Misbahus Surur
Jawa
Pos, 22 Jan 2017
Kalamata
adalah jenis novel yang dikerjakan secara “tidak biasa”. Berkisah tentang
pengalaman Made (mirip nama penulisnya), saat diminta sahabatnya, Irana,
menuliskan biografi perempuan tokoh seni sekaa dalang, Ni Rumyig. Penulisan
biografi ini tak mudah dilakukan, tersebab si tokoh—yang sejarah hidupnya
hendak ditulis—disambangi demensia (jenis penyakit gangguan ingatan).
Perjalanan panjang riset, dari proses penggalian data hingga teknis penulisan,
dengan segala rintangan dan kesulitannya inilah yang menjadi objek (tema, alur
sekaligus latar) debut penulisan novel Ni Made Purnama Sari. Sastrawan muda
yang lebih dulu kita kenal sebagai penyair melalui, di antaranya, kumpulan
puisi Kawitan (2015).
Kisah
dibuka dengan perjalanan tokoh aku (Made) saat belajar di Tilburg, Belanda,
sampai kemudian ketika terdengar kabar kematian Ny Rumyig, ia kembali teringat
dengan kerja penulisan biografi tersebut. Alur novel lalu bergerak mundur, ke
masa-masa saat Made meriset jalan hidup Ni Rumyig. Di sinilah pokok-pokok
cerita yang menjadi ide utama novel ini digelar: gambaran sisi-sisi lain
kesenimanan perempuan yang di usia senjanya mengidap demensia. Tentu saja tak gampang
mengumpulkan data dari subjek yang terkena demensia. Lebih-lebih bila data
primernya berhubungan dengan usaha mengulik pengalaman dan ingatan hidup si
tokoh. Belum soal dugaan keterlibatan si tokoh dengan peristiwa Gestok 1965.
Sebagai
ganti, Made pun banyak bersentuhan dengan data-data di luar subjek.
Mewawancarai sejumlah narasumber yang cukup representatif terkait masa lalu Ni
Rumyig, observasi lokasi, dan mendokumentasikan sejumlah data terkait seni
sekaa dalang. Kalamata sendiri punya 3 lapisan: bagian pertama (prolog), kedua
(isi) dan ketiga (penutup). Di samping menggunakan data observasi (reportase),
novel ini juga dibangun melalui data-data etnografi: sejarah dan tradisi desa,
catatan harian, termasuk berbagai dokumen penting masa lampau, yang pernah
mengabadikan pedalangan di Bali: dari laporan jurnalistik hingga kajian para
etnolog tentang seluk-beluk kesenian pedalangan tersebut.
Teknis penulisan Kalamata memang seperti penulisan etnografi. Di situ, penulis tampak ingin membangun narasi-deskripsi “tak biasa”. Selain bahwa novel ini menggunakan gaya etnografi, pembaca sah saja mencurigainya sebagai karya etnografi yang menyaru novel. Sebab, buku ini memang ditulis sebagaimana karya etnografi dituliskan. Dari sisi inilah, novel ini bisa jadi menarik, atau justru malah menjemukan (?).
Di
luar itu, banyak karya etnografi (sebagai bagian dari kajian antropologi)
menggunakan teknik sastra menuliskan laporannya. Bukan cuma teknik dan
metodenya, melainkan juga segenap ekspresi-ekspesinya. Simak karya-karya
antropolog, Clifford Geertz, yang teknis penulisannya diwarnai gaya penulisan
sastra (prosa), sebagaimana laporan jurnalistik melakukannya lewat jurnalisme
naratif/sastrawi. Kalau kita lihat karya-karya etnografi kerap diselap-selipi
penggalan puisi, potongan cerita, ungkapan satir dari novel, peribahasa hingga
diktum filsafat. Begitu pula dalam Kalamata, novel ini juga banyak disisipi ragam
kutipan buku, data wawancara, potongan laporan etnografi sendiri dan semacamnya.
Apalagi
ketika dunia antropologi—yang terhitung bagian dari keilmuan humaniora—kian
tampak jadi saintifik (positivistik). Bertumpang-tindihnya yang ilmiah dan yang
sastra: saling mempengaruhi dan mengambil teknik penulisannya
(interdisipliner), hingga pada tataran sudut pandang, sangat jadi adalah kabar
baik. Alih-alih disiplin beda aras ini tetap kaku dan rigid. Dengan kemunculan
novel jenis Kalamata, juga buku-buku antropologi yang ditulis menggunakan gaya
sastra, semoga saja kian dilimpahi optimisme dan kelenturan, misalnya munculnya
formula-formula baru.
Di
samping itu, novel ini secara cuma-cuma mengajari pembaca mengenai bagaimana
penelitian kualitatif dikerjakan, khususnya di dunia antropologi, lebih
spesifik etnografi, yang secara umum juga bisa dirujuk untuk beberapa jenis
penelitian berpayung paradigma kualitatif. Jenis penelitian yang masih kerap
dipraktikkan secara gagap oleh para dosen, mahasiswa dan kaum akademisi di
lingkungan kampus dan instansi-instansi keilmuan lain. Saya kira novel ini
lebih sanggup membeberkan (lagi mengajarkan) detail dan teknis dunia penelitian
(show) ketimbang pelajaran yang kita peroleh dari buku-buku normatif penelitian
(tell).
Di
bagian mana novel ini mengajarkan kita praktik penelitian kualitatif? Tentu
saja pada jalinan tokoh-tokohnya; relasi, keterlibatan sosok aku (Made, sebagai
peneliti) dengan semua objek penelitiannya: jalan hidup yang ditempuh Ni Rumyig
hingga saat-saat ia ditimpa demensia. Sebab, Made, di alur novel ini banyak
melakukan observasi, pengamatan, dan mencatat laku Ni Rumyig beserta segala hal
penting di sekitarnya, termasuk akses-akses Made terhadap berbagai sumber.
Semua penelusuran data-data ini menjadi penguat yang mengerucut pada
penyingkapan lapis demi lapis peran dan jati diri dari masa lalu dalang
perempuan asal Bali tersebut.
Sebagian
data-data penulisan biografi di novel ini, bahkan diperoleh melalui kilasan
mimpi, yang ternyata amat membantu penelitian Made. Pengalaman dan petunjuk
dari mimpi (data yang barangkali sah-sah saja digunakan dalam antropologi) itu
justru menghubungkan Made dengan jati diri Ni Rumyig, yang ketika menggunakan
peranti lain, belum bisa tersingkap. Ini tersimpul dalam judul: Kalamata (duga
saya, petunjuk Sang Kala untuk menyingkap objek).
Di situlah kelebihan novel ini, kemampuannya menggambarkan seluk-beluk dunia penelitian, bahkan teknis dan detail penulisan novel sendiri, dengan lebih hidup. Pembaca dibuat mencermati kerja-kerja praktis penelitian, yang jauh lebih memahamkan ketimbang yang secara teoritik, kita baca-dapatkan dari setumpuk “teks-teks mati” buku penelitian.
Judul
Buku : Kalamata
Penulis
: Ni Made Purnama Sari
Cetakan
: Pertama, Oktober 2016
Halaman
: xvi + 226 hlm
Penerbit
: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Peresensi: Misbahus
Surur, editor di nggalek.co dan pengajar di UIN Maliki, Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar