Kamis, 08 Juli 2021

Catatan Perjalanan di Bogor dan Bertemu Emil Ola Kleden (IV)

Muhammad Yasir
 
Setelah menyelesaikan “The Death of Ivan Ilyich” karya Leo Tolstoy dan mempelajari teror negara yang lahir dari kecemasan sekian warga negara Indonesia, aku menyimpulkan bahwa langit Bogor selama perjalananku di sana seperti wajah seorang perempuan tua, tetanggaku, memarahi seorang anak lelaki, anak seorang tukang becak, yang tidak sengaja memecahkan vas bunga miliknya. Dalam hukum akal sehat dan nuraniku, anak lelaki itu tidak bersalah bukan karena ketidaksengajaan, tetapi hembusan angin kencang itulah yang mengarahkan bola ke vas bunga itu. Apa peduli? Perempuan tua itu tidak akan menghentikan kata-katanya sebelum anak lelaki itu bertanggung jawab. Salah seorang anak, teman anak lelaki itu, memberitahu si tukang becak, ayah temannya itu, yang sudah empat hari ini tidak menarik becaknya karena sepi segera menghampiri anak lelakinya. Matanya pijar. Marah bukan main. Baginya, orang yang bernasib seperti mereka harus tahu diri. Bagaimana pun, anak lelakinya bersalah dan harus bertanggung jawab. Seperti kesetanan, si tukang becak dengan tangannya yang gagah membuat jera anak lelakinya. Anak lelaki itu bergeming. Matanya berkaca-kaca. Dia kuat. Tidak setetes pun airmatanya gugur ke Bumi.
 
Minggirlah sebentar akal sehat! Betapa pun engkau, negara ini telah membangun tembok yang begitu tinggi, begitu panjang di setiap halaman rumah warga negaranya. Akal sehat saja tidak akan mampu menembus tembok-tembok itu. Ini bukan persoalan cara mendidik akal sehat sebagaimana mestinya, tetapi kekerasan kejahatan menjadi bayang-bayang diri sendiri. Dan, anak lelaki yang bergeming menahan sakit itu, jangan pula dibebani dengan pendidikan akal sehat! Tahu apa dia soal kekerasan kejahatan? Tahu apa dia tentang kematian? Dua puluh tahun aku menganggap diriku hidup di zaman kebodohan: suatu zaman di mana aku merasa senang ketika menghabiskan seharian penuh bermain di atas pohon-pohon yang ditebang, kemudian diikat satu-satu seperti peti mati-peti mati yang melebihi jumlah rumah dan ruang di gang, di mana perempuan tua yang jahat memarahi anak lelaki itu dan menyuruhnya mengganti vas bunganya yang dipecahkan, hingga seorang tukang becak berani menghakimi dunia anaknya sendiri tanpa pengadilan anak-anak.
 
Di Bogor, persisnya di halaman Institut Pertanian Bogor (IPB), aku teringat zaman kebodohanku, dua puluh tahun lalu. Di sana, aku merasakan sesuatu yang magis. Betapa tidak? Bagaimana mungkin, di kota metropolis begini, pikirku, ada berpohon-pohon besar tumbuh tanpa ancaman. Tidak tanggung-tanggung. Kurasa, sebelas depa orang dewasa saja tidak cukup untuk memeluk satu pohon. Apalagi berpohon-pohon? Magis! Sementara itu, di tanah kelahiranku, di Kalimantan sana, pohon-pohon besar telah menjadi kenangan belaka! Kilang minyak dan cerobong baja yang mengeluarkan asap hitam – yang mana asap ini menjadi pundi-pundi keuntungan bagi negara atau lembaga yang terlibat dalam kejahatan Bank Karbon! – dan asap hitam itu kemudian membuangku ke Surabaya yang menyedihkan. Ketika intelek-intelek dari pelbagai daerah mengisi kursi-kursi kosong yang membentuk lingkaran, seorang perempuan dari Tangerang segera membuka pertemuan. Intinya dan untuk kali pertamanya, aku bertemu dengan Emil Ola Kleden, mantan Sekertaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN).
 
Emil selaku pembicara mengawali pembicaraan dengan satire sekaligus kritik menohok terhadap kesadaran kolektif dengan epik. Sebelum aku sampai ke sini, ujar Emil, aku melalui lingkungan pasar. Aku mampir sebentar di sana untuk memperhatikan laku transitif masyarakat “kita” yang dibentuk negara dan kapitalisme. Kebanyakan mereka, membuang sampah ke kanal. Sekilas, tidak ada yang salah dengan laku itu. Akan tetapi, aku merasa ada masalah di sana, perhatikan dan baca dengan seksama ini: “Mereka membuang sampah ke kanal”. “Mereka” adalah bentuk dan “Membuang sampah ke kanal” adalah mempekerjakan alam untuk menyelesaikan dosa-dosa manusia. Sejatinya, manusia bentukan negara dan kapitalisme adalah manusia yang “lupa diri” dan tidak malu-malunya meperlakukan alam secara bringas! Tidakkah di antara kita sudah tidak memiliki kehormatan sebagai manusia dan penghormatan kepada alam yang memberikan sumber penghidupan – kasus terbaru: Indonesia impor oksigen dari Singapore (negara yang kaya-raya ini impor oksigen dari negara sejengkal? Menyedihkan!). Emil berhenti bicara, kemudian menyulut rokor pertama. Dia mengajak intelek-intelek yang berada dalam lingkaran untuk memahami bahwa kesadaran kolektif bukan semata-mata percikan revolusi, tetapi bisa jadi itu adalah rinai ahistorisme.
 
Dari satire sekaligus kritik menohok Emil inilah benang merah yang bisa kutarik: negara dan mental terjajah akan mengalami “lupa massal” bahwa mereka bekas jajahan, pikirku. Melihat dan mendengar perkataan Emil, aku teringat sebuah wawancara Eduardo Galeano tentang Cermin-nya. Di sana, Galeano mengatakan ketika dia bercermin dia melihat di belakang bayangannya berdiri dengan kokoh dua sosok yang mengerikan, kapitalisme dan imperialisme. Dan, kemudian, dia berkata “Aku tidak bisa apa-apa ketika itu, selain menuliskannya kemudian.” Ketidakberdayaan penulis ketika berhadapan dengan dua sosok mengerikan itu adalah kengerian tersendiri yang sukar dideskripsikan. Akan tetapi, moril seorang penulis tidak-bisa-tidak diindahkan. Moril inilah yang menyuntikan imun kepada akal sehat untuk menambah tenaga bagi kerja imajinasi dalam mencari dan menciptakan karya-karya yang suatu saat akan membunuh kapitalisme dan imperialisme itu. Terdengar mustahil tapi itulah kelebihan seorang penulis yang menjadi bukan sekadar.
 
Muncul kesadaran kolektif baru di lingkaran oligark di negara ini, ujar Emil. Hal utama yang memunculkan itu tidak lain bahwa mereka pun ketakutan dengan Covid-19. Aku tidak akan mengatakan kemuliaan para kelas pekerja yang dihisap, aku tidak merasa memiliki kesucian untuk bicara tentang mereka. Mereka adalah korban. Demikian, kita dapat melihat bagaimana Covid-19 ini ditunggangi kalangan oligark untuk memassifkan kerja-kerja eksploitatif mereka. Seberapa hebat pun seorang pastor dan ulama ketika mereka berkotbah atau berdakwah, tidak satu nyawa manusia dan sejengkal alam pun yang selamat. Yang ada hanyalah paradoks-paradoks. Sekali waktu, aku membayangkan, para pastor dan ulama yang memiliki jemaat dan jemaah ini mengatakan revolusi, maka aroma pembebasan akan terendus semua orang, termasuk hidup para oligark. Dan, aku yakin, mereka akan lebih ketakutan daripada seorang pedagang yang dibubarkan dan diambil barang-barangnya ketika nekat berjualan.
 
Perempuan dari Tangerang itu membuka sesi tanya jawab, menanggapi, atau membuat pengakuan. Beberapa intelek bicara sepenggal-sepenggal tentang kegelisahan dan pola perlawanan mereka. Nyaris di akhir sesi, aku memutuskan untuk bicara. Dan, aku mulai bicara: di tanah kami, Pulau Kalimantan, yang hidup adalah kematian. Jauh sebelum kita saling berhadapan begini ini, aku bertemu anak-anak generasi penerus bangsaku yang waktu itu sedang menghabiskan hari mereka di tepi danau. Aku bertanya kepada salah seorang dari mereka, seorang anak perempuan, tentang cita-citanya. Dia menjawab – dan ini adalah kematian yang kumaksud, ketika dia dewasa nanti, dia ingin menjadi seorang mandor di perkebunan kelapa sawit seperti abangnya agar bisa membeli motor dan barang-barang mewah seperti yang dia lihat di televisi. Aku kemudian mengatakan kepada anak perempuan itu, apa pun yang engkau lihat dalam televisi itu adalah kebohongan. Barang-barang itu adalah kartun. Seseorang dengan kemampuannya membuat itu dengan pilox! Terkhusus kepada Emil, kukatakan, kapitalisme berbasis perkebunan kelapa sawit, selain telah menciptakan “dunia baru”, juga menciptakan struktur penindasan berkelanjutan. Studi kasusnya, ketika seorang buruh perkebunan yang memiliki seorang anak yang telah menyelesaikan pendidikan menengah, dia menginginkan anaknya melanjutkan pendidikan ke universitas yang akan menjadikan anaknya sebagai sarjana perkebunan. Alasannya, agar anaknya memiliki kedudukan yang tinggi di perkebunan. Setelah anaknya mengiyakan dan menyelesaikan pendidikannya, jadilah dia sebagai seorang mandor. Kemudian, setelah mengumpulkan uang, dia menikah dan memiliki anak. Terhadap anaknya ini, dia pun menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih dari dirinya agar kelak memiliki kedudukan yang lebih darinya. Jadilah anaknya sebagai seorang magister, kemudian melamar pekerjaan di perkebunan sebagai seorang manajer. Polanya: neneknya adalah seorang buruh, ayahnya seorang mandor, dan dia adalah seorag manajer. Dan, akan begitu seterusnya.
 
Setelah bicara, giliran aku menyulut rokok.
Selesai pertemuan – aku tidak menuliskannya habis dan utuh, mungkin sewaktu waktu – Emil memanggilku dan mengatakan bahwa mendengar ceritaku membuatnya ingat Nicolai Gogol dalam cerita pendeknya “Jiwa-jiwa yang Mati” – aku sedang mencari cerita pendek ini untuk kupelajari, tetapi belum ketemu. Gogol, ujar Emil, menceritakan dengan epik bagaimana kematian setiap jiwa. Sialnya, aku lupa banyak tentang cerita pendek itu. Kemudian, kukatakan kepada Emil, melihat perangai engkau bicara, aku teringat cerita pendek “Sebutir Biji Gandum” karya Leo Tolstoy dalam Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu”. Begini persepsiku tentang cerita pendek itu, semestinya kehidupan ini semakin tahun semakin kuat dan benar-benar hidup. Orang-orang memiliki kesadaran kolektif untuk tidak menghisap, tidak menindas, dan tidak menjadi kriminil. Tetapi, engkau tahu Emil, aku sendiri pun sadar bahwa itu hanya ada di dalam kepala dan tangan kita sebagai penulis. Kenyataannya, naif bagi kita yang ada di sini kalau tidak tahu itu. Emil semringah dan aku menertawakan diri sendiri dan lingkaran itu.
 
Surabaya, 2021

http://sastra-indonesia.com/2021/07/catatan-perjalanan-di-bogor-dan-bertemu-emil-ola-kleden-iv/

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar