Rinto Andriono
Setiap
manusia, sejatinya adalah seorang pencari. Ketika mereka terlahir di dunia,
mereka juga telah terberkati dengan seperangkat alat pencari. Alat pencari itu
tertanam dalam kalbu setiap insan. Alat inilah yang membangkitkan kerinduan
mendalam terhadap segala sesuatu yang spiritual. Bagai pelita, alat inilah yang
menentukan gelap terangnya hidup seseorang. Lantas apakah yang sebenarnya
mereka harapkan dari pencarian hidupnya? Mereka sangat menginginkan kenyang
rohani. Mereka adalah mahluk rohani yang sejati. Tetapi mereka selalu dirundung
distraksi dalam setiap upaya pencariannya.
“Margot, seberapa besar
engkau menyayangi ibumu?” tanya Kakek kepada Margot kecil.
“Sebesar ini, Grandpa!” sahut Margot sambil
menggerakkan tangannya membentuk gambar hati besar di udara. Dia berusaha
meraih jangkauan terjauh dari tangannya yang kecil agar bisa menggambar hati
yang paling besar untuk ibunya.
Kakeknya tampak menunduk,
dia kembali bimbang, rasa ragu kembali menyiksa, akankah dia perlu ini
menyampaikan ini kepada Margot atau tidak sama sekali. Suasana hening sejenak.
Margot meneruskan menggambar bunga, dirinya bangga dia telah berhasil
menyajikan gambar hati terbesar yang mampu dia jangkau dengan tangan kecilnya.
Terbersit penyesalan di hati Sang Kakek, dia akan memulaskan lembayung mendung
di pagi yang cerah ini.
Sang Kakek mengambil mawar
layu di tengah meja.
“Ini mawar kemarin bukan?”
“Ya, sudah layu.”
“Margot, ketahuilah, setiap
orang adalah bunga.”
“So…?”
“Mereka bunga yang beraneka
rupa dan warna.”
“Yup, aku menggambar mawar
yang merah.” Sahut Margot sambil menunjukkan gambarnya.
“Ada mawar yang lekas layu,
ada pula anggrek yang tahan lama. Setelah mereka layu, bunga seolah mati, namun
mereka menjadi benih, yang kelak akan menumbuhkan pohon yang baru dan berbunga
lagi”
“Ok, so what’s the point?”
sergah Margot tak sabar.
“Ibumu adalah mawar itu, dia
sudah layu lebih dahulu dari kita di Pantai Santa Elena, Ecuador. Ibumu akan menjadi benih yang subur dan akan menumbuhkan
mawar yang lain kelak.”
Seketika mendung memberati
wajah Margot yang sesaat lalu masih bersinar bagai matahari kecil. Krayonnya
terjatuh dan kertas gambarnya basah.
****
Margot sudah tumbuh besar
sekarang, umurnya sudah dua puluh tujuh tahun. Margot mewakili generasi millenials. Dia mandiri, terpelajar dan
memiliki jangkauan hidup yang luas. Sudah empat tahun ini Margot bekerja
sebagai media specialist di firma
hukum yang berskala internasional. Sebuah pekerjaan yang diimpikan oleh banyak
teman seusianya. Namun setelah tiga tahun lamanya bekerja, dia merasakan ada
sesuatu yang hampa di dalam dirinya. Sebuah lubang besar di dalam hatinya
membutuhkan isi agar penuh. Dia tidak pernah merasakan kenyang secara rohani.
“Kau benar hendak resign sekarang?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kariermu?”
“Hidupku jauh lebih
berharga.”
Tidak bisa dipungkiri, ada
perasaan terkejut di dalam benak kawan-kawannya, namun terselip juga perasaan
senang seperti hyena yang mendapatkan hasil buruan dari mulut singa. Job Margot adalah posisi yang diincar
oleh sebagian besar orang yang berkarier secara normal. Kalau seseorang sudah
lepas dari masa probation, maka
posisi Margot adalah posisi yang strategis untuk keberlangsungan karier. Namun
apalah mau dikata, bagi Margot, apatah gunanya karier bila hatinya tak pernah
kenyang secara rohani.
Margot begitu optimis dengan
pilihannya, dia seolah menemukan bahagia di situ. Bahkan dia sudah menyusun
sebuah rencana yang rapi untuk menjemput bahagianya. Langkah pertamanya adalah
membeli karavan. Sebuah Dolphin Camper Van 1985 merupakan pilihan hatinya,
sebuah karavan yang tidak terlalu besar dengan tempat tidur, peturasan, dapur
dan ruang duduk yang nyaman untuknya bekerja sebagai travel blogger. Sempurna. Dia tinggal menyematkan mesin hot press emboss logo pada kulit sapi dan domba.
Selain menjadi travel blogger, dia
juga akan membuat handmade leather watch
straps dan menjualnya secara daring.
Langkah kedua Margot adalah
mencari kawan perjalanan. Langkahnya ringan, sambil bersenandung dan menyapa
sekeliling dia berjalan ke Puptown di Lexington Avenue. Mata dan hatinya
langsung terpesona dengan seekor brindle
cihuahua puppies jantan usia tiga bulan. Tanpa ragu Margot langsung
menggendongnya.
“Kita akan berpetualang ke
America Latin.”
Anak anjing itu hanya
mendengus.
“Kalau begitu namamu adalah
Peno, kau kecil dan pedas seperti cabai jalapeno.”
Puppy itu mengibaskan ekornya.
“Mulai sekarang kita saling
menjaga.”
Peno menjilati wajah Margot
yang pagi ini begitu bercahaya. Sebuah massa besar dari makhluk kecil telah
mengisi ruang kosong di hati Margot. Sebuah harapan akan pertemanan yang setia.
Meski usia normal cihuahua hanya hampir setara dengan seperenam usia manusia,
namun cukuplah itu bagi Margot untuk merasa nyaman. Margot dan Peno akan pergi
ke Ecuador.
****
“Ini Mexico! Hanya uang yang
akan menolongmu di sini.” cerocos penjual Taco sambil menaruh sesendok
guacamole tebal di atas taco pesanan Margot.
Margot tersenyum menerima
taco sebagai sarapannya pagi ini. Dia makan sambil duduk bersama Peno. Pure alpukat dan bawang bombay terasa
terlalu lembut di atas taco yang renyah. Taco adalah hidangan ugahari di
Nezo-Chalco-Itza, sebuah kawasan slum
terbesar di Mexico City, hampir sepuluh persen populasi penduduk Mexico City
tinggal tidak secara manusiawi di kawasan ini. Mereka pekerja urban rendahan di Mexico City, mereka
juga mencuri dan merampok sekedar untuk bisa melupakan beban hidup dengan
bantuan seperlima gram bubuk putih.
“Eight pesos!” kata
pelapaknya sambil menunjukan kesepuluh jarinya dengan tangan kotor yang terbuka
di hadapan Margot.
Margot pun hendak tertawa
namun ia tidak sampai hati, ia hanya tersenyum, sambil menyodorkan uang 10 peso
kumal. Dia tahu bahwa Badai Katrina yang melanda wilayah tenggara negaranya
berdampak juga pada pelapak taco di sini. Sejak Katrina menghancurkan ladang
minyak makmur lepas pantai Amerika di mulut Mississippi, bahan bakar industri
di negaranya beralih dari minyak fosil ke minyak jagung sebagai bio-diesel. Hal itu berarti mereka
merebut sumber pangan utama rakyat Mexico untuk bahan bakar. Harga tortilla melejit naik oleh sebuah krisis
yang sama sekali tidak mereka ketahui di utara sana. Kenaikan harga tortilla
ini menimbulkan krisis berkepanjangan di Mexico. Sepanjang jalan Margot banyak
menjumpai grafiti yang mengekspresikan kekecewaan kepada partai berkuasa.
“Tortilla si, pan no!”
demikian isi grafiti itu.
Mexico adalah pengimpor
kalori dari Amerika, sehingga peralihankonsumsi bahan bakar di Amerika ini
menganggu keseimbangan pasar pangan di Mexico. Petani Amerika mengurangi ekspor
jagung ke Mexico. Permintaan bio-diesel di Amerika sedang tinggi.
Ketergantungan Mexico pada jagung produksi Amerika telah sedemikian besar.
Petani jagung Mexico, tempat di mana tanaman itu berasal, justru tidak pernah
mampu menyaingi harga jagung produksi petani bersubsidi di Amerika. Hubungan
serupa terjadi pula pada kedelai bahan baku tempe di Indonesia.
Peno sudah selesai buang air.
Margot memberinya sarapan di dalam karavan mereka. Tiba-tiba Margot mendengar
suara logam beradu di luar. Ia membuka tirai karavannya, matanya bersirobok
dengan mata seseorang. Di pagi yang sepi ini seseorang hendak membuka paksa
karavan Margot dengan sebuah linggis. Margot segera melompat ke ruang kemudi,
dia menyalakan mesin dan kabur. Jantungnya berdebur kencang bagai ombak di
Pesisir Santa Elena, Ecuador. Pantai yang terkenal maut oleh para peselancar.
Pantai yang gelombangnya telah merenggut ibunya hingga ke palung yang terdalam.
Sambil gemetar Margot
bergumam, “Ini Mexico!”
Tanpa sadar ia menirukan
kata-kata penjual taco. Pikirannya terlalu kalut untuk memikirkan arah tujuan.
Ia hanya teringat satu hal, Ecuador yang akan ia tuju, ia menyetir seperti
kesetanan terus ke selatan. Seolah tahu suasana hati Margot, Peno pindah duduk
di kursi sebelah Margot.
****
Perjalanan Margot menuju
Ecuador telah menempuh sebagian besar tanah genting Amerika Latin. Dia memasuki
Mexico pada musim semi tahun lalu. Lantas ia menyusuri pesisir-pesisir lautan
Pasifik yang eksotis di sepanjang Guatemala, El Savador, Nicaragua dan Costa
Rica. Sebentar lagi, perjalanannya akan genap satu setengah tahun saat dia di
Panama. Dia telah berselancar di pantai-pantai indah negara-negara itu.
Pada setiap negara yang
dilaluinya, ia mengumpulkan daun, bunga dan biji pohon-pohon khas negara
tersebut. Di Mexico, ia memajang daun pohon lelaki tua berair, ahuehuete, pohon
yang rindang seperti beringin dengan daun rimbun menggantung seperti jenggot lelaki
tua. Di Guatemala, ia mengumpulkan biji kapuk dari pohon kapuk randu. Kapuk
randu atau Ceiba adalah tanaman khas Guatemala. Dengan hati-hati ia
mengeringkan bunga Maquilishuat di El Savador. Pohon Maquilishuat yang berwarna
lembayung sungguh-sungguh telah menawan hatinya. Pada musim kemarau, pohon itu
meranggaskan daunnya hingga tinggal bunga berwarna lembayung. Margot sangat
menyukai buah Modrono di Nicaragua. Ia mengumpulkan bijinya. Sesampainya di
Costa Rica, Margot dan Peno menyempatkan berteduh dibawah pohon Guanacaste yang
rindang, sambil mengumpulkan daun-daunnya yang jatuh.
Kemampuan berenang Peno pun
sudah lebih menyerupai anjing laut daripada seekor cihuahua. Keberaniannya
menghadapi riak gelombang tepian telah melebihi keberanian cihuahua pada
umumnya. Peno pun telah mahir menyeimbangkan dirinya berdiri di atas papan
selancar Margot. Peno juga sudah mencobai beragam kapal dan alat pengapung
lainnya. Barangkali Peno telah menjadi seekor kadet cihuahua angkatan laut
dangkal pertama di Samudera Pasifik.
“Aku rasa kau pun lahir
dengan sebuah pertanyaan Peno.” kata Margot pada suatu ketika, “Kau pasti
bertanya-tanya mengapa kau bisa berenang sedangkan mungkin tak seekor pun nenek
moyangmu yang mahir melakukannya.”
Peno menggoyangkan badannya
agar kering. Dia habis berenang.
“Aku pun begitu.”
Peno menatap Margot seolah
mengerti.
“Aku merasa pertanyaanku
semakin dekat dengan jawabannya”
“Guk!” seru Peno.
“Aku merasa hatiku seperti
radio, aku hanya perlu memastikan antenanya bersih agar aku tidak terganggu
dalam menangkap sinyalnya.”
Peno menatapnya syahdu.
“Setiap saat dia selalu
mengirimkan sinyalnya, masalahnya adalah apakah kita selalu siap untuk
menerimanya atau tidak.”
Peno sudah mendengkur
kelelahan.
“Ketika di New York, aku
hampir tidak bisa mendengar sinyal ini. Sekarang semuanya semakin jelas.”
Setelah satu minggu
menyusuri pesisir lautan Pasifik di Panama, Margot dan Peno hendak bermalam di
Pantai Cambutal, di Azuero Peninsula. Ia ingin melihat pelepasan tukik esok
pagi. Tukik adalah anak-anak penyu yang sudah menetas. Cambutal adalah salah
satu pantai dengan ombak yang tinggi. Cambutal juga dipilih oleh penyu-penyu Pasifik
sebagai tempat untuk bertelur. Setelah penyu-penyu meletakkan telurnya di pantai,
para konservasionis akan mengambil dan menetaskannya di tempat yang terlindung.
Setelah itu, para tukik itu akan mereka lepas kembali ke samudera sebagai
sebuah atraksi wisata. Seolah mengerti, penyu kecil itu akan berusaha sekeras
mungkin untuk mencapai samudera. Beberapa diantara mereka akan menjadi santapan
burung camar dan rubah dalam perjalanannya menuju samudra, tetapi mereka tak
hirau dengan itu untuk tetap memenuhi panggilan samudera. Mungkin insting
serupa inilah yang juga memanggil-manggil Margot untuk pergi ke Ecuador
meskipun ia tahu bahwa perjalanan itu tidaklah mudah.
Cambutal bukanlah pantai
yang ramai oleh para turis. Ombaknya lebih tepat dikatakan ekstrim daripada
sekedar tinggi. Cambutal lebih merupakan ujian keteguhan bagi para peselancar
mahir. Hanya ada dua karavan menginap di pantai itu. Satu adalah milik Margot.
Yang lain adalah VW Kombi Brasil milik seorang perempuan tua gipsi. Mereka
parkir berdampingan.
“Kau berminat membuat
perapian?” tanya si Gipsi sambil membawa setumpuk kayu.
“Menyenangkan juga, aku
punya dendeng untuk dibakar.”
Dari perkenalan sore hari
itu, Margot mengetahuinya sebagai Samantha. Samantha adalah seorang cenayang tua
dengan kartu Tarot. Dia hendak ke Peru untuk menyepi. Dia berasal dari
Colombia.
“Aku sudah tua, akhir dari
misi hidupku sudah tergambar di depan mata. Aku akan ke Peru, dari sana nenek
moyangku berasal dan di sana lah aku akan mengakhiri perjalananku.”
“Aku ingin menemui ibuku di
Ecuador.”
“Apakah dia masih hidup?”
“Setahuku tidak”
“Apa yang membuatmu ingin ke
sana?”
“Aku merasakan kehadirannya
di sana, di Pantai Santa Elena, semakin jauh perjalananku ke selatan, semakin
kuat aku merasakannya.”
“Bolehkah aku meramalmu?”
Margot hanya mengangguk. Ia sendiri
pun ingin memastikan visinya.
****
Peno berlarian mengendus
setiap tukik yang dijumpainya, kadang-kadang ia membalikkan badan anak-anak
penyu itu, lalu menggonggonginya. Ia hanya sekedar ingin tahu. Peno penasaran
dengan para penyu kecil itu.
“Mereka lucu ya!” kata
Margot pada relawan penetasan di sebelahnya.
Relawan itu membawa ember
penuh tukik yang akan dilepas liar.
“Ya, dan mereka seperti
punya kompas untuk selalu menunjukkan arah yang benar ke samudera.”
“Oh, ya?”
Mereka kemudian saling
berkenalan. Namanya Harlans, ia sudah enam bulan menjadi relawan penetasan
tukik di Cambutal. Harlans adalah orang udik dari Colorado. Ia sudah lebih lama
hidup di karavan dibandingkan Margot. Nama Harlans begitu terkenal di Youtube.
Ia seorang selebritis di dunia para peselancar. Pengalamannya menaklukkan
pantai-pantai America Latin membuat akunnya banyak dikunjungi orang. Dari
pendapatannya di Youtube ia mendapatkan dolar demi dolar untuk memperpanjang setiap
kilometer petualangannya di pesisir lautan Pasifik.
“Bagaimana kalau kau
pindahkan karavanmu ke kompleks penetasan tukik? Kami punya barbeque dan bir
setiap malam.”
“Kalian tidak berkeberatan?”
“Asal kau mau ikut menggali
sarang tukik.”
“Baiklah, aku mau.”
Pesta barbeque rupanya
sangat menyenangkan hati Margot. Mereka memanggang beragam ikan, udang,
kepiting dan cumi-cumi. Rasa manis yang dihasilkan oleh daging udang segar
sangat serasi dengan Balboa Beer, bir Amerika Latin yang tajam di mulut. Semua
merupakan perpaduan yang pas bagi Margot. Kawan-kawan relawan ternyata sangat
hangat dan ramah. Mereka bercerita tentang beragam pengalaman berselancar di
pantai-pantai Amerika Latin. Margot merasakan kehangatan yang sangat intens. Mereka
banyak kesamaan. Mereka sama-sama mengutuk sampah plastik, menolak polusi dan
memuja keperkasaan alam indah ciptaan Tuhan. Mereka menari mengikuti irama lagu
Yesi Dominguez yang cepat secepat orang berjalan kesetanan, hingga kelelahan.
“Mengapa kau ada di sini?”
tanya Margot kepada Harlans.
“Aku lahir di desa, hamparan
rumput dan udara segar yang membesarkan aku. Aku tidak mau ikut campur pada
kerusakan alam yang lebih besar.”
“Lalu mengapa karavan
menjadi pilihanmu?”
“Praktis! Aku tinggal di karavan tidak untuk
putar-putar bersenang-senang dan mengotori udara. Aku hanya berkendara bila
perlu. Karavanku sudah tidak bergerak sejak enam bulan yang lalu. Dia akan
bergerak lagi hanya bila aku perlu.”
“Kau tidak pernah pergi
jarak dekat? Ke pasar, misalnya?”
“Aku berjalan kaki, manusia
dilahirkan untuk berjalan kaki, nenek moyang kita pun berjalan kaki ketika
pertama kali keluar dari Afrika.”
“Jadi karavan lebih banyak
kau gunakan untuk tidur?”
“Dan bercinta!”
Harlans kemudian tenggelam
dalam samudera biru pandangan mata Margot. Mereka menikmati keindahan yin-yang
ciptaan Tuhan. Kali ini Peno tidur sendirian di karavan Margot.
****
Mentari pagi mulai bersinar,
cahayanya menembus karavan yang pintunya tidak pernah lagi tertutup.
Orang-orang di sini begitu menikmati alam ciptaan Tuhan. Paparan keindahan ini
membuat mereka tanpa pretensi. Keindahan ini membuat semua harta mereka di
dalam karavan seakan tidak berharga lagi. Saujana pagi yang jingga membuat
mereka semua seperti pensiunan kumbang kotoran. Mereka malu, mengapa dahulu
mereka rela berkelahi hanya untuk sebongkah kotoran yang busuk. Apatah gunanya
perebutan harta benda dimasa lalu bila kita berhadapan dengan saujana pagi yang
jingga? Mereka menemukan kedalaman makna dari hidup yang fana.
“Sekarang mengapa kau
berkaravan dari New York kemari?” tanya Harlans kepada Margot.
“Aku selalu ingin menemui
ibuku di Ecuador.”
“Oooo, dia hidup di sana?”
“Secara teknis tidak, bahkan
aku memiliki surat kematiannya. Namun kalau kau percaya energi, daya hidupnya masih
ada di sana.”
“Bagaimana engkau tahu?”
“Aku menerima sinyalnya
setiap hari, pada berbagai kesempatan.”
“Bagaimana bisa begitu?”
tanya Harlans semakin tertarik.
“Setiap orang hidup memiliki
energi yang saling berlawanan sehingga membentuk keseimbangan, seperti gaya
sentrifugal dan sentripetal yang membuat gasing bisa seimbang dalam
putarannya.”
“Oke. Lalu?”
“Manusia pun begitu, selalu
terjadi tarik menarik antara hasratnya, akalnya dan kesadaran tertingginya. Ketiga
hal itu membentuk trinitas kalbu.”
“So?”
‘Tarik-menarik trinitas itu
menciptakan keseimbangan seolah seperti gasing yang berputar pada sumbunya.
Begitu salah satu dari ketiganya itu musnah maka robohlah gasing tadi dan sirna
pula kehidupan manusia tadi.”
“Dan bagaimana dengan ibumu?”
“Yang aku tahu, ibuku
berbeda. Secara teknis ia sudah meninggal, namun putaran gasingnya masih
kencang dan sangat seimbang. Sebagai energi dia masih ada. Trinitas itu masih
berdaya.”
Harlans berusaha mencerna
keyakinan Margot. Beberapa minggu ini mereka memang banyak bertukar pikiran dan
semakin dekat. Banyak kesamaan pandangan di antara mereka. Misalnya, mereka
sama-sama pengagum teori efek kupu-kupu dari Fritjof Capra. Mereka sama-sama
sangat hati-hati dalam mengintervensi alam. Mereka percaya bahwa dalam sistem
hidup yang tidak linier ini, kepak sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil,
secara teori, dapat menghasilkan tornado beberapa bulan kemudian di Texas.
Mereka pun sama-sama yakin
akan ekosentrisme alih-alih antroposentrisme. Menurut mereka, antroposentrisme
atau pemusatan kehidupan melulu pada manusia, justru akan merusak keseimbangan
semesta. Mereka lebih percaya pada ekosentrisme, semesta sebagai ekosistem-lah
yang seharusnya lebih diutamakan, alih-alih hanya memusatkan pada manusia.
Mereka meyakini bahwa nyawa seekor tukik adalah sama istimewanya dengan nyawa
seorang Harlans atau Margot sendiri.
Namun dalam hal kematian
Harlans tidak dapat menerima keyakinan Margot. Baginya, segala sesuatu akan selesai
sudah ketika manusia mati, karena itu selama masih hidup hendaknya manusia bisa
berguna semaksimal mungkin. Harlans tidak percaya pada reinkarnasi atau pun
segala bentuk kehidupan setelah kematian. Baginya hidup adalah sekarang,
hidupnya adalah Totus Tuus, dalam bahasa Latin artinya hidup
adalah sepenuhnya kamu sekarang, asalkan kita hidup seirama dengan manusia dan alam
maka mereka pun akan menghidupi kita.
****
Panama adalah salah satu surga
tropis di Amerika Latin. Negara ini banyak menghasilkan bahan baku bagi
industri pemanis di Amerika. Banyak raksasa pertanian Amerika membuka usahanya
di sini. Mereka menanam tebu dan jagung. Tebu dan jagung akan diambil gulanya
untuk memaniskan kopi di utara. Dahulu ketika arus gerakan kiri berkuasa,
pernah ada beleid nasionalisasi lahan besar-besaran di negara ini. Namun
sekarang pendulum telah bergerak ke kanan lagi. Kemenangan kaum kapitalis yang
mendorong pendulum itu kembali berayun ke kanan. Hanya saja beleid yang masih
menguntungkan untuk investasi besar-besaran tidak dibatalkan.
Pemerintahan Panama yang
dimenangkan oleh kaum penyokong kapitalis ini masih memanfaatkan beleid
nasionalisasi dari masa lalu sebagai alas hak untuk mencaplok lahan
besar-besaran. Setelah itu mereka kemudian menggelar karpet merah untuk
investasi asing. Negara-negara dengan surplus pendapatan seperti Saudi Arabia,
China, Amerika dan Korea Selatan, akan berebut ribuan hektar lahan untuk
menjadikannya industri pertanian besar yang modern seperti di Iowa atau Mato
Groso. Negara-negara para investor akan bergerak atas nama kekuatiran pada
kemungkinan gejolak politik bila makanan susah didapat. Para pengusaha pun
berebut mencari untung di bawah tudung kekhawatiran pemerintah-pemerintah negara
tersebut.
Seperti wadah bertemu dengan
tutupnya, Pemerintah Panama kemudian membuat baliho berkilau besar-besaran di
Bandara Internasional Tocumen. Pesan provokatif tertulis besar-besar di baliho
tersebut.
“Kenapa menarik?” demikian
isi pesannya.
Pada bagian lain baliho itu
tertulis, “Sangat luas, lahan berpengairan dengan sewa murah.”
Lahan itu akan terairi
sebuah kanal besar yang dikuasai negara oleh Panama Canal Authority.
“Sumber air melimpah, tenaga
kerja murah.” Yang ini tertulis di baliho yang lain dengan judul sama.
Pemerintah selalu beralasan
bahwa itu lahan tidur. Namun itu tidak benar sama sekali. Beberapa keluarga
masih bertanam koka dan menggembala di tanah itu. Di wilayah itu juga ada
aturan hak tanah ulayat yang dibuat sangat rinci. Namun itu semua tersapu oleh
para land-grabbers yang dilindungi negara. Ancaman ini jauh lebih nyata
dari ancaman perubahan iklim sekalipun. Selain mencaplok lahan, pertanian itu
pun merampok air, dan karena perjanjian pengelolaannya hanya konsesi sesaat hingga
balik modal, maka para pengusaha tidak berpikir mengenai kelestarian. Mereka
akan pergi setelah kesuburan lahan dan cadangan air habis dihisapnya.
“Kau pernah makan di sini?”
“Tidak.”
Suatu ketika dalam
perjalanan ke pasar, Harlans mengajak Margot mengudap.
“Mereka menjual Panamanian
Tortillas hangat di sini.”
Panamanian Tortillas adalah
kue jagung yang tebal dan digoreng dengan minyak yang dalam.
Ketika mereka sedang
bersantap, Peno bermain di luar. Sebuah pick-up tiba-tiba berhenti di depan
kedai. Dua orang lelaki paruh baya keluar dari pick-up, yang satu besar bertato
dan yang satunya kecil berambut panjang.
“Anjing Meksiko itu milikmu?”
“Ya.” Margot menjawab
sekenanya. Dia sedang riuh dengan Harlans.
Melihat Margot tak begitu
acuh, lelaki kecil gondrong itu naik ke bak pick-up. Dan lelaki yang besar
bertato menangkap Peno. Peno sesaat meronta. Lalu lelaki itu segera melempar
Peno ke atas bak pick-up.
“Tangkap!” katanya.
Dengan sigap, kawannya yang
sudah di atas pick-up menangkap badan Peno yang mungil. Dia kemudian berlari ke
ruang kemudi. Pick-up pun melesat kencang.
“Hey, itu anjingku!” teriak
Margot diantara debu yang terbang, “Mereka menculik Peno!” raung Margot kepada
Harlans.
Harlans mencoba berlari,
tapi percuma. Mereka bergerak lebih cepat. Menurut pemilik kedai, mereka adalah
para bekas penggembala ternak yang biasa menggembala di kawasan hutan, sebelum hutan
itu dicaplok menjadi lahan pertanian baru. Saat menyerahkan lahan, mereka telah
terlanjur terbuai janji akan mendapatkan pekerjaan di sana. Tetapi janji
perusahaan seperti belut, susah dipegang, alih-alih mempekerjakan mereka, perusahaan
malah mengimpor tenaga kerja yang lebih terampil dari Meksiko, akibatnya sekarang
para penggembala itu bekerja serabutan bahkan mencuri dan merampok.
Harlans segera tahu kemana
mereka harus mencari Peno.
“Ayo, kita pulang mengambil
karavan, aku tahu Peno akan berakhir di mana.”
Harlans mengumpulkan
kawan-kawan relawan penetasan tukik.
“Kawan-kawan, Peno diculik,
aku perlu bantuan kalian untuk menyapu pasar hewan di tepi timur kanal!” jelas
Harlans kepada teman-temannya.
Mereka berkendara jauh ke
Selatan. Mereka menuju pasar hewan di sisi kanal. Tempat di mana hewan-hewan
eksotis diperdagangkan dan siap dikirim melalui kanal. Kanal Panama selain
untuk irigasi, juga memiliki fungsi distribusi komoditas. Kanal itu membentang
hingga ke Brasil. Mereka menemukan banyak macaw, toucan dan elang harpy
di sana. Mereka melihat banyak sloth dengan mata besar dan sayu di
kandang. Mereka juga melihat beberapa anak jaguar di kandang yang bertudung
kain. Mereka satwa-satwa yang dilindungi. Mereka satwa-satwa yang berlarian tak
karuan ketika hutan berubah menjadi perkebunan tebu dan jagung.
“Dimanakah Peno?” ratap Margot.
Otoritas Penyelamatan Hewan
Langka telah beberapa kali merazia tempat ini. Setiap kali razia dilalukan,
hasilnya selalu nihil. Mereka hanya membereskan yang tidak penting-penting.
Pencaplokan lahan dan penjualan satwa liar adalah dua sisi berbeda dari keping
mata uang yang sama. Satwa-satwa langka ini akan menghiasi rumah-rumah para
orang kaya. Mereka tega memisahkan satwa dari habitatnya, hanya untuk membunuh
rasa bosan. Orang-orang yang tidak pernah merasakan kenyang rohani, para
pencari yang selalu mengalami distraksi. Distraksi yang justru datang dari
harta mereka sendiri.
“That’s him.” kata seorang
relawan yang mencari di bagian selatan pasar.
Dia menghubungi Harlans dan
kawan-kawan. Kandang Peno menumpuk di antara puluhan kandang Macaw. Mereka
kemudian berkumpul. Mereka nampak sangat kontras dengan orang-orang di pasar.
Mereka mengundang banyak tanya yang berujung pada curiga. Margot dan Harlans
datang terakhir dengan buru-buru. Margot tidak dapat menahan diri. Dia
menghambur ke kandang Peno.
“Peno, aku mengkuatirkanmu.”
Seseorang dengan rahang
besar mendatangi Margot.
“Eo quod venundatus!”
katanya ini dijual, dia menyadari gelagat bahwa dirinya akan terancam.
“That’s mine, they kidnap
him!” sergah Margot.
“Non! Ego buy!” dia mengaku
membelinya dari petani yang datang.
Beberapa pria latin ikut
merubung. Harlans menyadari bahwa situasi ini akan kurang baik bagi Margot.
Sekarang mereka para relawan yang justru terancam. Posisi begitu cepat
berbalik.
Dia menyadari bahwa kini
saatnya uang bicara. Cepat-cepat Harlans berkata, “Quid tu vendere?”
Ia mengubah posisi dari
pihak yang hendak mengklaim miliknya menjadi pihak yang hendak membeli sesuatu
untuk menjadi miliknya. Beginilah cara bekerjanya dunia mafia di Amerika Latin.
Kadang kau harus membeli milikmu sendiri. Sebetulnya para pria latin itu hanya
meniru cara bekerjanya perekonomian caplok-mencaplok di tanah mereka. Dahulu
mereka bebas-bebas saja mengambil air di mata air, sekarang tiba-tiba ada yang
mengklaim memilikinya dari Perancis sana.
“Pesos quadringentorum!”
kata si rahang besar dengan cepat, ia melihat kemenangan.
Empat ratus peso cukup untuk
menyambung seratus kilometer perjalanan karavan, benak Harlans. Dia berembug
dengan Margot. Hati Margot sudah pasi. Dia mengeluarkan simpanannya.
“Si!” kata Margot.
****
Mereka sudah jauh di Selatan. Pasar hewan
sudah dekat dengan Columbia. Dari Columbia tinggal selangkah lagi, lalu tiba di
Ecuador. Hati Marot sudah terlalu lelah untuk kembali ke Cambutal. Ia sudah
ingin segera bertemu dengan ibunya. Meski dia tahu, barangkali bukan lahir
ibunya yang akan dia temui. Dia juga merasa sangat beruntung bisa menemukan
Peno lagi. Kawan perjalanannya sejak dari New York. Dia sangat berterima kasih
kepada Harlans dan kawan-kawan. Ia hendak mengucapkan selamat tinggal.
“Aku tidak ikut kalian
kembali ke Cambutal lagi.” kata Margot, “Namun aku berterimakasih, kalian telah
membantu mencari Peno.”
Mereka berpelukan.
“Aku akan merindukan
kehangatan kalian.” kata Margot berlinang, “See You when I see You!”
Margot memeluk Harlans.
Pelukan kali ini bermaksud pamitan.
“Aku akan mengikutimu.” kata
Harlans.
Margot tercengang, ia
memeluk harlans lebih erat.
Mereka berpamitan. Mereka
hendak meneruskan perjalanan ke selatan. Harlans memutuskan meninggalkan
karavannya di Cambutal. Margot merasa perjalanan menjadi lebih cepat dengan
Harlans menemaninya. Meskipun mereka selalu berdebat tentang kematian ibu
Margot sepanjang perjalanan. Rasa ingin tahu Harlans masih mengganggunya. Untuk
memuaskan rasa inilah dia mengikuti Margot. Baginya memendam rasa penasaran
adalah siksaan asasi bagi manusia.
****
Pagi ini Santa Elena sedang
sangat ramah. Mentari sedang ada di selatan khatulistiwa, seakan menyambut
mereka berdua. Burung-burung camar terbang menukik tajam ke laut, menceburkan
tubuhnya ke laut yang sedang meremang hangat, mereka menangkap mackarel yang
malang. Harlans masih menemani Margot hingga jauh ke Selatan. Rasionya masih
ingin mengganggu Margot dengan keyakinan bahwa kematian bukanlah embarkasi.
Kematian bagi Harlans adalah debarkasi final manusia. Namun disamping perbedaan
itu, Harlans diam-diam justru merasa tertantang menemani Margot. Ada sisi
penasaran yang terbangkitkan di relung kalbu Harlans. Itu semacam menemukan ruang
tambahan dihatinya, yang dia temukan karena mendengar dan mengikuti pendirian
Margot yang keras kepala. Sesuatu yang belum bisa dia terima dengan segala akal
sehatnya, segala pengetahuannya, segala keyakinannya dan segala egonya.
“Kita masih harus menungu
Rubens.” kata Harlans.
“Oke. Peno, ayo kita makan
dulu!”
Penyelaman ini akan menjadi
penyelaman berbahaya, palung Santa Elena adalah palung yang dalam. Palung ini
langsung berhadapan dengan tebing bawah laut yang curam. Sementara dari arah
muka, gelombang Pasifik yang kuat bisa tanpa ampun menghempaskan mereka ke
dinding tebing hingga menjadi remah-remah. Rencananya selama mereka berdua
menyelam, Rubens akan menunggu di kapal dan menjaga tali sinyal penyelaman. Dia
harus waspada dengan tarikan berulang-ulang dari tali ini. Jika itu terjadi,
artinya para penyelam sedang menghadapi keadaan darurat. Dia harus melakukan
sesuatu.
Rubens adalah kawan penyelam
yang juga membuka jasa penyewaan alat penyelaman dan pelatihan selam bagi yang
membutuhkan. Rubens sudah terbiasa dengan situasi darurat yang dihadapi
penyelam. Dia pun sangat memahami risiko setiap penyelaman. Apa lagi risiko
penyelaman palung dalam seperti palung Santa Elena. Palung ini sangat dalam
sehingga penyelam tidak dapat langsung ke permukaan bila terjadi keadaan
darurat. Penyelam harus naik perlahan untuk menyesuaikan tekanan air dengan
tekanan udara permukaan. Bila tidak, maka jantungnya akan meledak di permukaan.
Setiap meter kedalaman
penyelaman berarti menaikkan tekanan bagi paru-paru penyelam. Volume paru-paru
normal manusia adalah 4,5 liter. Semakin dalam penyelaman membuat membuat
paru-paru yang seperti balon itu semakin mengecil, sehingga manusia semakin
sulit bernafas. Belum lagi komposisi udara dalam tekanan tinggi jauh berbeda
dengan komposisi udara normal. Sampah pernafasan dalam darah pun akan semakin
pekat dan itu bisa membuat manusia keracunan. Penyelam bisa mati lemas.
Rubens sudah datang dengan
muka berseri-seri.
“Jadi kalian sudah siap mati
pagi ini?” canda Rubens.
“Sialan kau!” kata Harlans
sambil tertawa, sepertinya Harlans begitu menjiwai makna Totus Tuus, dia
masih bisa mentertawakan dirinya.
“Aku siap.” lapor Margot.
“Aku mau bertemu ibuku.”
Lanjutnya ringan.
Harlans dan Rubens saling
menatap. Mereka terkesima dengan ucapan Margot. Mengapa dia begitu yakin akan
bertemu dengan ibunya.
Mereka melaut sekarang. Peno
pun ikut dalam kapal penyelaman mereka. Harlans dan Rubens nampak serius
berhitung dengan risiko mereka.
“Three pulls means going
down for me.” kata Harlans merapal sinyal tali penyelam.
“Yeah, and four pulls means
I order You to come up.” sahut Rubens.
Margot betul-betul seperti
anak kecil yang hendak menemui ibunya. Seolah mengerti perasaan Margot, Peno
pun mengibaskan ekornya di haluan kapal.
***
Air laut semakin meremang
gelap. Cahaya matahari semakin sulit menembus kedalaman. Suara pun menjadi
hening. Air meredam segala bunyi-bunyian permukaan. Suhu air pun seolah
bersekongkol dengan gelap, semakin dingin. Namun gelap, hening dan dingin
justru seperti surga bagi Harlans dan Margot. Mereka merasakan sekat yang tebal
dengan hingar-bingar dunia luar. Mereka justru merasa aman ketika menyerahkan
hidupnya bulat-bulat kepada samudera. Harlans jauh lebih berpengalaman dalam
penyelaman. Dia mengantongi sertifikat NAUI. Itu adalah organisasi penyelaman
di Amerika Serikat. Dalam setiap penyelaman biasanya dia membimbing Margot. Namun
pada penyelaman kali ini justru Magot yang di depan.
Banyak penyu menyapa mereka
bersahabat. Seolah kenal atau memang kenal? Harlans mungkin terkenal di
kalangan penyu-penyu Pasifik, melalui cerita para tukik yang dia tetaskan. Para
penyu sedang berkumpul di kadalaman Santa Elena. Mereka menunggu arus Pasifik.
Harlans menarik tali sekali,
ia hendak memberitahu Rubens di permukaan.
“I am OK.” itu makna tarikan
sekali.
Gelombang permukaan mengayun
meninggi, artinya arus bawah juga sedang besar. Peno menyalak. Rubens menarik
tali sinyal dua kali.
Dia mengirim pesan kepada
para penyelam “Stationary!”
Harlans mengepalkan
tangannya kepada Margot yang terlalu antusias.
“Berhenti!” makna isyarat
itu.
Mereka menunggu arus
berlalu. Para penyu meninggalkan mereka. Mereka mengikuti arus Pasifik untuk
bermigrasi. Siripnya mengepak seolah berpamitan kepada Harlans.
Setelah arus berlalu, mereka
menuju ke dasar palung. Rubens semakin cemas, karena tali sinyalnya menunjukkan
bahwa para penyelam sudah hampir mencapai batas kedalaman yang aman. Harlans
memberi isyarat jari telunjuk kepada Margot.
“Hati-hati!” kata Harlans
sambil menunjukkan tali sinyal mereka.
“Ini sudah hampir mencapai batas.”
Margot menunjukkan isyarat, “OK.”
Kemudian dia menunjukkan
titik merah di depan mereka. Harlans terpana. Itu adalah Mekky koral, dari
genus Nephtheidae. Sesuatu yang sungguh aneh dan di luar nalar yang
diketahuinya. Mekky koral adalah bunga karang laut dangkal. Dia perlu banyak
sinar matahari untuk bisa bertumbuh dengan baik. Ini adalah kedalaman lautan
yang suram. Sinar matahari sangatlah sedikit. Meski masih pagi namun serasa
senja saja di sini. Mereka mendekati koral itu. Seonggok tulang manusia nampak
damai terbaring di sisinya. Sebuah liontin masih memantulkan cahaya yang remang
di leher tengkorak itu. Liontin huruf Yunani berbunyi “Mu”. Artinya adalah
Martha, nama kecil Ibu Margot.
Di sini Margot teringat
petuah ramalan Samantha.
“Yang tampak di depan kita
bukanlah hakikat sesunguhnya. Yang lahir bukanlah yang sejati. Yang kelihatan
itu tidaklah yang asasi. Lampauilah yang lahir, gapailah makna dalam hidupmu.” *)
Rupanya tulang-belulang
Martha hendak mengatakan itu kepada Margot.
****
Catatan:
*) Petuah Samantha itu sumbernya parafrase dari kutipan Jalaludin Rumi, isi kutipan aslinya: Dunia ini adalah busa di lautan, jika engkau orang suci maka lampauilah dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar