Jumat, 24 Juni 2011

Potret Ponorogo dalam Tembang Tolak Bala

A. Zakky Zulhazmi
Ponorogo Pos, 24 Juli 2011

Pada awal Mei 2011 Han Gagas meluncurkan sebuah novel bertajuk Tembang Tolak Bala (LKiS, Jogja). Sebuah novel yang menceritakan secara lugas dan cerdas tentang Ponorogo. Kehadiran novel ini merupakan sebuah angin sejuk di tengah musim kamarau. Mengatakan perkembangan novel Indonesia akhir-akhir ini sebagai sebuah musim kemarau rasanya tidak berlebihan. Pasalnya sudah beberapa tahun ini kita senantiasa disuguhi novel dengan tema-tema yang itu-itu saja. Bahkan Han Gagas menulis di awal Pengantar Penulis, sebagai berikut: saya menulis pengantar ini ketika dunia kita sedang mengalami yang namanya mabuk novel ‘Ingin Maju Harus ke Luar Negeri”.

Han Gagas sendiri adalah seorang lelaki kelahiran Ponorogo, 21 Oktober 1977. Setelah menamatkan studi di SMAN 2 Ponorogo Han Gagas melanjutkan ke Geodesi UGM. Karyanya, terutama cerpen telah banyak dimuat di koran lokal maupun nasional. Sebelumnya ia juga pernah menerbitkan buku Sang Penjelajah Dunia (Republika, 2010).

Diceritakan dalam novel Tembang Tolak Bala, tokoh utama bernama Hargo. Cerita dimulai ketika Hargo dan adik kembarnya berenang di sungai. Namun, tiba-tiba adik kembarnya terhisap arus sungai. Nahas, adik kembarnya itu tidak tertolong dan tidak ditemukan.

Semenjak peristiwa itu, Hargo seperti mengalami semacam lompatan waktu. Sekonyong-konyong ia telah tiba di sebuah zaman yang asing. Hargo mendapati dirinya berada di tengah keluarga Ki Ageng Mirah. Seorang kharismatik dan pemurah. Lantas Hargo terhisap kembali dalam sebuah pusaran hingga akhirnya ia sampai pada keluarga Tejowulan (di sini Hargo mulai berkenalan dengan dunia gemblak, bahkan sebagai pelaku). Semua terasa ganjil bagi Hargo. Sampai sini sudah sangat kentara jika Han Gagas menulis novel perdanya ini dalam semangat realisme magis.

Pembaca kemudian diberi kejutan bahwa apa yang dialami Hargo itu adalah hanya semacam tamasya fantasi belaka. Tamasya yang berlangsung ketika dia koma di rumah sakit selama 35 hari yang membuat khawatir semua anggota keluarganya. Akan tetapi satu hal yang menarik, dalam tamasya fantasi itu Hargo mendapat sebuah kitab dari Eyang Tejowulan yang berisi tembang tolak bala. Anehnya kitab itu terbawa ke dunia nyata ketika Hargo sudah sadarkan diri.

Novel ini juga tak luput dari kisah percintaan. Ada misalnya kasih tak sampai antara Hargo dan Juni ketika dalam tamasya fantasi. Lantas kisah cinta antara Hargo dengan Juli yang meski berlatar dendam namun berakhir di pernikahan (dengan Juli, Hargo banyak berdiskusi perihal reog, warok dan gemblak, babad tanah Ponorogo dan Serat Darmoghandul). Ada pula hubungan beda etnis dan agama antara Hargo dengan Mei Ling yang Tionghoa. Meski berbeda mereka sangat dekat dan bahkan ketika pada akhirnya Mei diusir, Hargo dan Mei saling berkirim surat. Surat-surat mereka sangat menggetarkan.

Kejutan lain muncul manakala Hargo medapati salah seorang guru laki-lakinya, Pak Marodirojo (yang juga warok), hendak menyetubuhinya. Hargo terbebas dari malapetaka itu diselamatkan tembang tolak bala yang tiba-tiba ia rapal. Ternyata, ia tahu guru itu tak lain adalah masih keturunan Wulunggeni, musuh bebuyutan nenek moyang Hargo, Honggodermo.

Selain itu, yang menjadi kekuatan lain novel ini yakni adanya beberapa adegan pertarungan antar warok atau antar padepokan Reog yang berlangsung seru dan mendebarkan. Intrik politik juga menambah hidup cerita. Legenda dan dongen seputar sejarah Ponorogo memperkaya novel ini. Misal tentang berdirinya Ponorogo yang bermula dari keruntuhan Majapahit, sejarah Reog, dongeng terbentuknya Telaga Ngebel dan sebagainya.

Tak pelak, novel Tembang Tolak Bala menyajikan informasi yang memadai perihal Ponorogo serta kekayaan khazanah budayanya. Harapan kita bersama, akan lebih banyak novelis yang menulis tentang Ponorogo. Karena sejatinya Ponorogo adalah sebuah kearifan yang tak akan pernah selesai digali. Semoga.

Kamis, 23 Juni 2011

Pengalaman Menulis Buku Pengantar

Nurani Soyomukti*
http://www.jawapos.co.id/

ENTAH kebetulan atau tidak, esai Ridwan Munawwar di rubrik ini (Jawa Pos, 11 Juli 2010) yang berjudul Politik Buku Pengantar hadir saat saya sedang semangat-semangatnya menyelesaikan buku Pengantar Sosiologi. Buku itu saya mulai lebih dari tiga bulan yang lalu. Saya menulis dengan bersemangat karena dipicu tawaran untuk mengajar di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik sebuah kampus swasta. Karena itu, sebagai pengajar, saya harus bisa mengungkapkan pikiran dan gagasan secara lebih sistematis dan mudah dipahami pembaca (terutama mahasiswa).

Sebagai penulis buku-buku bertema pop ”berat”, saya seperti mulai hal baru saat menulis buku pengantar. Saya harus menulis hal-hal yang lebih sistematis. Hal itu bertujuan agar penyampaian materi dapat mendukung ketentuan kurikulum yang diajarkan di lembaga pendidikan. Juga, memudahkan suatu wacana akademik dipahami dalam keterkaitan satu materi dengan materi lain. Saya juga harus membatasi diri untuk berbicara hal-hal yang subjektif agar uraian-uraian yang disampaikan tidak keluar dari bingkai tema, materi, dan teori yang dibahas dalam buku tersebut.

Esai Ridwan benar-benar seperti mengingatkan saya. Karena itu, tulisan tersebut saya gunting dan saya tempel di dinding dekat komputer. Ridwan membahas tentang bagaimana seharusnya sebuah buku pengantar dibuat. Menurut dia, idealnya penulis buku pengantar adalah para petualang wacana yang sudah mumpuni dalam bidang keilmuan yang dipengantarinya.

Penulis buku pengantar ”harus memiliki jam terbang membaca yang lebih unggul daripada yang lain”. Tujuannya, agar banyak literatur yang dikuasai. Semakin banyak literatur penulis buku pengantar akan memberikan pilihan bagi pembaca untuk mengambil teori mana yang paling cocok. Juga, memberikan sudut pandang yang jamak tentang suatu informasi dan gejala kehidupan yang ditulis atau dibahasnya dalam buku.

Saya punya pandangan bagaimana menulis buku pengantar yang baik. Yaitu, kontekstualitas dengan isu kekinian dan yang kita tulis bisa digunakan untuk menganalisis perkembangan sosial yang terjadi. Dalam menulis buku tersebut, saya berusaha keluar dari teks-teks lama yang berbicara tentang isi buku yang judulnya sama atau hampir sama yang pernah ditulis para penulis sebelumnya. Misalnya, buku Pengantar Sosiologi karya Soerjono Soekanto yang banyak digunakan di lapangan akademik ilmu-ilmu sosial. Tetapi, karena buku pengantar harus sesuai dengan kurikulum dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), saya tidak bisa keluar jauh dari itu.

Mungkin, yang bisa maksimal saya lakukan adalah memasukkan tema-tema penting dalam kajian sosiologi dan contoh-contoh yang berbeda dari proses-proses sosial yang digambarkan dalam materi sosiologi yang ada. Saya memasukkan tema-tema yang saya anggap penting dalam upaya untuk memberikan pemahaman terdalam tentang teori-teori dan filsafat sosial. Misalnya, bab yang menggambarkan perdebatan antara marxisme dan post-positivisme (postmodernisme). Isu-isu sosial strategis yang bisa dibahas dalam kajian sosiologi (sosiologi pendidikan, sosiologi seks, dan gender) juga saya masukkan, meski tema itu dapat dikembangkan dalam buku tersendiri. Alasan lain, saya memang sangat menguasai masalah tersebut. Beberapa buku tentang itu telah saya terbitkan.

Jadi, inilah yang mungkin dimaksud bahwa penulisan buku pengantar juga boleh subjektif. Tapi, adakah tulisan yang tidak subjektif? Jika sebuah buku pengantar adalah parade ringkasan teori maupun pendapat para tokoh, memang ada batasan kurikulum mata kuliah. Tapi, kita bisa melontarkan subjektivitas itu dalam rangka menarasikannya dan memberikan contoh-contoh sesuai dengan pengalaman subjektivitas tadi.

Ini adalah salah satu alur psikologi menulis yang berguna untuk menghindari plagiasi. Apalagi, yang kita tulis adalah pengantar untuk ilmu-ilmu sosial (Pengantar Sosiologi), bukan ilmu eksakta. Masalahnya, ketika saya membandingkan dua atau tiga buku teks pengantar dari penulis yang berbeda, pada saat membahas suatu teori yang sama, cara menarasikannya sama dengan contoh-contoh yang sama. Untuk ukuran penulis buku pengantar yang rata-rata bergelar doktor dan memiliki jam terbang mengajar yang tinggi, hal tersebut sungguh memalukan. (*)

*) Koordinator Quantum Litera Center (QLC) dan penulis buku, tinggal di Trenggalek.

LOMBA CIPTA PUISI, MENULIS CERPEN, CERITA RAKYAT DAN PAGELARAN SASTRA

Sekadar Info Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2011
http://sastra-indonesia.com/

Dalam rangka Aruh Sastra ke-8 Kalimantan Selatan di Barabai HST, tgl 16 – 19 September 2011 dengan Tema “ Menebar Benih Sastra di Banua Murakata”, Panitia Penyelenggara membuka kesempatan bagi penulis yang berdomisili di wilayah Kalimantan Selatan untuk mengikuti beberapa lomba yaitu :

1) Lomba cipta puisi bahasa Indonesia, tema bebas.

2) Lomba menulis cerpen bahasa Indonesia, tema bebes.

3) Lomba menulis cerita rakyat berkisar cerita rakyat yang ada di daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Masing-masing mata lomba, peserta boleh mengirimkan maksimal 3 (tiga) karyanya yang ditulis tahun 2010/2011 + biodata singkat + foto,asli tidak saduran/jiplakan,belum pernah dipublikasikan di media cetak/internet atau sedang diikutkan pada lomba yang lain dibuat dalam surat pernyataan.

Untuk lomba puisi, panjang puisi maksimal dua kwarto dan untuk lomba cerpen dan kisah rakyat 4-7 kwarto, font 12 times new roman diketik satu setengah spasi.

Naskah masing-masing lomba sebanyak 4(empat) rangkap dimasukkan ke dalam amplop, di sudut kanan atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti dan sudah masuk ke panitia melalui post atau diantar sendiri dengan alamat DISBUDPARPORA Kabupaten HST di Barabai Jl.H.Abdul Muis Redhani Kelurahan Barabai Timur Kec.Barabai Kab.HST, selambatnya 30 Juli 2011.

Hadiah-hadiah sbb :

1) Lomba cipta puisi dan menulis cerpen bahasa Indonesia :

Pemenang I,II,III dan Harapan I,II,III dari masing-masing mata lomba akan mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan.( Rp 2.000.000, Rp 1.500.000, Rp 1.000.000, Rp 750.000. Rp 500.000, Rp 400.000 )

2) Lomba menulis cerita rakyat :

Pemenang I,II,III dan harapan I,II,III akan mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan ( Rp 1.500.000, Rp 1.000.000, Rp 750.000, Rp 600.000, Rp 500.000, Rp 400.000 )

Pemenang I sampai harapan III dan yang dipilih masing-masing mata lomba akan di antologikan.

Khusus lomba Pagelaran Sastra :

Setiap Kabupaten/Kota dapat mengirimkan satu kelompok maksimal anggotanya 12 (dua belas orang) yang teridiri dari pemain,pemusik dan krew.

Yang dipergelarkan memilih salah satu cerpen yaitu :

a. Bunglon karya Anton Cekov

b. Lurik karya Hasan Al Banna

c. Lukisan Angsa karya Fakhrunas MA Jabbar

d. Buaya Putih karya Ajamudin Tifani

e. Sanja Kuning karya Sandi Firly

Durasi penampilan maksimal 15 menit.( diluar pengaturan setting )

Hadiah : Pemenang I,II,III dan Harapan I,II,III akam mendapat hadiah tropy dan uang pembinaan masing – masing Rp 5.000.000, Rp 4.500.000, Rp 4.000.000, Rp 3.500.000, Rp 3.000.000, Rp 2.500.000,-

Disamping lomba Panitia juga mengharapkan partisifasi penyair yang berdomisi di wilayah Kalsel untuk mengirimkan karya puisinya sebanyak 3 (tiga) puisi + bioadata singkat + foto yang akan diterbitkan dalam sebuah antologi puisi. Karya puisi dimasukan dalam amplop dan di sudut kanan atas amplop ditulis Antologi Puisi dikirim melelui post atau diantar sendiri dengan alamat DISBUDPARPORA Kab.HST di Barabai Jl.H.Abdul Muis Redhani Kelurahan Barabai Timur Kec.Barabai Kab.HST, selambatnya 30 Juli 2011

Yang belum jelas silakan kontak person 081351128514 / 081348120891

Salam Sastra
Panitia Aruh Sastra ke-8 Kalsel di Barabai HST

Sumber: Arsyad Indradi, sesepuh sastrawan Kalimantan Selatan

Selasa, 21 Juni 2011

MENGGUGAT AKSARA

Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/

Salah satu fungsi kritik sastra adalah sebagai bahan tulisan yang memberikan sumbangan pendapat, yang memberikan petunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan yang tidak baik, yang asli dan yang tidak asli. Untuk selanjutnya bahan tulisan itu dapat dijadikan pertimbangan bagi pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya.

Berkenaan dengan digelarnya diskusi online komunitas ini dengan tema “Menggugat Aksara Dua Puisi : SK Tuhan dan Surat Kepada Bintang II” maka kali ini kebetulan Muhammad Rain (selanjutnya dapat disebut Muhrain) mendapat kesempatan mengajukan gugatan sebagaimana keinginan grup ini. Adapun gugatan aksara yang disampaikan di sini dipakai juga untuk bahan diskusi, sehingga sifatnya dapatlah dianggap gerbang pembuka bagi para sahabat lain untuk menguji dan bahkan membantah serta menawarkan solusi lain terhadap gugatan yang disampaikan.

Kita mulai dengan membedah puisi Tosa Putra berikut ini:

SK TUHAN (Perjanjian Alam)

Matahari, bumi, pohon, bulan, bintang dan rangkaian galaksi dicipta dengan perjanjian mengisi alam yang ditulis dalam kitap perundangan

mengingat: rotasi
menimbang: evolusi
memutuskan:

Pasal 1

1. Bulan adalah satelit bumi, menjadi cermin matahari, memantulkan cahaya-Nya, menerang bumi pada malam meski kadang terhalang awan.
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan. Bulan pun tak tercatat dalam sejarah ketika bumi diam tak berkisah.
3. Di langit gemerlap, bulan dan bintang bersanding sedang bumi sendiri menahan pedih.
4. Di langit terang, bumi mutlak hak matahari, sedang bulan-bintang mesti sembunyi di laci ; tercundi dalam kitab suci milik para sufi.
5. Bumi sabar menanti bulan menerang malam, sedang di langit bulan memilih bercengkrama dengan bintang, bermainan ayunan (menggantuk di atap bumi) dan Cuma cahaya-Nya yang menyapa.

Pasal 2

1. Akar tunggang kokoh mencengram hati agar tak roboh
2. Akar serabut menyedot sari bumi, disalurkan via selang kata bernama cambium makna sampai pada daun kehidupan.
3. Di bawah matahari, klorofil berfotosintesa agar dapat tumbuh-kembang ranting, dahan dan duan rindang untuk menebar keteduhan, kesejukan dan keindahan sampai berakhir di mata gergaji, menjadi laci menelan bulan-bintang dalam kitab suci.

Surat keputusan ini dibuat untuk dijadikan pengajaran makna kesetiaan, kebersamaan dan pengorbanan. Keputusan ini berlaku sejak alam dimuntahkan dari rahim tuhan. Terkait perubahan dan hal yang belum tercantum dalam surat keputusan ini diatur dalam kitab suci.

Lembah hati, awal kehidupan
Atas nama cinta
Tertanda
Sang pencipta.

Trenggalek 12-13 Juni 2011.

Kesan perdana akan serta merta muncul dari sisi visual bentuk sajak di atas, kita kenal dengan istilah tipografi, sebagaimana sikap konvensionalnya pembaca sastra secara umum, maka kelihatan bentuk sajak karya Tosa Putra di atas sangat menyimpang dari kebiasaannya. Sebentar dulu, ini masih kecurigaan kita sebab kita telah biasa disuguhi pola bentuk sajak yang berbait, berbentuk rangkaian larik-larik yang konon dibaca satu nafas, mendapat pemberhentian (jeda) pembacaan secara wajar. Namun sajak di atas sama sekali jauh memengang kendalinya untuk bisa disebut sajak konvensional.

Baiklah, maka selanjutnya berdasarkan fakta visual tekstual tersebut, kita tak dapat mengklasifikasikan puisi ini sebagai puisi umum, konvensional atau biasa yang di dalam sastra tergolong puisi baru. Namun puisi Tosa dapat kita golongkan sebagai puisi kontemporer, yang berusaha merubah unsur-unsur isi dan bentuk untuk tampil berbeda dari karya sajak umum. Bila dibandingkan dengan karya Ayano berikut tampak sekali secara kontras perbedaan puisi secara bentuk sepintas (visual).

SURAT KEPADA BINTANG II
Karya: Ayano Rosie

Malam menjenguk bulan
Melerai bumi dipijakan
Merayu bintang tuk berkedip
: senyap mengusung meteor

Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

Kepada bumi bulan bercahaya
Kisah bintang tak berpola
Larut terik disejuk bumi
: menangis

Ini kisah bintang
Di bulan ranum memendam
Langit jingga di lengkung bumi
: layu lebur.

Berdasarkan dua bentuk yang berbeda dari dua puisi ini, maka tak dapat kita gunakan tangan yang sama dalam menyisih-nyisihkan bentuk itu. Muhrain mengganggap bahwa sajak/puisi Tosa dapat kita dekati sebagai bentuk puisi kontemporer, yang membutuhkan minat kreatifitas untuk menolak sisi bentuk umum puisi konvensional dari karya puisi Ayano.

Pola berbentuk undang-undang, peraturan yang berpasal pula dan berikut berisi penyataan menjadi sesuatu yang mengikat bahwa sajak Tosa bertujuan untuk menggunakan nilai bentuk (bentuk SK) sebagai gaya tarik utama puisinya. Berhasilkah?

Berbicara bentuk (nilai visual) maka karya Tosa jelas kalah saing dengan karya Ayano, alasannya gampang sekali, sebab untuk memunculkan kesan indah, sastra berupa karya indah (su-sastra) kumpulan karya (tulisan) yang indah, nah dengan demikian nilai keindahan lebih dimiliki oleh karya Ayano, berdasarkan pandangan formalitas kaum sastra kita, indah pada pandangan seorang Muhrain tentu kebanyakan sifatnya, indah secara bentuk karena sajak sangat membutuhkan dukungan dari sisi bentuk, yang selanjutnya didukung oleh kekuatan isi.

Berikutnya kita mengkaji nilai keberaksaran kedua karya puisi ini. Perhatikan bagaimana Tosa dalam puisinya menggunakan seluruh nilai bahasa sastra demi meninggikan nilai hasil karya ciptanya. Kelihatan secara nyata karena ia berkehendak menciptakan suatu bentuk surat keputusan, lalu dari sanalah kesan diksi bertujuan menunjukkan surat-surat (kiriman pesan lewat karya tulis) yang merujuk kepada suatu keputusan mulai menggerayangi dunia kreasi Tosa, maka ia mulai memilih kata beraroma tegas, menunjukkan, menyatakan: “Mengingat, Menimbang, Memutuskan” dst.

Bandingkan dengan Ayano dalam menunjukkan minat awal penciptaan karya puisinya. Awalnya kedua sahabat kita ini sudah menyepakati untuk menulis puisi yang punya kaitan dengan tiga kata:

Tiga kata itu yakni bumi, bulan dan bintang. Nah meski ini bukan lomba lalu pilihan-pilihan keduanya memiliki tujuan untuk mengangkat tema yang disepakati kedua Sahabat kita ini. Ayano menulis surat juga rupanya, tapi bukan surat keputusan, apalagi keputusan dari Tuhan (ala Tosa). Surat Ayano bukan kepada kekasihnya atau siapapun yang sejenis makhluk hidup, tapi ia menulis suratnya untuk bintang. Siapakah bintang? maka mulailah Ayano menulis bahasa planet, bahasa semesta, meskipun masih bisa dimengerti oleh manusia, ia memakai kata-katanya sebagai penyampaian berita tentang sikap-sikap antara penghuni semesta, sikab bumi, sikap bulan bahkan sikap sang bintang sendiri yang konon Ayano sedang menulis suratnya untuk sang bintang itu sendiri. Aneh khan? seorang Ayano menulis surat yang menceritakan kisah si bintang, bintang yang bakal menerima suratnya.

Surat Ayano menjadi muskil alias mustahil oleh adanya larik ini, perhatikan:

*Merayu bintang tuk berkedip
*Kepada bintang, bulan tersenyum
*Kisah bintang tak berpola

Tiga larik inilah yang menyumpalkan ketidaklogisan seorang penulis surat kepada bintang ini, Ayano. Logika bahasa seterusnya bekerja dalam menyingkap perjalanan suatu bentuk teks bahasa. Teks bahasa tak mati sebagai teks, ia hidup dalam ruang berbahasa yang multi indra, ia dibaca oleh mata, dilafal oleh mulut, dipahami oleh kemampuan otak dalam mengartikan bahasa, juga seolah diperdengarkan kepada kuping saat kita menjalani proses pembacaan.

Selanjutnya kita akan seterusnya menyikapi nalar-logika kata-kata, kelompok kata bahkan kalimat yang begitu ramai pada bentuk puisi Tosa, dan permainan kata yang tertera pada karya Ayano. Sebab bahasa sastra bukan bahasa planet yang antilogika, bukan bahasa orang yang ngelantur dan cap-cus.

Sapardi Djoko Damono (1975-76 : 299) pernah menyampaikan kira-kira begini bunyinya: (saya penggal untuk menohok tajam)…

Kritik yang baik adalah semacam kesan-kesan pribadi yang memberi isyarat kepada pembaca lain untuk bangkit menemukan pembahasan yang disampaikan penulis kritik itu…, Kritik tidak berpura-pura untuk mencampuri percakapan yang mungkin terjadi antara sebuah sajak dengan pembacanya. Ia pun tidak menghias sebuah sajak agar nampak lebih menyenangkan, juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu, kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk memperhatikan kembali karya yang “hilang” karena tersapu debu waktu.

Masih menurut Sapardi DD., bagi penyair , kritik yang baik dapat membukakan kesadarannya akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada sajaknya, yang mungkin sekali belum pernah ia ketahui sebelumnya. Barangkali ia bisa mengembangkan lebih jauh beberapa kemungkinan yang diharapkan dapat menaikkan nilai tulisan yang ia hasilkan nanti.

Pantas juga diingat bahwa kritik sastra yang kita baca tidak semata-mata karena isinya, melainkan karena gayanya. Terlepas dari apa yang dibicarakan, maka kritik yang baik tetap enak dibaca.


Tadi kita telah melihat, mendiskusikan, bahkan sudah ada beberapa kawan yang selesai sampai pada kesimpulannya, kali ini biarlah giliran saya menyelesaikan tulisan saya.

Ayano benar telah menyusun kalimat-kalimat, larik, bait dari aksara indah, namun keindahan nanti dulu kita katakan sebagai indah yang maksimal, mari kita cermati keindahan diksi yang berhasil atau tidak berhasil ditumpuk Ayano dalam puisinya:

Atas bumi langit memeluk

: memeluk apa?
Larik yang ini menjadi gantung, antara kita menyebutnya indah atau malah tidak indah. Bandingkan jika misalnya urutan kata kita rombak, dengan bertujuan meraih indah yang lebih kuat, meskipun tidak satu katapun dari larik ini yang dirubah atau diganti. Tanpa merusak kesinambungan makna tentunya dengan larik sebelumnya atau larik sesudahnya.

Atas bumi langit memeluk

kita rombak sembarang saja tanpa bermaksud mengobok-ngobok acak tanpa tujuan:

langit memeluk atas bumi

(awalnya..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

(perubahan..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
langit memeluk atas bumi
beriak di tusukan hari

Persoalan logika bahasa yang saya sampaikan di tulisan awal tadi bahwa Ayano melakukan ketidaktelitian dalam menulis lariknya, baik secara susunan bahasanya apalagi pemaknaannya secara benar.

Manakah yang memeluk di sini? Apakah bumi yang memeluk langit atau langit yang memeluk bumi?

Jawaban logis tentunya langitlah yang memeluk bumi, bukan sebaliknya, bumi lebih kecil di banding langit terutama dari sisi luasnya. Jadi tak bisa bila bumi ternyata malah ingin memeluk langit, ia malah diselimuti oleh langit (dipeluk) keseluruhan bidangnya oleh langit.

Dalam konsep imajinasi, orang tentu ada yang bisa terbang dengan mengandalkan selendang (seperti kisah Jaka Tarup yang menyembunyikan selendang salah satu peri), ada yang terbang bahkan dengan angin dan banyak lagi, itu kita kenal sebagai logika sastra, yakni logika yang hanya akan ada nyata dikawasan sastra. Benar memang sastra itu bebas, tapi bukan bebas mabuk kehilangan nilai rasa logikanya, kehilangan ketentraman jiwanya, mengapa kita sebut ketentraman jiwa? karena ketika kerja bersastra, menulis puisi, merangkai kekuatan bahasa sastra, bahasa indah namun kerja ini malah mengaburkan tuntutan kelogisan bahkan serendah-rendahnya tuntutan berbuat logis itu, maka kita para pesastra sedang mabuk diluar kesadaran, ngoceh dan sayang sekali wahai saudaraku sekalian, ketika kita mulai ngoceh dalam bersastra maka nilai indah menjadi semakin abstrak tak tepahami, seperti kita memandang coretan cakar ayam siswa PAUD, indah mungkin baginya, namun hanya dia sendiri yang mengatakan itu indah, asyik baginya ya, karena dengan asyik dirinya sendiri dalam membela keasyikan dirinya.

Kali ini kita berhadapan dengan pasal-pasal dari Tosa Poetra , dalam puisinya yang telah dengan yakin ia mencap konsep menyusun surat keputusan (SK), maka lalu meskipun itu sk-sk-an ala manusia murni sastra, saya ingin sekali sebenarnya membaca ketegasan Tosa secara berimbang dalam mencap puisinya ini bernafas Surat Keputusan. Pasal-pasal yang dibuka dengan tiga barisan sakti ini:

mengingat : rotasi
menimbang : evolusi
memutuskan :

Di sinilah titik kulminasi, titik pagut pembacaan karya Tosa dimulai, ia menyatakan “mengingat” untuk memberi petunjuk refleksi, “menimbang” untuk menunjukkan nilai kebijaksanaan (saya kira bijaksananya Tuhan), dan lalu Tosa memakai kata terakhirnya dalam tiga rangkai yang sudah mentradisi ini pada banyak jenis SK kaum manusia, ia menyatakan “memutuskan”?

Saudara yang membaca sudah bisa memilah banyak isi pasal, dan yang mana dari yang banyak ini yang berupa keputusan, mari saya hidangkan:

(sepintas yang bisa digolongkan keputusan):

Pasal 1:

1. “Bulan adalah satelit bumi”
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan.
kata “pada” harusnya diganti dengan kata “saat”, guna memperjernih pernyataan.
4. ” …bumi mutlak hak matahari”

sedangkan
nomor 3 dan 5 sama sekali tak berbau keputusan. Silahkan kita cermati lebih jauh.

Pasal 2, semua bagiannya telah tergolong jenis keputusan, karena Sahabat kita Tosa memang telah menelitinya dengan yakin menggunakan korelasi ilmu biologi. Jadi tidak kita temukan hal yang melenceng dari kehendaknya dalam mengkreasikan suatu keputusan.

Penutup dalam mencermati dua puisi (sajak) Saudara kita ini, Ayano dan Tosa, saya menyimpulkan bahwa kita perlu menilai dengan benar kenyataan-kenyataan karya sastra yang hendak dimunculkan terutama ke publik, sehingga penalaran bahasa secara sederhanapun dapat memperoleh keyakinannya. Gugatan aksara yang muncul di sini tak lain sebagai sebuah kehendak bersama dalam mempertinggi kreatifitas dan produktifitas berkarya para pelaku sastra puisi.

Bagian-bagian yang tersampaikan di sini murni mencari titik penggugatan versi Apresiator Utama, dengan maksud menemukan jalan yang telah terhambat dalam kedua karya tersebut, menawarkan refleksi kajian kepenulisan puisi, dan turut sertanya kita seluruh pembaca dalam memberikan dorongan demi temuan-temuan jalan baru selanjutnya bagi saya sendiri selaku penyaji, sebab sayapun sedang tahap belajar, kepada Ayano dan Tosa, juga kepada segala pihak yang berkenan mendapatkan petikan-petikan istimewa grup ini.

Dengan kerendahan hati dan segenap cinta sastra, selamat bersastra saya ucapkan kepada pembaca umum, terima kasih atas kesempatan mengisi laman ini, jumpa kata lagi di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam Bis’shawaf.
Catatan:
1. SK tuhan, Karya Tosa Putra dari Trenggalek
2. Surat Kepada Bintang II, Karya Ayano Rosie dari Makasar
Sumber: GRUP (KOMUNITAS) SASTRA: KEBUN SASTRA

PUISI DAN TUSIRAN PERISTIWA

Sarabunis Mubarok
Radar Tasikmalaya, 22 Mei 2011.

Setelah membaca antologi puisi ‘Manusia Utama’ karya Y. Thendra BP, saya mungkin tidak begitu kagum dengan bentuk-bentuk puisi yang ada di dalamnya. Secara teknik dan bentuk penulisan, puisi-puisi dalam antologi ini adalah sesuatu yang sangat umum ditulis oleh penyair-penyair mapan di Indonesia.

Namun lepas dari bentuk penulisannya, mau tak mau saya tetap harus memuji Thendra dalam hal kemampuannya mencatat peristiwa. Penyair dengan kesadaran yang baik mampu membebaskan peristiwa untuk berbicara tengtang realitasnya. Peristiwa-peristiwa tersebut berloncatan dalam dunia barunya, yaitu puisi. Ia bebas bergerak, menangis, tertawa, bergumam atau berteriak.

Tak mudah memeroleh kesadaran mengemas sebuah peristiwa untuk bisa berbicara realitasnya sendiri melalui puisi. Dan penyair memang semestinya tidak melulu harus mencampur banyak hal untuk membumbui suatu peristiwa supaya menjadi puisi.

Sebuah peristiwa yang ditusir si penyair ke dalam puisi dengan jarak yang telalu dalam, akan menyebabkan melimpahnya distrorsi kreativitas. Meskipun mungkin akan terasa sangat dramatis, namun sebagian realitas menjadi kabur atau seakan-akan dikaburkan. Dan hal seperti ini mennyebabkan puisi terjebak di lorong yang gelap. Kekuatan realitasnya menjadi sulit dinikmati, atau mungkin menjadi tak ternikmati.

Sebaliknya jika sebuah peristiwa ditusir penyair dalam jarak yang terlalu dekat, akan menyebabkan puisi kehilangan sudut pandang. Lalu puisi akan terasa sangat cair. Puisi menjadi terlalu apa adanya, dengan kretivitas yang apa adanya pula. Ketika realitas sebuah peristiwa begitu terang, puisi menjadi tak lebih dari sebuah catatan jurnalistik belaka.

Namun dalam antologi ini, penyair memiliki kehati-hatian yang baik. Thendra menempatkan peristiwa dalam puisi dengan jarak tusir yang terjaga. Tidak terlalu jauh sekaligus tak terlalu dekat dengan peristiwa yang ditusirnya. Sebuah kesadaran yang baik untuk menjaga puisi agar tidak kehilangan rasa realitasnya.

Secara auditif, puisi-pusi Thendra juga enak dibaca dan enak didengar. Selain ada banyak rima yang bermain cukup apik, pada banyak puisinya ia juga cermat membagun dialog yang memperkuat puisi itu sendiri.

Antologi ini diberi judul Manusia Utama, judul yang sama dengan salah satu puisi di dalamnya. Sebagai judul antologi, sangat menarik, puisinya pun asyik. Saya mencoba memahaminya, meski tidak mudah. Puisi ini mengajak pembaca untuk mencari literatur tentang Amungme, Nemangkawi, dan istilah lainnya supaya benar-benar bisa menikmatinya.

Nemangkawi adalah sebuah kata yang berasal dari salah satu bahasa dari tujuh suku pemilik tanah ulayat yang masuk dalam wilayah kontrak karya PT Freeport, di Kabupaten Mimika, Papua. Dan di sanalah hidup suku Amungme. Secara harafiah amungme terdiri dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu “amung” yang artinya utama dan “mee” yang artinya manusia. Orang Amungme percaya bahwa mereka adalah keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju abadi yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).

Tanpa mengenal arti dari kata-kata tersebut, membaca puisi ini mungkin akan mengerutkan dahi, meskipun secara keseluruhan masih bisa ditangkap suatu kegelisahan yang samar-samar terderngar.

Namun justru kata-kata berbahasa Papua itulah yang membuat puisi ini sangat khas. Meskipun saya hanya mendapatkan arti harfiah dari kata-kata tersebut, namun puisi ini mampu membangun imajinasi saya: Sekelompok suku yang tengah bersembahyang, bersudud dan memanjatkan doa keluh kesah kepada Tuhannya. Ini terjadi karena sebuah keadaan yang tak bisa dilepaskan dari sejarah Papua. Sebuah ketakberdayaan masyarakat ketika kekayaan alam mereka berpuluh tahun dirampok di depan mata oleh sekelompok kapitalis yang kejam dan serakah.

***

Selalu ada yang beda, atau Thendra sengaja membuatnya berbeda. Pada puisi-puisi lainnya tusiran realitasnya tergerus kejengkelannya penyairnya sendiri. Pada puisi yang berjudul Repromosi sebuah kota, Sepatu & Tuhan Impor buat Kaki Dunia ke Tiga, Urban, Disebabkan Humor dan puisi berjudul Braga, misalnya. Puisi-puisi tersebut terasa togmol, dan sebagian lainnya lebih terasa sebagai anekdot.

Thendra bertutur dengan sangat lancar. Namun pada beberapa puisi, penekanannya banyak disimpan pada bait akhir, semacam kesimpulan yang menyebabkan deskripsi yang didedahkan di bait-bait sebelumnya terasa hanya sebagai penyangga. Pada bait akhir puisi Merak-Bakauheni misalnya, gunung krakatau itu tampak tenang? / sesungguhnya tidak, seperti dirimu/ menyimpan larva dan duka cinta//

Antologi ini dibuka dengan sajak tentang peristiwa dan waktu. Sebuah peristiwa akhir tahun yang ditulis sangat apik. Ada tusiran realitas yang menafsiri waktu sebagai pertanda. ”aku akan menutup jendela, menemuimu/membuka jendela yang lain/di tubuhmu//”

Dan antologi ini ditutup dengan puisi berjudul Taman Bermain. Sebagai penutup, puisi ini seolah mengisyaratkan proses kreatif penyairnya.

di taman bermain / merendah angin pada bunga-bunga / dua kanak-kanak berkejaran dalam mata / dua kanak-kanak dalam diri bicara//

+ kita mau ke mana? / -ke mana saja asal ada tempat bermain ./ + hari sudah petang / – aku belum mau pulang.

Dalam puisi ini Thendra kembali memandang waktu hanya sebagai pertanda, bukan sebagai batas. Dalam kepenyairan, tak eloklah kiranya jika penyair menjadikan waktu membatasi kreativitasnya. Tak ada pensiun dalam kamus seorang penyair, kecuali sekedar menunggu ilham lahir. Karena seperti yang diungkapkan Thendra, puisi akan terus mengalir seperti angin dan bunga, bermain-main untuk menikmati kematian dan kelahiran yang nyata.

Mungkin demikianlah Y. Thendra BP. Ia selalu ingin pergi ke tempat bermain, mengasuh anak-anak yang tumbuh dalam dirinya, menyadarkan diri bahwa hari sudah petang, sekaligus menyadari belum saatnya untuk pulang..(*)

========
Catatan: Sabtu, 21 Mei 2011, jam 19.00, Beranda 57 bekerjasama dengan Teater Kappas SMA Pasundan 2 Tasikmalaya menggelar bedah buku puisi “Manusia Utama” (IBC, Mei 2011) karya Y. Thendra BP. Bertempat di aula kampus SMA Pasundan 2 Tasikmalaya, acara ini dimeriahkan oleh pembacaan puisi, diskusi, dan bajigur party, dihadiri oleh para seniman Tasikmalaya dan kalangan pecinta sastra. Sarabunis Mubarok, penyair dan pemerhati sastrawati yang Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan, menjadi pemantik diskusi malam itu.

Menanti Sastra yang Mencerdaskan

Mujtahid *
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/

SASTRA merupakan salah satu cara mengungkapkan ekpresi jiwa, perasaan, pikiran di tengah suasana yang hidup, bukan ruang kosong. Sastra bukan hanya mencitrakan nilai estetis, tetapi memiliki nilai pesan moral yang sangat dalam, mengena dan lugas. Tak hanya itu, sastra dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial, kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman.

Relasi sastra dengan keadaan masyarakat merupakan hubungan dialektis, yang saling mempengaruhi perkembangannya. Posisi sastra harus menempatkan tema pesan sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat.

Dalam sastra mengandung dimensi makna yang sangat luas, tergantung pelakunya. Seperti sastrawan atau budayaman Cak Nun, sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, apa yang dikaryakan memantik pesan sosial dan religius. Sumber inspirasinya adalah bermula dari sikap, ide dan pandangan dia terhadap realitas yang mengitarinya.

Menurut Jabrohim, seorang sastrawan “akademis” menyatakan bahwa sebuah hasil karya sastra yang genuin (asli) adalah karya yang memiliki hubungan timbal balik antara sastrawan melalui karya sastranya dengan masyarakat.

Memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang penyair senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Setiap penyair pasti tidak hidup dalam ruang yang hampa, tetapi dinamis dan kompleks. Sehingga hasil sebuah sastra bukanlah berdiri sendiri (otonom), melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.

Untuk menyelami siratan makna sastra, kata Jabrohim, dapat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis dan religius. Dengan pendekatan sosiologis, maka akumulai dari konteks sosial sastrawan, cermin masyarakat dan fungsi sosialnya dapat terbaca secara komprehensif. Sedangkan dengan apendekatan religius, maka nilai-nilai sastra terlihat menyiratkan inti (core) kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak (Tuhan).

Kalau kita mau baca kumpulan puisi-puisi yang ditulis oleh Cak Nun, misalnya, kita akan mendapatkan siratan makna yang bersifat sosio-religius. Siratan makna puisi tersebut berupa ekspresi dari kegelisahan, penderitaan, dan keprihatinan seorang penyair yang melihat berbagai ketimpangan sosial yang melingkupinya.

Selain itu, puisi semacam itu juga menampilkan kegelisahan religius penyairnya sebagai akibat interaksi sosial dan kerinduan kepada Tuhan serta sikap-sikap religius yang lain.

Lahirnya sebuah sastra tentu berangkat dari alam pikir yang cerdas dan hati yang lembut. Sebab sastra yang mencerdaskan merupakan sarat dengan nilai-nilai yang dihayati penyair atau sastrawan serta keyakinannya yang melandasi pikiran terhadap lingkungannya, hidup dan kehidupannya. Semua pengalaman menjadi ide karya untuk dikembangkan melalui kemampuan imajinasi, dengan pendalaman masalah, lewat wawasan pemikiran dan sebagainya, sehingga melahirkan suatu karya yang benar-benar utuh dan bulat.

Sastra yang mencerdaskan harus mengungkap segi-segi sosial yang bersifat etis, terapis, konseptualis, dan kritis yang memihak pada golongan yang lemah. Dengan demikian, sastra yang bernilai tinggi adalah cermin dari kultur masyarakat, bahkan bagian dari karakter masyarakat itu sendiri.

*) Mujtahid, lahir di Paciran Lamongan tahun 1975. Mengenyam pendidikan mulai Madrasah Ibtidaiyah(MI) hingga Madrasah Aliyah (MA) di Pondok Modern Muhammadiyah Paciran. Melanjutkan Studi S-1 & S-2 di Fakultas Agama Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Sekarang dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Aktif menulis artikel, resensi buku, dan karya ilmiah. Selain menjadi dosen, saat ini mendapat tugas tambahan, sebagai Sekretaris Eksekutif Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan editor pelaksana beberapa jurnal ilmiah di kampus.
Sumber: http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2009/09/menanti-sastra-yang-mencerdaskan.html

Sajak Diberangus, Kebebasan Berekspresi Hilang

Adi Marsiela
Suara Pembaruan, 16 Agust 2007

Penyair Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, dan Alwi membacakan pernyataan sikap dari 21 komunitas seni, jurnalis, dan elemen masyarakat terkait pencabutan sajak ‘Malaikat’ karya Saeful Badar di Kantor Cupu Manik, Bandung, Selasa (14/8). Pencabutan sajak tersebut dari media massa karena ada tekanan dari organisasi tertentu yang menganggap sajak itu melecehkan umat Islam dianggap telah melanggar kebebasan berekspresi yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28.

PRIA yang sudah cukup berumur itu tampak duduk bersila di salah satu pojok perpustakaan Kantor Redaksi Cupu Manik, Bandung, Selasa (14/8). Tulisan “Dilarang Merokok” ternyata tidak mengendurkan semangat teman-teman pria itu merokok sembari berdiskusi. Ketika mendapatkan kesempatan berbicara, pria yang menggunakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan warna biru muda dan abu-abu itu juga tidak banyak membuka mulutnya. Dia hanya sesekali tersenyum menanggapi guyonan yang dilontarkan rekan-rekannya.

“Objek yang dari tadi kita bicarakan seharusnya angkat bicara, agar kita tahu maunya bagaimana,” kata seorang peserta diskusi sembari melihat ke arah pria itu. Orang yang dimaksud tersebut adalah Saeful Badar.

Dalam beberapa hari ini, nama penyair asal Tasikmalaya itu memang menjadi perbincangan hangat di antara seniman-seniman, akademisi, dan juga mahasiswa. Baik itu di dalam jaringan internet maupun pertemuan-pertemuan informal. Sekitar 20 orang yang memperbincangkannya hadir dalam diskusi tersebut. Mereka berasal dari berbagai daerah dan luar negeri seperti Bandung, Jatinangor, Tasikmalaya, Inggris, dan Jepang.

Benang merah dalam setiap pertemuan atau pembahasan mengenai Badar itu adalah sajaknya yang berjudul “Malaikat”.

Karya itu pernah dipublikasikan melalui lembaran budaya Khazanah, suplemen suratkabar Pikiran Rakyat (PR), yang terbit Sabtu, 4 Agustus 2007 lalu. Namun, sajak itu, oleh organisasi massa tertentu dianggap telah melecehkan umat Islam.

Mereka yang merasa dilecehkan itu sampai melayangkan surat protes terhadap surat kabar yang memuat karya Badar. Hasilnya, surat kabar tersebut mengumumkan bahwa sajak tersebut dianggap tidak pernah ada.

“Saat itu, teman dari PR memberitahu (saya) kalau sajak itu bermasalah. Ada organisasi tertentu yang protes. PR memutuskan meminta maaf dan mencabutnya,” kata Badar kepada saya seusai berdiskusi.

Dia pun mengaku panik mendengar kabar tersebut. Apalagi, sambung Badar, organisasi yang protes itu sempat ‘mengancam’ akan melakukan unjuk rasa besar-besaran dipicu oleh pemuatan sajaknya. “Saya stres, tidak menyangka akan seperti itu. Saya disarankan untuk meminta maaf, juga untuk meredakan ketegangan. Makanya saya meminta maaf,” tuturnya.

Badar merasa tidak mendapatkan paksaan saat membuat pernyataan maaf. “Saya hanya tidak ingin terjadi hal yang tidak-tidak.”

Permintaan maaf dari PR dan Badar sekaligus pencabutan sajak tersebut ternyata menimbulkan keresahan bagi kalangan seniman, jurnalis, mahasiswa, dan juga berbagai elemen masyarakat. Sedikitnya 21 komunitas seniman dan elemen masyarakat, Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra Tasikmalaya, Teater Bolon-Tasikmalaya, Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut Nalar-Jatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya, Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar Studi Sastra Cirebon, Komunitas Cupumanik-Bandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang, Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya, Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut menyatakan prihatin dan penyesalan terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya Saeful Badar.

“Kami juga sangat prihatin dan menyesalkan pendiskreditan nama baik penyair Saeful Badar, yang disebut-sebut seperti Salman Rushdie, sehingga penyair Saeful Badar mengalami berbagai tekanan,” tegas Acep Zamzam Noor yang mewakili rekan-rekannya membacakan pernyataan sikap.

Menurut Acep setiap individu memiliki hak untuk mengungkapkan diri secara lisan dan tertulis seperti yang disepakati dan diatur tegas dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Hikmat Gumelar dari Institut Nalar, Jatinangor menyatakan individu atau golongan tertentu tidaklah berhak melakukan pembenaran terhadap karya seni dan sastra hanya dari satu tafsir saja.

“Itu bentuk kekerasan simbolis yang bisa membuka gerbang ke arah berbagai kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai menutup peluang bagi terwujudnya keadilan,” terang dia.

Terlebih, sambungnya, pertimbangan agama yang menjadi tameng dalam pemaksaan sikap dan pandangan individu atau golongan tertentu. “Janganlah mempermain-mainkan agama demi tujuan-tujuan yang sempit, picik, dan pendek.”

Kecaman lain datang dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung. Mereka mendesak media massa agar bertanggung jawab terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi yang menyangkut penerbitannya.

“Segala beban tanggung jawab agar tidak diserahkan semata-mata terhadap wartawan secara individu. Ini sekaligus ancaman untuk kebebasan berekspresi,” tegas Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, Ahmad Yunus.

Seharusnya, tambah dia, ruang publik sebagai wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara dan dikembangkan. Media massa, sebagai salah satu institusi sosial yang mengelola ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat menjaga integritasnya sehingga tidak mudah dipermainkan oleh individu dan kelompok tertentu yang sikap dan tindakannya tidak sejalan dengan pemeliharaan ruang publik.

Terkait pencabutan sajak itu, Pemimpin Redaksi PR Yoyo S Adiredja mengatakan hal itu bukan diakibatkan adanya keberatan tekanan dari pihak tertentu. “Itu murni kebijakan redaksional,” paparnya kepada SP, Rabu (15/8).

Yoyo juga mengatakan pihaknya sudah memberikan kesempatan kepada para seniman dan pihak-pihak yang merasa keberatan dengan sikap PR. “Saya pikir itu sudah selesai. Mereka (seniman) kami beri hak jawab juga,” terangnya mengomentari kedatangan sejumlah seniman ke kantornya pada Selasa (14/8) malam.

Mengenai pemuatan permintaan maaf dari sang penyair di media massa yang dipimpinnya, Yoyo menyatakan pihaknya sama sekali tidak meminta Badar untuk melakukan hal itu. “Permintaan maaf seniman itu bukan kita yang minta. Kita tidak melimpahkan itu ke seniman. Semuanya tanggung jawab redaksi, ” katanya.

Berkaca pada kejadian yang menimpanya, Badar menyatakan dirinya tidak merasa jera dan akan terus berkarya. Hanya saja, dia bakal membatasi dirinya dalam menggunakan atau meminjam idiom-idiom yang menyangkut unsur keagamaan.

“Karena saya tidak pernah bermaksud menghujat. Puisi itu sebaiknya dimaknai multi tafsir. Hal-hal seperti ini tidak boleh terjadi ke depannya,” ungkap Badar seraya melempar senyumnya.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/sastra-sajak-diberangus-kebebasan.html

Apa Pentingnya Gaya Bahasa?

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

ALHAMDULILLAH laman Mata Kata kembali hadir pada Kamis ke empat, bulan Mei 2011. Kali ini tampil penyair Salamet Muntsani (Bandung), I Putu Gede Pradipta (Bali) dan Restu Ashari Putra (Bandung). Ketiga penyair yang tampil dalam kesempatan kali ini, lepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, telah menunjukkan kemampuannya dalam menulis puisi, dengan tema yang beragam.

Bila kita sungguh-sungguh membaca puisi yang ditulis oleh ketiga penyair tersebut, maka akan segera terlihat bahwa mutu sebuah puisi tidak ditentukan oleh panjang dan pendeknya puisi yang ditulis, akan tetapi sangat ditentukan oleh seberapa jauh masing-masing penyair mampu mengolah bahasa, dalam menulis puisinya itu. Dengan itu, tak aneh kalau banyak kalangan yang mengatakan bahwa yang panjang itu belum tentu memuaskan. Tapi yang pendek, bisa mantap, dan segar. Lihat saja sejumlah puisi Haiku yang ditulis oleh para penyair Jepang pada masa-masa awal kelahirannya itu, memberikan angin segar bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi dunia.

Sebelum melangkah ke hal lainnya, saya kembali hendak mengatakan, bagi rekan-rekan yang ingin mengirimkan puisi ke laman Mata Kata, puisi harap dikirim ke matakata@pikiran-rakyat.com disertai foto dan biodata. Sayangnya, sejumlah puisi yang dimuat dalam laman ini, hingga hari ini belum bisa memberikan honorarium sebagaimana media induknya HU Pikiran Rakyat. Lepas dari itu, paling tidak laman ini bisa dijadikan ajang silaturahmi para penyair, disamping sebagai rumah untuk saling memperkaya diri dengan pengetahuan, yang mungkin bisa dipetik dan bermanfaat bagi kehidupan di masa kini maupun di masa mendatang.

Dalam kesempatan ini saya hendak menjawab sebuah surat pendek yang saya terima dari Arlina, yang berbunyi, apa pentingnya gaya bahasa dalam menulis puisi? Dengan tegas pertanyaan tersebut saya jawab, penting. Fungsinya tidak hanya mempertegas, mengkonkretkan, atau memperdalaman makna sebuah teks puisi, tetapi juga memperindah teks puisi itu sendiri. Gaya bahasa yang paling sering digunakan dalam menulis puisi, selain bahasa figuratif adalah pesonifikasi. Namun demikian, tentu saja hal tersebut tidak asal tulis. Sang penyair harus memperhatikan dengan cermat logika kalimat yang ada pada teks puisi yang ditulisnya itu. Almarhum Wing Kardjo mengatakan, harus memperhatikan lingkungan teks yang ada dalam puisi yang ditulisnya itu. Dengan baik, penyair Salamat Muntsani menulis puisinya seperti ini:

Cinta adalah kuburan
yang tak satupun tahu
apa terjadi di dalamnya!

Ketika cinta diandaikan atau disamakan, atau diibaratkan dengan kuburan, maka tak satupun orang yang tahu apa yang terjadi di dalam kuburan. Puisi di atas pendek memang, namun tafsirnya bisa ke mana-mana. Dunia cinta yang bagai kuburan itu, tentunya bukan hanya dunia yang tenang dan damai, tetapi juga boleh jadi merupakan sebuah dunia yang panas.

Pahit atau manis harus diterima orang yang tenggelam dalam cinta, dimabok cinta, atau dikubur cinta. Diksi cinta, kuburan, dan dalamnya itulah yang dimaksud lingkungan teks sebagaimana pernah dikatakan Wing Kardjo ketika ia mencontohkannya dengan sebuah teks yang berbunyi: cintaku kepadamu bagai cuka/ yang menghacurkan tembaga// Hubungan cuka dan tembaga bisa kita mengerti, ketika sifat cuka yang asam itu memang bisa merusak tembaga. Jadi dengan demikian, yang main di situ bukan hanya bagaimana membuat ungkapan dengan bahasa yang indah, tetapi juga memperhatikan dengan cerman bagaimana logika dan daya intelektual bekerja di dalamnya. Dilihat dari sisi semacam ini jelas sudah bahwa menulis puisi itu – sesungguhnya – tidak gampang.

Sehubungan dengan itu pula, jelas sudah jangan remehkan gaya bahasa. Untuk itu ada baiknya kita membaca lagi, apa dan bagaimana gaya bahasa itu dengan baik, yang mungkin hal itu, dulu pernah kita pelajari sewaktu masih sekolah di SLTP atau SMA. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***

Sajak-sajak Salamet Muntsani
MAKAN MAKNA

Cinta adalah kuburan
yang tak satupun tahu
apa terjadi di dalamnya!

LEWAT SAJAK

Lewat sajak kau memelukku
Lewat sajak kau mencumbuiku
Lewat sajak kau lukis hitamku
Lewat sajak kau kirim cinta untukku

Lewat sajak kau tabur kasihmu
Lewat sajak kau telanjangi aku
Lewat sajak kau belah heningku
Lewat sajak kau lulur rinduku

Lewat sajak kau menyetubuhiku
Lewat sajak kau memanggilku

Lewat sajak aku menjadi kau
Lewat sajak kau menjadi aku!

KAU

Kau tikam hatiku
Aku cium bengismu
Kau hancurkan rumahku
Kubawakan kapak untukmu
Kau butakan mataku
Aku terima cahayamu
Kau ludahi aku
Aku telan ludahmu

Kau tendang aku,
Aku diam!

Salamet Muntsani. Lahir di Sumenep, 11 September 1981. Saat ini kuliah di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tinggal di Jl. A.H. Nasution No. 505 Cibiru-Bandung. No. Kontak: 087822102020
***

Sajak-sajak I Putu Gede Pradipta
TIKUS DAN SEPOTONG KISAH

Tikus itu masuk ke dalam tubuhku. Ia tetaskan
matahari sembilan warna. Beragam rupa beragam
corak. Kukira juga dengan beragam cerita. Meski
tak mengikutkan hujan dan bau tanah yang asing.

Tepat di jantung ia lakukan semuanya. Dibuatnya
darahku panas mengalir. Kini tubuhku sudah api.
Siapa berani? Mari dekati.

Sekali lagi kuberi tahu. Tubuhku api. Siapa berani?
Mari dekati kemari.

Mari setubuhi aku. Makhluk tanpa kelamin. Yang
resah mencari liang yang risau mengejar bayangan
sendiri.

Aku mohon. Pada kalian. Dekati aku!
Agar lekas kurampungkan sepotong kisah ini.

16-4-2011

KEPALA BATU

Gadis itu meluncurkan belati tumpul ke tatapanku.
Setelah kukoyak bagian putih hatinya dengan racun
kata-kata paling biru.

Pisah sudah. Kita mesti berpisah!
Pecahkan etiket hati berwarna merah yang telah rekat
di dada ini. Karena setiap janji selau membenih cermas
menjalarkan risau dan mengudar deret keberpuraan.
Setiap kejujuran kerap ganjil dan tak pernah sekalipun
kasat untuk diterjemahkan.

Tetapi, meski berkali-kali kulontarkan kata pisah. Tetap
keras kemauanmu mengepal erat diriku. Lalu segudang
alasan klasik. Setumpuk alibi kontemporer. Selaksa
rayuan mendayu-dayu.

Di ujung sabar air mata pun tak dapat dibendung.
Tetap kau paksakan aku bersamamu.

2010- 2011

I Putu Gede Pradipta lahir di Denpasar, 18 Desember 1988. Pendidikan terakhir Mahasiswa Pendidikan Biologi (rela berhenti). Kini setia otodidak menulis puisi sesekali cerpen dan catatan kecil. Ebook puisinya bertajuk Sekumpulan Puisi I Gede Putu Pradipta (Evolitera, 2010).Email: putugedepradipta@yahoo.com
***

Sajak-sajak Restu Ashari Putra
MAHA SAMUDERA DESEMBER

akan kukembalikan
desember yang pernah
kau pinjamkan tempo dulu
saat kita menjarah bulan
di tepi pantai
yang arahnya tak tentu
dari selatan ke timur
tak habis habis kita memuja
maha samudera
padahal dada kita lebih lautan
membentang layar, menantang gelombang
sementara kita terus mencatat
badai demi badai yang menabrak
dinding perahu hingga kandas
hingga terhempas

?2010

SEHABIS DARI MANGGARAI

mulai malam ini
aku belajar menulis surat
undangan kematian
dan mengirimnya pada rumah,
gubuk-gubuk pinggir jalan,
pada lelaki renta
dan tongkatnya yang tua
mungkin nasib semacam angin malam
yang riuh dan berisik mengepakkan sayapnya
menabrak kaleng,
mengetuk tiang-tiang,
kemudian mengganggu tidur
para sopir di terminal
sedang jarum jam bagai kopi hitam
yang selalu membuat mata
tegang dan terjaga
sementara aku
kembali lagi belajar
mengirim undangan
khusus kepada ibu
yang sedang merebus batu
yang tertawa senyum-senyum
dengan bahagia
memerhatikan anak semata wayangnya
melilitkan tali di lehernya
lalu dengan penuh damai
mereka merayakan
makan malam bersama
tanpa lagu-lagu, tanpa nyanyian
dikelilingi anjing-anjing liar
yang lapar. matanya bengis.
mungkin nasib semacam angin malam
yang menendang kardus-kardus
menerbangkan koran-koran
mengapungkan harapan

2011

PADA SAJAK YANG KESEKIAN

pada sajak yang kesekian
aku baru mengerti
ternyata tubuhku adalah
potongan hujan
yang basah di halaman
rumahmu
dan setiap kali aku datang
aku baru paham
bahwa kau ingin menjaringnya
menjadi sekian kumpulan malam
yang amat pribadi dalam tubuhku
yang tak habis habisnya kaubaca kautelaah
sebelum bulan pudar di tengah kota
dan matamu tenang terpejam
sebagai doa

2010-2011

Restu Ashari Putra lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Bergiat di Komunitas Rumput dan jadi jamaah Majelis Sastra Bandung (MSB). Kini tengah merampungkan studinya di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung sambil belajar menulis puisi dan prosa. Puisinya singgah di antologi “Empat Amanat Hujan” (DKJ, 2010) dan cerpennya dalam antologi “Bersama Gerimis” (MSB, 2011). Puisi-puisinya juga dipublish di blog pribadi: www.katarestu.wordpress.com. Tinggal di Jl. Merkuri Utara VIII No.1 Margahayu Raya, Bandung. Alamat surat restu_freedom@yahoo.com, No kontak: 085781660989.*

Bingkai-berbingkai Dalam Pusaran

Sunaryono Basuki Ks
http://www.suarakarya-online.com/

Ini soal mimpi yang aneh. Ketika aku membaca dengan teliti brosur obat penyakit jantung dan tekanan darah tinggi, obat yang kata dokter harus kuminum seumur hidup, aku menemukan bahwa dengan meminum obat itu aku akan mengalami mimpi berulang. Artinya, mimpi yang pernah kualami akan muncul kembali.

Sudah lama aku mengalami mimpi semacam itu, namun sebelum membaca brosur itu, aku tidak menyadari bahwa mimpi yang kualami akibat dari minum obat itu. Di dalam mimpi tersebut, aku merasa bahwa aku pernah berada di tempat itu, dan bisa meramalkan apa yang akan terjadi padaku. Namun, di saat dekat ujung mimpi itu, ternyata mimpiku melenceng.

Aku ingat, semasa aku masih remaja, aku sering membaca novel berbahasa Jawa karangan Basoeki Rachmat dari Surabaya yang menceritakan seseorang mengunjungi suatu tempat yang menurutnya tidak pernah dikunjunginya, namun dia merasa pernah mengunjugi tempat itu di masa lalu. Dia dapat mengatakan tempat apa yang akan dikunjunginya.

Menurut analisa pengarangnya, sebenarnya dia memang pernah berada di tempat itu di dalam kehidupan masa lalunya. Ini masalah menitis ke dalam kehidupan masa kini atas orang-orang dari masa lalu. Di dalam cerita tersebut pembaca dipaksa percaya bahwa hal itu bisa terjadi, sebab siapakah yang mampu membuktikan kehidupan di masa lalu yang kemudian diteruskan di masa kini.

Si dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar Prof Nyoman Tirta, mantan Dekan Fakultas dimana aku bekerja, dikatakan bahwa reinkarnasi itu ada, yakni di dalam gen yang diturunkan ke anak-cucu. Itulah hakikat reinkarnasi: hidup kembali bukan di dalam tubuh aslinya tentu, tetapi di dalam tubuh anak-anaknya. Anak mewarisi sifat-sifat biologis dan mungkin juga psikologis atau bahkan bakat dari orang tuanya.

Namun, apakah itu gagasan awal mengena adanya reinkarnasi? Apakah benar bahwa pencetus gagasan reinkarnasi bermaksud bahwa reinkarnasi merupakan bentuk menurunkan gennya, atau sebagaimana dipahami oleh banyak orang, justru merupakan gagasan mengenai seseorang yang menitis pada orang lain dari generasi selanjutnya? Sering kita dengar komentar: “Wayan itu titisan kakeknya.”

Lalu orang-orang yang masih menginga kakek Wayan akan menunjukkan bahwa Wayan benar-benaqr mirip kakeknya, caranya berjalan yang agak membungkuk padahal Wayan masih kanak-kanak, atau terkadang kata-kata yang terlontar dari mulutnya yang diingat orang sebagai kata-kata kakek Wayan. Aku sendiri punya pengalaman yang aneh. Kami tinggal di Bali dan kakakku tinggal di rumah kami di Malang.

Dia mempunyai anak perempuan yang mempunyai tiga orang anak laki-kali yakni Sandy, Aries dan Nabil. Si bungsu ini masih berusia dua tahun saat itu dan karena kami berpisah maka kami juga jarang bertemu.

Pada suatu hari kami pulang ke Malang mengengok ibu yang sakit dan di pintu masuk disambut oleh kakakku yang mengendomg cucu bungsunya itu. Kami berjabat tangan, namun bocah itu langsung berteriak:”Mami!” dan minta digendong istriku.

Aku tertegun. Bagaimana mungkin dia memanggil istriku dengan “mami”, bukan “uti” sebagai singkatan Eyang Putri? Dan dia memangil ibunya dengan kata “ibu” bukan “mami”.

Saat istriku beristirahat di kamar tengah yang punya dua tempat tidur: istriku di tempat tidur besar dan aku tidur di tempat tidur kecil, Nabil mengetuk pintu kamar dan kemudian naik ke tempat istriku berbaring dan memeluknya dengan kasih sayang.

Anak kami sulung, Wawan meninggal di salam sebuah kecelakaan lalu lintas, dan Dina, ibu Nabil ini saat itu belum menikah, masih menjadi mahasiswa sekolah pariwisata di Denpasar dan hadir di Singaraja, menunggui jenazah anak kami. Apakah karenannya kemenakanku ini dipilih Wawan untuk dititisi? Aku tak tahu, namun keanehan itulah yang terjadi.

Anehnya, Nabil selalu memanggilku dengan “mbah”, bukan “bapak”. Tentu saja aku tak boleh memaksanya memanggilku “bapak”, bukankah dia memang cucuku?

Kukira mimpi-mimpiku di masa tua dipengaruhi bacaanku dimasa remaja. Bisa jadi bukan masalah obat, sebab ketika aku berhenti meminum obat dan menggantinya dengan suplemen herbal, aku masih mengalami mimpi yang serupa. Misalnya, yang masih kuingat, aku pergi ke suatu tempat untuk membuang hajat.

Biasanya, kalau aku pergi ke tempat ini, aku selalu takut sebab tempat itu berhantu, menurut ingatanku dalam mimpi itu. Kalau aku menyalakan lampu, maka lampu listrik tak mau menyala. Ruang itu terdiri dari dua bagian, yakni yang luas,dan ada sekat kawat yang memisahkan dengan ruang yang lebih sempit.

Waktu aku datang, ruangan kecil itu menyala dan Pak Made Sutama, dekan fakultas kami, sedang berada di sana. Entah karena dia berada di sana aku tak merasa takut, atau karena dia punya “ilmu”.

Tetapi, soal dia “berilmu” barulah aku sadari sewaktu dia mengucapkan terimakasih kepada guru spiritualnya saat dia mengucapkan pidato pengukuhannya sebagai guru besar. Walau pada kali lain sebelumnya, dia sempat menelpon seseorang yang saya dengar sebagai gurunya sewaktu ada mahasiswa yang kesurupan, aku tidak menyadarinya saat aku bermimpi.

Namun, bisa jadi, menurut ahli psikologi, apa yang kita alami atau pikirkan selalu mengendap di dalam pikiran kita dan mampu muncul ke permukaan walau kita tak menyadarinya.

Itulah sebabnya seseorang pasien yang berkonsultasi psikologi sering diajak ngobrol oleh psikolognya agar yang terpendam bisa muncul ke permukaan. Itu katanya, kalau aku cukup pandai pasti aku sudah lulus dari studiku di Fakultas Psikologi. Nyatanya, aku malah menjadi sarjanan pendidikaan bahasa Inggris.

Padahal di dalam wawancara dengan ibu Munandar puluhan tahun lalu, saat aku melamar di Fakultas Psikologi,UI saat dia bertanya kenapa aku melamar di situ, aku jawab dengan ringkas: aku ingin jadi pengarang. Lho, kan aneh. Kenapa tak masuk Fakultas Sastra saja? Tapi bagiku tidak, sebab tak ada Jurusan Kepengarangan di fakultas itu.

Dan kebanyakan lulusannya memang tidak jadi pengarang, tetapi jadi ahli sastra, seperti puteri dekan kami di Fakultas Psikologi UI. Akhirnya, aku diterima juga sebagai mahasiswa psikoloi, berteman dengan para seniman. Hie Fon Sen adalah penyanyi dengan suara bergetar, menggetarkan ruangan saat dia membawakan lagu seriosa. Ada Sukiat yang akhirnya terkenal menjadi penulis cerita anak-anak, padahal akulah yang memperkenalkannya dengan dunia kepengarangan. Ada Susatiyo yang jadi esais unggul dan kemudian penyair perkemuka, walau dia gagal menjadi psikolog. Dia pasti tidak bodoh, sebab sekeluar dari fakultas, dia pergi ke Belgia dan menempuh ilmu disana.

Ada Hok Djin yang selain seorang sastrawan, juga seorang pelukis. Di rumahnya yang bertetangga dengan rumah Steve di Kebun Jeruk, dia menyimpan lukisannya di bawah kasur tempat tidur. Dia juga piawai memainkan gitar akustik, memainkan lagu klasik yang indah. Dialah yang berhasil menjadi sarjana psikologi dan kemudian menempuh studi doktor di luar negeri.

Katanya, dia dipanggil oleh seorang professor di luar negeri karena sang professor tertarik oleh tulisan-tulisannya yang bermutu. Sukiat juga menjadi doktor lokal.

Salim yang masuk fakultas setelah aku keluar, ikut keluar juga dan akhirnya pindah ke FISIP UI dan lulus sebagai ahli perfilman, namun mengambil program doktor di Ohio State University bidang politik. Eh, di masa tuanya dia malah menjadi duta besar. Di antara kami yang bergelut di bidang seni, hanya Susatyo yang menjadi seniman paling kaya, sebab dia mampu menggabungkan sastra dan jurnalistik, dan para “murid” nya menyebar kemana-mana. Siapa pun yang pernah bekerja di majalah yang dipimpinnya, sewaktu keluar dan mengembangkan di media lain selalu mengakui: “Aku sekolah disitu.”

Walau aku punya buku “The Interpretation of Dreams” yang kubeli saat aku menjadi mahasiswa Psikologi UI, dan sedikit-sedikit aku baca pula untuk melancarkan bahasa Inggrisku, aku tidak benar-benar mengerti isinya. Aku malah kecewa sebab buku itu banyak bercerita mengenai ahli mimpi dari masa yang jauh di masa lampau, dan tidak memberiku penjelasan yang ces-pleng mengenai mimpi.

Wah, kan ceritanya melantur. Lalu, bagimana ya soal mimpi yang berputar-putar? Aku tak tahu apakah akan berputar terus dan berbingkai-bingkai, seperti cerita berbingkai yang kukenal di dalam sastra lama. Bukanlah cerita berbingkai bisa juga diterapkan di dalam sastra masa kini?

Aku tak tahu apakah kisah seperti ini bisa menarik, sebab aku menuliskannya kesana-sini. Ngalor-ngidul, kangin-kauh dalam bahasa Balinya. Pasti pembaca marah dan merasa kupermainkan. Padahal aku benar-benar ingin menuliskannya. Sungguh!***

* Singaraja, November dan Desember 2010 dan Mei 2011

Selasa, 14 Juni 2011

Sastrawan Kalsel: Biografi, Jumlah, dan Masalahnya

Mahmud Jauhari Ali
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’. Akan tetapi, batasan tersebut hanyalah makna umum yang termuat dalam sebuah kamus terbitan Pusat Bahasa. Kita tentu tidaklah wajib untuk mengikutinya karena Pusat Bahasa tidak selalu benar, ada kalanya mereka kurang tepat bahkan salah dalam hal bahasa. Makna-makna dalam lema sastrawan yang dibentuk dari kata sastra dan akhiran –wan itu hanyalah pemberian sepihak oleh sebuah instansi pemerintah. Kita hanya dipaksa untuk mengakuinya secara konvensional. Begitu pula dengan lema-lema yang lainnya dalam kamus terbitan Pusat Bahasa tersebut. Rugilah kita jika hanya mengikuti dan tanpa berpikir tentang produk-produk mereka. Namun, saya tidak ingin berlama-lama dengan produk Kantor Bahasa Pusat itu yang ternyata bukan pusat segala bahasa. Saat ini saya lebih tertarik dengan tulisan yang menyangkut biografi, jumlah, dan masalah sastrawan Kalimantan Selatan.

Ya, tulisan yang ditulis oleh T.N. Ganie dan Hajriansyah telah membuat saya terbuai dengan kata-kata mereka. Begitu indahnya tulisan mereka hingga saya pun bersemangat menggerakkan broca dalam otak saya untuk memproduksi kata-kata. Semoga saja tulisan saya ini bermanfaat bagi kita.

Bagian Pertama

Dalam Gairah Bersastra di Kalsel 2000—2008 (Cakrawala Radar Banjarmasin: 4, terbitan Minggu, 18 Januari 2009) T.N. Ganie menyebutkan dengan jelas bahwa setidak-tidaknya ada enam puluh sastrawan yang muncul pada rentang waktu 2000—2008. Jika kita cermati secara mendalam, jumlah itu tidak dapat kita jadikan sebagai patokan untuk sebuah pengetahuan di bidang sastra. Akan tetapi, hanya dapat kita jadikan sebagai bahan perkiraan jumlah yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Karena dalam tulisannya itu, T.N. Ganie memakai kata ulang setidak-tidaknya (lihat kembali paragraf pertama dalam Gairah Bersastra di Kalsel 2000—2008). Kata ulang itu menunjukkan angka yang paling sedikit. Maksudnya, paling sedikit ada enam puluh sastarawan. Kata ulang itu juga menunjukkan sikap tidak yakin dari T.N. Ganie dalam memutuskan jumlah yang tepat.

Setelah saya telusuri nama demi nama sastrawan yang muncul dalam rentang waktu 2000—2008 itu, ternyata nama-nama seperti Hajriansyah, Nailiya Nikmah JKF, dan Sainul Hermawan tidak tertera sebagai sastrawan Kalsel dalam rentang tersebut. Padahal, setahu saya ketiga contoh nama itu kerap muncul di Cakrawala Radar Banjarmasin. Tulisan mereka pun layak untuk dipandang sebagai karya sastra yang bermutu. Jadi, sebenarnya ada lebih daripada enam puluh sastrawan Kalsel yang muncul dalam rentang waktu 2000—2008. Muncul pertanyaan dalam sanubari saya, apa alasan T.N. Ganie yang bergelut dalam bidang sastra di Kalsel selama 28 tahun ini tidak memuat nama-nama seperti dalam contoh itu? Namun sudahlah, mungkin hanya masalah lupa, atau entahlah? Semoga T.N. Ganie juga ikut memikirkannya untuk kebaikan kita bersama.

Dalam judul yang sama, T.N. Ganie juga menyebutkan dengan jelas bahwa berdasarkan hasil pengamatan sekilas, sastrawan yang paling bergairah beraktivitas di jagad sastra pers adalah sastrawan yang muncul dalam rentang waktu 2000—2008. Sastrawan yang lahir sebelumnya tampaknya lebih senang memperkukuh eksistensi kesastrawanannya melalui sastra buku. Jujur, saya dibuat T.N. Ganie terdiam sejenak menyaksikan kata sekilas dalam paragraf ketiga pada Gairah Bersastra di Kalsel 2000—2008 itu. Kata tersebut mengandung maksud bahwa T.N. Ganie tidak mengadakan pengamatan serius di lapangan. Hal ini merupakan tindakan yang fatal dan mengakibatkan tidak dapat diterimanya hasil sebuah pengamatan. Akibatnya, tidak ilmiah karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akal. Kemudian, saya kaitkan hal ini dengan kalimat seterusnya yakni, soal sastrawan masa sebelumnya yang aktif dalam sastra buku. Setelah saya perhatikan, ternyata dalam sastra pers masih bergeliat sastrawan yang dilahirkan sebelum tahun 2000. Sebut saja contohnya M. Hasbi Salim dan Ibramsyah Amandit yang tetap gigih menulis karya sastra di media massa. Contoh yang paling dekat adalah Tajudin Noor Ganie yang juga masih giat dalam sastra pers. Bukti-bukit ini mempengaruhi pernyataan T.N. Gani tentang kesenangan sastrawan yang lahir sebelum tahun 2000 dengan sastra buku yang juga dinyatakan dengan kata yang meragukan, yakni tampaknya.

Masih dalam tulisan yang sama, T.N. Ganie juga mengabaikan sastra elektronik selain sastra pers dan sastra buku. Kita sekarng hidup di zaman yang canggih. Jadi, tidak menutup kemungkinan terjadi pemanfaatan teknologi internet sebagai ruang bersastra oleh para sastrawan Kalsel. Sebut saja contohnya Arsyad Indradi yang aktif di www.penyairnusantara.blogspot.com, Sandi Firly yang aktif di www.sfirly.wordpress.com, dan Harie Insani Putra yang aktif di www.hariesaja.net.

Dalam tulisan itu juga, T.N. Ganie menyebutkan beberapa simpulan. Dinyantakannya bahwa dominasi sastrawan Kalsel yang muncul dalam rentang 2000—2008 ada kaitannya dengan kemudahan yang diberikan oleh pengasuh rubrik sastra di berbagai koran. Sebenarnya bukan mudah, melainkan lebih mudah daripada menembus koran nasional seperti SKH Kompas dan SKH Republika. Dalam simpulan itu, juga diungkapkan bahwa sastrawan sebelum tahun 2000 tetap produktif menulis karya sastra dengan mutu yang semakin meyakinkan. Sebenarnya hanya sebagian. Tidak semua sastrawan yang dilahirkan sebelum tahun 2000 masih aktif. Jadi, dalam tulisan itu seharusnya, ditambah pula keterangan yang masih hidup di belakang sastrawan kelahiran sebelum tahun 2000.

Di akhir tulisan itu, T.N. Ganie menyatakan bahwa sastrawan yang muncul dalam rentang waktu 2000-2008 dengan kemampuan finansial masih terbatas (masih tergantung pada pemberian orang tua) bagaimana mungkin berani bernekad-ekad menerbitkan buku sastra. Dalam hal ini rupanya T.N. Ganie lupa bahwa tidak semua sastrawan yang dimaksudnya masih menadah uang dari orang tua. Sebut saja M. Nahdiansyah Abdi bekerja di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Abdurrahman El Husaini bekerja sebagai guru dengan status PNS, dan Rissari Yayuk bekerja di instansi bahasa dan sastra. Ini berarti penyataan T.N. Ganie itu perlu diperbaiki agar tidak menjadi sebuah pengetahuan sastra yang kurang tepat. Pengetahuan sastra yang baik sangat diperlukan oleh masyarakat di Kalimantan Selatan.

Bagian Kedua

Dalam Menulis, Penulis: Aha, Sastrawan! (Cakrawala Radar Banjarmasin: 4, terbitan Minggu, 25 Januari 2009) Hajriansyah melemparkan sebuah pertanyaan ditujukan kepada T.N. Ganie yang menggelitik otak saya untuk berpikir. Pertanyaan itu adalah apakah dengan cukup pernah menulis satu tulisan saja kemudian orang itu dapat dicatat sebagai sastrawan, meski kemudian si penulis itu tidak pernah menulis lagi? Pertanyaan ini dijawab oleh T.N. Ganie dengan kata Ya dalam tulisannya berjudul Biografi Sastrawan Kalsel: Sumber Data Manuskrip Saya yang diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2009 di koran yang sama. Jujur, jawaban T.N. Ganie ini membuat hati saya kurang sependapat dengannya. Mengapa?

Pertama, hal ini dapat berdampak buruk terhadap dunia sastra di Kalimantan Selatan. Para penulis sastra, misalnya puisi, yang baru saja menulis dapat berhenti berkarya karena dirinya sudah dicatat sebagai sastrawan. Mereka yang ingin menjadi sastrawan Kalsel, dengan keputusan T.N. Ganie itu, tentunya sudah mencapai tujuan, yakni diakui sebagai sastrawan. Jadi, untuk apa lagi mereka berkarya? ’Kan sudah menjadi sastrawan Kalsel? Ini namanya meredupkan cahaya dunia sastra di Kalsel. Jawaban T.N. Ganie tersebut juga dapat menyebabkan matinya usaha oleh penulis sastra pemula memperbaiki hasil cipta sastra untuk menjadi lebih baik lagi agar diakui sebagai sastrawan.

Kedua, belumlah layak jika hanya satu kali menulis langsung diakui sebagai sastrawan. Mereka yang baru satu kali menulis ini lebih layak disebut sebagai penulis karya sastra sangat pemula. Karena mereka baru pertama sekali menulis di koran, majalah, buku, atau laman (blog).

Dalam tulisannya, Hajriansyah juga berasumsi. Ya, hanya berasumsi bahwa nama-nama sastrawan Kalsel tak pernah ’dianggap’ di ranah kesusastraan Indonesia karena memang karya-karya sastrawan Kalsel tak cukup ’bagus’ di mata dunia; terlampau mudah menjadi sastrawan Kalsel. Menyangkut masalah ini, T.N. Ganie dalam Biografi Sastrawan Kalsel: Sumber Data Manuskrip Saya menyatakan tidak ada hubungan antara kemudahan menjadi sastrawan Kalsel dengan diakuinya sastrawan Kalsel di ranah kesastraan Indonesia. Sepengetahuan saya tidak semua nama sastrawan Kalsel tidak dianggap di ranah Indonesia. Buktinya, Micky Hidayat dinobatkan sebagai Ketua III Komunitas Sastra Indonesia. Begitu pula dengan Sandi Firly yang cerpen-cerpennya dimuat dalam Jurnal Cerpen Indonesia.

Menurut saya, dengan mudahnya seseorang diakui sebgai sastrawan Kalsel juga mempengaruhi mutu karya sastra yang diciptakannya. Karena sudah menjadi sastrawan Kalsel, penulis pemula sekali tidak bergairah lagi mengejar target menjadi sastrawan. Keadaan yang seperti itu, menyebabkan karya-karya yang dihasilkan kurang bermutu. Namun demikian, sebenarnya dengan tertolaknya naskah puisi, cerpen, atau mungkin novel sasrawan Kalsel di ranah Indonesia, memberikan kesadaran. Kesadaran bahwa untuk dapat diterima di ranah Indonesia dan dunia, perlu kerja keras membuat karya yang bagus dan tentunya juga sesuai selera dewan redaksi di luar sana.

Menganai sastrawan mana yang paling produktif, kreatif, konsisten, terkenal, dan sebagainya, sastrawan Abdul Karim Amar (AKA) yang kini aktif di KSI Cabang Kertak Hanyar memisalkannya seperti obat paten dan generik. Artinya, sastrawan itu ada yang ”paten” dan ada yang ”generik”. Hal itu menurutnya perlu disadari dalam diri masing-masing. Apakah diri kita termasuk ke dalam yang paten ataukah yang generik? Introspeksi dirilah.

Hal yang membuat saya terusik adalah pernyataan T.N. Ganie dalam Biografi Sastrawan Kalsel: Sumber Data Manuskrip Saya bahwa apa perlunya kita memaksa seseorang agar tetap mengukuhi profesinya sebagai sastrawan…. Lanjutnya, padahal kita tahu, profesi sebagai sastrawan, terutama sekali di daerah Kalsel, bukanlah profesi yang dapat dijadikan sebagai penopang hidup. Menurut saya, kita tidak perlu memaksa, melainkan mengajak orang-orang untuk berkarya sastra guna memajukan sastra di Kalsel. Ya, agar lebih maju lagi daripada yang kita capai sekalrang. Bersastra memang bukan sekadar mencari materi, melainkan lebih daripada itu, bersastra adalah untuk kemanusiaan dan keagungan Tuhan. Percayalah, dengan itu batin kita akan menjadi kaya yang melebihi kekayaan materi.

Bagian Tiga

Menyangkut buku Antologi Biografi 426 Sastrawan Kalsel yang disebut-sebut T.N. Ganie dalam Biografi Sastrawan Kalsel: Sumber Data Manuskrip Saya, setelah saya amati, perlu dicek ulang untuk kebaikan kita bersama. Dalam buku itu masih ada kesalahan penulisan tahun lahir. Sebut saja Rissari Yayuk pada halaman 361 dalam buku itu dituliskan tahun lahirnya 1982. Seharusnya ia lahir pada tahun 1976. Contoh lainnya, Abdul Karim Amar pada halaman 21 buku itu dituliskan tahun lahirnya 1945. Seharusnya tahun 1954.

Selain itu, penambahan nama sastrawan juga diperlukan dalam buku itu. Dalam Biografi Sastrawan Kalsel: Sumber Data Manuskrip Saya disebutkan T.N. Ganie bahwa syarat agar masuk dalam Antologi Biografi 426 Sastrawan Kalsel adalah adanya biografi kesastrawanan yang berangkutan. Saya menyarankan, jika seandainya seorang sastrawan yang kerap menulis karya sastra di koran dan tidak ada biografinya, tanyakan saja ke pengasuh rubrik sastra koran tersebut. Karena, biasanya pengasuh rubrik sastra koran yang bersangkutan tahu sedikit banyak dengan para sastrawan yang karyanya dimuat dikoran tersebut. Jadi, tidak harus dengan buku yang memuat biografi sastrawan Kalsel.

Sastrawan Kalimantan Selatan jumlahnya tidaklah sedikit. Dengan jumlah yang banyak itu, ditambah lagi dengan kemunculan sastrawan Kalsel pada tahun-tahun yang berbeda, memang perlu pendokumentasian yang akurat dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Apa yang telah dilakukan T.N. Ganie dengan karyanya memang harus kita hargai dengan memberikan perhatian seperti berupa kritik dan semangat kepadanya untuk hasil yang lebih baik lagi. Akhirnya, marilah kita bersama-sama berusaha memberikan kontribusi yang berharga dalam memajukan sastra di Kalimantan Selatan semampu diri kita. Bagaimana menurut Anda?

PAKAIAN BAHASA

Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/

Di antara banyaknya pengguna kata dalam dunia sastra puisi, pakaian kata tentu berganti-ganti dipakai oleh penyairnya. Tuntutan adanya variasi akibat keseringan menggunakan kata yang sama disokong oleh pengaruh yang ingin menjembatani penulis puisi (penyair kata-kata) agar bahasa yang diramunya dapat terus terasa segar saat dibaca. Harapan puisi dapat mengalir seiring berkembangnya mode kata-kata selalu ada di setiap even penulisan. Dekade setelah reformasi, lemari kata-kata makin ramai dipenuhi oleh rujukan modernitas pengucapan. Bahasa (kata) yang biasa disusun ulang itu selanjutnya mempertemukan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru, pola susunan putar-balik, transendent dan revision dari kedua sisi yang melingkupinya, baik secara ejaan maupun semantiknya.

Konsep kata pada dasarnya berunsur konvensional. Penyair tidak menulis untuk kalangan biasa, selanjutnya pakaian umum kata ini (kata bermakna lugas) dibordir, digosok dalam lajurnya yang baru, ditambah personil asesorisnya guna mempertinggi nilai abstraksi hasil penafsiran prismatis yang kelak dikehendaki penulis jika puisinya diapresiasi secara maksimal kelak, baik oleh pembaca umum apalagi kritikus yang eseis pula. Marilah kita cermati beberapa tanda pengubahan pakaian kata yang berusaha dikreasikan oleh penulis-penulis puisi berikut ini.

Penyair Satu

Judul Puisi: aku, setan, dan tuhan
Judul Antologi: Putri Berkicau
Karya: Putri Sarinande
Penerbit: Pustaka Kemucen
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 26

ibuku pernah bilang bapaku sudah mati
ibuku juga bilang bapaku itu setan
padahal bapaku sedang main judi
padahal bapaku hanya dikelilingi perempuan dan minuman

bapaku pernah bilang ibuku adalah setan
bapaku juga bilang bahwa ibuku jalang
padahal ibuku hanya seorang perempuan
padahal ibuku hatinya sedang meradang

ibuku menangisi aku yang mati
bapaku menangisi aku yang mati
semua menangisi aku yang mati

tapi ada satu yang menertawai aku yang mati
apakah dia setan?

bukan, dia bukan setan.

lalu siapa jika dia bukan setan.
dia adalah tuhan.

Mencermati puisi beraroma posmo di atas, pembaca sudah meyakini bahwa ini dunianya puisi, bukan dunia sehari-hari yang biasa manusia jalani. Pakaian kata yang dipakai di puisi ini murni telanjang dan nyaris tanpa berandai-andai, alias terbuka, langsung pada pokok persoalan. Sindiran juga gugatan tentang tuhan disampaikan secara keras oleh pengguna pakaian bahasa puisi di atas. Tuhan dianggap setan. Terlepas unsur ekstrinsik di atas, si penulis puisi bukan lagi murtat sebenarnya dalam menyampaikan tema gugatannya ini, namun ia ingin kita yang membaca paham, seperti apakah keyakinan bertuhan yang kita miliki, pakaian dalam berketuhanan yang bagaimana idealnya bagi seseorang yang mengaku beragama? Apakah kita sudah bertuhan dan beribadah juga percaya teguh terhadap takdir dari tuhan tersebut.

Bandingkan dengan puisi berikut:

Penyair Dua

Judul Puisi: Arah Kiblat
Karya: Faradina Izdhihary
Penerbit: Nurul Haqqy Publishing
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 29

tuhan menjelma dalam sarang burung,
mengerami telur-telur,
menghangatkan kasih ibu dan anak.

nafsuku bergelut pada bibir yang saling kecup,
pada tangan yang saling mendekap,
pada birahi yang tak bertepi.

tuhan dan nafsuku adalah satu, berkejaran dalam darah.
memuncak gairah: ketika ajal merekah
seperti gunting yang memotong tali, pada busur-busur mimpi
yang melejit tanpa kendali

pada tuhan sungguh aku bernafsu,
pada nafsu aku bertuhan

ke mana menemu arah kiblat?

Sadar tidak sadar, penulis puisi kedua ini sedang menawarkan alamat kiblat bagi kita, yang bagi orang muslim kiblat dianggap sebagai arah menghadap dalam beribadah (salat, wudhu, mandi junub bahkan menyembelih hewan dsb.) Kiblat yang dikehendakinya di sini mengarah kepada fungsinya secara visioner yang berarti arah pencarian dirinya sebagai makhluk berkeinginan memenuhi nafsunya. Penulis mempertanyakan pakaian kata sebagai eksistensi yang bagaimana sebenarnya dalam mencari tuhan? Berbeda cara pandang oleh yang ditampilkan penyair satu “aku, setan, dan tuhan” yang lebih mengambil jahitan kata-kata untuk membentuk pakaian pemahaman menjahit pakaian kebertuhanannya secara original, murni mode sendiri, desain sendiri. Meskipun pembicaraan kedua tema puisi tersebut masih soal ketuhanan, masih berwujud ketauhidan, kepercayaan yang menjadi akar sikap manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia.

Dua penyair di atas dengan terang sedang memutar benang pencarian pakaian kata mereka, yang satu memakai benang nilon tebal dan jarumnyapun tergolong besar, yang satu dengan jemari lentik kata perlahan menjahit menggunakan jarum berukuran lebih kecil dan cenderung sentimentil meski ditutup juga dengan keterbukaan sebuah jahitan yang belum kelar. Tentu jika pembaca ingin melihat pakaian mereka kedua ini, model-modelnya bagaimana saja dalam selemari yang terkumpul harus membaca sendiri dan dengan bebas menafsirkan seperti apakah sesungguhnya pakaian bahasa (kata) yang mereka pakai dalam buku antologi puisi mereka.

Selanjutnya kita cermati dua penyair lagi berikut ini dengan pakaian yang lebih halus kainnya bagai sutra, dengan benang jahit yang lebih limit dalam menawarkan bidang-bidang modenya sesuai selera penyairnya dalam menciptakan pembalut badan puisi sebagai bahan pokok alias bakal yang terkesan kontras dengan dua puisi di atas.

Penyair Tiga

Judul Puisi: Tahajud Ilalang
Judul Antologi: Sajak Emas 200 Puisi Sexy
Karya: Dimas Arika Mihardja
Penerbit: Kosa Kata Kita
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 44

setiap pagi dan petang, ilalang bergoyang
inna shalati wa nusuki…
rakaat demi rekaat merayap
di dinding rumah:
alifku rebah

siang merajut sujud
malam merenda kalam
iqra bismirobikaladzi…
setiap saat kubacabaca 99 nama:
jemariku letih

ilalang di belakang rumah
tak lelah
ibadah

juga

Penyair Empat

Judul Puisi: Diruapi Malam Harum, VI:I-ILXXVII
Judul Antologi: Kitab Para Malaikat
Karya: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tahun Terbit/Hlmn: 2007 : 36

Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI:XXIX).

Ia dekati dadamu atau kau pada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).

Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka di jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).

(…..)

Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).

Apa yang menjadi pakaian penyair tiga meski masih berbahan sutera namun jahitannya tetap berbeda dibandingkan pakaian bahasa (kata) yang dipakai penyair empat. Penyair tiga dengan rutinnya memperhatikan jahitan pakaian kebertuhanannya lewat 99 jahitan tersebut, saban hari, saban waktu sampai lelah jemarinya meletih. Mengambil simbol ilalang yang beribadat di belakang rumah dengan perbandingan taatnya si “aku” lirik dalam beribadah pula, menyebut nama (asma) tuhannya. Sebagai insan kamil, makhluk yang seharusnya memimpin dunia, penyair tiga menyampaikan poin kritiknya bahwa manusia harus berpakaian syukur, syukur sebab ia dicipta lebih sempurna maka sebab itu tak pantas melupakan ibadahnya pada khalik. Ilalang sujud, manusia yang memiliki perangai tak rutin sujud, tak yakini lagi arti penciptaannya. Keindahan pakaian sindiran penyair tiga dengan lembut berupaya mencapai kesadaran mata, hati dan kelembutan peribadatan yang wajib dimiliki setiap umat manusia yang mengaku bertuhan.

Penyair empat menggunakan metode pakaian bahasa justru berbeda dari kebanyakan penulis puisi lain. Seolah tidak sedang berpuisi jika kita lihat dari ketiadaannya bait dan larik. Kalimat-kalimat meluncur sebagaimana seorang petasbih yang berzikir dalam mabuknya doa dan kata-kata, barangkali penyair jenis empat ini sudah muak dengan pakaian bait dalam berpuisi, ia merombaknya mendesain sendiri tipografinya sehingga penampilan pakaian bahasa yang dikenakan dalam berpuisi dan bergaya di bidang kesusastraan semacam pengasingan diri, asing di tengah riuhnya ramai penulis-penulis puisi yang masih memakai jahitan model konvensional. Kain-kain perca bahasa ia satukan, setiap kalimat berlintasan berlepasan dan berbuih namun tetap mencirikan ombak penampilan puisinya.

Kalimat-kalimat berupa larik puisi menyusun jedanya masing-masing, keadaan yang menjadi fasilitas kebermaknaan puisi berupa bait dari berlarik-larik pakaian kata selanjutnya menemukan ceruk, mendapati lubang-lubang penuh buih. Pembaca yang penasaran dan terlihat jarang menemukan pakaian kata di dalam puisi sejenis selanjutnya mengajak dirinya untuk mau mengetuk. Sebab dasar dari tujuan membaca adalah memahami maksud yang disampaikan penulis, dalam hal ini penulis puisi bukan penulis umum yang sekedar mencaplok kata-kata dari kamus dan kebiasaan pemakaiannya di lingkungan dunia penulisan. Kerjanya sebagai penghimpun pakaian kata yang unik justru mengharuskan dirinya sebagai pekerja seni bahasa untuk bekerja serius memperbaharui tenaga kata, mempertinggi nilai kandungan bahasa, juga turut mewaspadai matinya kata-kata yang akhirnya justru jadi kain lap, pembersih debu di dapur atau kain perca sebagai alat rumah tangga sekedar untuk dipijaki kaki yang kotor oleh tamu maupun tuan rumahnya.

Lemahnya daya kreasi pendesain pakaian kata akan mempengaruhi nilai dan mutu karya yang diciptakannya. Pengunjung lemari puisinya (pembaca antologi puisinya) hanya melihat sekilas pintas belaka terhadap pajangan di dalam lemari kaca itu, tidak mau memegangnya, memilih-milihnya mana yang cocok sesuai jiwa dan selera dan bahkan seperti melihat pameran mode maju yang konon justru memasang diskon besar dan obralan murah meriah. Kesan bahwa penyair sebagai tukang loak kata-kata tak bisa tidak dengan miris akan dihadapi oleh kaum sastra, keadaan seperti ini tentu tak layak dibiarkan. Perlu ada pemerhati desain kata, perlu ada tukang ukur kat, tukang pasang kancing kata, tukang jahit pinggir kata. Misalnya editor buku puisi, illustrator sampul buku puisi, juga penerjemah warna lokal (pakaian lokal) dalam buku puisi yang dibutuhkan untuk membedah nilai secara mumpuni, nilai kekaryaan, nilai konstruktif yang ikut membangun tingginya mutu karya sastra puisi.

Korelasi dunia kata-kata dengan dunia berpakaian sesungguhnya seperti melihat sesosok manusia modern yang rapi berdasi namun kalimat-kalimat pidatonya sebagai seorang pemimpin justru tidak seideal pakaian (pembalut tubuh) yang dikenakannya. Banyak sudah contoh perilaku kemanusiaan bangsa kita yang tanpa disadari telah meninggalkan kebudayaan dalam berpakaian perilaku berupa kata-kata pantas. Orang bermobil tapi caciannya kepada pengemis seakan lebih rendah dari bahasa penjahat. Perkataan justru menjadi penggenap kurangnya penampilan seseorang, jika ia seorang yang sederhana namun kalimat-kalimat yang diutarakannya sungguh memikat hati, tak urung orang lain bisa menganggapnya guru yang berbudi bahasa. Tradisi kita sebagai orang timur memang suka sekali memperpanjang kata-kata, memutar-mutarkan kalimat sehingga meliuk tak berujung pangkal, nah di sinilah perlu kita sikapi bahwa roda jaman mengharapkan kita lebih hemat dalam berkata, layak mempertimbangkan kepraktisan namun pemugaran ini butuh etika dan kedinamisan yang bijaksana.

Penulis puisi tidak serta merta dapat membebaskan pemakaian bahasanya dengan segala alasan yang tidak konstruktif, yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan meninggikan mutu/nilai pakaian katanya. Compang-camping dan meresahkan hati pembaca. Sikap dewasa dalam berpuisi menggunakan kata berhati, bernas dan tetap sederhana justru tak ada ukuran idealnya. Lain lubuk lain ikan, dengan ragam bahasa yang ribuan suku ini, bangsa kita membutuhkan sikap berbahasa yang berlandaskan rasa kebersamaan. Konsep pembinaan bahasa yang dilakukan oleh lembaga bahasa Indonesia di seluruh propinsi sudah selayaknya disikapi proporsional, ranah sastra tak luput pula dari perhatian lembaga tersebut, proyek-proyek kreatif kesusatraan turut pula diatur secara bersinergi dengan sekolah-sekolah, lembaga kesenian di tiap daerah, para penyair lokal juga pemerintahan yang punya tuntutan kerja di bidang ini, bidang mengatur pakaian bahasa yang sepantasnya.

Tradisi menulis terpengaruh pula dari lingkungan di tempat penyair puisi tumbuh, jika Anda orang Medan, tentu bahasa lugas, tuntas dan tegas ikut menjadi bumbu puisi yang ditulis, jika Anda berlatar belakang masyarakat sosial suku Jawa, maka tak ayal bahasa Anda penuh santun dan sangat mempertimbangkan bunyi, jika Anda berlatar Melayu, bahasa Anda menjadi semacam pantun yang melambai seperti pucuk-pucuk para, atau jika pun Anda seorang Aceh yang gemar bercerita, bahasa Anda sedikit banyak nantinya dalam menulis puisi akan tampil ketegasan, kesopanan dan sedikit intonasi meninggi yang menyerupai dialektika orang Batak, Padang bahkan Bali.

Rumah puisi yang kita ibaratkan tadi semacam lemari kaca buat meletakkan pakaian-pakaian bahasa tersebut, harus berhasil menunjukkan kemauannya untuk menyesuaikan mode/desain dan tuntutan atmosfer baru dalam kancah seni bersastra puisi. Kita tak mungkin menggunakan pakaian bahasa seorang Amir Hamzah yang sudah usang bukan? Namun bukan dengan demikian artinya kita tidak menghargai usaha seorang pujangga besar di dekade kesusastraan lama ini, sebab dengan demikian kita telah bekerja di luar batas-batas kedirian kita, orisionalitas bangunan dasar (foundament) kesusastraan kita. Perlu dengan dewasa mencermati, apa yang penyair-penyair besar itu tanam (termasuk seorang Chairil Anwar) dengan benih mutu yang baik pada akhirnya memunculkan batang tubuh kesusastraan Indonesia yang kekar dan tahan cuaca.

Namun adalagikah upaya kita selain memelihara apa yang sudah ada, yang sudah menjadi pakaian kesusastraan kita untuk selanjutnya berubah, berevolusi sesuai jamannya? Kebijaksanaan para kreator pakaian bahasa kita jangan sampailah melanggar etika ketimuran kita, lupa diri dan Salah Asuhan dalam modernitas yang justru menjadi Belenggu, sementara Layar Terkembang jangan lagi menjadikan bangsa sastra masuk jurang. Manifes ya Manifes , Lekra ya Lekra, tapi kini jaman Millenia, segala yang secuil dapat menjadi api, segala yang menggunung dapat menjadi cenung.

Manusia mencapai kodratnya sebagai makhluk bahasa dan menempati keindahan sebagai tanah untuk berpijak dan di sinilah ia melangkah dengan pakaian bahasa, bahasa sebagai fitnah jika tak dipakai semestinya, bahasa yang membunuh jika ia menjadi harimau bagi dirinya, tentu saja kebutuhan pakaian baru selalu ada, rasa ketidakpuasan menjadi hukum alam dunia manusia, apa yang sudah lewat tidak semuanya perlu diubah dan apa yang di hadapan justru membutuhkan esensi dari pencapaian kodrat manusia demi kemaslahatan dunia seni sastra secara umum dan keberlangsungan berkarya para penyair itu. Sebetulnya tidak semua sastra yang membawakan suara jamannya pasti sastra yang baik, seperti pendapat Budi Darma (dalam buku Sejumlah Esei Sastra, cetakan 1, 1984:15). Sebab, kalau sastra yang membawakan suara jamannya adalah sastra yang baik, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Setiap jaman memang membawakan mode tersendiri. Dan seseorang yang latah adalah hasil jamannya dan sekaligus membawakan suara jamannya.

Jaman pembredelan sudah lewat maka di depan kita akan melihat sebuah jaman di saat buku menumpuk tanpa pembaca, nilai dinamis menjadi raja, kebermaknaan menjadi harga dan kesetiaan kepada pakaian bahasa menemukan tantangan besar. Marilah kita hadapi bersama sebuah masa transisi di antara kendaraan seni sastra yang makin berlintasan, kawan dan lawan harus tetap sejalan jangan bugil jangan malas bercermin seperti apa sudah pakaian bahasa kita? Selamat berjuang.

Langsa-Indonesia, 14 Juni 2011.

Kamis, 09 Juni 2011

GELIAT SASTRA LOKAL

[Khususon Jombang, Wabil khusus Fahrudin Nasrulloh]
Nurel Javissyarqi*
Jurnal Jombangana, Nov 2010

Sebelum jauh menelusuri judul di atas, diriku teringat awalkali melangkahkan kaki ke tanah Jombang, tahun 1993. Dari rumah di Lamongan, aku persiapkan niat menimba keilmuan mengeruk ketololan demi semakin menginsyafi kebodohan. Terbayang di kepalaku sosok-sosok insan ampuh pada daerah kan kudiami, para pejuang serta penyebar ajaran Islam; KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan tokoh-tokoh masih hidup dikala itu; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, serta tidak terkecuali budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sampai kini menyetiai lelakunya mengayomi rakyat jelata, masyarakat pedalaman.

Setiap langkah kubaca tanda kan terjadi, kusapa dedaunan terlintas di pinggir jalan; jalur ini kelak laluan sering kulewati. Pun menyimak gemawan sambil merasai apakah pribadiku tergolong dirahmati menggapai cita. Demikian memasuki kota lain, diuntit bayang-bayang masa silam; penjajahan di Bumi Pertiwi juga nasib apakah yang bakal menimpa bangsa ini. Aku lebih suka menyuntuki alam raya, ialah lelembaran catatan yang tiada membohongi. Tentu melewati lelatihan, mengidentifikasi kemungkinan atas periodisasi, sedari sanalah perkiraan tepat searah.

Aku terkagum kualitas anak-anak bangsa yang dilahirkan di bencah tandus berpasir, dataran Jombang serupa Ponorogo yang gersang atau Cirebon bagian selatan. Terus kepalaku menggeliat, mengira-ira jikalau di jaman dulu, ada sebuah gunung besar meletus, lantas tinggal sisa-sisa abunya. Pun tak kurang teringat kabar kudengar semasa sekolah dasar, semisal wilayah berbasis agamis, biasanya berdampingan kaum begundal.

Kontradiksi itu menerbitkan pemahaman, kawasan makmur pemikiran, tentu ada tirakat lahir sejenis kemiskinan, yang ditancapkan unen-unen orang utama; ilmu kan mendekati yang berpayah-payah. Juga benturan hawa religiusitas tak berhembus kuat, jikalau tiada tekanan sedari kebalikannya. Lalu terngiang keramaian pasar, tempat segala keteledoran, yang di sebelahnya, syiar Keilahian ramai berkumandang.

Jombang kota santri, begitu orang-orang menyebutnya. Ini tak bisa dipungkiri, ada puluhan, bahkan ratusan pesantren jika ditelisik dari kecil-kecil sampai yang tersohor namanya. Adanya sekte-sekte atau mazhab ajaran Islam tersebar di sana, semua memakmurkan nalar iman, mengembangkan khasanah spiritual, mensejahterahkan umat demi nada-nada kebersatuan. Para penimbanya tak sekadar tetangga kota; Malang, Sidoarjo, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, bahkan luar jauh; Kebumen, Jogjakarta, Jepara, Cirebon, Jakarta, Banten &ll, disamping tidak sedikit dari luar kepulauan; Aceh, Padang, Samarinda, Makassar, tak terkeculai dari Irian &st.

Fenomena itu menghantuiku yang kuandaikan kota Mesir, akan ruhaniah pengetahuannya, mencurigai kerahasiaan di dalamnya menyembulkan aroma kesturi. Membaca alam sambil memadukan orang-orangnya, menguap embun fikirku memendarkan teka-teki silang-sengkarut mengurai benang kusut. Pelahan-lahan kuamati amis sungainya, bau menyengat pabrik tebu, nuanse kota nanggung, warga etnis Cina dipastikan penggerak perekonomiannya, ini merata pada pulau Jawa, selain di Kota Gede, Jogjakarta.

Selama tiga tahun kupelajari kota tersebut demi membaca pantulan wewajah serupa, seperti daerah-daerah di pelosok Tanah Air berlabel Kauman, diambil dari kalimah; kumpulan kaum beriman. Di Jombang aku kerap jalan kaki ke dusun-dusun terpencil, memandang perkebunan tembakau, rumput pepadian kurang subur, kuburan Cina yang mewah, suara klenteng bergaung, bioskop, kadang lelah naik becak jika di kota. Orang tuaku sempat membelikanku sepeda, sehingga leluasa menyinahui pernik mistisnya. Keluar-masuk santren, salam sungkem ke setiap kuanggap ampuh, sampai kuyakini tak keliru pilihanku ke Jombang, sebelum ke Jogja menjejaki pengalaman.

Entah terpaksa atau kebetulan, di pesantren aku tak dapati ruang ekspresikan jiwa di bingkai lukisan, yang sebelumnya terbiasa kalau ada perasaan menggejalai badan, langsung mengguratkan cat minyak di kanvas. Maka bersusah payah, kupindahkan gejolak diri dalam tulisan di lelembaran kertas dengan pena. Bacaanku minim karena sering keluyuran, jelas tidak mendukung polaku menggumuli kata, olehnya tulisan awalku potretan semata, belum menghisap perihal membetot jiwa.

Jalan ini dimungkinkan sebab pangasuh pesantren yang aku diami seorang penulis, penyusun kitab, penerjemah bahasa arab, dimana sehari-harinya tiada waktu istirah; membaca, menulis. Selama tiga tahun aku amati, seakan satu jam paling banter dua jam istirah dalam sehari. Hal tersebut membuatku cemburu, sebagai anak muda tentu tertantang melampaui. Dan kucoba membaca tak henti-henti berhari-hari sampai merasakan keadaan mabuk, hingga sang kiai menyindirku; belajar ya belajar, tapi jangan sampai mabuk.

Kesastrawanan Emha Ainun Najib kian santer bergema, kabar penyair sedari Menturo, Jombang, yang tinggal di Jogjakarta itu menghisap seluruh perhatian, apalagi bagi yang tinggal di kota kelahirannya. Yang mana diriku awal menancapkan niat menggeluti sastra. Buku Emha kubaca, nadhoman pelajaran bersyair mulai menghantui, demi aku loloskan dalam khasana Indonesia, serta semua pendukung kemauanku berbelok, tepatnya menyembuhkan sedari minat lukis yang tidak tersalurkan.

Alam pesantren meraup keilmuan Islami berbalutan lokalitas menjelmakan diri se-istilah Islam Jawa. Apakah sejarah, filsafat, ilmu hitung, perbintangan, mantek &ll, sangatlah mewarnai denyutan Jombang. Tidak ketinggalan susastra sebagai sarana berbahasa dalam penyebaran ajarannya pada kitab-kitab kuning atau klasik, menjadi lagu merdu menyusupnya faham-faham diingini sang pengarangnya.

Olehnya tak dapat disangkal, pesantren salah satu gudang susatra tersembunyi, hanya yang ingin mengangkat ke alam lebih umum, khususnya dalam bahasa Indonesia, tentu tidak terbantahkan. Tak diragukan, karya sastra bercorak Islam di bumi Nusantara, tegak bergoyang rindang sepohonan tinggi tegap melambaikan dedaun hijaunya, sebagai perlambang kemakmuran atas pupuk memberkah para pendahulunya.

Di asrama Al-Aziziyah, diriku adik kelas Moammar Emka, penulis buku “Jakarta Undercover” yang tulisannya kukira kurang berfaedah, jika ditengok sisi keberangkatan dirinya meski sempat meledak, kecuali sekadar informasi bagi insan metropolis yang haus hiburan malam. Padahal dikala itu, Emka sangat tekun belajar berpidato kayak Soekarno di depan cermin, ah menjijikkan sampai terjadi baku-hantam karenanya. Sebelah kamar kami, tepatnya dihuni siswa MAN PK, ada murid bernama Fahrudin Nasrulloh yang sama-sama nantinya melanjutkan sekolah di Jogjakarta seangkatan-ku, tapi aku tak mengenalnya. Hanya selepas kuliah, namanya baru berkibar. Demikian benturan watak bersegenap intrik dalam keseharian, membetulkan nasib masing-masing atas alasan sendiri-sendiri.

Asrama itu diasuh KH. A. Aziz Masyhuri, salah satu karyanya “99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa,” Penerbit Kutub, Yogyakarta, 2006. Mungkin atas pantulan keseharian beliau yang kuceritakan di atas, kami bersaing dengan keyakinan serta resiko berlainan. Entah keakrabanku dengan Fahrudin saat kapan, yang teringat sewaktu di Jogja, aku membaca puisi di sanggar Eska, dan kulihat sekelebat bayangnya. Penulis Haris del Hakim asal Lamongan di sana pula, diriku tak mengetahui, ia berkisah di kala keakraban kami berlangsung di kampung halaman, yang bercerita kegembelanku masa itu; lontang-lantung di setiap kampus, tidur di plafon sanggar, mandi di sembarang perguruan tinggi, yang jelas aku menikmatinya.

Agar tak mbelakrak, kembali ke judul semula, tepatnya Fahrudin pulang kampung, pun diriku, dan kami kerap bertemu di Mojokerto. Kegelisahan FN sampai menganggap kota Jombang seperti kuburan, karena dengungan sastrawi berbahasa Indonesia, bukan nadhoman pesantren, sangat minim. Sementara para tokoh kelahiran Jombang banyak berada di luar daerah, entah Jogja, Jakarta pun lainnya. Ia mengutuki nasib tersebut hingga mendekati titik putus-asa, untung teman-temannya masih ada di Jogja, FN bolak-balik menimba kegairahan bersastra demi bumi kelahirannya dan ditanggapi baik Jabbar Abdullah, lantas terbentuk Komunitas Lembah Pring; salah satu wadah yang kini tampak istikomah menampung, menaburkan harum sastrawi Indonesia, sedari tlatah Jombang, banyu santren dinaungi angin bertuah.

Sebenarnya aku kurang nyaman menulis ini, tiada tantangan sekadar mengenang ulang kejadian, namun siapa tahu ada guna di hari kemudian. Selama di Jogja, aku tak menemukan jejak FN, ya dapat dibilang masih untung diriku, pernah direkam surat kabar setempat atas ulasan penulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum), penyair Hamdy Salad membahas berdirinya KSTI (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia) yang kugerakkan bersama Y. Wibowo, Akhmad Muhaimin Azzet &ll, sedang penyair Edeng Samsul Maarif asal Cirebon, mengudar terbitnya buku keduaku (yang pertama stensilan bertitel “Sarang Ruh”) kedua berlabel “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”

Pun aku tak mengetahui persis proses kreatif novelis A. Syauqi Sumbawi di kota pelajar itu, baru aku mengenalnya disaat pertemuan sastra di tanah kelahiran kami, Lamongan. Dari jejak kuketahui, FN bukan yang pertama mengobarkan susastra di Jombang, setidaknya alumnus Pesantren Tebuireng, sastrawan Zainal Arifin Thoha (almarhum) sempat mengajakku mengisi acara di Pesantren Tambak Beras, juga kampus Unipdu, lingkungan santren Darul Ulum, Rejoso, Jombang 2004-an. Dan Gus Zainal menemukan bibit unggul sedari santren Tambak Beras, cerpenis Azizah Hefni, yang kini bersuamikan penyair Ahmad Muchlish Amrin.

Sedangkan pecahnya kegelisahan FN dengan terbentuknya Komunitas Lembah Pring baru kemarin tahun 2007-an, ada semacam sistem waktu datangnya betapa lamban, tetapi sangat kuat aromanya di setiap tikungan tajam. Ah, jadi teringat diriku bersama FN mengisi acara di UIN Malang; menyusuri jalan-jalan tanjakan penuh guncangan mawas disaat-saat embrio komunitasnya mematangkan tekad, aku hanya mengamatinya sejarak penciuman.

Kalau membahas sastra lokal sangatlah semarak, gayeng istilah Jogjanya, namun ada hal kurang kusukai, tatkala muncul bayang-bayang senioritas, pengaku-akuan yang kurang penting, terpenting wujud capaiannya; gugusan karya. Di Lamongan sendiri dapat dicatat yang berkarya kian menggeliat, novelis A. Syauqi Sumbawi, Rodli TL, A. Rodli Murtadho, penyair Imamuddin SA &ll. Mereka tergabung dalam Forum Sastra Lamongan, yang kini tak jelas nasibnya, sebagian ke luar kota meneruskan sekolah, ada yang menikah dapat luar daerah, hanya beberapa kali bertemu sapa di dunia maya.

Khususon Jombang, setelah bergulirnya agenda Geladak Sastra pada Komunitas Lembah Pring, dapat dicatat nama-nama selain Fahrudin Nasrulloh, adanya Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Sabrank Suparno, Agus Sulton, Siti Sa’adah, &ll. Kini izinkan diriku membatek ruhaniah geliatnya sebagai penutupnya;

Tak sia-sia bolak-baliknya Networker Kebudayaan Halim HD, sastrawan Fahmi Faqih ke Jombang sekitarnya, mengompori cerpenis Fahrudin Nasrulloh, demi membakar diri dalam api tungku pekuburannya. Kebertemuan tidak rutin tapi dijubeli debat sengit, mematangkan denyut kesusastraan di daerah, menjelma tonggak-tonggak, semoga mampu membentengi pusaran memusat menjadi lebur, tertinggal mensaktikan karya masing-masing. Sebab tiada guna meniupi nama-nama melambung, tapi nyata karyanya kacangan, tak berani dipertanggungjawabkan depan umum, mimbar pengadilan, tidak sekadar tepuk tangan panjang, yang mencipta ketawa terpingkal-pingkal di kesunyian kamar.

FN disokong bacaannya sejak di Denanyar, didukung perpustakaan pribadinya, kukira cukup untuk sementara waktu, sebab rasa haus berbaca tak kan tuntas sebelum memasuki liang lahat. Gejolak pencarian keilmuannya menghipnotis, menularkan minat baca tulis, bagi yang sudah, kian meningkatkan obor kreativitas di tiap ubun-ubun kawan-kawannya menyaksikan tingkah pakolahnya urakan, namun juntrung dalam penulisan. Aku tersenyum saja, kala ia sms padaku mengenai menumbuhkan gairah menerus, saat itu aku curiga semangatnya melemah atau diriku sangking percaya perhatian padanya.

FN yang kini dipandang, kerap diundang acara pertemuan-pertemuan sastra di JaTim, maupun luar daerah, aku kira tak perlu lagi bakar-bakaran semangat, jika masih namanya kebacut. Darinyalah, belantikan sastra Jombang untuk bumi Nusantara mendapati tempat, mulai kerap diperbincangkan, ia telah kubur mitosnya sendiri, yakni Jombang pekuburan.

Sebagai esais tak diragukan lagi, dan sosok peneliti cukup handal mengangkat pernik-pertikaian tradisi, sedari dunia pesantren hingga kesenian ludruk. Beberapa bukunya telah terbit, “Syekh Branjang Abang” Pustaka Pesantren, 2007, “Geger Kiai” Pustaka Pesantren, 2009 &ll. Hampir semuanya berdaya kontemplatif luar biasa, perasan ruang-waktu, jejalan peristiwa diselusupkan tak sekadar dalam, tapi menyusup seakaran pepohon menghisap sumber mata air kedalaman hikmah. Dapat dipastikan hasil-hasil kerjanya memberi sumbangsih penelitian kebudayaan, para penulis mendatang untuk mentafakkuri, jika Bumi Pertiwi masih mendambai nilai-nilai adi luhung.

Penulis muda yang menempa hari-harinya berbaca, senantiasa menggenggam sikap kukuh. Jika sifat ini dipelihara, Tuhan Maha Kuasa pasti mendukung langkahnya. Tidakkah bentuk-bentuk istikomah melebihi seribu karomah, para malaikat tertunduk malu kepadanya, pula orang-orang edan memiliki gelombang netral, dapat dipastikan tersetut dinayanya. Manusia-manusia unggul mampu berbicara yang mengisari sekeliling dirinya, berkah ilmu menancapkan tiang pancang, suatu hari nanti turunannya peroleh limpahannya, sedang keikhlasan menggetarkan tiap-tiap persendian jiwa.

Ia kerap berucap kata; “jangan banyak bacot” &ls, sebagai cermin betapa hari-harinya kenyang dijejali gelisah, demi terus menulis, menuntaskan tekad memakmurkan daerah. Mengenai komunitasnya aku masih melihat, sebab banyak sekali nggelimpang atas hal-hal sepele, tetapi jiwa matang tempaan hidup, realitas nalar dipukuli kepahitan, kan selalu mengobarkan juang, apalagi bangsa Indonesia baru “50% Merdeka,” menjumput istilah dari penyair Heri Latief. Dan ruhani kepatriotikan tanah pedalaman Jombang, masih mewangi, ini tak lebih darah para pahlawan tetap segar mendenyuti nadi anak-anaknya, yang taat memegang bara keadilan.

Jombang, 22 November 2010
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar