Max Havelaar (Djambatan, 1985), roman perjuangan garapan Multatuli (Eduard Douwes Dekker) menyapa pembaca Indonesia lewat terjemahan H.B. Jassin. Roman mengandung gugatan tajam terhadap ketidakadilan dan penderitaan penduduk Bumiputera di wilayah bernama Hindia Belanda. Buku itu tenar dan ikut mengangkat nama pengarang dan penerjemahnya.
Pada 1973, Jassin mendapat undangan mengunjungi negeri Belanda selama kurang lebih setahun. Ia pun dianugerahi Hadiah Martinus Nijhoff untuk tahun tersebut, diberikan oleh Prins Bernard Founds atas karya terjemahan roman ini.
Di balik roman ini, ada sesobek riwayat pernah disampaikan sastrawan Asrul Sani (2000) di majalah Gatra. Jassin ketika di negeri Belanda teringat dengan gurunya bernama Duisterhoff. Ia yang mendidik dan mengajar di sekolah rakyat bernama HIS Gorontalo—tempat sekolah Jassin di waktu kecil—telah menanamkan benih sastra pada siswanya, terutama bagi Jassin. Ia mengakuinya.
Pengakuan dikatakan saat datang ke rumah Duisterhoff, yang tinggal di negeri Belanda. Begini: “Saya sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuanlah yang memperkenalkan saya dengan kesusastraan. Tuanlah yang menimbulkan minat saya pada sastra kurang lebih 40 tahun yang lalu. Tuan dulu pernah membacakan Saijah dan Adinda di kelas. Baru kemudian saya tahu bahwa itu adalah sebagian dari karangan Multatuli, Max Havelaar. Tuan juga membacakan Pidato di Depan Kepala-Kepala Lebak yang mengesankan saya.”
Roman ini pun mengantarkan kenangan sekaligus kisah tentang hubungan sang guru dan si murid. Dengan kepekaan dan imaji cukup, peristiwa apa yang tersembunyi di balik roman ini, bisa menyalakan empati, impresi, haru, dan pelbagai imaji. Pembaca bisa memandang wajah sampul dihiasi adegan episode Saijah dan Adinda, dilatari fragmen pemandangan alam.
Dulu, Jassin mengetahui Saijah dan Adinda, mulanya lewat cerita guru. Dan, ketika pembaca masih menjumpai dan mengetahui roman telah tercetak kali keenam (1985), imaji tentang Saijah dan Adinda telah tervisualisasikan. Perubahan ini tentu turut merubah pandangan pembaca terhadap roman ini. Apakah ini dianggap sebagai roman gugatan, perlawanan lagi seperti pada awal-awal terbitnya? Atau malahan telah dianggap sebagai roman sejarah dan kenangan memiliki nilai tersendiri?
G. Termorshuizen, pembaca sekaligus penulis kata pendahuluan tentang roman ini mengatakan, “…Max Havelaar ialah pengalaman-pengalaman Douwes Dekker di Lebak, yang pada umumnya dilukiskan dengan teliti. Jadi inti cerita banyak mengandung unsur otobiografis, tapi pengarang juga melakukan beberapa kebebasan, misalnya dalam memberikan warna romantis yang spesifik bagi abad ke-19 (pun Multatuli adalah anak zamannya!) kepada bungkah-bungkah kenyataan; kita teringat misalnya perjalanan-perjalanan malam hari naik kuda yang dilakukan oleh Havelaar ke daerah Parangkujang, pidato di depan kepala-kepala Lebak dan cerita yang termasyhur Saijah dan Adinda. Pemberian warna romantis yang dalam pada itu mempunyai fungsi yang jelas sekali dalam keseluruhan buku itu” (hal. xvi).
Membaca beberapa kilasan dan pendahuluan dalam roman ini, pembaca sadar dan tak menjadi sangar, ketika sampai di akhir cerita, tepatnya pada halaman 348. Begini: “Sebab aku bukan penyair yang menyelamatkan lalat, bukan pemimpi yang lembut hati, seperti Havelaar tertindas yang melakukan kewajibannya dengan keberanian seekor singa, dan menderita lapar dengan kesabaran seekor marmut di musim dingin. //Buku ini adalah suatu pendahuluan…..”
Di balik roman terjemahan H.B. Jassin—bisa mengundang serta mengandung tanda tanya-tanda seru untuk pembaca masa dulu dan masa kini, ternyata pembaca nantinya akan disuguhi ‘kata-kata pendahuluan’ setebal 300 halaman lebih.
***
*) Budiawan Dwi Santoso, Esais asal Sukoharjo. https://sastra-indonesia.com/2020/12/di-balik-max-havelaar-multatuli/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar