Kedung Darma Romansha
Jawa Pos, 3 Juni 2019
1.
Kebanyakan orang pergi karena ingin menemukan jalan pulang. Begitu sebaliknya, yang tidak pernah pergi tidak akan menemukan jalan pulang. Lalu bagaimana jika yang pergi tidak pernah menemukan jalan pulang?
Baik, cerita ini akan aku mulai dari pos ronda yang persis berada di bahu jalan, samping gang yang masuk ke arah rumahku. Kamu tahu kalau pos ronda itu digunakan sebagai tempat jaga warga untuk keamanan kampung. Secara formal seharusnya begitu. Tapi, bagaimana jika pos ronda ini tidak pernah kamu temukan di belahan dunia mana pun. Pos ronda ini akan membuatmu mempunyai interpretasi lain tentang dunia yang sampai saat ini kamu anggap seperti kebanyakan. Bahwa kamu melihat dunia dari kacamatamu atau dari bisikan orang serbatahu. Tapi, kamu sendiri tak benar-benar melihatnya. Dari cerita di pos ronda inilah kamu belajar bagaimana sesungguhnya dunia bekerja.
Pos ronda ini, sepanjang usianya, hanya sekali mempunyai kentongan. Sekarang kentongan itu hilang. Bukan hilang, tapi menjadi asbak sebelum akhirnya dibakar bersama singkong tanah. Pos ronda ini tidak mempunyai jadwal ronda. Dan ini berlaku untuk semua pos ronda di kampungku. Lalu kenapa orang-orang membuat pos ronda? Mungkin untuk menjaga malam.
Pos ronda ini tidak pernah sepi dan yang datang pun tidak berubah. Jika jam menunjukan pukul 11.00–12.00, yang datang adalah Dodi, pencuri kelas wahid di kampungku. Apalagi menjelang Lebaran seperti ini. Tentu pengeluaran mesti sebanding dengan penghasilan. Kalau tidak, mesti mencari jalan keluar. Jalan keluarnya ke mana tentu bergantung siapa yang memainkannya.
Dodi pernah dipenjara gara-gara mencuri mesin air dan hampir dibakar massa. Tubuhnya pernah diseret motor keliling kampung tapi tidak lecet segaris pun. Maka, kekesalan warga pun makin menjadi. Tubuh Dodi disiram bensin, diseret ke tengah sawah, dan ditaruh di atas tumpukan jerami mirip orangorangan sawah. Tapi, sebelum aksi pembakaran dimulai, polisi datang untuk mengamankan Dodi. Mirip polisi di film-film India. Meskipun di India belum tentu ada polisi semacam ini. Akhirnya Dodi selamat dan mengulangi perbuatannya setelah keluar dari penjara.
Selain pencurian, musim begal juga mendadak viral menjelang Lebaran. Aku kira persoalan begal menjelang Lebaran itu milik setiap daerah. Namun, menariknya di kampungku para bandit janjian di pos ronda ajaib ini. Pos ronda yang menjaga malam.
Selain kumpulnya para begajul jahanam, pos ronda ini jadi tempat judi kartu dan remaja kasmaran. Terutama malam Selasa. Kamu pasti bingung kenapa tidak malam Minggu? Karena malam Selasa itu harinya pasar malam
Selasaan di kampungku. Malam Minggu tinggal menyimpan kesepian. Kecuali setelah musim panen. Kamu akan menemukan hiburan setiap hari. Aku sendiri biasa berburu organ tunggal bersama teman baikku, Yusup, yang wajahnya tidak tampan seperti Nabi Yusuf. Maka, dia dipanggil Kriting. Kenapa Kriting? Karena itulah yang paling mewakili dirinya. Dan sialnya dia selalu gagal soal asmara.
Malam ini, di pos ronda ini, aku menunggunya bersama para bajingan kampung. ’’Aku pusing… Kirik!”
Casta mengisap rokoknya dalam-dalam. ’’Anakku minta baju Lebaran,” lanjutnya kemudian.
’’Mau operasi?”[1] usul Kartam.
’’Di mana?”
’’Tetangga desa saja.” ’’Tetangga desa risikonya lebih besar.” ’’Risiko itu ada di mana-mana. Memangnya kita mau mancing?!”
’’Kalau tahu pekerjaan ini berisiko, kenapa kita ngelakuin?”
’’Karena kita tidak punya pekerjaan, Goblok!”
’’Kirik!”
Mereka diam. Seperti menunggu sesuatu. Entah apa. Aku pura-pura melamun agar tak dianggap menguping pembicaraan mereka. Aku sadar keberadaanku mengganggu mereka. Mereka berbicara dengan setengah berbisik. Sesekali salah satu di antara mereka menatapku dan aku pura-pura tak melihatnya.
Sebetulnya keberadaanku di pos ronda ini tak lain hanya untuk menunggu Kriting pulang dari Jakarta, lebih tepatnya Bekasi. Tapi, orang kampungku lebih suka mengaku dari Jakarta ketimbang Bekasi. Sama halnya kebanyakan orang lebih bangga mengaku dari Cirebon ketimbang Indramayu, kampungnya sendiri. Mungkin itulah kenapa orang di sini sering berhalusinasi.
Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan Kriting. Lebaran tahun lalu dia di Kalimantan. Katanya ada pekerjaan di sana, aku tidak tahu persisnya. Tapi, untuk Lebaran kali ini aku yakin dia pasti pulang.
Malam makin larut. Hanya ada Casta dan Kartam di sini. Artinya, hanya kami bertiga di pos ronda reyot ini. Aku merasa kamilah yang sebenarnya menjaga pos ronda ini.
’’Kalau aku kaya, tidak mungkin aku dengan kalian di sini. Sial!” ujar Casta sambil memandang ke arahku. ’’An, kira-kira lulus
SMP bisa langsung kuliah tidak?” lanjutnya. Ia sengaja bertanya ngawur.
’’Bisa, kalau orang tuamu yang punya universitas,” jawabku. ’’Enak, ya, jadi orang kaya.” Suaranya luruh seperti layangan putus. Wajahnya mendongak ke atas sambil menyemburkan asap rokok dari mulutnya.
Dari arah barat sebuah truk berwarna cokelat –dengan terpal biru di atasnya– mendekat ke arah kami. Dan berhenti persis di depan pos ronda. ’’Pasti ini dia,” gumamku berharap. Kedua temanku pun menyangka ini pasti Kriting. Kami tunggu sampai truk itu benar-benar berhenti. ’’Bukan,” ujar Casta kembali melemas. ’’Itu siapa?”
’’Pemulung yang pulang dari Jakarta.” ’’Pemulung?”
Dia hanya menatapku. Lalu berbalik ke arah Kartam.
’’Minum oplosan gagal lagi,” katanya kemudian.
Kuamati wajah mereka. Wajah yang lelah. Segala macam barang-barang diturunkan. Tas, karung –yang entah apa isinya, VCD
player, tape, dan entah apa lagi. Kemudian mereka lekas pergi seperti angin dan jalanan kembali sepi. Jam 02:17 dini hari.
Aku masih menunggu bersama Casta dan Kartam. Aku berdiri di tepi jalan sambil menatap ke arah barat. Gelap. Gerimis mulai menitik. Sebentar lagi musim tandur. Aku melihat langit. Hitam. Tak ada cerita lagi yang mesti kusampaikan pada kamu di sini. Semula saya berpikir akan ada banyak cerita dari Kriting. Tapi tidak malam ini, mungkin esok atau mungkin persis ketika malam Lebaran tiba. Sebentar lagi Casta dan Kartam akan beroperasi karena harapan satu-satunya tidak juga datang malam ini. Malam yang mungkin akan cepat dilupakan setiap orang yang sedang putus asa.
2.
Lebar-anAku ingin pulang ke rumah. Apalagi Lebaran. Aku tidak ingin melewatkannya seperti tahun-tahun yang sudah. Aku tidak akan melewatkan memakai baju baru, celana baru, dan jam tangan palsu baru. Orang-orang kampung akan mengira aku sukses di Jakarta. Aku akan pulang akhir menjelang Lebaran saja. Aku ingin mencari tambahan uang dari sampah-sampah ini. Sampah yang selama ini menghidupiku. Tapi, entah dari mana mulanya, aku seperti mencium bau sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Mendadak tubuhku lemas dan tiba-tiba gelap.
Aku mendengar suara orang takbiran lamat-lamat. Seakanakan jauh tapi seperti dekat. Kadang juga terdengar suara petasan persis berada di atasku. Dan aku baru menyadari bahwa aku berada di sebuah tempat yang sempit dan dingin. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Seakan-akan aku tidak punya daya untuk keluar dari tempat sialan ini. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku, tapi aku menyadari keberadaanku. Sendisendiku seperti dikunci. Aku mendengar suara orang membuka pintu, lalu masuk ruangan. Orang itu seperti mendorong sesuatu, seperti terdengar bunyi roda. Tapi, aku tidak tahu itu apa. Mereka tertawa. Mereka berbicara.
’’Eh, tahu nggak kalau dokter Ramli itu suka sama elo?”
’’Masak sih? Bukannya dia sudah punya istri, ya? Nggak usah gosip, deh.”
’’Eh, kok gosip sih? Beneran kali. Coba aja lo perhatiin cara dia lihat elo?”
’’Mana gua perhatiin? Lagian elo perhatian banget sih sampai tahu gitu? Jangan-jangan
elo lagi yang suka sama dia. Hayooo…” ’’Ihhh… apaan sih. Ngawur lo.”
Aku mendengar mereka meletakkan sesuatu. Entah apa. Aku tidak tahu. ’’Habis Lebaran clubbing, yuk?” ’’Males ah, seminggu lalu baru aja clubbing. Duit lagi cekak nih.” ’’Duit tinggal minta ortu aja. Ayolah!
Nggak asyik banget sih. Ajak Bang Jem. Dia hot juga, loh.”
’’Masa?”
Mereka tertawa. Aku tidak tahu siapa mereka dan ruangan apa ini sebenarnya? Aku ingin keluar tapi tidak bisa. Aku ingin pulang dengan membawa baju baru, celana baru, dan jam tangan palsu yang baru. Aku ingin menemui emak dan bapakku. Aku sangat merindukan mereka dan sekarang pasti mereka menungguku datang menjelang akhir Lebaran seperti ini. Mereka menungguku dengan cemas. Setiap harinya. Aku rindu senyum mereka yang mengembang ketika melihatku datang, anak semata wayangnya. Tapi, di sini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sendi-sendiku seperti dikunci. Dan sebenarnya aku berada di mana? Kenapa aku sampai di tempat sialan ini.
Aku kembali mendengar mereka bicara dan tidak tahu apa saja yang mereka lakukan.
’’Mayat no 11 sudah teridentifikasi?”
’’Nggak tahu. Kayaknya belum tuh.” ’’Calon kadaver[2], nih.”
’’Cowok apa cewek, sih?” ’’Cowok.
’’Hmmm… besar kali ya itunya…” Mereka tertawa. Aku tidak tahu apa yang mereka maksudkan. Kemudian aku mendengar suara sepatu mereka yang semakin menjauh. Aku mendengar suara pintu ditutup. Lalu kembali sepi. Aku kedinginan. Aku ingin keluar dari sini. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu dengan bapak dan emakku. Aku ingin bertemu dengan teman-temanku.
Hampir setahun aku tidak bertemu dengan mereka. Terutama teman masa kecilku, Aan. Selain Beki dan Govar, aku salah seorang yang sering mengajaknya ke tempat-tempat hiburan jika musim
tanggapan. Organ tunggal favorit kami tentu saja organ tunggal Langlang Buana dengan artis dangdut kenamaan Diva Fiesta.
Govar pernah bercerita tentang Safitri alias Diva. Ia juga menceritakan tentang Mang Kaslan, sopir kepercayaan Safitri. Sampai kemudian aku dengar Safitri menghilang. Aku tahu Mang Kaslan menyimpan banyak rahasia mengenai Safitri. Maka, sebelum berangkat ke Jakarta, aku sempatkan mencari Mang Kaslan di Argolis. Aku sempat bertemu dengannya, tapi dia tidak banyak bercerita mengenai Safitri. Ia hanya ingin bercerita jika Safitri mengizinkannya. Akhirnya aku pamit untuk langsung berangkat ke Jakarta. Aku diantar Mang Kaslan sampai Patrol. Dia tersenyum kepadaku ketika bus Luragung berhenti tepat di depanku. Itu pertemuan pertama dan terakhirku dengan Mang Kaslan.
Pada Lebaran ini sebetulnya aku berniat menceritakan pertemuanku dengan Mang Kaslan. Barangkali ini bisa mengobati rasa penasaran Aan mengenai Safitri. Tapi, sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa di tempat yang gelap seperti ini, di dalam ruang sedingin ini, sesempit ini. Tapi, aku ingin pulang. Aku ingin berlebaran bersama mereka di kampung halaman.
Catatan:
1) Operasi adalah istilah (maling) untuk mencari sasaran rumah yang akan dicuri
2) Mayat yang digunakan untuk praktikum mahasiswa kedokteran
Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2019/06/lebar-an.html
Jawa Pos, 3 Juni 2019
1.
Kebanyakan orang pergi karena ingin menemukan jalan pulang. Begitu sebaliknya, yang tidak pernah pergi tidak akan menemukan jalan pulang. Lalu bagaimana jika yang pergi tidak pernah menemukan jalan pulang?
Baik, cerita ini akan aku mulai dari pos ronda yang persis berada di bahu jalan, samping gang yang masuk ke arah rumahku. Kamu tahu kalau pos ronda itu digunakan sebagai tempat jaga warga untuk keamanan kampung. Secara formal seharusnya begitu. Tapi, bagaimana jika pos ronda ini tidak pernah kamu temukan di belahan dunia mana pun. Pos ronda ini akan membuatmu mempunyai interpretasi lain tentang dunia yang sampai saat ini kamu anggap seperti kebanyakan. Bahwa kamu melihat dunia dari kacamatamu atau dari bisikan orang serbatahu. Tapi, kamu sendiri tak benar-benar melihatnya. Dari cerita di pos ronda inilah kamu belajar bagaimana sesungguhnya dunia bekerja.
Pos ronda ini, sepanjang usianya, hanya sekali mempunyai kentongan. Sekarang kentongan itu hilang. Bukan hilang, tapi menjadi asbak sebelum akhirnya dibakar bersama singkong tanah. Pos ronda ini tidak mempunyai jadwal ronda. Dan ini berlaku untuk semua pos ronda di kampungku. Lalu kenapa orang-orang membuat pos ronda? Mungkin untuk menjaga malam.
Pos ronda ini tidak pernah sepi dan yang datang pun tidak berubah. Jika jam menunjukan pukul 11.00–12.00, yang datang adalah Dodi, pencuri kelas wahid di kampungku. Apalagi menjelang Lebaran seperti ini. Tentu pengeluaran mesti sebanding dengan penghasilan. Kalau tidak, mesti mencari jalan keluar. Jalan keluarnya ke mana tentu bergantung siapa yang memainkannya.
Dodi pernah dipenjara gara-gara mencuri mesin air dan hampir dibakar massa. Tubuhnya pernah diseret motor keliling kampung tapi tidak lecet segaris pun. Maka, kekesalan warga pun makin menjadi. Tubuh Dodi disiram bensin, diseret ke tengah sawah, dan ditaruh di atas tumpukan jerami mirip orangorangan sawah. Tapi, sebelum aksi pembakaran dimulai, polisi datang untuk mengamankan Dodi. Mirip polisi di film-film India. Meskipun di India belum tentu ada polisi semacam ini. Akhirnya Dodi selamat dan mengulangi perbuatannya setelah keluar dari penjara.
Selain pencurian, musim begal juga mendadak viral menjelang Lebaran. Aku kira persoalan begal menjelang Lebaran itu milik setiap daerah. Namun, menariknya di kampungku para bandit janjian di pos ronda ajaib ini. Pos ronda yang menjaga malam.
Selain kumpulnya para begajul jahanam, pos ronda ini jadi tempat judi kartu dan remaja kasmaran. Terutama malam Selasa. Kamu pasti bingung kenapa tidak malam Minggu? Karena malam Selasa itu harinya pasar malam
Selasaan di kampungku. Malam Minggu tinggal menyimpan kesepian. Kecuali setelah musim panen. Kamu akan menemukan hiburan setiap hari. Aku sendiri biasa berburu organ tunggal bersama teman baikku, Yusup, yang wajahnya tidak tampan seperti Nabi Yusuf. Maka, dia dipanggil Kriting. Kenapa Kriting? Karena itulah yang paling mewakili dirinya. Dan sialnya dia selalu gagal soal asmara.
Malam ini, di pos ronda ini, aku menunggunya bersama para bajingan kampung. ’’Aku pusing… Kirik!”
Casta mengisap rokoknya dalam-dalam. ’’Anakku minta baju Lebaran,” lanjutnya kemudian.
’’Mau operasi?”[1] usul Kartam.
’’Di mana?”
’’Tetangga desa saja.” ’’Tetangga desa risikonya lebih besar.” ’’Risiko itu ada di mana-mana. Memangnya kita mau mancing?!”
’’Kalau tahu pekerjaan ini berisiko, kenapa kita ngelakuin?”
’’Karena kita tidak punya pekerjaan, Goblok!”
’’Kirik!”
Mereka diam. Seperti menunggu sesuatu. Entah apa. Aku pura-pura melamun agar tak dianggap menguping pembicaraan mereka. Aku sadar keberadaanku mengganggu mereka. Mereka berbicara dengan setengah berbisik. Sesekali salah satu di antara mereka menatapku dan aku pura-pura tak melihatnya.
Sebetulnya keberadaanku di pos ronda ini tak lain hanya untuk menunggu Kriting pulang dari Jakarta, lebih tepatnya Bekasi. Tapi, orang kampungku lebih suka mengaku dari Jakarta ketimbang Bekasi. Sama halnya kebanyakan orang lebih bangga mengaku dari Cirebon ketimbang Indramayu, kampungnya sendiri. Mungkin itulah kenapa orang di sini sering berhalusinasi.
Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan Kriting. Lebaran tahun lalu dia di Kalimantan. Katanya ada pekerjaan di sana, aku tidak tahu persisnya. Tapi, untuk Lebaran kali ini aku yakin dia pasti pulang.
Malam makin larut. Hanya ada Casta dan Kartam di sini. Artinya, hanya kami bertiga di pos ronda reyot ini. Aku merasa kamilah yang sebenarnya menjaga pos ronda ini.
’’Kalau aku kaya, tidak mungkin aku dengan kalian di sini. Sial!” ujar Casta sambil memandang ke arahku. ’’An, kira-kira lulus
SMP bisa langsung kuliah tidak?” lanjutnya. Ia sengaja bertanya ngawur.
’’Bisa, kalau orang tuamu yang punya universitas,” jawabku. ’’Enak, ya, jadi orang kaya.” Suaranya luruh seperti layangan putus. Wajahnya mendongak ke atas sambil menyemburkan asap rokok dari mulutnya.
Dari arah barat sebuah truk berwarna cokelat –dengan terpal biru di atasnya– mendekat ke arah kami. Dan berhenti persis di depan pos ronda. ’’Pasti ini dia,” gumamku berharap. Kedua temanku pun menyangka ini pasti Kriting. Kami tunggu sampai truk itu benar-benar berhenti. ’’Bukan,” ujar Casta kembali melemas. ’’Itu siapa?”
’’Pemulung yang pulang dari Jakarta.” ’’Pemulung?”
Dia hanya menatapku. Lalu berbalik ke arah Kartam.
’’Minum oplosan gagal lagi,” katanya kemudian.
Kuamati wajah mereka. Wajah yang lelah. Segala macam barang-barang diturunkan. Tas, karung –yang entah apa isinya, VCD
player, tape, dan entah apa lagi. Kemudian mereka lekas pergi seperti angin dan jalanan kembali sepi. Jam 02:17 dini hari.
Aku masih menunggu bersama Casta dan Kartam. Aku berdiri di tepi jalan sambil menatap ke arah barat. Gelap. Gerimis mulai menitik. Sebentar lagi musim tandur. Aku melihat langit. Hitam. Tak ada cerita lagi yang mesti kusampaikan pada kamu di sini. Semula saya berpikir akan ada banyak cerita dari Kriting. Tapi tidak malam ini, mungkin esok atau mungkin persis ketika malam Lebaran tiba. Sebentar lagi Casta dan Kartam akan beroperasi karena harapan satu-satunya tidak juga datang malam ini. Malam yang mungkin akan cepat dilupakan setiap orang yang sedang putus asa.
2.
Lebar-anAku ingin pulang ke rumah. Apalagi Lebaran. Aku tidak ingin melewatkannya seperti tahun-tahun yang sudah. Aku tidak akan melewatkan memakai baju baru, celana baru, dan jam tangan palsu baru. Orang-orang kampung akan mengira aku sukses di Jakarta. Aku akan pulang akhir menjelang Lebaran saja. Aku ingin mencari tambahan uang dari sampah-sampah ini. Sampah yang selama ini menghidupiku. Tapi, entah dari mana mulanya, aku seperti mencium bau sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Mendadak tubuhku lemas dan tiba-tiba gelap.
Aku mendengar suara orang takbiran lamat-lamat. Seakanakan jauh tapi seperti dekat. Kadang juga terdengar suara petasan persis berada di atasku. Dan aku baru menyadari bahwa aku berada di sebuah tempat yang sempit dan dingin. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Seakan-akan aku tidak punya daya untuk keluar dari tempat sialan ini. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku, tapi aku menyadari keberadaanku. Sendisendiku seperti dikunci. Aku mendengar suara orang membuka pintu, lalu masuk ruangan. Orang itu seperti mendorong sesuatu, seperti terdengar bunyi roda. Tapi, aku tidak tahu itu apa. Mereka tertawa. Mereka berbicara.
’’Eh, tahu nggak kalau dokter Ramli itu suka sama elo?”
’’Masak sih? Bukannya dia sudah punya istri, ya? Nggak usah gosip, deh.”
’’Eh, kok gosip sih? Beneran kali. Coba aja lo perhatiin cara dia lihat elo?”
’’Mana gua perhatiin? Lagian elo perhatian banget sih sampai tahu gitu? Jangan-jangan
elo lagi yang suka sama dia. Hayooo…” ’’Ihhh… apaan sih. Ngawur lo.”
Aku mendengar mereka meletakkan sesuatu. Entah apa. Aku tidak tahu. ’’Habis Lebaran clubbing, yuk?” ’’Males ah, seminggu lalu baru aja clubbing. Duit lagi cekak nih.” ’’Duit tinggal minta ortu aja. Ayolah!
Nggak asyik banget sih. Ajak Bang Jem. Dia hot juga, loh.”
’’Masa?”
Mereka tertawa. Aku tidak tahu siapa mereka dan ruangan apa ini sebenarnya? Aku ingin keluar tapi tidak bisa. Aku ingin pulang dengan membawa baju baru, celana baru, dan jam tangan palsu yang baru. Aku ingin menemui emak dan bapakku. Aku sangat merindukan mereka dan sekarang pasti mereka menungguku datang menjelang akhir Lebaran seperti ini. Mereka menungguku dengan cemas. Setiap harinya. Aku rindu senyum mereka yang mengembang ketika melihatku datang, anak semata wayangnya. Tapi, di sini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sendi-sendiku seperti dikunci. Dan sebenarnya aku berada di mana? Kenapa aku sampai di tempat sialan ini.
Aku kembali mendengar mereka bicara dan tidak tahu apa saja yang mereka lakukan.
’’Mayat no 11 sudah teridentifikasi?”
’’Nggak tahu. Kayaknya belum tuh.” ’’Calon kadaver[2], nih.”
’’Cowok apa cewek, sih?” ’’Cowok.
’’Hmmm… besar kali ya itunya…” Mereka tertawa. Aku tidak tahu apa yang mereka maksudkan. Kemudian aku mendengar suara sepatu mereka yang semakin menjauh. Aku mendengar suara pintu ditutup. Lalu kembali sepi. Aku kedinginan. Aku ingin keluar dari sini. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu dengan bapak dan emakku. Aku ingin bertemu dengan teman-temanku.
Hampir setahun aku tidak bertemu dengan mereka. Terutama teman masa kecilku, Aan. Selain Beki dan Govar, aku salah seorang yang sering mengajaknya ke tempat-tempat hiburan jika musim
tanggapan. Organ tunggal favorit kami tentu saja organ tunggal Langlang Buana dengan artis dangdut kenamaan Diva Fiesta.
Govar pernah bercerita tentang Safitri alias Diva. Ia juga menceritakan tentang Mang Kaslan, sopir kepercayaan Safitri. Sampai kemudian aku dengar Safitri menghilang. Aku tahu Mang Kaslan menyimpan banyak rahasia mengenai Safitri. Maka, sebelum berangkat ke Jakarta, aku sempatkan mencari Mang Kaslan di Argolis. Aku sempat bertemu dengannya, tapi dia tidak banyak bercerita mengenai Safitri. Ia hanya ingin bercerita jika Safitri mengizinkannya. Akhirnya aku pamit untuk langsung berangkat ke Jakarta. Aku diantar Mang Kaslan sampai Patrol. Dia tersenyum kepadaku ketika bus Luragung berhenti tepat di depanku. Itu pertemuan pertama dan terakhirku dengan Mang Kaslan.
Pada Lebaran ini sebetulnya aku berniat menceritakan pertemuanku dengan Mang Kaslan. Barangkali ini bisa mengobati rasa penasaran Aan mengenai Safitri. Tapi, sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa di tempat yang gelap seperti ini, di dalam ruang sedingin ini, sesempit ini. Tapi, aku ingin pulang. Aku ingin berlebaran bersama mereka di kampung halaman.
Catatan:
1) Operasi adalah istilah (maling) untuk mencari sasaran rumah yang akan dicuri
2) Mayat yang digunakan untuk praktikum mahasiswa kedokteran
Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2019/06/lebar-an.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar