Jawa Pos, 22 Agu 2021
Budi Darma merupakan satu di antara sedikit penulis langka. Ketika kita sering mendengar banyak keluhan tentang kenapa segala ihwal Indonesia ditulis para penulis asing, dalam hal ini ”Barat”, bahwa Indonesia (atau bahkan Asia) harus menulis dirinya sendiri, Budi Darma melompat lebih jauh.
Si anak dari negeri antah-berantah, yang dalam percaturan peta kesusastraan dunia di pinggiran pun jarang tercatat, menulis manusia-manusia asing di negeri asing. Tak sekadar asing, tetapi negeri dunia pertama, bahkan sering dianggap pusat dunia secara politik, ekonomi, termasuk kesusastraan. Terutama melalui dua karya pentingnya, Olenka dan Orang-Orang Bloomington.
Tentu saja Amerika dan negeri-negeri dunia pertama sudah sering ditulis, sebagian besar oleh mereka sendiri. Amerika bahkan bisa menyusun sejenis peta. Negara-negara bagian diganti dengan nama-nama novel atau cerita pendek yang latarnya menggantikan tempat-tempat tersebut. Kota-kotanya juga bisa diganti dengan nama-nama fiktif dari kisah yang pernah hidup di kota itu.
Memang, siapa yang akan peduli jika seorang penulis dari negeri jauh bernama Indonesia menulis tentang orang-orang di sebuah kota bernama Bloomington? Namun, Budi Darma, yang pada era 70-an bahkan untuk ukuran Indonesia namanya masih samar (dia menulis beberapa cerita dan esai sebelumnya, sementara kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington terbit pada 1981), melakukannya.
Dia lahir di Rembang, 25 April 1937. Di luar posisinya sebagai salah seorang penulis penting negeri ini, hidupnya lebih banyak dihabiskan di dunia akademik sebagai dosen. Di pagi 21 Agustus 2021, ketika dunia masih dilanda kemurungan akibat pandemi yang tak juga menampakkan horizonnya, dia meninggalkan kita semua.
Kabar menyedihkan kepergiannya tiba sesungguhnya tak lama setelah bukunya, Orang-Orang Bloomington, diumumkan segera terbit dalam edisi terjemahan Inggris tahun depan. Yakni, oleh imprint yang sangat besar dengan distribusi luas, Penguin Classics. Artinya, kisah-kisah manusia Bloomington yang ditulis si orang Indonesia akan lebih mudah dibaca dunia. Termasuk akhirnya oleh orang-orang di Bloomington.
Kita lebih sering mendengar kabar kematian akhir-akhir ini. Kerabat, tetangga, teman dekat, dan tokoh-tokoh besar. Di tengah pandemi yang tak kenal ampun, kita semua adalah tiga anak jembel. Ya, saya tiba-tiba teringat dengan tiga anak jembel itu, yang mula-mula hadir di pembukaan salah satu novelnya.
Jika membaca Olenka, kita akan sadar Budi Darma tak hanya menulis semesta kecil asing bernama Apartemen Tulip Tree (yang juga tempat tinggalnya saat menjadi mahasiswa), tetapi juga mencatat, mengorek-ngorek, dan menempel kesusastraan mereka. Persis seperti yang dilakukan Wayne Danton, tokohnya, dengan kata-kata.
Bahkan, nama Olenka, sebagaimana pengakuannya, dicomot dari tokoh ciptaan Chekhov dari cerita pendek berjudul The Darling. Seperti yang dilakukan Danton dengan kisah istrinya yang merombak satu cerita menjadi kisah fiktif lainnya, Budi Darma merombak Olenka milik Chekhov menjadi miliknya.
Kalau membaca dengan cermat, termasuk esai-esainya, kita tak bisa menampik bahwa Budi Darma merupakan seorang pembaca dunia. Namun, pada saat yang sama, dia tak melulu bicara tentang dunia yang demikian luas, apalagi secara khusus hendak memperkenalkan kehidupan negeri asing. Jika kita mencoba lebih cermat lagi, kenyataannya dia bicara tentang manusia.
Manusia dalam karya-karyanya seperti Olenka yang dipajang di dinding, atau di atas lemari, atau dihamparkan di meja makan. Manusia merupakan sejenis peta. Yang paling menarik darinya adalah bagaimana dia membaca peta bernama manusia itu.
Dia membaca manusia seperti seorang pelamun. Tindak tanduk mereka tak hanya dilihatnya sebagai gerak badan, tetapi bisa menyeretnya mengembara ke novel D.H. Lawrence atau puisi T.S. Eliot. Melemparkannya ke waktu saat balon melintas di langit kota.
Manusia dan kesusastraan, jika saya boleh dengan liar menafsirkan karya-karyanya, bagi Budi Darma, merupakan ”tiga anak jembel”. Dia ada untuk menyeret kita ke segala hal, dia hadir untuk meletupkan beragam persoalan, membongkar khayalan, nafsu berahi, ambisi manusia. Kekuatan-kekuatannya, juga ketololan-ketololannya.
Coba kita pikirkan, betapa pentingnya posisi tiga anak jembel dalam Olenka, tetapi sekaligus tidak penting. Seperti pengakuannya, novel itu tak akan pernah lahir tanpa pengalaman melihat tiga anak dekil naik lift, dan persis itu pula yang dituliskannya. Pada saat yang sama, novel itu tak bercerita tentang mereka, kecuali sekelebat saja.
Seperti tiga anak jembel, salah seorang maestro kesusastraan kita ini telah menunaikan tugas kehidupannya. Delapan puluh empat tahun hidupnya, dalam ukuran peradaban manusia, bisa jadi bahkan lebih sekelebat dari kehadiran tiga bocah di lift apartemen. Namun, saya percaya, dia akan menyeret kita, sebagian seperti digresi di Olenka, ke berbagai hal. Baik sebagai pribadi yang selalu hangat maupun melalui karya-karyanya.
Selamat jalan, Pak. Tekan tombol lift bersama tiga bocah rekaanmu dan terbang ke langit yang penuh kemungkinan.
*) EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis,nomine The Man Booker International Prize 2016. http://sastra-indonesia.com/2021/08/budi-darma-dan-tiga-anak-jembel-sebuah-obituari/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar