Dwi Pranoto **
Di sebuah jurnal digital, Paralaks, tulisan Gunawan Mohamad (27 Maret 2008), S.T.A., Sebuah Prosa mengutip sebuah paragraf S.Takdir Alisyahbana dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Demikian S. Takdir Alisyahbana menggambarkan kelahiran sebuah puisi: Segala perasaan yang timbul di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada bahagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu dan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan air muka.
Dari paragraf S. Takdir yang disebut Gunawan Mohamad sebagai bergemuruh tersebut segera terbayang hubungan rapat tak tercerai serupa dua sisi mata uang antara puisi dan penyairnya. Puisi merupakan suatu ekspresi langsung jiwa sang penyair. Namun, Gunawan Mohamad rupanya keberatan dengan penggambaran asal-usul yang poetik tersebut. Melalui Julia Kristeva, Gunawan Mohamad menyatakan, “Kini kita tahu, transparansi (atau keselarasan) semacam itu sebenarnya tak terjadi”. Sebab, menurut Gunawan, antara gejala yang terjadi dalam tubuh dan bahasa yang dihasilkan (ditulis), atau dari semiotik menuju simbolis, seharusnya ada penapis. Jika memahami proses semiotik menjadi simbolis menurut Julia Kristeva, jelaslah apa yang dimaksud penapis ini adalah rasionalisasi untuk membangun sintaksis yang logis. Proses semiotik menuju simbolis ini, rasionalisasi, bagi Kristeva merupakan suatu “pendewasaan” yang dibentuk dengan paksaan oleh norma-norma semacam identifikasi jenis kelamin, pemisahan umum dan pribadi dan sebagainya. Namun, bahasa tak benar-benar menghapus seluruh akar semiotiknya dan penyair menggemaulangkan masa pra-oedipus itu dengan mengangkat yang tak sadar tersebut. Dengan cara ini Kristeva memisahkan dan sekaligus menghubungkan antara yang “normal” dan yang “poetik”. Bahwa bahasa puisi yang diperoleh dengan membangkitkan yang tak sadar akan selalu bersifat laten. Merongrong dan mengacaukan tatanan bahasa yang rasional, mapan, dan otoriter.
Pernyataan S. Takdir tersebut pertama-tama mesti dipahami sebagai upaya S. Takdir mempertentangkan posisi dan watak Puisi Baru terhadap Puisi Lama. Demi upayanya memunculkan subyek individu (modernitas) dalam Puisi Baru, S. Takdir menolak sama sekali karakter-karakter dan bentuk-bentuk formal Puisi Lama. Bentuk-bentuk gurindam dan pantun melambangkan kehadiran masa silam, bentuk-bentuk yang dibekukan oleh tradisi, mati sebagai cetakan-cetakan atau formula-formula yang membuat sastrawan belaka sebagai mesin pabrik. S. Takdir menghendaki individualisme mencahayai Puisi Baru dengan otentitas. Dengan begitu kehadiran puisi adalah kehadiran subyek, kehadiran gaya poetik adalah kehadiran sukma dan pikiran penyair.
Namun, tak sejak mula gaya sastra dianggap sebagai cerminan dari jiwa pengarangnya. Plato dan Aristoteles menyatakan gaya – lexis – sebagai komponen ujaran yang dimanipulasi. Dengan begitu kemampuan seni berbahasa atau retorik bergantung pada pelatihan dan ketrampilan. Gaya merupakan suatu ornamen atau dekorasi bahasa. Gaya sastra tak lebih sebagai baju untuk melindungi makna di baliknya, ornamen luar yang secara tekhnis merupakan kombinasi dari pilihan kata-kata semakna. Dengan begitu gaya bernilai netral.
Gaya sastra muncul sebagai representasi subyek atau pengarang pada abad sembilan belas. Sebagai baju, gaya bukan lagi berfungsi untuk melindungi makna di baliknya. Namun, kini ia adalah seibarat baju basah yang melekati badan dan menunjukan lekuk-lekuk bentuk tubuh. Topeng adalah wajah itu sendiri, kata Susan Sontag. Kemunculan gaya sebagai cerminan subyektifitas pada abad sembilan belas bersamaan dengan munculnya gay sebagai spesies tersendiri dengan orientasi seksual kelamin sejenis. Michel Foucault dalam The History of Sexuality memaparkan praktik seksual sodomi telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia namun ia baru muncul sebagai gaya hidup pada abad sembilan belas. Kemunculan gaya sastra yang eksperimental dan mencerminkan subyektifitas pengarang berkait erat dengan kemunculan gay atau homoseksual sebagai gaya hidup tersendiri. Jika mengikuti Freud kita akan mendapati bahwa abnormal tongues atau gaya eksperimental yang obskur dan dipenuhi oleh metafor-metafor personal merupakan ekspresi pemberontakan terhadap represi nilai-nilai normal masyarakat. Gaya eksperimental mengungkapkan suatu perlawanan terhadap sistem masyarakat normal, seperti seks yang dirumahtanggakan dan pendeskriditan perilaku-perilaku menyimpang – gaya seks lain – dengan menyebutnya abnormal atau tak waras. Pada titik ini pernyataan Julia Kristeva bahwa munculnya bahasa poetik (tak normal) mengantisipasi gerakan revolusioner dalam tatanan masyarakat menemui konteksnya.
Suatu karya seni pada prinsipnya dapat direproduksi, begitu kata Walter Benjamin dalam The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction. Patung-patung dapat direproduksi secara masal melalui teknik cetak lilin, lukisan-lukisan direproduksi melalui tekhnik foto. Namun, bukan hanya secara material karya seni dapat direproduksi. Gaya atau style juga dapat direproduksi melalui duplikasi tekhnik stilistiknya. Benjamin menyatakan bahwa reproduksi telah mengosongkan karya seni dari aura atau kekeramatan. Jika pada tahun 1936, menurut Benjamin, tekhnik reproduksi menceraikan karya seni dari basis spiritual di awal kelahiran seni. Di masa sekarang reproduksi gaya telah mengosongkan gaya dari subyektifitas. Fredric Jameson menyatakan pengarang-pengarang dan seniman-seniman hari ini tak lagi menemukan gaya dan dunia baru. Mereka seudah ditemukan, yang tersisa hanyalah merakit kombinasi-kombinasi yang terbatas. Reproduksi tekhnik stilistik bentuk-bentuk eksperimental pada akhirnya menormalisasi (menetralkan) abnormalitas subyek pengarang. Gaya tak lagi mencerminkan otentisitas subyektif pengarang. Gaya kembali menjadi ornamen dekoratif dari isi, kembali menjadi lexis. Wajah telah dilepaskan dari topeng. Subyek telah dibunuh. Seperti maklumat Roland Barthes, pengarang telah mati. Gaya atau yang poetik hanyalah perangkat bagi pesan pemaknaan hal-hal, bukan makna itu sendiri.
Pudarnya ideologi representasi bukan saja menuntun kita pada jurang kehampaan. Namun membuka suatu hamparan kekhalayakan: dari abu kematian tubuh individu borjuis lahirlah khalayak ramai. Kematian bukanlah akhir, ia semacam batu tapal permulaan babak duplikasi besar-besaran perilaku hedonis borjuis. Sosok-sosok anggun, berkuasa, kharismatis, pendeknya individu otentik boleh berakhir, namun perburuan kenikmatan terus berbiak. Pengumbaran hasrat tubuh yang pada masa lalu merupakan lirisme subversif, pada hari ini menjadi hal yang encer dan dangkal. Abnormalitas bukan lagi suatu hal yang diperjuangkan. Abnormalitas telah dinormalkan melalui reproduksi bentuknya: alangkah Toni Blank Show ditonton tanpa risih. Tidak seperti pada masa jaya individu borjuis ketika abnormalitas merepresentasikan dirinya sendiri sebagai ungkapan perlawanan terhadap yang normal dan sampai ke khalayak sebagai hal mengganggu. Hari ini celoteh dan gaya skizofernia Toni Blank menjadi tontonan hiburan. Ia tidak merepresentasikan dirinya sendiri sebagai subyek yang direpresif. Sebaliknya lebih melayani hasrat khalayak untuk melihat yang aneh; khalayak menikmati tubuh depresif yang telah dijinakan, demi memuaskan hasrat kekerasan yang tersembunyi. Toni Blank Show merupakan contoh bagus dari normalisasi abnormalitas. Toni Blank merepresentasikan bagaimana, seperti dikatakan Slavoj Žižek, menyamar dengan mengenakan selubung yang “asli”. Toni Blank Show merupakan bentuk pastiche yang nyaris sempurna; yang asli menirukan keasliannya sendiri.
Abnormalitas tidak absen pada masa sekarang. Abnormalitas sebagai “spirit” yang menampakan diri pada gaya atau style (sastra/seni), sebagai otentisitas individu yang dilandasi oleh persepsi diri dan pandangan mengenai dunia yang khas barangkali telah pudar atau mungkin malah laip. Bersama surutnya masa jaya individu borjuis, sekelompok kaum istimewa, ekspresi material abnormalitas – bentuk estetik / gaya – belaka selongsong. Abnormalitas telah menjadi tiruan gaya abnormalitas yang dirakit dari kombinasi-kombinasi terbatas yang telah tersedia. Ini adalah momen kemunculan pastiche. Menurut Fredric Jameson, dalam Postmodernism and Consumer Society, saat ini adalah momen munculnya tiruan dari yang aneh atau gaya khas, penggunaan suatu topeng stilistik, ujaran dalam suatu bahasa mati: tapi ini adalah praktik netral atau semacam mimikri, tanpa motif tersembunyi parodi, tanpa rangsang satiris, tanpa tawa, tanpa menyisa perasaan laten bahwa ada suatu yang normal yang dibandingkan dengan apa yang sedang ditirukan adalah komik.
Gaya-gaya abnormalitas hari ini bukanlah gaya-gaya abnormalitas pada masa jaya modernisme klasik yang berifat skandal, menantang, mengejutkan secara seksual. Menyerang kehidupan kelas menengah yang mapan dengan kasar, menghina selera baik, adab kesopanan dan pikiran sehat. Karya-karya James Joyce, Samuel Beckett yang pada masanya begitu memuakkan dan membingungkan sekarang telah dinormalkan, direproduksi dan menjadi klasik. Bahkan bentuk yang dianggap paling kasar dan penuh serangan pada masa sezaman kini, seperti punk rock, telah diterima secara luas dan berhasil secara komersial. Di sinilah kita menjadi maklum kenapa novel Saman dan Larung yang membeberkan penyimpangan-penyimpangan seksual atau perilaku abnormal secara blak-blakan berhasil memperoleh sukses komersial, setidaknya reputasi baik. Pada akhirnya bentuk-bentuk atau gaya-gaya abnormal yang kosong representasi subyektif itu menjadi majal daya revolusifnya.
Kembali lagi ke STA di atas; kini kita tahu kenapa semangat individualistis yang digembar-gemborkan S. Takdir dengan kata-kata yang berbaris menderap menyerbu untuk menghancurkan bentuk-bentuk puisi lama tak kunjung melahirkan puisi baru yang secara radikal berbeda dari pantun, gurindam atau seloka. Pilihan kata atau diksi yang digunakan untuk membangun bahasa puisi pun begitu kuat menghujamkan dirinya pada bahasa puisi yang berbunga-bunga – walaupun sebagian besar karya puisi baru (Pujangga Baru) tak lagi menggunakan majas yang berlapis seperti pada pantun. Sebab subyek yang semayam dalam karya-karya Pujangga Baru adalah subyek yang terkendali, subyek yang hendak rasional. Gaya yang digunakan dalam puisi-puisi S. Takdir semirip praktik retorika dimana gaya estetik belaka baju bagi isinya. Gaya poetik yang tidak lahir dari suatu subyek yang digelorkan hasrat tubuh yang hendak menghisap tandas nikmat badani. Namun, subyek yang mau merengkuh rasionalisme modern, subyek pembangunan. Semangat yang menggelorakan S. Takdir adalah adalah semangat zaman baru, modernisme, yang berada di luar tubuh. Berbeda dengan subyek pada puisi-puisi Chairil Anwar yang liar, bohemian, penuh hasrat untuk mereguk tandas-tandas nikmat badani (seks). Oleh karenanya bahasa poetik Chairil Anwar berbeda sangat tegas dengan Pujangga Baru. Puisi-puisinya bersifat ofensif terhadap tatanan masyarakat pada masa itu; melabrak nilai agama, kepatutan seksualitas, melanggar konvensi sastrawi yang berlaku, juga menyimpan kekecewaan yang mendalam pada peri kehidupan khalayak banyak. Pendeknya revolusioner.
Namun, kita hidup berbeda zaman dengan Chairil, hari ini subyek telah dikosongkan, abnormalitas telah dinormalisasi, dan gerakan revolusioner seperti suatu hal yang mustahil. Benarkah mustahil?
***
*) Pernah dimuat di majalah Tegal Boto. Dimuat kembali di sini tanpa dua paragraf awal.
**) Dwi Pranoto adalah penggiat sastra dan pemerhati budaya yang concern dengan pemikiran-pemikiran kritis.
http://lepasparagraf1.blogspot.com/2011/08/subyek-abnormalitas-gaya.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar