Teguh Winarsho AS ke kediamannya Kulon Progo atau Klaten. Denny Mizhar ke
Malang, Loko Mahendra ke Jogja pula Lamongan, Satmoko Budi Santoso sekitar
Yogya. Dan masih banyak nama-nama dulunya bersentuhan dengan saya berboncengan
naik motor, tak terkecuali almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, dan Gugun el-Guyani
lewat jalur selatan Jogja, Gunung Kidul, Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Jombang.
Pun selalu terkenang almarhum Suryanto Sastroatmodjo, mengunjungi percandian sekitar
Yogya, Klaten, Magelang. Termasuk berkesan bersama kritikus Maman S. Mahaya
menuju kampus Pakuan, dan berkeliling Kota Reog dengan penulis kaya namun berlagak
biasa, Sutejo. Perjalanan dengan roda dua itu mengakrabkan, lantaran terpaan
angin musim pula kondisi cuaca kadang kurang menguntungkan, bisa membangun kedekatan
seolah senasib, itu juga menguatkan semangat terus berkarya.
Mengingat Tomtom, jadi
kelingan beberapa nama yang dulu mengulas
karya-karya saya, esais Asarpin, Hasnan Bachtiar, MD. Atmadja, Liza Wahyuninto,
A. Qorib Hidayatullah, &ll. Kepada orang-orang lebih muda, biasanya saya
berkata; “Jangan jadi tumbal kreativitas orang lain. Mari bergerak terus, Insyaallah jika setia berkarya, kelak akan
bertemu kembali dalam suasana lebih besar, barangkali surga yang dirindukan.”
Tumbal menjadi batu pijakan orang lain ialah kerap mementaskan karya orang
ternama, namun tiada semangat menggali kedirian kuat berusaha, melampaui karya-karya
tokoh yang jadi kiblatnya. Lalu kenapa saya sering bikin jejak tanda membuat
tulisan di tempat mentereng misalkan UNEJ, dan ditandatangani sekaligus. Barangkali
hati kecil berkeinginan jadi pendidik, pula sengaja menikmati betul membaca
misteri waktu. Contoh betapa jarak tempo 12 tahun dulu ke sekarang, jika dulunya
mahasiswa S1, bisa jadi kini Doktor, dan saya seolah meraup untung seniornya.
Tentu, dengan catatan harus tebal atau ada yang diandalkan, tidak bangkrut dalam
kekaryaan.
Pementasan naskah Zaitun
di UNEJ dan di IAIN (UIN) Sunan Ampel Surabaya, waktu itu biasa, tidak tercantum
di koran-majalah, sekadar teater kampusan pun sutradara merangkap pemain utama,
dan penulis naskah tidak ternama. Tapi bagi saya sangat penting, lantaran yakin
suatu hari ke tempat-tempat tersebut jauh berbeda, membaca kenangan manis oleh
pahit awalnya. Atas keyakinan itulah diri tetap berkarya, atau malu sungguh jika
tidak menghargai jerih sendiri, meski dari dalam niat. Waktu-waktu bertumpuk,
masa-masa menggunung, kenangan melekat bagai bayangan mengikuti tubuh, terus
mendekati cahaya usia memudar mencapai ujung senjakala. Begitu pun kesadaran menerbitkan
novel A. Syauqi Sumbawi, dan betapa menyebarnya selaksa menjalarkan virus. Saya
kerap bilang kepada kawan-kawan; “Ciptakanlah sejarah sendiri dan propagandakan,
lalu biarkan waktu mengujinya,” barangkali batin Frantz Fanon juga bersuara sama.
***
III
Dalam beberapa
puluh kegiatan bedah buku di kota-kota, tempat yang baik membangun atmosfer
kawah candradimuka pertanggungjawaban karya secara hukum rimba sekalipun ada di
Yogyakarta, di PDS HB. Jassin meski baru sekali boleh masuk ke dalamnya. Namun
ada yang kurang saya minati, pujian berlebih sampai menutupi karya yang
dibahas, jadilah tenggelam lantaran berlarut-larut membincang di awang-awang.
Bayangkan jika pengujian skripsi, tesis, disertasi, karya ilmiah lain, fiksi
sekalian, dibedah di tengah khalayak umum pemerhati bidang masing-masing, akan
tampak kegagapannya, atau cemerlanglah pamor yang tengah dibangun. Ada yang sangat
membekas di ajang bedah buku kelas stensilan; lembaran kertas fotokopian, cover
sablonan, ISBN pun InSyaallah diridhoi allah SubhaNahu wa ta’ala; didiskusikan
di kampus UNTAG Surabaya, lalu IAIN (UIN) Sunan Kalijaga sekitar 2004-2005,
buku tipis “Kajian Budaya Semi” di tahun 2006 terbit kembali bertitel “Trilogi
Kesadaran; Kajian Budaya Semi, Anatomi
Kesadaran, dan Ras Pemberontak.” Pada masa itu istimewa, cetakan stensilan memasuki
kampus-kampus, dan bikin ontran-ontran membakar semangat berani menyuarakan
karya.
Oleh sebab bukan warga
kampusan, jadi senang mendatangi kegiatan bedah buku dengan niat belajar;
“belajar sambil menghajar” tepatnya. Dikarena kedinamisan pengetahuan terjadi,
atas saling dialog tukar informasi, berasal dari beberapa sudut pandang
menghadirkan sisi persinggungan, berbeda kepahaman. Itu lumrah, toh satu
pribadi bisa terima beberapa tangkapan, seperti perangai apa saja kala membaca,
dalam posisi duduk berbeda-beda bisa tentukan lain dari kedudukan sebelumnya.
Atau dalam ajang diskusi buku, saya pergunakan bagi pengujian dari perolehan sewaktu
berkarya, mengeluarkan rumusan yang barangkali di antaranya bisa mencapai kesepakatan
menjelma hukum kekekalan diterima khalayak. Dan bagaimana, pengujian di ruang
tertutup dengan beberapa pakar, ini memungkinan tindakan pemaksaan pandang,
lebih parah berlaku spanyolan (separuh nyolong / curian) atau banyak kutipan,
dan kian kumprung jika pengkarya
tidak diperkenankan berpendapat dalam karyanya. Maka kegiatan bedah buku jadi
niscaya agar tahu sejauh mana yang ditawarkan memberi sumbangsi bagi lajuan
tongkat estafet, tidak mandek atau sebaliknya kian mundur.
***
Jika ingatan ini mundur
12 tahun (lagi) dari 2007 saat pementasan Zaitun, maka menemui angka 1995. Di
tahun itu, tak hanya melewati Gunung Pegat menuju Jombang, namun pencarian diri
bertambah ke arah barat, Yogyakarta. Kaki menyentuh tlatah halus DIY, rasanya
menghisap seluruh kesadaran dari masa kecil hingga tapal batas Krapyak. Tak
pernah sejauh itu kendarai motor, namun ada peribahasa menguatkan mental; “Sedikit
demi sedikit, lama-lama jadi bukit,” atau perjalanan seperti hitungan
penambahan, selaksa dari Lamongan ke Jogja adalah dari tanah kelahiran ke Kota
Lamongan sejumlah 9 kali bolak-balik, atau “Takkan lari gunung dikejar,” maka
sampai juga. Jalanan yang kanan-kirinya tumbuh pepohonan jati, trembesi,
mahoni, klampis, randu, akasia, waru, cemara, &ll. Menguatkan diri menghirup
nafas dalam, dan ketika senjakala masih di atas kendaraan, wewarna merahnya
mengabarkan planet lain sebelum menuju sang surya. Dan besaran bumi tak lebih
kerikil melesat dilibas roda menghantam kulit daging batang pohon. Rekatan
gravitasi masih merindu sang pemberi syafaat, dedaun ranting dedahan, bebatangnya
berdzikir kupandangkan sholawat dari akar-akaran syahadat, sedang pribadi ini
“seperti kuman di seberang lautan.”
Perjalanan kadang
seluruhnya dibalut gerimis ditikam hujan lebat, sepyuran debu, kerap menjumpai peristiwa
tidak tersangka. Melintasi malam tiada bintang dalam belantara, dengan
pepohonan ditarik-tarik bayu berayun pun ada yang tumbang. Melewati jalan
terjal menjelajahi jalur anternatif, seolah memasuki perkampungan demit. Ada 313
kali sejak 1995, perjalanan dari Lamongan ke Yogyakarta hingga sekarang. Rasanya
menyenangkan serupa mendapat keremajaan berulang, mencium harum rumput pepadian
saat panen, bak menaklukkan pegunungan texas sewaktu kemarau melanda. Dan seperti
dalam pengaruh gaib nyanyian purba di musim penghujan menyelimuti kerahasiaannya.
Ada titik-titik disetiai sebagai tempat singgah, menyeruput wedang kopi
menghisap rokok, mengganjal perut seperlunya. Pesona membaca waktu memaknai
alam, mencipta nyanyian inspirasi saat menulis, laksana tiada daya atau semua
dipasrahkan sejenis kulit pohon dahaga menanti curahan hujan, ataukah lepas
termakan usia. Barangkali puasa terbaik pohon jati meranggas seakan mati. Tapi
sekali gerimis menyapa, segera menggerakkan tetangkainya munculkan daun-daun,
mengajak kapuk-kapuk randu beterbangan. Alangkah elok, paras musim ribuan kupu-kupu
kuning menghiasi hutan tropis di bawah garis katulistiwa.
***
IV
Ketika hendak
melanjutkan ini, peroleh kabar tak terduga dari saudari Piepieto, bahwa Tomtom
(Muhammad Arif Tom-Tom) telah meninggal dunia, sekitar dua atau tiga tahun
lalu. Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un,
semoga Allah Swt meridhoinya, amien... Lantas saya teringat almarhum Nurul Hadi
Koclok asal Kediri, keduanya bergerak mencintai panggung pertunjukan; Tomtom di
Jember, Nurul di Yogyakarta. Lama diri ini tercenung kejadian yang lewat. Banyak
para guru dan kawan-kawan sudah berpulang kepada-Nya. Mari melantunkan
Sholawat, Surah al-Fatihah, semoga doa sampai kepada yang duluan meninggalkan
kita...
***
V
Kini saya taburkan
percik-percik pemantik diskusi, meski agak risau membuat semacam ringkasan, lantaran
hal itu mendekati tindak bunuh diri. Umpama berpapasan pembaca serampangan
tanpa tahu keseluruhan terudar, lantas gegabah menghakimi sekenanya. Namun
baiklah. Dalam bedah buku di PDS H.B. Jassin, sewaktu menanggapi makalah
gaibnya Sihar Ramses Simatupang (disebut gaib, sebab belum sampai ke tangan ini),
saya berkomentar; “Dalam makalah Sihar, tidak mengurai satu pun paragraf (kutian)
pada cover depan-belakang MMKI, jadi saya anggap dirinya belum membaca, atau
tidak membahas buku saya sama sekali.”
Kutipan cover depan
berbunyi: Andaikan kaum kritikus pun para sastrawan pula MASTERA, mau menerima
dengan hati jujur terhadap teguran nyata dari Sang Maha Realitas, atas
kesembronoan yang disengajakan pada ketiga teks pidato SCB: 1. “Sajak dan
Pertanggungjawaban Penyair” mengenai Asy-Syu’ara, 2. “Sambutan Upacara
Penyerahan Anugerah Sastra Mastera,” dan ke 3. “Pidato Anugerah Sastra Dewan
Kesenian Riau” pada kasus “Kun Fayakun,” Insya Allah hikmah dari musibah itu
akan terbuka lebar jalannya. Di sana terdapat gumpalan materi padat kegagalan
diri SCB sebagai sastrawan, yang gagap meramukan konsepnya menjadi utuh, lantas
mencari-cari kepurnaan lewat ayat-ayat dari kitab suci yang disunat susunan
beserta maknanya! Hebatnya lagi, ketiganya lolos sebagai pidato bergengsi, lalu
dimuat di Koran Nasional, kemudian dibukukan, sampai kaum kritikus, para
sastrawan yang biasa menulis di koran, sudah merasa puas sebagaimana tidak
pernah saya temukan sanggahan dari mereka, mengenai tulisan-tulisan keblinger tersebut.
Nomor 1. Uraian
luasnya ada dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum
Bachri” (MTJK SCB), terbitan PUstaka puJAngga dan SastraNesia 2011, sedang di
MMKI semata pekabaran semata. Nomor 2., dan 3. Hal lebih gawat setelah temuan
sebelumnya. Bagaimana, dan apa jadinya, Firman Allah Swt dalam pemaknaannya
dirombak seenaknya oleh “Raja Mantra Presiden Penyair” (Judul buku terbitan
Yayasan Panggung Melayu, 2007). Terlepas saya menjajakinya dari nahwu shorof
sampai banyaklah gaya, separas mirah kejengkelan bolak-balik diredam, dilenturkan.
Alhamdulilah peroleh temuan dari
beberapa jalur tak tersangka, atau dengan sering membaca terungkap kelemahan
diri serta yang diteliti tenang lagi seksama. Dan di waktu istirahat, menjelma
guru pembimbing yang berulangkali menginsyafi.
Pada cover belakang
ada empat kutipan. Pertama (atas) dengan pokok sama hendak menuntaskan wajah di
depan; … Namun alangkah sayang, keberhasilannya yang semu menumbuhkan tekat kelewat melunjak bertingkah ‘melupa dan
mengingat’ dengan sangat ugal-ugalan
menyulap “Kun Fayakun” dijelmakan
(dirombaknya) membentuk kata-kata “Jadi
maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas
jadilah!” (Bukan –Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000- oleh
SCB, yang terbit di “Bentara” Kompas, Jumat 11 Januari 2003, dan Sambutan SCB
Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, Bandar Seri Begawan, 14 Maret
2006)?
Dan termasuk
lamanya waktu menyita penulisan, kala mengambil suatu pilihan dari pelbagai
kemungkinan merayu dilayangkan. Maka baiknya memasuki selubung ketenangan, menempati
pandangan terdekat yang dimungkinkan langgeng, syukur kelak dapat menghadapkan
parasnya menyambut masa depan. Lahirnya beberapa alternatif itu menumpas keragu-raguan.
Mendekati hal diingini, kadang menjumpai perangai kurang tepat, di situlah
kesibukan waktu lain, atau di masa penantian peroleh kesaksian berupa kepastian,
meski ada yang bersifat sementara. Setidaknya, laluan dan pemberhentian, menjadi
perhatian memesona. Pilihan diapungkan atau dilambungkan, tentu sudah didialogkan
lama. Keadaan ini tak lepas kejiwaan dialami. Maka hidangan pengantar bisa meringankan
beban, ketika menyambangi temuan awal sebagai proses kemajuan, atau kealamiahan
mendewasa menyusuri jenjang perubahan. Kegiatan tersebut banyak yang melupakan,
lantaran merasa lihai cari gampangan, asal kutip tak menghujam ke tanah persoalan.
Jadinya, melambung tinggi, namun lekas ambruk untuk selama-lamanya.
Kedua: … seperti
Dami N. Toda yang meski penelitiannya belum matang kurang jeli, dan terlanjur
cepat Tuhan menjemputnya. Kata-kata ‘belum matang kurang jeli’ bisa dibaca di
esainya yang bertitel “Kesibukan Hamba-Hamba Kebudayaan” lalu sejenis esai
pertaubatannya yang dimuat Kompas 17 September 2006 berlabel “Pengakuan Anggota
Waffen-SS,” yang disebut juga oleh Afrizal Malna di Tempo, 20 November 2006
dengan judul “Sejarah dalam Kulit Bawang,” dengan satu kunci perjalanan hidup
sang pemenang Nobel Sastra 1999, Günter Grass.
Ini menjadi pelajaran
penting bagi amatiran seperti saya, dengan tidak cepat mengambil putusan terang,
jika belum temukan kehakikian, agar dikemudian hari tidak kecelik dipermalukan temuan sendiri. Karena perjalanan waktu terus
dilewati karya-karya, meski sudah ditinggal penandanya, atau ukurannya ke depan.
Maka tegakkan cermin atau tanamlah pohon meski di usia senja, sambil edarkan
pandangan jauh, seumpama keliru tidak malu membenahi. Di sana, sikap Dami
sangat jantan, dibanding mereka menanti datangnya hujan, sambil membayang
masanya balik ke pangkuan. Padahal pengoreksian wajib bagi tapakan mapan. Ataukah
lupa watak perubahan mendempul kebocoran pula menyingkirkan perangai tanggung yang
membentur dinding masa kepastian. Dari sikap bangga mereka di atas capaiannya,
saya malah senang seolah pembawa bendera bersama pasukan kata-kata ke tengah
malam. Dan ketika fajar tiba, gusarkan barisan mereka. Dari kejauhan tinggal
kibaran putih tanda ditaklukkan tanpa drama perlawanan yang bisa diceritakan pada
generasi setelahnya.
Ketiga : Pengabdian
yang besar tidak lepas dari hilaf dan semoga yang diungkapkan Elisa Dwi
Wardani, hanyalah keterlepasan tidak pakem masanya. Entah sehabis mendapati
penghargaan, sesudah syuting baca puisi di sebuah stasiun televisi, atau TI
teringat telah mengangkat begitu banyak penyair dari majalah sastra yang
dipandeganinya, SCB misalnya. Lantas bayu bertiup kencang mengaburkan paham
meninggikan derajat kepenyairannya, sampai-sampai seolah-olah penguasa
kata-kata di alam jagad raya, dengan nada-nada:
“penyair adalah penguasa kata-kata,” dengan menurunkan melodinya; “mungkin
tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun
penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat
dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.”
Kalau tidak
mencermati uraian dari tulisan lengkap yang dikutip, dapat menggiring mata
seolah saya mendudukkan hukum fikih misalkan, atau ambil bungkusnya, dianggap lugu
dan menuduh serampangan, padahal persoalan yang dihadapati sama bahaya, jika
dimakan tanpa dikunyah. Ataukah Taufiq Ismail (TI) maupun yang lain laksana
pencerah, yang alunan kalimatnya sangat perlu ditafsirkan bijak penuh kehati-hatian,
padahal pendapatnya sangat gegabah dekat nafsu kekuasaan. Oleh sebab bidang
sastra tak mampu berdiri kokoh tanpa bebidang ilmu lain. Di situ pentingnya dialog,
tegur sanggah agar tidak meruntuhkan patung yang dibangunnya, yang berakibat menimpai
orang di bawah, tanpa disadari macam kena sial, terus menyalahkan orang lain.
Padahal sudah di-wanti-wanti sebelum
keambrukan, atau pengatur jalan tidak selalu berjaga di pertigaan, ketika sudah
ada rambu lalu lintas contohnya. Atau jalurnya telah jarang dilewati, sebab
banyak orang melalui jalan layang, yang lebih cepat mencapai muasal desa
referensi, tempat asal ditinggalkan mereka di tengah ingatan sekenanya.
Kutipan terakhir : Seingat
saya (dalam arti semoga kelak ada yang merevisinya), penerjemah, sastrawan,
kritikus Sapardi Djoko Damono pernah mengimbau agar karya sastra dijauhkan dari
ilmu pengetahuan (“Sapardi Djoko Damono:
Jadikan Sastra sebagai Seni, Bukan Ilmu di Sekolah,” Kompas 14 Oktober
2010). Maka secara otomatis bisa dibilang menghasilkan karya klangenan, bobotnya hanya lamunan,
mentok bikin rindu tidak ketulungan pada gergaji kepenyairannya, ini dapat
dirujuk kepastiannya pada puisi-puisinya. Dan secara terbuka saya lebih condong
kepada penyair sekaligus politikus Muhammad Iqbal pula filsuf Jacques Derrida
yang dengan tegas berpendapat; “Puisi
ialah filsafat atau pun filsafat adalah sastra (puisi)” [kalau tidak keliru
pada bukunya “The Reconstruction of
Religious Thought in Islam” (Iqbal), dan “Margins of Philosophy” (Derrida)]. …
***
Pada mulanya tidak
lama menentukan pilihan menjatuhkan pendapat, lalu kesibukan melingkari
masing-masing mereka. Tak ada lagi waktu baca ulang, dikarena betapa lesatnya
masa melintasi ubun-ubun kepala dengan percepatan akhir-akhir kehidupan. Lagi
pula, buku MMKI sejak di tangan mereka sudah ditaruh di pojokan rak buku,
sambil menunggu datangnya rayap kelaparan, tanpa pedulikan hantu menguntit
kemana pun pergi. Dan saya teringat lemparkan batu kerikil ke tengah telaga,
sambil menerka lingkaran kecil airnya sudah membesar sampai di kaki tangannya. Ciduk
dan teguklah. Percayalah tidak membahayakan, malah membimbing hati merasuk resapi
nikmatnya kedahagaan lama tertahan.
Lamongan 4 Oktober
2019.
________
*) Makalah bedah
buku MMKI dalam rangkaian kegiatan Festifal Literasi Nusantara, memperingati
Dies Natalis UNEJ ke 55, yang diadakan LP3M.
**) Saya ke Jember,
mengenakan sepatu pemberian kritikus produktif penerus H.B. Jassin, yakni Maman
S. Mahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar