Setelah menyelesaikan “The Death of Ivan Ilyich” karya Leo Tolstoy dan mempelajari teror negara yang lahir dari kecemasan sekian warga negara Indonesia, aku menyimpulkan bahwa langit Bogor selama perjalananku di sana seperti wajah seorang perempuan tua, tetanggaku, memarahi seorang anak lelaki, anak seorang tukang becak, yang tidak sengaja memecahkan vas bunga miliknya. Dalam hukum akal sehat dan nuraniku, anak lelaki itu tidak bersalah bukan karena ketidaksengajaan, tetapi hembusan angin kencang itulah yang mengarahkan bola ke vas bunga itu. Apa peduli? Perempuan tua itu tidak akan menghentikan kata-katanya sebelum anak lelaki itu bertanggung jawab. Salah seorang anak, teman anak lelaki itu, memberitahu si tukang becak, ayah temannya itu, yang sudah empat hari ini tidak menarik becaknya karena sepi segera menghampiri anak lelakinya. Matanya pijar. Marah bukan main. Baginya, orang yang bernasib seperti mereka harus tahu diri. Bagaimana pun, anak lelakinya bersalah dan harus bertanggung jawab. Seperti kesetanan, si tukang becak dengan tangannya yang gagah membuat jera anak lelakinya. Anak lelaki itu bergeming. Matanya berkaca-kaca. Dia kuat. Tidak setetes pun airmatanya gugur ke Bumi.
Minggirlah sebentar akal sehat! Betapa pun engkau, negara ini telah membangun tembok yang begitu tinggi, begitu panjang di setiap halaman rumah warga negaranya. Akal sehat saja tidak akan mampu menembus tembok-tembok itu. Ini bukan persoalan cara mendidik akal sehat sebagaimana mestinya, tetapi kekerasan kejahatan menjadi bayang-bayang diri sendiri. Dan, anak lelaki yang bergeming menahan sakit itu, jangan pula dibebani dengan pendidikan akal sehat! Tahu apa dia soal kekerasan kejahatan? Tahu apa dia tentang kematian? Dua puluh tahun aku menganggap diriku hidup di zaman kebodohan: suatu zaman di mana aku merasa senang ketika menghabiskan seharian penuh bermain di atas pohon-pohon yang ditebang, kemudian diikat satu-satu seperti peti mati-peti mati yang melebihi jumlah rumah dan ruang di gang, di mana perempuan tua yang jahat memarahi anak lelaki itu dan menyuruhnya mengganti vas bunganya yang dipecahkan, hingga seorang tukang becak berani menghakimi dunia anaknya sendiri tanpa pengadilan anak-anak.
Di Bogor, persisnya di halaman Institut Pertanian Bogor (IPB), aku teringat zaman kebodohanku, dua puluh tahun lalu. Di sana, aku merasakan sesuatu yang magis. Betapa tidak? Bagaimana mungkin, di kota metropolis begini, pikirku, ada berpohon-pohon besar tumbuh tanpa ancaman. Tidak tanggung-tanggung. Kurasa, sebelas depa orang dewasa saja tidak cukup untuk memeluk satu pohon. Apalagi berpohon-pohon? Magis! Sementara itu, di tanah kelahiranku, di Kalimantan sana, pohon-pohon besar telah menjadi kenangan belaka! Kilang minyak dan cerobong baja yang mengeluarkan asap hitam – yang mana asap ini menjadi pundi-pundi keuntungan bagi negara atau lembaga yang terlibat dalam kejahatan Bank Karbon! – dan asap hitam itu kemudian membuangku ke Surabaya yang menyedihkan. Ketika intelek-intelek dari pelbagai daerah mengisi kursi-kursi kosong yang membentuk lingkaran, seorang perempuan dari Tangerang segera membuka pertemuan. Intinya dan untuk kali pertamanya, aku bertemu dengan Emil Ola Kleden, mantan Sekertaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN).
Emil selaku pembicara mengawali pembicaraan dengan satire sekaligus kritik menohok terhadap kesadaran kolektif dengan epik. Sebelum aku sampai ke sini, ujar Emil, aku melalui lingkungan pasar. Aku mampir sebentar di sana untuk memperhatikan laku transitif masyarakat “kita” yang dibentuk negara dan kapitalisme. Kebanyakan mereka, membuang sampah ke kanal. Sekilas, tidak ada yang salah dengan laku itu. Akan tetapi, aku merasa ada masalah di sana, perhatikan dan baca dengan seksama ini: “Mereka membuang sampah ke kanal”. “Mereka” adalah bentuk dan “Membuang sampah ke kanal” adalah mempekerjakan alam untuk menyelesaikan dosa-dosa manusia. Sejatinya, manusia bentukan negara dan kapitalisme adalah manusia yang “lupa diri” dan tidak malu-malunya meperlakukan alam secara bringas! Tidakkah di antara kita sudah tidak memiliki kehormatan sebagai manusia dan penghormatan kepada alam yang memberikan sumber penghidupan – kasus terbaru: Indonesia impor oksigen dari Singapore (negara yang kaya-raya ini impor oksigen dari negara sejengkal? Menyedihkan!). Emil berhenti bicara, kemudian menyulut rokor pertama. Dia mengajak intelek-intelek yang berada dalam lingkaran untuk memahami bahwa kesadaran kolektif bukan semata-mata percikan revolusi, tetapi bisa jadi itu adalah rinai ahistorisme.
Dari satire sekaligus kritik menohok Emil inilah benang merah yang bisa kutarik: negara dan mental terjajah akan mengalami “lupa massal” bahwa mereka bekas jajahan, pikirku. Melihat dan mendengar perkataan Emil, aku teringat sebuah wawancara Eduardo Galeano tentang Cermin-nya. Di sana, Galeano mengatakan ketika dia bercermin dia melihat di belakang bayangannya berdiri dengan kokoh dua sosok yang mengerikan, kapitalisme dan imperialisme. Dan, kemudian, dia berkata “Aku tidak bisa apa-apa ketika itu, selain menuliskannya kemudian.” Ketidakberdayaan penulis ketika berhadapan dengan dua sosok mengerikan itu adalah kengerian tersendiri yang sukar dideskripsikan. Akan tetapi, moril seorang penulis tidak-bisa-tidak diindahkan. Moril inilah yang menyuntikan imun kepada akal sehat untuk menambah tenaga bagi kerja imajinasi dalam mencari dan menciptakan karya-karya yang suatu saat akan membunuh kapitalisme dan imperialisme itu. Terdengar mustahil tapi itulah kelebihan seorang penulis yang menjadi bukan sekadar.
Muncul kesadaran kolektif baru di lingkaran oligark di negara ini, ujar Emil. Hal utama yang memunculkan itu tidak lain bahwa mereka pun ketakutan dengan Covid-19. Aku tidak akan mengatakan kemuliaan para kelas pekerja yang dihisap, aku tidak merasa memiliki kesucian untuk bicara tentang mereka. Mereka adalah korban. Demikian, kita dapat melihat bagaimana Covid-19 ini ditunggangi kalangan oligark untuk memassifkan kerja-kerja eksploitatif mereka. Seberapa hebat pun seorang pastor dan ulama ketika mereka berkotbah atau berdakwah, tidak satu nyawa manusia dan sejengkal alam pun yang selamat. Yang ada hanyalah paradoks-paradoks. Sekali waktu, aku membayangkan, para pastor dan ulama yang memiliki jemaat dan jemaah ini mengatakan revolusi, maka aroma pembebasan akan terendus semua orang, termasuk hidup para oligark. Dan, aku yakin, mereka akan lebih ketakutan daripada seorang pedagang yang dibubarkan dan diambil barang-barangnya ketika nekat berjualan.
Perempuan dari Tangerang itu membuka sesi tanya jawab, menanggapi, atau membuat pengakuan. Beberapa intelek bicara sepenggal-sepenggal tentang kegelisahan dan pola perlawanan mereka. Nyaris di akhir sesi, aku memutuskan untuk bicara. Dan, aku mulai bicara: di tanah kami, Pulau Kalimantan, yang hidup adalah kematian. Jauh sebelum kita saling berhadapan begini ini, aku bertemu anak-anak generasi penerus bangsaku yang waktu itu sedang menghabiskan hari mereka di tepi danau. Aku bertanya kepada salah seorang dari mereka, seorang anak perempuan, tentang cita-citanya. Dia menjawab – dan ini adalah kematian yang kumaksud, ketika dia dewasa nanti, dia ingin menjadi seorang mandor di perkebunan kelapa sawit seperti abangnya agar bisa membeli motor dan barang-barang mewah seperti yang dia lihat di televisi. Aku kemudian mengatakan kepada anak perempuan itu, apa pun yang engkau lihat dalam televisi itu adalah kebohongan. Barang-barang itu adalah kartun. Seseorang dengan kemampuannya membuat itu dengan pilox! Terkhusus kepada Emil, kukatakan, kapitalisme berbasis perkebunan kelapa sawit, selain telah menciptakan “dunia baru”, juga menciptakan struktur penindasan berkelanjutan. Studi kasusnya, ketika seorang buruh perkebunan yang memiliki seorang anak yang telah menyelesaikan pendidikan menengah, dia menginginkan anaknya melanjutkan pendidikan ke universitas yang akan menjadikan anaknya sebagai sarjana perkebunan. Alasannya, agar anaknya memiliki kedudukan yang tinggi di perkebunan. Setelah anaknya mengiyakan dan menyelesaikan pendidikannya, jadilah dia sebagai seorang mandor. Kemudian, setelah mengumpulkan uang, dia menikah dan memiliki anak. Terhadap anaknya ini, dia pun menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih dari dirinya agar kelak memiliki kedudukan yang lebih darinya. Jadilah anaknya sebagai seorang magister, kemudian melamar pekerjaan di perkebunan sebagai seorang manajer. Polanya: neneknya adalah seorang buruh, ayahnya seorang mandor, dan dia adalah seorag manajer. Dan, akan begitu seterusnya.
Setelah bicara, giliran aku menyulut rokok.
Selesai pertemuan – aku tidak menuliskannya habis dan utuh, mungkin sewaktu waktu – Emil memanggilku dan mengatakan bahwa mendengar ceritaku membuatnya ingat Nicolai Gogol dalam cerita pendeknya “Jiwa-jiwa yang Mati” – aku sedang mencari cerita pendek ini untuk kupelajari, tetapi belum ketemu. Gogol, ujar Emil, menceritakan dengan epik bagaimana kematian setiap jiwa. Sialnya, aku lupa banyak tentang cerita pendek itu. Kemudian, kukatakan kepada Emil, melihat perangai engkau bicara, aku teringat cerita pendek “Sebutir Biji Gandum” karya Leo Tolstoy dalam Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu”. Begini persepsiku tentang cerita pendek itu, semestinya kehidupan ini semakin tahun semakin kuat dan benar-benar hidup. Orang-orang memiliki kesadaran kolektif untuk tidak menghisap, tidak menindas, dan tidak menjadi kriminil. Tetapi, engkau tahu Emil, aku sendiri pun sadar bahwa itu hanya ada di dalam kepala dan tangan kita sebagai penulis. Kenyataannya, naif bagi kita yang ada di sini kalau tidak tahu itu. Emil semringah dan aku menertawakan diri sendiri dan lingkaran itu.
Surabaya, 2021
http://sastra-indonesia.com/2021/07/catatan-perjalanan-di-bogor-dan-bertemu-emil-ola-kleden-iv/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar