Entah berapa kali lonceng gereja yang berjarak dua ratus kaki dari toko buku kami itu berbunyi dalam sejam. Setiap pagi, siang, dan sore dari beranda rumah atau ruang kerjaku di dalam toko, bunyinya terdengar begitu jelas dan setiap bunyi memiliki nada dan pesan yang berbeda-beda yang sukar kuterka. Pada hari kematian nenek dan bibi, bunyinya seperti mengatakan: “Kau adalah kesedihan dan pesakitan. Jalanmu akan panjang, hingga berujung penyerahan diri!” Tiba-tiba, aku merasakan kata-kata ini berubah menjadi seekor macan kumbang yang lapar, berdiri di balik pintu toko menatap gerak-gerikku dengan seksama sembari menunggu kelengahanku sebagai manusia, sebagai penulis yang malang. Ketika aku mengalihkan pandangku dari macan kumbang itu, kemalangan membawaku kepada Nicolai Gogol, Leo Tolstoy, Eduardo Galeano hingga Isaaq Bashevis Singer. Aku membaca setiap cerita pendek yang mereka tulis dengan gaya, karakter, dan kritik yang berbeda pola. Aku tidak menemukan diriku seutuhnya di sana, tetapi ada secercah cahaya semangat hidup sebagai penulis, bahwa tidak ada yang bisa kuceritakan kepadamu selain kesedihan dan pesakitan. Kesedihan dan pesakitan, bukanlah kata sifat belaka. Kata-kata ini adalah kata kerja yang politis, baik sebagai kata, diri sendiri, dan karya-karya yang kutulis.
Sejak awal aku ditempa sebagai penulis, tidak sekali pun aku diajarkan untuk menganggap remeh-temeh perihal mengolah inspirasi (kenyataan), mengendapkannya, kemudian menuliskannya menjadi cerita. Pada tahun 2014, orang-orang berpengaruh dalam proses kreatifku membawaku ke dataran pesisir, Urutsewu, yang tidak segersang kehidupan orang-orang urban yang dimiskinkan. Selama seminggu berada di sana, aku seperti dilahirkan kembali, dibebaskan dari zaman kebodohan, ketidaksadaran, dan hal-hal menyedihkan lainnya tentang realitas dan bagaimana realitas itu dibentuk. Namun, beberapa orang petani, terlebih dahulu mati di hadapan moncong senjata serdadu Diponegoro, ketika aku baru mengenal Sastra dan bagaimana menulis Sastra. Para petani yang masih hidup, bertahan dan melawan dengan sangat jeli dan penuh perhitungan. Bagaimana pun, sebiji Pepaya California lebih mulia daripada satu peluru serdadu yang menembus kepala seorang petani. Karena mendengar adanya anggapan ini, para Serdadu Diponegoro semakin membabi buta; mereka menghancurkan tanaman, mengancam keselamatan orang-orang yang datang untuk tugas keadilan, dan para petinggi yang mencoba membelot mendukung perlawanan para petani. Pertanyaannya, bagaimana aku akan menuliskan realitas demikian ini dengan mengada-ada?
Dalam penempaanku, aku telah diajarkan bagaimana menjadikan realitas sebagai tolak dasar tulisan - kelak, menjadi karya. Hal pertama yang dilarang adalah melebih-lebihkan dan menggawat-gawatkan. Kedua hal ini dianggap haram dalam proses kreatifku. Melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan, bagi para penempa, merupakan kejahatan seorang penulis yang tidak pernah menuai kritik dan bahkan mendapatkan pujian sebagai suatu kemampuan yang “melampaui” batas kemampuan lainnya. Tidak bisa dipungkir, Leo Tolstoy adalah seorang kaya-raya yang derma. Dia mencintai petani dan kemudian membelikan lahan kosong untuk para petani yang dicintainya. Akan tetapi, kaya-raya dan cinta terhadap petani saja tidak menjamin kebahagiaan keluarganya. Istrinya, yang juga kaya-raya, menolak untuk mewariskan hartanya ke lembaga pendidikan yang didirikan Leo, sehingga itu membuat perasaannya berkecamuk dan kemudian membawanya ke sebuah stasiun kereta dan di sana, tiga hari kemudian, dia meninggal dunia. Leo Tolstoy tidak melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan sikap derma dan kecintaannya terhadap petani dan juga perlakuan istrinya kepadanya. Dia memilih pergi dalam kesendirian, kemudian mati dalam kesendirian itu pula!
Jadi, ketika seseorang bertanya bagaimana proses kreatifku yang tidak lebih tua dari sebatang pohon ulin yang ditebang untuk rumah terbaru Tuan Gubernur, maka kujawab: “Bacalah karyaku, itulah proses kreatifku! Bagaimana aku menceritakan kepada engkau tentang Pulau Kalimantan yang telah merenggut segalanya dariku; cintaku, kasih-sayangku, hari-hariku, airmataku, dan seterusnya… bagaimana? Bagaimana aku menceritakan kepadamu bahwa dunia baru, dunia baja, telah dipaksakan kepada kehidupan kami dan itu kemudian menjadi dunia kami! Bagaimana aku akan menceritakan kepadamu tentang suatu bangsa yang memiliki dunia baru yang telah mencerabut, merusak, dan menghancurkan semua yang diwariskan kepada kami? Mungkin, aku dapat menceritakan kepadamu bahwa itu luka yang tidak bisa kami rasakan lagi, karena sudah begitu sering kami dilukai. Atau… bahwa itu telah menjadi tapak kaki di tepi sungai, di tepi danau, yang mengering di musim hijan dan hilang tersapu ombak biru laut Eropa! Tapi, kuyakinkan, engkau tidak akan puas dengan jawaban ini. Maka, kita perlu mabuk beberapa botol Tuak untuk ini!”
Dalam “Overcoat”, Nicolai Gogol menulis “Petani-Petani Ketinggalan Zaman”. Mula-mula, aku menduga bahwa Gogol hendak merombak cap yang disematkan kepada kaum petani; ketinggalan zaman, usang, melelahkan, norak, dan seterusnya. Itu kesalahan! Kemahiran Gogol dalam memilih inspirasi bagi cerita pendek ini, tidak bisa diremehkan dan diterka. Ketika aku mulai melakukan pembacaan untuk cerita ini, semua upaya terka-menerkaku, hancur. Semua adalah tentang kritik terhadap semangat zaman di mana kebanyakan orang Russia tunduk terhadap Tsar (di Indonesia, “Sultan”) yang berkuasa pada zamannya. Gogol ingin memberikan semangat melalui pesan: bahwa semestinya Tsar-lah yang harus menghormati kalian, Kaum Petani! Karena perutnya, kekayaannya, sedikit-banyak berasal dari kalian! Sampai di sini, aku terkenang Yuk Sukinah, seorang petani dari Pegunungan Kendeng, Rembang, yang pernah kutemui dua tahun setelah aku di Urutsewu. Yuk Sukinah tidak seperti Isaaq Bashevis Singer yang hidup dalam pelarian sebagai Yahudi. Dia lembut, cerdas, dan pemberani. Dia mampu berjalan kaki, tanpa alas kaki, tanpa kereta, apalagi pesawat, sejauh seratus kilometer Rembang-Semarang untuk menemui Tuan Gubernur dengan harapan sebagai sesama Jawa, mereka sama-sama memahami konsep hidup, Ibumi. Akan tetapi, tidak semua Jawa paham ini. Di antara mereka, seperti Tuan Gubernur, lebih menyukai konsep kapitalisme untuk membuatnya sebagai seorang yang terhormat dan disegani.
Yuk Sukinah, tidak ketinggalan zaman. Di rumahnya, dia mengatakan kepadaku tentang keprihatinannya terhadap Pulau Kalimantan - yang sekali pun belum pernah dia menginjakan kakinya di sana - yang dia lihat hanya melalui televisi, berita, dan kesaksian para aktivis lingkungan. Dia mendekat ke telingaku, menciumku, kemudian berbisik: “Jika Kalimantan hancur, Jawa hancur, kematian jualah yang akan tiba, Mas!” Jadi, menurutmu, apakah kematian itu merupakan sesuatu yang bukan kesedihan atau pesakitan? Atau, engkau akan mengatakan itu takdir? Benarlah itu takdir, karena semua yang hidup akan mati. Akan tetapi, bagaimana jalan kematian itu yang perlu diceritakan atau ditulis! Sekarang, jika seorang petani di Urutsewu ditembak oleh Serdadu Diponegoro, petani di Rembang dilecehkan Tuan Gubernur, adakah kesenangan yang engkau rasakan seperti dalam novel absurd “The Stranger” Albert Camus?! Oh! Ketika membaca itu, aku hanya merasakan mual dan mulas, tetapi tidak bisa muntah atau berak! Karena, bagiku, tidak ada kesenangan dan kebahagiaan dalam kesedihan dan pesakitan. Terserah denganmu!
Sejak dua tahun ini, akal sehat dan nuraniku sabagai seorang penulis sungguh sukar menerima kematian demi kematian yang tiba kepada orang-orang di negeri magis ini. Di gang ini saja, dalam sehari pada bulan lalu, sebelas sampai dua belas orang mati. Meskipun, dokter dan tenaga kesehatan berdalil dan berdalih tentang Coronavirus Disease (Covid-19) ini, morilku menolak menerima. Aku menganggap bahwa virus ini adalah Covidtalisme, di mana manusia, modal, banalitas intelektual, teror psikis, perubahan kapitalisme tanah menjadi kapitalisme farmasi campur aduk seperti perasaan Pramoedya Ananta Toer dalam cerita pendek “Gado-Gado”-nya (baca Mereka Yang Dilumpuhkan). Pula Covidtalisme membuatku semakin menggeliat untuk meluaskan “menulislah dengan tidak melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan” dan meninggikan “daftar musuh idelogisku sebagai penulis”. Untuk ini, tidak ada kesenangan dan kebahagiaan menjadi inspirasi tulisanku. Hanya kesedihan dan kematian, tidak lain-tidak bukan. Aku akan menulis sampai tulisanku menjadi kain kafan bagi tubuh yang kurus, jelek, dan menyedihkan ini.
Surabaya, 2021. http://sastra-indonesia.com/2021/08/tidak-ada-yang-bisa-kuceritakan-kepadamu-selain-kesedihan-dan-pesakitan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar