Sabtu, 21 September 2019

Subyek, Abnormalitas, Gaya *

Dwi Pranoto **

Di sebuah jurnal digital, Paralaks, tulisan Gunawan Mohamad (27 Maret 2008), S.T.A., Sebuah Prosa mengutip sebuah paragraf S.Takdir Alisyahbana dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Demikian S. Takdir Alisyahbana menggambarkan kelahiran sebuah puisi: Segala perasaan yang timbul di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada bahagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu dan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan air muka.
Dari paragraf S. Takdir yang disebut Gunawan Mohamad sebagai bergemuruh tersebut segera terbayang hubungan rapat tak tercerai serupa dua sisi mata uang antara puisi dan penyairnya. Puisi merupakan suatu ekspresi langsung jiwa sang penyair. Namun, Gunawan Mohamad rupanya keberatan dengan penggambaran asal-usul yang poetik tersebut. Melalui Julia Kristeva, Gunawan Mohamad menyatakan, “Kini kita tahu, transparansi (atau keselarasan) semacam itu sebenarnya tak terjadi”. Sebab, menurut Gunawan, antara gejala yang terjadi dalam tubuh dan bahasa yang dihasilkan (ditulis), atau dari semiotik menuju simbolis, seharusnya ada penapis. Jika memahami proses semiotik menjadi simbolis menurut Julia Kristeva, jelaslah apa yang dimaksud penapis ini adalah rasionalisasi untuk membangun sintaksis yang logis. Proses semiotik menuju simbolis ini, rasionalisasi, bagi Kristeva merupakan suatu “pendewasaan” yang dibentuk dengan paksaan oleh norma-norma semacam identifikasi jenis kelamin, pemisahan umum dan pribadi dan sebagainya. Namun, bahasa tak benar-benar menghapus seluruh akar semiotiknya dan penyair menggemaulangkan masa pra-oedipus itu dengan mengangkat yang tak sadar tersebut. Dengan cara ini Kristeva memisahkan dan sekaligus menghubungkan antara yang “normal” dan yang “poetik”. Bahwa bahasa puisi yang diperoleh dengan membangkitkan yang tak sadar akan selalu bersifat laten. Merongrong dan mengacaukan tatanan bahasa yang rasional, mapan, dan otoriter.

Pernyataan S. Takdir tersebut pertama-tama mesti dipahami sebagai upaya S. Takdir mempertentangkan posisi dan watak Puisi Baru terhadap Puisi Lama. Demi upayanya memunculkan subyek individu (modernitas) dalam Puisi Baru, S. Takdir menolak sama sekali karakter-karakter dan bentuk-bentuk formal Puisi Lama. Bentuk-bentuk gurindam dan pantun melambangkan kehadiran masa silam, bentuk-bentuk yang dibekukan oleh tradisi, mati sebagai cetakan-cetakan atau formula-formula yang membuat sastrawan belaka sebagai mesin pabrik. S. Takdir menghendaki individualisme mencahayai Puisi Baru dengan otentitas. Dengan begitu kehadiran puisi adalah kehadiran subyek, kehadiran gaya poetik adalah kehadiran sukma dan pikiran penyair.

Namun, tak sejak mula gaya sastra dianggap sebagai cerminan dari jiwa pengarangnya. Plato dan Aristoteles menyatakan gaya – lexis – sebagai komponen ujaran yang dimanipulasi. Dengan begitu kemampuan seni berbahasa atau retorik bergantung pada pelatihan dan ketrampilan. Gaya merupakan suatu ornamen atau dekorasi bahasa. Gaya sastra tak lebih sebagai baju untuk melindungi makna di baliknya, ornamen luar yang secara tekhnis merupakan kombinasi dari pilihan kata-kata semakna. Dengan begitu gaya bernilai netral.

Gaya sastra muncul sebagai representasi subyek atau pengarang pada abad sembilan belas. Sebagai baju, gaya bukan lagi berfungsi untuk melindungi makna di baliknya. Namun, kini ia adalah seibarat baju basah yang melekati badan dan menunjukan lekuk-lekuk bentuk tubuh. Topeng adalah wajah itu sendiri, kata Susan Sontag. Kemunculan gaya sebagai cerminan subyektifitas pada abad sembilan belas bersamaan dengan munculnya gay sebagai spesies tersendiri dengan orientasi seksual kelamin sejenis. Michel Foucault dalam The History of Sexuality memaparkan praktik seksual sodomi telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia namun ia baru muncul sebagai gaya hidup pada abad sembilan belas. Kemunculan gaya sastra yang eksperimental dan mencerminkan subyektifitas pengarang berkait erat dengan kemunculan gay atau homoseksual sebagai gaya hidup tersendiri. Jika mengikuti Freud kita akan mendapati bahwa abnormal tongues atau gaya eksperimental yang obskur dan dipenuhi oleh metafor-metafor personal merupakan ekspresi pemberontakan terhadap represi nilai-nilai normal masyarakat. Gaya eksperimental mengungkapkan suatu perlawanan terhadap sistem masyarakat normal, seperti seks yang dirumahtanggakan dan pendeskriditan perilaku-perilaku menyimpang – gaya seks lain – dengan menyebutnya abnormal atau tak waras. Pada titik ini pernyataan Julia Kristeva bahwa munculnya bahasa poetik (tak normal) mengantisipasi gerakan revolusioner dalam tatanan masyarakat menemui konteksnya.
                     
Suatu karya seni pada prinsipnya dapat direproduksi, begitu kata Walter Benjamin dalam The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction. Patung-patung dapat direproduksi secara masal melalui teknik cetak lilin, lukisan-lukisan direproduksi melalui tekhnik foto. Namun, bukan hanya secara material karya seni dapat direproduksi. Gaya atau style juga dapat direproduksi melalui duplikasi tekhnik stilistiknya. Benjamin menyatakan bahwa reproduksi telah mengosongkan karya seni dari aura atau kekeramatan. Jika pada tahun 1936, menurut Benjamin, tekhnik reproduksi menceraikan karya seni dari basis spiritual di awal kelahiran seni. Di masa sekarang reproduksi gaya telah mengosongkan gaya dari subyektifitas. Fredric Jameson menyatakan pengarang-pengarang dan seniman-seniman hari ini tak lagi menemukan gaya dan dunia baru. Mereka seudah ditemukan, yang tersisa hanyalah merakit kombinasi-kombinasi yang terbatas. Reproduksi tekhnik stilistik bentuk-bentuk eksperimental pada akhirnya menormalisasi (menetralkan) abnormalitas subyek pengarang. Gaya tak lagi mencerminkan otentisitas subyektif pengarang. Gaya kembali menjadi ornamen dekoratif dari isi, kembali menjadi lexis. Wajah telah dilepaskan dari topeng. Subyek telah dibunuh. Seperti maklumat Roland Barthes, pengarang telah mati. Gaya atau yang poetik hanyalah perangkat bagi pesan pemaknaan hal-hal, bukan makna itu sendiri.

Pudarnya ideologi representasi bukan saja menuntun kita pada jurang kehampaan. Namun membuka suatu hamparan kekhalayakan: dari abu kematian tubuh individu borjuis lahirlah khalayak ramai. Kematian bukanlah akhir, ia semacam batu tapal permulaan babak duplikasi besar-besaran perilaku hedonis borjuis. Sosok-sosok anggun, berkuasa, kharismatis, pendeknya individu otentik boleh berakhir, namun perburuan kenikmatan terus berbiak. Pengumbaran hasrat tubuh yang pada masa lalu merupakan lirisme subversif, pada hari ini menjadi hal yang encer dan dangkal. Abnormalitas bukan lagi suatu hal yang diperjuangkan. Abnormalitas telah dinormalkan melalui reproduksi bentuknya: alangkah Toni Blank Show ditonton tanpa risih. Tidak seperti pada masa jaya individu borjuis ketika abnormalitas merepresentasikan dirinya sendiri sebagai ungkapan perlawanan terhadap yang normal dan sampai ke khalayak sebagai hal mengganggu. Hari ini celoteh dan gaya skizofernia Toni Blank menjadi tontonan hiburan. Ia tidak merepresentasikan dirinya sendiri sebagai subyek yang  direpresif. Sebaliknya lebih melayani hasrat khalayak untuk melihat yang aneh; khalayak menikmati tubuh depresif yang telah dijinakan, demi memuaskan hasrat kekerasan yang tersembunyi. Toni Blank Show merupakan contoh bagus dari normalisasi abnormalitas. Toni Blank merepresentasikan bagaimana, seperti dikatakan Slavoj Žižek, menyamar dengan mengenakan selubung yang “asli”. Toni Blank Show merupakan bentuk pastiche yang nyaris sempurna; yang asli menirukan keasliannya sendiri.

Abnormalitas tidak absen pada masa sekarang. Abnormalitas sebagai “spirit” yang menampakan diri pada gaya atau style (sastra/seni), sebagai otentisitas individu yang dilandasi oleh persepsi diri dan pandangan mengenai dunia yang khas barangkali telah pudar atau mungkin malah laip. Bersama surutnya masa jaya individu borjuis, sekelompok kaum istimewa, ekspresi material abnormalitas – bentuk estetik / gaya – belaka selongsong. Abnormalitas telah menjadi tiruan gaya abnormalitas yang dirakit dari kombinasi-kombinasi terbatas yang telah tersedia. Ini adalah momen kemunculan pastiche. Menurut Fredric Jameson, dalam Postmodernism and Consumer Society, saat ini adalah momen munculnya tiruan dari yang aneh atau gaya khas, penggunaan suatu topeng stilistik, ujaran dalam suatu bahasa mati: tapi ini adalah praktik netral atau semacam mimikri, tanpa motif tersembunyi parodi, tanpa rangsang satiris, tanpa tawa, tanpa menyisa perasaan laten bahwa ada suatu yang normal yang dibandingkan dengan apa yang sedang ditirukan adalah komik.

Gaya-gaya abnormalitas hari ini bukanlah gaya-gaya abnormalitas pada masa jaya modernisme klasik yang berifat skandal, menantang, mengejutkan secara seksual. Menyerang kehidupan kelas menengah yang mapan dengan kasar, menghina selera baik, adab kesopanan dan pikiran sehat. Karya-karya James Joyce, Samuel Beckett yang pada masanya begitu memuakkan dan membingungkan sekarang telah dinormalkan, direproduksi dan menjadi klasik. Bahkan bentuk yang dianggap paling kasar dan penuh serangan pada masa sezaman kini, seperti punk rock, telah diterima secara luas dan berhasil secara komersial. Di sinilah kita menjadi maklum kenapa novel Saman dan Larung yang membeberkan penyimpangan-penyimpangan seksual atau perilaku abnormal secara blak-blakan berhasil memperoleh sukses komersial, setidaknya reputasi baik. Pada akhirnya bentuk-bentuk atau gaya-gaya abnormal yang kosong representasi subyektif itu menjadi majal daya revolusifnya.
             
Kembali lagi ke STA di atas; kini kita tahu kenapa semangat individualistis yang digembar-gemborkan S. Takdir dengan kata-kata yang berbaris menderap menyerbu untuk menghancurkan bentuk-bentuk puisi lama tak kunjung melahirkan puisi baru yang secara radikal berbeda dari pantun, gurindam atau seloka. Pilihan kata atau diksi yang digunakan untuk membangun bahasa puisi pun begitu kuat menghujamkan dirinya pada bahasa puisi yang berbunga-bunga – walaupun sebagian besar karya puisi baru (Pujangga Baru) tak lagi menggunakan majas yang berlapis seperti pada pantun. Sebab subyek yang semayam dalam karya-karya Pujangga Baru adalah subyek yang terkendali, subyek yang hendak rasional. Gaya yang digunakan dalam puisi-puisi S. Takdir semirip praktik retorika  dimana gaya estetik belaka baju bagi isinya. Gaya poetik yang tidak lahir dari suatu subyek yang digelorkan hasrat tubuh yang hendak menghisap tandas nikmat badani. Namun, subyek yang mau merengkuh rasionalisme modern, subyek pembangunan. Semangat yang menggelorakan S. Takdir adalah adalah semangat zaman baru, modernisme, yang berada di luar tubuh. Berbeda dengan subyek pada puisi-puisi Chairil Anwar yang liar, bohemian, penuh hasrat untuk mereguk tandas-tandas nikmat badani (seks). Oleh karenanya bahasa poetik Chairil Anwar berbeda sangat tegas dengan Pujangga Baru. Puisi-puisinya bersifat ofensif terhadap tatanan masyarakat pada masa itu; melabrak nilai agama, kepatutan seksualitas, melanggar konvensi sastrawi yang berlaku, juga menyimpan kekecewaan yang mendalam pada peri kehidupan khalayak banyak. Pendeknya revolusioner.

Namun, kita hidup berbeda zaman dengan Chairil, hari ini subyek telah dikosongkan, abnormalitas telah dinormalisasi, dan gerakan revolusioner seperti suatu hal yang mustahil. Benarkah mustahil?
***

*) Pernah dimuat di majalah Tegal Boto. Dimuat kembali di sini tanpa dua paragraf awal.
**) Dwi Pranoto adalah penggiat sastra dan pemerhati budaya yang concern dengan pemikiran-pemikiran kritis.
http://lepasparagraf1.blogspot.com/2011/08/subyek-abnormalitas-gaya.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar