Penulis : Raudal Tanjung Banua
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2005
Tebal : 182 halaman
Peresensi: Damhuri Muhammad
ruangbaca.com
Teks cerpen terkadang dapat diandaikan sebagai “khabar” tertulis yang disampaikan oleh seorang “juru khabar”. Bila hipotesis di atas dapat diandalkan, maka pergulatan seorang cerpenis (juru khabar) agaknya bukan pada substansi khabar (baik atau buruk), tetapi bagaimana cara ia menggarap dan menyiarkan khabar itu. Khabar petaka, jika penyampaiannya dikemas dengan bahasa yang teduh, sejuk dan memukau boleh jadi tetap (seolah-olah) terdengar seperti “khabar baik”. Sebaliknya, khabar gembira jika medium pengabarannya cacat dan tak memadai bisa saja tersiar seperti “khabar buruk”.
Di sinilah “martabat” dan jati diri teks sastra dipertaruhkan. Bahwa, pencapaian estetik tidak diukur pada seberapa banyak anasir pesan dapat tersuguhkan, melainkan ditentukan oleh seberapa kokoh, dan seberapa kuat konstruksi medium penyampaian pesan yang dibangun pengarang. Seperti kata Raya Dewi (2002), sastra adalah artikulasi estetik dalam bentuk teks, bukan risalah sosial. Dengan kata lain, cerpenis akan lebih bergelut dengan “cara”, ketimbang berobsesi pada tercapainya “tujuan”. Lebih bergelimang dengan “proses” ketimbang menghamba pada “hasil”.
Begitulah “laku estetik” yang diperankan Raudal Tanjung Banua dalam kumpulan cerpen Parang Tak Berulu (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Ia membawa khabar perihal amsal, umpama atau semacam “gunjingan” metaforik tentang sebilah parang yang tak lagi utuh sebagai parang. Masihkah dapat disebut parang bilamana sudah tak berulu, tak bergagang? Sejatinnya bukan soal parang tersebut khabar yang hendak disampaikan pengarang. Tapi, tentang etos ketakberdayaan janda beranak satu bernama Gondan. Di negeri tempat khabar ini dipungut, peruntungan perempuan yang ditinggal suami tak ubahnya seperti Parang Tak Berulu. Meski ketajamannya tetap diasah, tapi tak bakal kokoh bila “mencatuk” dan mengerat. Seperti kalimat umpama yang lain ; “Lurah Tak Berbatu”, “Ijuk Tak Bersaga”, “Sawah Tak Berpembatang”. Inilah tabiat “kata melereng”, sindiran pedas, yang jika terdengar amat menyakitkan. Mungkin jauh lebih pedih dari goresan mata parang sesungguhnya.
Adalah Gombak (anak laki-laki Gondan) satu-satunya peninggalan Jibun (suami Gondan) yang meski telah bersusah payah memperbaiki ulu parang, namun selalu gagal. Ulu yang terpasang tetap saja longgar, dan kerap lepas terpelanting setiap diayunkan bundanya saat mengeping kayu. Sewaktu ayahnya masih ada, Gombak dimanjakan, tak pernah memegang parang, apalagi belajar bagaimana cara mengganti ulunya. Begitu pun Gondan. Tak pernah menginjak lumpur sawah, hidup berkecukupan, bahkan Jibun berhasil membangun rumah sendiri (terpisah dari mertua) untuk istrinya. Tapi, Jibun tak berdaya melawan egoisme kesukuan Sutan Mangkudu (paman/mamak Gondan) yang sejak awal tak merestui pernikahan mereka. Alasan penolakan Sutan Mangkudu memang sudah jamak di negeri itu ; Jibun, si laki-laki tak bersuku. Orang datang, orang dagang, tak jelas asal-usulnya, tak bersilsilah. Inilah asal muasal lepasnya ulu dari parang, hingga Gondan hidup menjanda dan jatuh susah ; pasrah pada nasib sebagai pengeping kayu bakar. Itupun dengan parang yang sudah cela ; tak berulu. Apa boleh buat!
“Diam-diam” Gombak hendak mencari ulu yang kokoh bagi “parang” bundanya. Itulah pak Anjang, penjual ikan keliling yang menaruh hati pada Gondan. Namun, Gondan tak yakin, pak Anjang mampu jadi pengganti Jibun, pengganti ulu parang yang sudah hilang. Sebab, bagaimanapun juga pak Anjang sudah beristri. Dan, sudah pasti Gondan bakal tertuduh sebagai perempuan benalu, perusak rumah tangga orang. Maka, selamanyalah parang tak bakal berulu.
Tersebab khabar yang diusung adalah hasil eksplorasi di ranah etnik tertentu, Raudal tampak hendak melakukan “universalisasi konteks” agar metafora Parang Tak Berulu familiar di dalam nalar pembaca mana pun (tidak hanya etnik Minang). Maka, terbacalah improvisasi pengarang, yakni mengganti kata lading (baca; bahasa Padang “parang”) dengan parang. Problemnya, kata “parang” tidak serta merta dengan gampang dilekatkan pada pekerjaan mengeping kayu. Sebab, pekerjaan mengeping (membelah) biasanya dilakukan dengan perkakas ; “kapak”. Sementara lading atau parang sifatnya memotong (mengerat). Tapi, ini hanya soal ibarat. Toh, khabar yang hendak disiarkan tak ada hubungannya dengan makna detonatif kata “parang”.
Eksplorasi tematik yang digali dari kultur etnik, sebagaimana disinyalir kritikus Maman S. Mahayana (2002) merupakan peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Warna lokal seperti mata air gagasan yang tak pernah kering. Menyimpan benih-benih kisah yang tak “sudah-sudah” jika para pengarang mau mengolah. Tengoklah, Oka Rusmini (Bali), Darman Moenir, Wisran Hadi, Gus Tf Sakai (Minang), Taufik Ikram Jamil (Riau), Yanusa Nugroho (Jawa), beberapa contoh pengarang yang menggauli kultur etnik dengan amat cerdas. Begitu pun Umar Kayam (Para Priyayi), Linus Suryadi AG (Pengakuan Pariyem), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk). Raudal Tanjung Banua, sebagai generasi baru cerpenis yang terlahir di Ranah Minang tak menyia-nyiakan peluang itu. Parang Tak Berulu adalah kumpulan cerpennya yang ketiga setelah Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003) dan Ziarah Bagi yang Hidup (Mahatari, 2004). Sejak awal kepengarangannya, cerpenis peraih anugerah sastra Horison, 2004 (Cerobong Tua Terus Mendera) ini begitu tekun, telaten dan bersetia membolak-balik lembaran khazanah kaba (tradisi sastra lisan Minang Kabau) yang nyaris terabaikan oleh pengarang-pengarang seusianya.
Raudal tak henti-hentinya melakukan ekperimentasi teknik berkisah, untuk meraih kompetensi literer sebagai “juru kaba” yang lihai, piawai dan tak terjerumus pada model simbolisme atau realisme yang udik. Hal ini diakui Nirwan Dewanto sebagaimana tertera di cover belakang buku ini, bahwa Raudal menjalankan siasat naratif yang jitu dalam menghadapi realitas besar. Anasir kecil seperti pisau atau parang bisa bermakna kelamin atau bayangan lelaki yang merangsang konflik di bawah permukaan. Sejumlah kisah Raudal menjadi sistem yang utuh, namun sekaligus menjadi prisma yang memancarkan masalah kaum, puak atau satuan sosial yang lebih besar. Raudal berhasil meneruskan kompleksitas tradisi lisan (kaba) ke dalam tradisi tulisan, tradisi sastra.
Sebagai “juru khabar” yang mampu menyulam kisah-kisahnya dengan langgam puitik, runtut dan model pengungkapan yang berirama, pembaca bisa saja terkecoh bahwa ketertindasan tokoh Upik (Ranah Berkabut) lantaran mitos “pusar-pusar ternak” yang melekat di ubun-ubunnya pun terdengar (seolah-olah) “khabar baik”. Diceritakan tentang “tahyul” turun temurun bahwa seorang anak yang memiliki “pusar-pusar kembar”, dipercayai sebagai isyarat dan pertanda bakal berkembang biaknya binatang ternak yang dipeliharanya. Maka, Upik tak perlu bercita-cita tinggi seperti abangnya (Kandik) yang ingin jadi tentara. Perempuan itu seolah-olah sudah terselamatkan hanya dengan mengikuti “garis” nasib sebagai pengembala ternak (ayam, itik, kambing, sapi dan kerbau). Celakanya, “alih-alih” dapat menikmati jerih payahnya mengembangbiakkan ternak, si Upik justru jadi sasaran kesewenang-wenangan ayahnya (penjudi, dan suka menganggu istri orang) yang bebas merampas ternak-ternak peliharaannya. Begitupun Kandik (bila kalah berjudi), yang dengan gampang menyeret kambing-kambing Upik. Mitos “pusar-pusar ternak” yang diyakini bakal berbuah berkah, ternyata hanya menyuburkan iklim kekerasan “diam-diam”.
Ketertindasan Upik, “setali tiga uang” dengan penderitaan Gondan (Parang Tak Berulu) yang menanggung gunjing, bisik dan selidik sejak kepergian Jibun, suaminya. Begitu pun Hindun (Perempuan Yang Jatuh dari Pohon), yang mesti berjuang mati-matian “menegakkan” hidup keluarga setelah ditinggal mati ayahnya. Hindun mengisolasi diri dari pergaulan gadis-gadis kampung seusianya, tinggal di ladang bersama ibunya. Di sini, Raudal memperlihatkan betapa banyak pantangan adat yang kaku, kolot, kampungan dan sering merendahkan martabat perempuan. Misalnya, terlarang bagi perempuan memanjat pohon. Apakah karena perempuan tak boleh lebih tinggi dari laki-laki? Lalu, terlarang meminang perempuan yang tak tinggal di rumah sendiri. Bila Hindun masih tinggal di ladang, niscaya ia tak bakal bersuami sampai mati. Maka, Hindun pun melanggar semua pantangan, sejak kecil ia sudah berani memanjat pohon, dan juga bertekad tak akan tinggal di dalam kampung. Hingga suatu ketika, Hindun memanjat pohon keramat. Celakanya, perempuan itu kena batunya. Hindun jatuh, dan mati!. Konon, kematian Hindun dianggap sebagai “karma”, tersebab telah melanggar pantangan. Dan, kematian seperti itu tak bakal disembahyangkan.
Maka, betapapun halusnya rumusan “bahasa pengabaran” dalam teks cerpen Raudal, pembaca yang telaten tetap akan memahami bahwa kisah Gondan, Hindun, Jumilah (Tali Rebab) dan Andam (Laju Buaian di Rumah tak Berpenghuni) adalah “khabar buruk” perihal perempuan-perempuan yang tak bernasib mujur, (justru) di ranah budaya matrilineal yang konon sangat memuliakan kaum ibu.
*) Cerpenis, Tinggal di Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2009/05/mendulang-cerita-dari-amsal-dan-umpama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar