“Esok hari kalian harus angkat kaki dari rumah ini! Tak ada negosiasi dan iba!” Demikian kata seorang peranakan Tionghoa kepada seorang lelaki muda yang baru saja berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang jurnalis di perusahaan surat kabar di daerah X, pada suatu waktu di bulan Oktober.
Si lelaki muda tak berkata sepatah pun. Dia kalah. Perlahan dalam kekalahannya dia berjalan menerabas gerimis dan kesunyian malam jalanan kota di tepi sungai itu.
Di beranda rumah kayu yang menyedihkan, si lelaki muda terperanjat di kursi sembari mendongak ke langit; harap-harap suatu kebaikan datang menolongnya. Akan tetapi, nyaris semalam suntuk tak satu pun datang menolongnya.
Menjelang subuh, terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Muncul seorang perempuan; seorang Jawa, kuat, dan tak banyak bicara.
“Kapan datang?” dia bertanya kepada si lelaki muda.
Tak ada gubrisan.
“Kabar buruk, lagi?”
Si lelaki muda menoleh ke si perempuan, istrinya. Tatkala mereka saling merengkuh, si lelaki muda berkata, “Bukankah hal-hal buruk ialah rezeki kita setiap hari? Oh… Sayang. Besok, kita harus angkat kaki dari rumah ini.”
Tak ada percakapan selanjutnya.
Keduanya seperti gerimis, seperti kesunyian malam dan pagi akan segera tiba.
Ada seorang anak perempuan terbaring di atas selimut dan sekali dua mendengkur. Si lelaki berjalan menghampiri, tangannya yang gemetar mengelus tangan dan rambut si anak perempuan. Dia menciumnya, kemudian berbisik, “Katakan kepada bulan dalam mimpimu bahwa kau memiliki cahaya yang jauh melebihinya, suatu saat.” Setelah itu dia beranjak menuju meja kerja, perlahan sembari memantapkan hati, dia mengambil beberapa buku dan segera memasukkannya ke dalam ransel.
Tampaknya, istrinya benar-benar hanyut dalam tidur dan belai lembut angin pagi yang masuk dari lubang-lubang kecil dinding rumah. Tak lama kemudian, si lelaki membuka pintu nyaris tanpa suara dan berlalu pergi dengan kuda besi tuanya. Namun, di balik kaca jendela, istrinya berdiri melelehkan airmata tanpa sepatah kata pun sembari memeluk hangat kemeja suaminya.
Itu Selasa yang panas pada minggu terakhir Oktober. Si lelaki dan kuda besinya baru saja tiba di kota Z; sebuah kota persinggahan yang hanya memiliki satu-satunya toko buku. Tak seorang pelanggan pun tampak memilih-memilah buku yang dijual, hanya seorang perempuan tua dengan pakaian serba rapi berdiri di meja kasir; harap-harap seseorang akan datang bertanya tentang hal-hal yang lebih muda dari pengelihatannya. Di luar toko, si lelaki masih menahan diri di depan kaca toko, dia mempertimbangkan sesuatu sebelum masuk ke dalam. Namun, dia tak bisa mengelak dari rintihan anak perempuannya. Sekotak susu jauh lebih berguna daripada sebuah buku yang ditulis dari kebohongan sejarah. Dua menit kemudian, si lelaki perlahan membuka pintu kaca toko buku itu dan lenyaplah segala keraguannya.
“Petuah apa yang membawamu ke sini, anak muda?” tanya si perempuan.
“Aku memiliki sesuatu yang melekat di kulit, pikiran, dan langkah kaki.”
“Bukan petuah rupanya? Atau ini petuah yang lain?” tanya si perempuan.
“Pesakitan. Pesakitanlah yang membawaku ke sini,” kata si lelaki.
Si perempuan bergeming, tetapi sepasang matanya menatap sesuatu itu.
“Aku membawa beberapa buku untuk di jual di sini. Apakah toko ini menerima pembelian?” tanya si lelaki.
“Siapa namamu, anak muda?” si perempuan balik bertanya.
“Isak Zaman.”
Kali kedua, si perempuan bergeming.
“Aku membawa beberapa buku…”
“Aku tak membeli buku, anak muda. Toko ini hanya menjual buku saja.”
Si lelaki tak jadi meletakkan buku yang hendak dijualnya itu, dia memasukannya ke dalam ransel, kemudian berjalan perlahan keluar toko.
Pertemuan dengan Isak Zaman menghidupkan kembali kenangan si perempuan tua. Betapa pun, seandainya masih hidup anak lelakinya akan seperti Isak Zaman, akan tetapi cepat-cepat dia mengalihakn fokus pikirannya. Sementara Isak Zaman telah pergi jauh dari toko buku itu bersama kuda besinya.
Di kursi panjang taman kota, sepasang burung gereja bertengger membersihkan sayapnya. Ada torotoar penuh bunga tak jauh dari kursi panjang itu. Di sanalah orang-orang berjalan sembari menunduk, tak acuh, semacam ada beban di pundak dan kepala mereka yang sukar diselesaikan. Namun, siapa yang acuh tentang persoalan orang lain. Orang-orang sejak lama telah menjadi individualis atau binatang yang beradaptasi dengan rezim tak karuan dan jahat. Meskipun, ada selembar dua lembar koran yang memberitakan persoalan kehidupan dengan dalam dan kritis, justru para polisi dan tentara lebih dahulu membakarnya sebelum tiba ke tangan para pembaca.
Tak lama kemudian, Isak Zaman menepikan kuda besinya di parkiran taman kota. Dia duduk di kursi panjang itu sembari mendongak ke langit. Tak ada yang menarik hatinya. Justru ada kesedihan di sana; wajah anak dan istrinya terbentuk dari awan-awan putih, maka sempurnalah permenungannya di Selasa yang panas.
Dalam permenungannya, terbesit dalam pikiran Isak Zaman bahwa dia harus kembali ke toko buku itu dan mencoba merayu si pemilik untuk bersedia membeli buku-bukunya. Namun, tak begitu saja. Kali kedua dia mempertimbangkan. Persoalannya, toko buku itu tak membeli buku melainkan menjualnya. Kata-kata seperti apa yang pantas untuk membuat dia mau membeli buku-buku Isak Zaman.
Alhasil, setelah menghabiskan sebatang rokok, Isak Zaman memantapkan diri untuk kembali ke toko buku dan mencoba merayu si perempuan tua.
“Aku memiliki seorang anak perempuan yang cantik dan pintar. Aku ingin mengajaknya ke sini, tetapi aku tak ingin dia tahu bahwa akku datang ke sini untuk menyenangkan hatinya. Jadi, apa yang mesti kulakukan agar berkenan membeli buku-buku ini?” kata Isak Zaman dengan nada begitu rendah dan lembut.
“Aku tak membeli buku, anak muda. Namun, tunggu sebentar. Duduklah di kursi itu. Aku ingin bercerita sesuatu kepadamu.”
Isak Zaman pun mengiyakan.
“Mau kopi atau teh? Rokok? Tunggu sebentar.”
Sembari menunggu, Isak Zaman memperhatikan seantero sudut toko buku itu. Dia membayangkan bahwa dirinya pemilik toko buku itu tentu dia tak perlu susah payah menipu dirinya sendiri hanya untuk menyenangkan orang-orang yang hidup dalam kebohongan yang sama. Setelah membayangkan, dia beranjak dari kursi dan berjalan ke dapur. Tak lama kemudian, terdengar suara jerit seorang perempuan terputus-putus tak begitu panjang.
Dua jam kemudian, Isak Zaman kembali. Raut wajahnya pucat dan gugup. Dia berjalan menuju kasir dan berdiri seolah-olah dia pemilik toko buku yang menunggu para pembaca datang membeli buku-bukunya. Dan, si perempuan tua pemilik toko buku itu, tak pernah terlihat lagi, selamanya.
Palangka Raya, Maret 2021. http://sastra-indonesia.com/2021/03/isak-zaman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar