Kompas, 2 Jan 2011
ARIF B Prasetyo memaklumatkan kurun Facebook dan Twitter sebagai era kematian kritikus seni (Kompas, 19/12). Ia membincang berlimpah ruahnya ulasan karya seni di dunia maya, yang lantaran demokratisasi pembacaan, kemudian merenggut otoritas para kritikus.
”Siapa pun kini bisa menjadi kritikus yang berhak mengevaluasi puisi dan melegitimasi siapa pun yang ingin menjadi penyair,” ungkap Arif. Ia memperkokoh argumentasinya dengan diktum ”kematian pengarang” Roland Barthes (1915-1980) sebagai akibat dari meluasnya pembaca. Menurut Arif, otoritas pengarang yang telah dilumpuhkan oleh perayaan tafsir-bebas pembaca juga berakibat pada ”kematian kritikus”. Sebab, dalam banalitas pembacaan, komentar pakar seni tidak ada lagi bedanya dengan suara khalayak ramai. Tak jarang, pembaca jamak lebih berwibawa ketimbang kritikus seni.
Dalam konteks ”kematian pengarang”, Barthes hanya mendeklarasikan perluasan hak pembaca agar pengarang tidak menjadi satu-satunya penentu bulat-lonjongnya makna sebuah teks. Barthes tidak mengklaim ”kematian kritikus”—yang juga pembaca—seperti disinyalir Arif. Justru bila Arif mengatakan ”kematian pengarang” sebagai momen ”kelahiran pembaca”, itu juga berarti ”kelahiran kritikus”, bukan sebaliknya, bahkan kematian kritikus konvensional sekalipun. Bukankah pada akhir esainya Arif menegaskan bahwa kematian pengarang dapat menjadi momen kebangkitan kritikus?
Selain itu, merajalelanya ulasan-ulasan karya seni dalam hiruk-pikuk banalitas pembacaan di jagat maya yang tak terbendung itu, tidak relevan dengan diktum ”kematian pengarang”. Ada atau tidaknya diktum itu, perluasan hak pembacaan terhadap karya seni tetap tak terelakkan karena yang bekerja bukan lagi gagasan filsafat, melainkan teknologi IT yang bergerak sedemikian cepat dan pesat.
Demokratisasi
Demokratisasi pembaca lebih tepat ditimbang sebagai akibat paling nyata dari gelombang industrialisasi sejak awal abad ke-20, yang telah memperlakukan karya seni sebagai komoditas, sebagaimana barang-barang hasil produksi. ”Nilai-guna” karya seni telah merosot menjadi sekadar ”nilai-tukar”, begitu sinisme filsuf Jerman, Theodor W Adorno (1903-1969). Maka, parameter keberhasilan sebuah karya sastra kini hanya ditakar dengan jumlah eksemplar buku yang terjual di pasaran. Padahal, membeli sebuah novel belum tentu berarti memahami dan menyelami kedalamannya. Fenomena pergeseran paradigma seni semacam inilah yang ditandai Walter Benjamin (1892-1940) sebagai akibat dari reproduksi mekanistik hingga seni kehilangan aura, subtilitas, dan otentisitasnya.
Dalam khazanah sastra Indonesia mutakhir, tengoklah fenomena berhamburannya novel dengan embel-embel ”pembangunan jiwa”, ”kisah inspiratif”, yang sejak lima tahun terakhir menggemparkan dunia perbukuan karena angka penjualannya mencapai ratusan ribu eksemplar, puluhan kali lipat dibandingkan dengan penjualan karya sastra semacam Ronggeng Dukuh Paruk, Kunang-kunang di Manhattan, dan Orang-orang Bloomington. Meski buku laku belum tentu buku bermutu. Bagaimana bisa dikatakan bermutu bila yang bermunculan hanya prosa yang mementingkan segi didaktik (motivasi, menginspirasi, how to) ketimbang unsur estetik sebagai kekuatan paling inti. Kematian kritikus barangkali bukan karena banalitas pembacaan, melainkan karena sastra kita sedang defisit mutu estetik.
Gagasan Arif tentang kematian kritikus seni menyisakan dua hal penting yang patut dibincang. Pertama, hak pembacaan yang panjang-lebar diuraikannya. Kedua, kualitas pembacaan yang kurang dipertimbangkan, atau memang sengaja dilupakan. Muncul kesan, Arif memandang sebelah mata pada mutu pembacaan khalayak ramai dan menaruh respek kepada pembaca ”yang kritikus”.
Padahal, dalam kejamakan pembacaan yang dilakukan oleh para blogger dan facebooker tidak bisa dipukul rata bahwa semuanya berselera rendah. Emas tiada bakal menjadi loyang meski tercampak di comberan. Masalahnya hanya karena mereka tidak berbasis akademik, atau tidak berafiliasi pada sebuah ”institusi sastra” yang kerap menjadi tolak-ukur sebuah pengakuan.
Sebagai contoh, kajian komprehensif penyuka sastra Amerika Latin, Ronny Agustinus, terhadap novel-novel Isabel Allende di blog pribadinya (www.sastraalibi.blogspot.com), menurut saya, bisa bersaing dengan ulasan para akademisi di jurnal sastra. Dalam keriuhan tafsir-bebas pembaca—apa pun medianya—tetap ada yang dapat ditimbang sebagai kerja kritikus, bukan ”pembaca sekadar”. Lagi pula, bila Arif sudah meniscayakan tidak ada lagi beda antara suara kritikus seni dan suara pembaca massal, tentulah esai perihal kematian kritikus seni itu tidak akan muncul. Maka, alih-alih meratapi kematian kritikus, esai itu malah membuat saya riang-gembira karena ia justru memperlihatkan jantung kritikus seni masih berdetak dan akan terus bersuara dalam gemuruh banalitas pembacaan.
Analogi kritikus sebagai ”ia yang menari” dan pembaca awam sebagai ”mereka yang berjoget” dapat membuktikan mutu pembacaan yang terabaikan itu. ”Ia yang menari”, menyiratkan sebentuk elitisme kritikus yang masih berhasrat menggenggam otoritas penilaian terhadap karya seni. Garis demarkasi ini mengingatkan saya pada masalah usang tentang otoritas filsuf dan nonfilsuf dalam sejarah filsafat.
Tokoh filsafat profetik, Al-Farabi (850-950), membuat kategori ’am (umum) dan khawwas (khusus). Hanya kelompok khawwas yang berpeluang meraih aql al-mustafad, kemampuan kognitif paling puncak dalam abstraksi filsafat. Di ranah penciptaan ”surplus makna”, kaum khawwas dapat dinisbahkan kepada seniman dan kritikus. Bila Arif bereksperimen dengan menceburkan dirinya dalam kemassalan penikmat seni, menyiarkan esai-esainya di blog pribadi, akan tetap terasa beda antara pembaca expert dan pembaca biasa—yang menulis secara instan, tanpa pijakan metodologi, dan tentu saja serampangan sebagaimana analogi; ”yang berjoget”.
Begitu pula dengan endorsement di sampul buku-buku sastra. Akan sangat berbeda mutu endorsement yang ditulis kritikus sastra, seperti Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta—untuk menyebut beberapa nama—dengan testimoni seorang artis yang dipasang hanya untuk mendongkrak penjualan. Akan tampak jelas mana emas, mana loyang, mana yang hampa, mana yang bernas. Maka, kritikus seni tak pernah mati, ia akan terus menguasai panggung sebagai ”penari” dengan pesona lenggang lenggok tubuhnya di tengah-tengah kerumunan ”pejoget” yang berjingkrak-jingkrak dengan hasrat murahan….
***
*) Damhuri Muhammad, Cerpenis, Esais. http://sastra-indonesia.com/2011/05/elitisme-kritikus-seni/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar