Taufik Ikram Jamil *
Riau Pos, 1 Jan 2012
TAK cukup dengan kata-kata, mungkin juga kesan untung-untung sebagai perenungan tentang bagaimana bengak alias bohong begitu mewabah dalam kehidupan berbangsa akhir-akhir ini, kelompok teater Riau Beraksi, memberikan masker kepada penonton dalam lakon yang mereka tampilkan Sabtu dan Ahad (17-18/12). Di bawah tajuk Bengak, penutup mulut dan hidung itu, justeru dibagikan begitu memasuki tempat pertunjukan, Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru.
Kesedihan akibat berada dalam kondisi buruk itu, seperti dipadankan dengan khabar meninggalnya seorang tokoh besar dalam teater, Vaclav Havel (1937-2012), yang juga dikenal sebagai Presiden Republik Czech, Ahad (18/12). Berkali-kali dicalonkan sebagai penerima Nobel Perdamaian atas usahanya menciptakan perdamaian, dunia selalu mengingat ucapannya tentang wabah bengak, “Kebenaran dan cinta harus menang di atas kebohongan dan kebencian”.
Lakon Bengak berangkat dari penulis yang memiliki tanah pijak yang sama dengan Havel, Arkady Timofeevich Averchenko (1881-1926), yang hijrah ke Eropa Tengah setelah komunis menguasai tanah kelahirannya dan melahirkan Uni Soviet. Tapi Willy Fwiandri mengadoptasi lakon ini dari apa yang sudah diadaptasi oleh Achdiat K Mihardja tahun 1956. Tak pelak lagi, suasana lokal dan kekinian begitu terasa dalam lakon yang juga disutradarai Willy itu, bahkan judulnya yang semula Pakaian dan Kepalsuan dalam adaptasi Indonesia, menjadi khas Riau di tangan Willy, Bengak.
Akhir cerita dari lakon ini, mungkin membuat orang bertanya-tanya juga. Pasalnya, tokoh yang membongkar kepalsuan kemudian mengaku sebagai seorang badut bernama Sob (Herlambang). Dibantu Bro (Akbar), Sob melakukannya dengan todongan pistol. Ini disibak melalui Ratna (Dwi Alvianna), padahal perempuan ini juga seorang petualang —rela “menggadaikan” diri. Sebaliknya, bisa jadi hasil pembongkaran kepalsuan itu juga adalah sebuah kebohongan karena pengakuan di sebaliknya dibuat di bawah todongan senjata api yang kemudian diketahui tanpa peluru.
Berdiri tahun 2008, Riau Beraksi dikucahi seniman siap uji. Willy sendiri misalnya, sempat menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Teater, terlibat berbagai pementasan di Jakarta sebelum pulang ke Riau. Sebut juga Aamesa Aryana yang sejak lama dikenal sebagai seniman dan pekerja seni tangguh dalam kondisi bagaimanapun juga. Nama-nama lain pula, ikut menjanjikan dan karenanya bisa menjadi perantara harapan bagi perteateran di Riau beriringan dengan kelompok lain yang lebih dahulu semacam Selembayung.
Keterlibatan Penonton
Sejak berdiri, hampir setiap tahun mereka tampil di pentas. Diawali lakon “Cinta dan Presiden”, Bengak merupkan produksi kelima kelompok teater Riau Beraksi. Dengan durasi sekitar 75 menit, Bengak juga tampil di Padangpanjang dan Padang, Sumatera Barat (24-28/12). Sedang dirancang pula pementasan yang produksinya dipimpin Ayu Fwi ini ke beberapa kampus di Riau.
Penggarapan realis, tampaknya menjadi pilihan Riau Beraksi. Dengan demikian, mereka berupaya agar bisa langsung berbicara dengan penonton yang menuntut keaktoran pemain. Syukurlah, hampir semua pemain dapat dipertaruhkan dengan satu catatan pada pelakon Ratna yang pasti punya kesempatan untuk ditingkatkan. Ini didukung kehadiran panggung yang ditata Saho Riau dengan warna bersahaja. Kehadiran kelompok musik di café sebagaimana umumnya pula (Lastri, Syahbani, Edi), mampu membangun suasana santai seperti saat mereka menyuguhkan lagu Juwita Malam.
Ada upaya Willy melibatkan penonton secara langsung, bukan hanya terbawa oleh arus cerita. Ini jelas terasa sewaktu penonton diminta memakai masker. Sayangnya, alat tersebut diminta untuk dilepaskan lagi dengan alasan agar penonton merasa nyaman. Coba saja kalau benda itu dilepaskan sendiri oleh penonton tanpa permintaan, sehingga akan lebih terasa lagi penyatuannya dengan lakon. Mana tahu dengan melepaskan masker tanpa permintaan, bisa menjadi simbol bahwa sebenarnya kita tidak bisa mengunci mulut dari perilaku berdusta. Begitu pula kalau terjadi sebaliknya.
Alkisah, cerita bermula di sebuah café dengan lampu temaram dan musik hidup yang menyenangkan. Sob dan Bro terdengar berbicara ihwal politik yang terasa menekan karena laku oknum-oknumnya. Sikut-menyikut dengan cara apa pun dilakukan tanpa malu-malu. Lalu datanglah empat tokoh yakni Ucok (Willy), Yong Sungut (Aamesa Aryana), Boy (Husin), dan Ratna yang langsung menguasai tempat hiburan itu.
Sambil ketawa terbahak-bahak dan minum-minum, masing-masing menceritakan “kehebatan” mereka di tengah masyarakat. Agar lebih jelas, Ucok malah mengambil pengeras suara dari tangan penyanyi untuk menceritakan perjuangannya sebagai aktivis mahasiswa 1998 di Jakarta, sampai kini menjadi ketua partai dan duduk di parlemen. Yong Sungut amat gembira karena ia kini sebagai kepala dinas, sedangkan Boy tak kurang senangnya sebagai pengusaha. Ujung-ujungnya mereka merancang suatu proyek besar.
Menertawakan
Dengan logat Melayu, Minang, Jawa, dan Batak, dialog dalam lakon ini acapkali mengundang tawa penonton. Bukan saja karena celetukan dan tingkah-polah pemain, tetapi lebih disebabkan bagaimana mereka menertawakan perilaku politik sekarang; hamparan satire yang lebar membentang. Sebutlah misalnya, bagaimana ketika Ucok dan kawan-kawan merancang proyek untuk kepentingan mereka sendiri, mengingatkan orang pada kasus wisma atlet SEA Games 2011. Padahal semua yang mereka peroleh dari awal dilakukan secara tidak sah, bahkan terus-menerus membohongi masyarakat.
Atas desakan Sob, Boy mengaku bahwa ia seorang datuk yang merampas banyak tanah rakyat dan memiliki sejumlah selir berkaitan dengan statusnya itu. Yong Sungut disebut sebagai rentenir yang sibuk menjaja proyek yang diambil dari dana rakyat dengan arahan dan pengaturan Ucok. Tak seperti Boy dan Yong Sungut, Ucok tak banyak berkelit ketika kepadanya disebutkan sebagai tukang obat —menabur janji-janji besar kepada masyarakat tanpa menunaikannya— sebagaimana halnya perilaku seorang oportunis.
Ucok malah tak sedikit pun peduli ketika Sob meminta isterinya yang kedua yakni Ratna, membuka pakaian demi apa yang disebutnya keselamatan. Meski semula enggan, Ratna melakukan hal itu, bahkan meminta Sob “menikmati” tubuhnya—semacam pasrah yang menjengkelkan. Pada adegan ini tampak Sob agak “terguncang”, sehingga sempat juga membayangkan bagaimana Sob mendedahkan kepalsuannya sendiri. Tetapi kemudian Sob hanya berpura-pura melakukan perbuatan mesum dengan Ratna, sebelum pada gilirannya ia memuji Ratna sebagai perempuan perkasa.
Meskipun dialog-dialog dibangun dari kenyataan dan kegeraman terhadap situasi politik, senantiasa pula muncul berbagai harapan perbaikan ke depan. Baik Sob dan Bro memiliki keyakinan terhadap hal ini meskipun selalu dibaluti rasa skeptisme yang tebal. Ucok dan kawan-kawan tak kurang yakinnya, tetapi mereka sudah terbelit oleh keadaan.
Upaya mereka atas permintaan Ratna untuk mengejar Sob dan Bro yang kabur setelah puas mendengar pengakuan masing-masing tokoh, barangkali berujung pada dua kemungkinan; mengejar asbab kesadaran sebagai momen pencerahan atau justeru hendak lari dari kenyataan sesungguhnya sambil menguburkan setiap pemalsuan sebagai kebiasaan. Ditutup dengan yel-yel semangat beriringan dengan pemadaman lampu pentas dengan satu sentakan, seperti menegaskan bagaimana bengak harus diakhiri.
Tak salah lagi sebagaimana dikatakan Beni sebagai pengantar pementasan ini bahwa barisan bengak atau kebohongan memang sedang mengepung kita, bengak di atas kebohongan bengak. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mengatasinya. Allah SWT sangat memurkai kebohongan dan sebagaimana dikatakan Boy atas permintaan Sob maupun Bro, setidak-tidaknya pada tahap awal, untuk ini, kita harus melafazkan, “Astaghfirullah, nauzubillah…”
***
*) Taufik Ikram Jamil, sastrawan terkemuka di Riau. Tinggal di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2021/06/pentas-teater-tiga-kota-riau-beraksi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar