jawapos.com
Ada seorang Italia bernama Silvio Berlusconi. Ia cerdik pandai, salah seorang paling terkenal di negerinya. Ia juga politikus andal. Karena itu, ia terpilih sebagai perdana menteri. Ia bukan hanya peduli negeri dan rakyat Italia, tapi juga peduli kepada rakyat Afrika yang miskin. Untuk itu, ia menandatangani dokumen KTT G 8 di Gleneagles, Skotlandia, pada 2005, yang isinya ia berkomitmen akan membantu rakyat Afrika. Tapi Berlusconi agaknya ingkar janji, sampai KTT G 8 akan digelar lagi bantuan itu tak sepenuhnya terealisasikan.
Ada orang lain lagi bernama Bob Geldof. Ia pemusik dari Republik Irlandia. Juga seorang yang peduli pada rakyat Afrika sejak 30 tahun yang lalu. Tahu akan janji perdana menteri Italia itu berbau gombal, ia kemudian menagihnya seperti yang diberitakan Jawa Pos, Selasa (7/7). Bob Geldof pun menyerang Berlusconi. Katanya, ”Bagaimana Anda akan memimpin sidang KTT G 8, sedangkan Anda tidak memiliki kredibilitas?”
Sambil memperlihatkan dokumen bantuan ke Afrika itu Geldof berucap, ”Di dokumen ini tercantum tanda tangan Anda, seorang lelaki yang mewakili kehormatan negaranya.” Dan Geldof melanjutkan, Berlusconi tidak pantas menjadi tuan rumah KTT G 8 di Italia, kecuali dia meminta maaf terlebih dahulu.
Orang Indonesia bilang, ”Ludah yang sudah jatuh ke tanah tidak bisa dijilat lagi.” Maksudnya, janji yang diucapkan tidak bisa ditarik lagi. Apalagi tanda tangan pada dokumen, tak mungkin untuk dihapus. Itu adalah pernyataan yang diucapkan dengan nyawa.
Kembali ke perdana menteri Italia yang tersudut oleh jurus jitu Bob Geldof itu. Ia hanya bisa mengepalkan tangan, kira-kira menyesali dirinya sendiri, tidak bisa berkilah sebagaimana umumnya politikus. Agaknya Berlusconi termasuk orang yang masih punya nurani dan naluri kemanusiaan. Dengan jantan ia berkata, ”Maaf, kami sudah melakukan kesalahan. Kami minta maaf karena sudah mengurangi jatah bantuan ke Afrika.” Berlusconi beralasan, tidak terpenuhinya bantuan itu secara utuh tak lain akibat krisis finansial global yang juga menerpa Italia.
Yang menarik dari peristiwa itu adalah sikap kesatria seorang yang berpangkat perdana menteri. Tidak banyak orang yang mau bersikap kesatria seperti itu, kecuali orang yang punya kejujuran nurani dan rasa malu. Itulah akhlak yang disarankan Sunan Drajat sebagai rasa isa rumangsa, bisa menyadari dan mengaku bersalah karena berkaca pada kejujuran nurani serta kerendahan hati.
Orang yang tidak punya rasa malu akan menangkis tuduhan dengan seribu kilah. Bisa kita perhatikan pada beberapa koruptor, meskipun sudah divonis dan masuk penjara, mereka masih berani menepis bahwa dirinya tidak bersalah. Dan, otomatis tidak mau meminta maaf kepada negara dan rakyat yang telah dikhianatinya.
Yang mengherankan, para koruptor itu bukan cuma telah menandatangani dokumen, lebih dari itu ia telah bersumpah atau berjanji kepada Tuhan, bahwa tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan siapa pun. Jika Tuhan sudah digombali, apalagi bangsa dan negaranya.
Jangankan kepada Tuhan, kepada seorang seniman musik bernama Bob Geldof saja, Berlusconi mengaku bersalah, dan dengan legawa meminta maaf. Ia merasa tidak gagah untuk berkilah, karena itu ia memilih kemuliaan jiwa dengan cara minta maaf.
Saya pikir-pikir, memang sudah jarang sekali saya mendengar istilah ”kesatria”. Istilah itu seperti istilah asing yang sudah hampir lenyap tertimbun debu sejarah. Tetapi, seandainya nilai-nilai ”kesatria” itu diajarkan kembali, lalu ditanamkan kepada anak didik, dan bisa merasuk ke dalam kalbu dan tulang sumsum, serta membentuk integritas moral, tentu lebih mudah nanti kita menemukan banyak pahlawan yang akan menolong bangsa dan negara ini.
***
*) D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.
http://sastra-indonesia.com/2009/07/kesatria/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar