: Desa Cangaan, UjungPangkah, Gresik, Jawa Timur
Rakai Lukman
Desa berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti tanah asal, juga berarti nagari. Desa ialah kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahannya sendiri. Desa terdiri dari sekumpulan “tanah pekarangan”, yang biasa diberi tanda berupa pagar keliling, baik pagar hidup maupun pagar batu, kayu atau bambu. Di pekarangan terdapat beberapa rumah beserta lumbung padi, kandang sapi, kuda, kambing, kerbau atau ayam.
Pekarangan satu dengan yang lain disambung dengan jalan desa. Di tepian desa jalan-jalan ditutup dengan kunci (portal) dari kayu atau bambu. Ketika malam hari dikunci dari dalam. Di pintu desa bagian dalam terdiri dari gardu penjagaan desa. Pintunya diberi atap dari genteng atau daun. Kanan kiri jalan dibuat geladak lantai di atas tiang, yang merupakan panggung pada kedua tepi jalan) sebagai tempat menaruh gamelan, untuk menghormat tamu agung yang datang.
Di sekitar jalan tepi desa ditanami pohon bambu yang padat. Sehingga ruang masuk melalui gerbang. Lazimnya setiap desa mempunyai langgar. Desa yang besar mempunyai masjid, kuburan desa, yang biasanya ditanami pohon kamboja. Desa juga terdapat balai desa, sebagai tempat rapat dan musyawarah, kantor pemerintahan. Perkumpulan resmi, seperti penyuluhan, pembukaan bank rakyat, dan juga terdapat lumbung desa serta sekolah dan pasar desa. Ada juga seorang kepala desa di rumahnya ada pendopo, sebagai ruang administrasi.
Riwayat terjadinya desa, adalah insting manusia untuk hidup berkumpul, tinggal bersama turun-temurun. Sehingga lebih ringan dalam memelihara, mengusahakan, dan mempertahankan kepentingan bersama. Di samping itu juga sebagai pelindung bahaya alam dan binatang buas. Sehingga butuh kerjasama dalam hubungan erat dan teratur. Alasan masyarakat desa terbentuk, adalah untuk hidup bersama (pangan, sandang, dan papan), mempertahankan ancaman dari luar, dan mencapai kemajuan hidup bersama.
Desa pertanian adalah sekumpulan masyarakat pertanian, bersama-sama membuka hutan belukar, bersama mengolah tanah kosong, untuk ditanami tumbuhan yang dapat menghasilkan bahan makanan. Di Daerah yang subur terdapat jalinan masyarakat yang memiliki ikatan yang kuat. Masyarakat desa juga memiliki dasar tinggal bersama, peraturannya berdasarkan kelumrahan, memiliki tatakrama tersendiri, sebagai kesadaran masyarakat menghormati orang lain. Tata susila terbentuk atas dasar kesadaran masyarakat dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
Desa canga’an kiranya memiliki riwayat desa sebagaimana tersebut. Nampak pada kondisi geografis setempat, yang mayoritas adalah masyarakat pertanian. Di samping itu ada yang bekerja di sektor perdagangan, jasa, penambang batu kapur, peternak kambing-sapi-ayam, ada juga yang jadi TKI. Topografi desa ini berupa dataran sedang kira-kira 25 meter di atas permukaan laut, di baratnya kaki bukit kapur. Curah hujan rata-rata mencapai 2.400 mm. Desa Cangaan berbukit dengan total luas 5,0000 Ha, sedang luas datarannya 375,8000 Ha. Jarak tempuh ke kota kecamatan kira-kira 6 km, jarak ke kota kabupaten kira-kira 40 km.
Desa ini dibatasi oleh wilayah tetangga desa. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Gosari, sebelah utara Desa Ngemboh, selatan Desa Wotan, barat berbatasan dengan Dalegan. Di timur desa terdapat bukit kapur, selatan desa hamparan sawah, sebelah barat hutan dan utara perkampungan penduduk Ngemboh. Ada dua jalan masuk ke desa ini dari arah utara dan arah timur desa. Desa berkecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik, berkode pos 61154. Desa ini dihuni penduduk kira-kira 2.742 jiwa. Luasnya kira-kira 380,8000 Ha, dengan rincian tanah basah (persawahan) 121,3660, tanah kering (tegalan) 246,0880 Ha, dan fasilitas umum 12,9741 Ha.
Mengaji dan menelaah sejarah, babad atau kisah suatu desa tidaklah mudah. Butuh waktu dan curahan tenaga yang cukup menguras energi, juga akses data dari sumber pelaku sejarah. Akan tetapi, kearifan masa lalu itu sangat dibutuhkan oleh generasi saat ini (generasi milenial dan gadget). Bagaimanapun juga desa tidak tiba-tiba ada begitu saja, pemuda hari ini harus tahu itu, merekalah yang kelak yang menjadi pemimpin di masa yang akan datang.
Ruang yang akan dimasuki adalah imajinasi kesejarahan, kemungkinan memasuki kelampauan untuk mengerti dan memunculkannya lagi. Yang mana merekontruksi peristiwa sejarah diwarnai kadar yang dimiliki dan dihayati. Situasi sejarah dijadikan pembenaran konsep teoritis yang dinamik dan perkembangan masyarakat. Penulisan sejarah didorog oleh keingin tahuan filosofis yang mempertanyakan asal dan arah tujuan manusia atau cita kemanusiaan. Sebagai usaha untuk menempatkan diri di tengah alam semesta dalam untaian waktu. Secara definitif sejarah lokal adalah kisah di kelampauan dari kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada geografis yang terbatas.
Dalam menulis sejarah lokal diperlukan, penyelidikan bahan dan bentuk. Penyelidikan tentang isi dan perbandingan dengan sumber yang lain. Juga cerita yang berkembang di masyarakat (foklor) sastra tutur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Demikian juga fakta dan cerita yang menghubungkan fakta-fakta, sehingga terdapat keseluruhan atau kesatuan. Mitos atau cerita kepercayaan mengandung anasir sejarah, seperti sangkuriang, roro jongrang, dan di desa Cang’an terdapat kisah Joko Slining dan Puteri kabunan.
Demikian juga kisah penamaan Desa Canga’an, dinisbatkan burung Cangak (sejenis bangau). Menurut cerita masyarakat setempat. jadi teringat dengan kisah burung cangak dari bali, sejenis burung yang hidup di sawah-sawah yang bulunya berwarna putih, berkaki dan berleher panjang. Sejenis kuntul yang kira-kira besarnya sebesar ayam. Cangak sangat ingin makan ikan yang ada di kolam. Pada suatu hari burung cangak di sebuah kolam yang jernih ditumbuhi bunga tunjung dan banyak ikannya. Kemudian ia memikirkan daya upaya bagaimana cara mendapatkan ikan. Setelah mendapatkan akal, cangak berdiri di tepian kolam. Ia berpakaian serba putih dan bermahkotakan pendeta. Tenang dan begitu kalem penampilannya, ikan-ikan pun datang menerumuninya. Tapi ia tidak memakannya, sehingga makin banyak yang mendekatinya...
Dari sini dapat diambil tentang filosofi burung cangak, bahwa ketika menginginkan sesuatu harus dengan akal, siasat, tenang dan sabar. Jika dilanjukan cerita tentang burung cangak ini, maka akan ketahuan bahwa siapa yang berlebihan, tamak dan loba akan kena batunya. Juga bisa dilihat dari nama Desa Canga’an berdasarkan penamaan ibu kota kuno dari 10 Dinasti di tiongkok, Chang’an yang berarti kedamaian abadi (wikipedia). He he, otak-atek gatok.
Di samping itu juga ada cerita yang disusun untuk tujuan tertentu, seperti legenda yang berkembang di masyarakat Desa Canga’an dan sekitarnya. Pada kisah rakyat Ujungpangkah terdapat kisah tentang Jaka karangwesi dan putri Kabunan. Adapun di desa Canga’an ada kisah yang hampir mirip, yakni kisah Jaka Slining dan putri Kabunan, yang mana muatan ceritanya hampir sama. Tentang putri Kabunan yang mengajukan syarat dibuatkannya 41 sumur, bila ingin memperoleh cinta darinya dan ia bersedia menjadi suami orang yang bisa memenuhi syarat tersebut.
Mitos, saga, legenda betapun banyaknya mengandung anasir sejarah, bukanlah cerita sejarah. Yang nampak dari sejarah adalah cerita-cerita sifat-sifat kemanusian sejati. Kemanusian sejati tidak beralaskan kesaktian, kedewaan, keajaiban, kemukjizatan. Manusia dilukiskan sebagai manusia biasa, yang bergembira, bersedih, senang, lapar, beranak, mengejar cinta dan sebagainya. Sejarah adalah medan perjuangan manusia, dan cerita epos perjuangan mencapai kemajuan. Gerak sejarah ditentukan hukum alam yang disebut nasib. Kehidupan kebudayaan dalam segala-galanya sama dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, kehidupan hewan, sama pula dengan perikemanusiaan. Sama-sama dalam hukum siklus, baik makrokosmos (alam) maupun mikrokosmos (Manusia).
Demikian juga sejarah lokal desa, perlu mengenal tentang alam kebudayaan yang terbagi dalam; pertama, ideational (kerohaniawan, ketuhanan, keagamaan dan kepercayaan. Kedua, sensate (jasmaniah, keduniawiyan, yang berpusat pada panca indera). Ketiga; perpaduan dari ideational-sensate, yang nanti menghasilkan kompromi (idealistic). Inilah akan menjadi pertimbangan, bahwa material kebendaan tidaklah cukup sebelum dibarengi dengan spritualitas. Desa memiliki gerak sejarah yang demikian, siklusnya dalam lahirnya kebudayaan (genesis of civization), perkembangan kebudayaan (growth civilization) dan keruntuhan kebudayaan (civilization).
Sistem pembentuk kebudayaan adalah bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian hidup, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Yang mana akan mewujud dalam tiga aspek kebudayaan: pertama, kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia (sistem budaya). Kedua kompleks aktivitas (sistem sosial), ketiga, wujud benda (kebudayaan fisik). Dalam memahami budaya pedesaan diperlukan tujuh pokok tersebut dan tiga wujud kebudayaan. Sistem budaya religi memiliki ajaran-ajaran, norma, aturan upacara keagamaan, hukum agama. Sistem sosial religi memiliki aktivitas dakwa, upacara keagamaan (sembahyang, perkawinan, kematian, dan sebagainya). Kebudayaan fisik, seperti langgar, masjid, dan sebagainya.
Desa canga’an tidak berbeda dengan desa-desa di jawa timur pada umumnya. Dalam sistem bahasa mewujud dalam penggunaan basa krama dan ngoko, sistem teknologi, mengalamami perkembangan dari sarana sederhana hingga mesin (modern). Mata pencaharian hidup, mayoritas petani. Di samping itu juga jadi pegawai, tukang, penambang batu kapur. Dalam pengerjaan tani ada yang di sawah dan tegalan. Tanah sawah digarap dan diolah satu orang atau lebih, dan tanahnya ada yang dibuat beringkat-tingkat atau datar saja dan diberi pematang penahan air. Lalu tanah dibajak (luku), gunanya membalik tanah, memudahkan ditugali (pekerjaan menghancurkan tanah dengan cangkul. Kemudian tanah didiamkan satu minggu, lalu diolah dengan garu. Selesai digaru diberi pupuk kandang lalu dibajak lagi supaya semua lapisan digenangi air dan terkena pupuk, digaru lagi, barulah tanah siap ditanami.
Pembibitan dimulai dari pawinihan (persemaian padi), melalui nglingori (memilih bakal bibit), kemudian dipotong sedang dan diikat dalam beberapa ikatan (untingan), untingan itu dijemur satu hari, dimasukan ke tenggok, padi direndam satu hari satu malam, setelah itu dipep, ditutup daun pisang dua atau tiga hari. Ketika sudah tumbuh akar bibir disebar ke persemaian selama 15 samapai 30 hari baru dipindah kepersawahan. Pemindahannya dinamai nguriti (ndaut). Selama pertumbuhan dijaga dari tumbuhan perusak dengan mematun pakai gosrok, kalau padi sudah masak dituai dengan ani-ani, lantas dimasukan lumbung, yang setelah 40 hari baru boleh ditumbuk. Di tegalan, di tanami palawija, jagung, kacang, brol, singkong dan sebagainya.
Sistem kekerabatan jawa adalah bilateral. Juga sebagaimana aturan dalam perkawinan, seperti pancer lanang, ngarang wuluh atau wayuh. Sistem kemasarakatan, ada wong baku (lapisan tertinggi) keturunan orang yang pertama menetap di desa. lapisan kedua kuli gandok, lapisan ketiga joko (bujangan). Lurah dipilih oleh penduduk desa sendiri dengan ketentuan yang berlaku. Lurah memiliki pembantu-pembantu: 1) Carik (pembantu umum dan penulis), 2) Sosial (kesejahteraan penduduk baik jasmani maupun rohani, 3) kemakmuran (memperbesar produksi pertanian), 4) keamanan (bertanggung jawab keamanan dan ketentraman desa), 5) kaum (nikah, keagamaan, kematian dan lain-lain).
Dalam usaha memilihara dan membangun masyarakat desa para pamong mengerahkan bantuan penduduk desa dengan gugur gunung (gotong royong). Untuk bekerjasama membuat, memperbaiki atau memelihara jalan, jembatan, bangunan masjid, sekolah, menggali saluran air, memelihara bendungan, merawat makam desa dan upacara bersih desa. untuk mengatasi kesulitan ekonomi desa, di desa juga ada koperasi pertanian, koperasi konsumsi, dan bank desa. semoga desa Canga’an sudah ada semua.
Sistem religi, kebanyakan orang jawa percaya, kehidupan di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta. Sehingga kebanyakan trimo ing pandum. Sabar, ngalah, nrriman, loman, akas lan temen. Bersama-sama dengan alam pikiran partisipatif, orang jawa percaya kekuatan yang melebihi segala kekuatan, yang dikenal kasakten. Percaya dengan arwah leluhur (danyang), memedi, lelembut yang menempati disekitar mereka tinggal. Juga ada upacara selamatan bersama, yang beri doa bersama yang dipimpin modin, kemudian dibagikan. Macam-macam selamatan, pertama; selamatan lingkaran hidup (tujuh bulan, kelahiran, kematian dan sebagainya, kedua; selamatan bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah, dan setelah panen padi, ketiga; selamatan hari-hari besar islam (riyoyo, muludan dan sebagainya). Keempat; selamatan saat-saat tertentu seperti talak balak (ngruwat), pindah rumah, mau bepergian dan sebagainya. Kiranya di atas, slametan yang masih ada di desa Canga’an?
Di era modern mentalitas orang jawa, khususnya dea canga’an harus bangkit. Mengaktifkan sistem gotong royong digerakan untuk pembangunan di segala bidang, melalu kepemimpinan yang aktif bukan hanya memiliki pengetahuan dan pendidikan yang mumpuni, tetapi juga harus memiliki daya kreativitas dan inisiatif membuat inovasi-inovasi tanpa meninggalkan kearifan lokal. Di desa juga harus hadir tokoh-tokoh yang aktif dan kreatif, seperti putera-putera desa yang telah mengenyam pendidikan luar desa dan bersedia tinggal di desanya.
Begitu banyak yang hilang dari desa, mulai tak kenal dengan tata krama dan tatasusila, lenyapnya permainan tradisional dan tembang dolanan diganti gadget. Tak kenal situs-situs di desa seperti sumur gayam, sumur kembang, jublang cethek, jublang gedhe, taman sari, juga kisah-kisah yang berkembang di masyarakat seperti joko slining dan putri kabunan. Akan tetapi usaha teman-teman karang taruna desa Canga’an mulai menjawab kegelisahannya dengan mengadakan peringatan hari pahlawan 10 November, dengan bertajuk “langkah awal mengenal Sejarah Lokal”, yang berisi pawai dan pameran sepeda onthel klasik, performent art acustic, pencak silat dan malamnya dengan diskusi budaya. Selamat atas terselenggaranya acara ini.
Masih banyak yang ingin disampaikan, tapi cukup sekian dulu ya. Kami tutup perkenalan tentang diskusi budaya dengan semboyan “desa makmur desa sejahtera, penuh daya cipta dan suka cita” desa adalah pondasi nusantara, desa penuh warna-warni gemah ripah, desa penopang kota-kota, desa adalah pohon rindang peneduh kota-kota, sumber pokok kesederhanaan. Silir angin desa penuh sahaja. Desa adalah keringat yang wangi, semerbak ke penjuru negeri. Bangkitlah kaum muda desa, kalian pemimpin esok hari, jadilah pelopor jangan jadi pendengkur.
Gresik, 03.23 WIB, 10/11/19
http://sastra-indonesia.com/2019/11/mengenal-kajian-sejarah-dan-budaya-lokal/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar