Tahun 2011 adalah tahun pesta buku Goenawan Mohamad. Bisa dibilang demikian karena sepanjang 2011 dalam rangka 70 Tahun Goenawan Mohamad, Penerbit Grafiti Pers, grup Tempo, dan Komunitas Salihara, akan meluncurkan 12 buku karya Goenawan Mohamad dengan rangkaian peluncuran buku yang diselenggarakan di berbagai tempat. Kalau sebelumnya di Salihara, kali ini peluncuran buku diselenggarakan di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu malam, 27 Juli 2011.
Ada dua buku yang diluncurkan. Buku yang pertama, bertajuk Tujuhpuluh Sajak, merupakan buku kumpulan sajak-sajak yang ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam lima dasawarsa terakhir yang dipilih oleh Hasif Amini, redaktur puisi Kompas dan seorang esais. Buku ini juga menyertakan sajak-sajak Goenawan yang belum pernah dibukukan, seperti sajak “Pariksit” (1963) sampai “Gerontion” (2011). Kedua, buku yang bertajuk Don Quixote, sebuah interpretasi Goenawan dalam bentuk puisi atas cerita termahsyur karya Miguel de Cervantes yang dibuat di Spanyol pada abad ke-17, El Ingenioso Hidalgo Don Quixote de la Mancha. Buku yang didesain oleh seniman grafis, Cecil Mariani, ini juga menyertakan sketsa-sketsa karya Goenawan Mohamad.
Pengunjung malam itu dijamu dengan nasi bogana. Nasi asal Tegal yang disajikan dalam pincuk daun pisang, ini terdiri dari ayam suwir opor kuning (ditambahkan kunyit dan kuah jangan dikeringkan lalu disuwir-suwir), sambal goreng ati ampla, telor pindang, tumis kacang panjang, daging serundeng kelapa, dan tempe tumis cabe hijau. Sebuah jamuan makan yang begitu mengesankan.
Acara peluncuran buku diawali dengan sambutan dari Toriq Hadad, pemimpion redaksi Majalah Tempo, yang memaparkan tentang peluncuran buku Goenawan Mohamad yang dianggap perlu. Karena dalam usia 70 tahun, Goenawan Mohamad tetap menghasilkan pelbagai berkarya, dalam jumlah yang banyak, dengan bermacam ragam; esai, naskah pertunjukkan, liberto opera, sketsa, dan tentu saja sajak-sajak. Toriq juga menceritakan awal mula bergabung dengan Majalah Tempo sekitar tahun 1985, kemudian cerita suka-duka dalam mengerjakan tugas jurnalistiknya, serta tentang catatan pinggir yang rutin ditulis Goenawan Mohamad. “Catatan Pinggir itu sudah seperti istri kedua bagi Goenawan Mohamad,” katanya.
Setelah itu, pembicaraan puisi Goenawan Mohamad oleh penyair dan kritikus, Zen Hae. Dalam makalah “Setelah 89 Puisi dan Seorang Majenun”, Zen Hae menyebut, Goenawan Mohamad adalah penyair yang penting sekaligus berbahaya. Penting karena puisi-puisinya, terutama permainan citraannya, membuai dan menyilaukan. Jika kita membaca puisi Indonesia hari ini, terutama yang ditulis oleh para penyair muda, akan mudah kita temukan bayang-bayang puisinya. Begitulah, mereka yang memasuki puisi Indonesia dengan keterampilan bahasa yang sedang-sedang saja, atau yang lebih rendah dari itu, telah terperangkap ke dalam reproduksi permainan rupa dan bunyi yang menyesatkan.
Berlanjut pada acara pembacaan puisi Goenawan Mohamad oleh Jajang C Noer. Aktris gaek peraih Piala Citra sebagai Aktrus Pendukung Terbaik dalam FFI 1992, ini tampil begitu memikat. Adapun puisi yang dibacanya antara lain puisi berjudul Tentang Kembang. Simaklah, larik-larik baik pertama puisinya yang memesona; //Ia menerima setangkai kembang tunggal itu,/ ketika malam sudah mabuk, dan seseorang/ mengutip Angelus Silesius dalam bahasa/ Inggris: “The Rose is without an explanation;/ she blooms, because she blooms,”//.
Kemudian, penampilan Idrus F. Shahab dengan gitar Spanyolnya membawakan beberapa buah lagu yang begitu memukau pengunjung malam itu. Caranya memetik gitar begitu lincah dan cantik menghanyutkan suasana keterpesonaan.
Yang paling ditunggu-tunggu tentu adalah penampilan Goenawan Mohamad yang memang menjadi bintang utama dalam malam acara peluncuran dua bukunya. Pendiri Majalah Tempo ini membacakan dua buah puisi yang di antaranya puisi berjudul “30 Menit Sebelum Sayid Hamid”. Simaklah larik-larik puisinya yang begitu menyentuh; //Don Quixote mengerti. Pada saat itulah Sayid Hamid/ Benengeli mulai membuat tanda terakhir dengan/ dawat di kertasnya, seperti sebuah titik, seperti/ melankoli. Meskipun yang ingin ditulisnya sederet/ epilog yang berbahagia: “Dan Don Quixote pun/melihat, pahlawan terakhir itu telah direnggutkan/ jantungnya.// Ya, di jurang gua.”
Acara ditutup dengan penandatangan buku oleh Goenawan Mohamad dalam kerangka lelang buku secara tersembunyi. Di mana pengunjung yang membeli buku, setelah bukunya ditanda tangani menulis pada sehelai kertas jumlah nominal harga pembelian bukunya, yang dimulai dari harga Rp. 250.000,-. Lelang buku ini sebagai bentuk kepedulian untuk membiayai beasiswa pendidikan bagi orang-orang yang berprestasi.
***
*) Akhmad Sekhu menulis, berupa puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, telaah tentang televisi, kupasan film, kini bekerja sebagai wartawan Majalah Film MOVIEGOERS. http://sastra-indonesia.com/2011/09/goenawan-mohamad-dalam-don-quixote-dan-tujuh-puluh-sajak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar