Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/
Di antara banyaknya pengguna kata dalam dunia sastra puisi, pakaian kata tentu berganti-ganti dipakai oleh penyairnya. Tuntutan adanya variasi akibat keseringan menggunakan kata yang sama disokong oleh pengaruh yang ingin menjembatani penulis puisi (penyair kata-kata) agar bahasa yang diramunya dapat terus terasa segar saat dibaca. Harapan puisi dapat mengalir seiring berkembangnya mode kata-kata selalu ada di setiap even penulisan. Dekade setelah reformasi, lemari kata-kata makin ramai dipenuhi oleh rujukan modernitas pengucapan. Bahasa (kata) yang biasa disusun ulang itu selanjutnya mempertemukan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru, pola susunan putar-balik, transendent dan revision dari kedua sisi yang melingkupinya, baik secara ejaan maupun semantiknya.
Konsep kata pada dasarnya berunsur konvensional. Penyair tidak menulis untuk kalangan biasa, selanjutnya pakaian umum kata ini (kata bermakna lugas) dibordir, digosok dalam lajurnya yang baru, ditambah personil asesorisnya guna mempertinggi nilai abstraksi hasil penafsiran prismatis yang kelak dikehendaki penulis jika puisinya diapresiasi secara maksimal kelak, baik oleh pembaca umum apalagi kritikus yang eseis pula. Marilah kita cermati beberapa tanda pengubahan pakaian kata yang berusaha dikreasikan oleh penulis-penulis puisi berikut ini.
Penyair Satu
Judul Puisi: aku, setan, dan tuhan
Judul Antologi: Putri Berkicau
Karya: Putri Sarinande
Penerbit: Pustaka Kemucen
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 26
ibuku pernah bilang bapaku sudah mati
ibuku juga bilang bapaku itu setan
padahal bapaku sedang main judi
padahal bapaku hanya dikelilingi perempuan dan minuman
bapaku pernah bilang ibuku adalah setan
bapaku juga bilang bahwa ibuku jalang
padahal ibuku hanya seorang perempuan
padahal ibuku hatinya sedang meradang
ibuku menangisi aku yang mati
bapaku menangisi aku yang mati
semua menangisi aku yang mati
tapi ada satu yang menertawai aku yang mati
apakah dia setan?
bukan, dia bukan setan.
lalu siapa jika dia bukan setan.
dia adalah tuhan.
Mencermati puisi beraroma posmo di atas, pembaca sudah meyakini bahwa ini dunianya puisi, bukan dunia sehari-hari yang biasa manusia jalani. Pakaian kata yang dipakai di puisi ini murni telanjang dan nyaris tanpa berandai-andai, alias terbuka, langsung pada pokok persoalan. Sindiran juga gugatan tentang tuhan disampaikan secara keras oleh pengguna pakaian bahasa puisi di atas. Tuhan dianggap setan. Terlepas unsur ekstrinsik di atas, si penulis puisi bukan lagi murtat sebenarnya dalam menyampaikan tema gugatannya ini, namun ia ingin kita yang membaca paham, seperti apakah keyakinan bertuhan yang kita miliki, pakaian dalam berketuhanan yang bagaimana idealnya bagi seseorang yang mengaku beragama? Apakah kita sudah bertuhan dan beribadah juga percaya teguh terhadap takdir dari tuhan tersebut.
Bandingkan dengan puisi berikut:
Penyair Dua
Judul Puisi: Arah Kiblat
Karya: Faradina Izdhihary
Penerbit: Nurul Haqqy Publishing
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 29
tuhan menjelma dalam sarang burung,
mengerami telur-telur,
menghangatkan kasih ibu dan anak.
nafsuku bergelut pada bibir yang saling kecup,
pada tangan yang saling mendekap,
pada birahi yang tak bertepi.
tuhan dan nafsuku adalah satu, berkejaran dalam darah.
memuncak gairah: ketika ajal merekah
seperti gunting yang memotong tali, pada busur-busur mimpi
yang melejit tanpa kendali
pada tuhan sungguh aku bernafsu,
pada nafsu aku bertuhan
ke mana menemu arah kiblat?
Sadar tidak sadar, penulis puisi kedua ini sedang menawarkan alamat kiblat bagi kita, yang bagi orang muslim kiblat dianggap sebagai arah menghadap dalam beribadah (salat, wudhu, mandi junub bahkan menyembelih hewan dsb.) Kiblat yang dikehendakinya di sini mengarah kepada fungsinya secara visioner yang berarti arah pencarian dirinya sebagai makhluk berkeinginan memenuhi nafsunya. Penulis mempertanyakan pakaian kata sebagai eksistensi yang bagaimana sebenarnya dalam mencari tuhan? Berbeda cara pandang oleh yang ditampilkan penyair satu “aku, setan, dan tuhan” yang lebih mengambil jahitan kata-kata untuk membentuk pakaian pemahaman menjahit pakaian kebertuhanannya secara original, murni mode sendiri, desain sendiri. Meskipun pembicaraan kedua tema puisi tersebut masih soal ketuhanan, masih berwujud ketauhidan, kepercayaan yang menjadi akar sikap manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia.
Dua penyair di atas dengan terang sedang memutar benang pencarian pakaian kata mereka, yang satu memakai benang nilon tebal dan jarumnyapun tergolong besar, yang satu dengan jemari lentik kata perlahan menjahit menggunakan jarum berukuran lebih kecil dan cenderung sentimentil meski ditutup juga dengan keterbukaan sebuah jahitan yang belum kelar. Tentu jika pembaca ingin melihat pakaian mereka kedua ini, model-modelnya bagaimana saja dalam selemari yang terkumpul harus membaca sendiri dan dengan bebas menafsirkan seperti apakah sesungguhnya pakaian bahasa (kata) yang mereka pakai dalam buku antologi puisi mereka.
Selanjutnya kita cermati dua penyair lagi berikut ini dengan pakaian yang lebih halus kainnya bagai sutra, dengan benang jahit yang lebih limit dalam menawarkan bidang-bidang modenya sesuai selera penyairnya dalam menciptakan pembalut badan puisi sebagai bahan pokok alias bakal yang terkesan kontras dengan dua puisi di atas.
Penyair Tiga
Judul Puisi: Tahajud Ilalang
Judul Antologi: Sajak Emas 200 Puisi Sexy
Karya: Dimas Arika Mihardja
Penerbit: Kosa Kata Kita
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 44
setiap pagi dan petang, ilalang bergoyang
inna shalati wa nusuki…
rakaat demi rekaat merayap
di dinding rumah:
alifku rebah
siang merajut sujud
malam merenda kalam
iqra bismirobikaladzi…
setiap saat kubacabaca 99 nama:
jemariku letih
ilalang di belakang rumah
tak lelah
ibadah
juga
Penyair Empat
Judul Puisi: Diruapi Malam Harum, VI:I-ILXXVII
Judul Antologi: Kitab Para Malaikat
Karya: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tahun Terbit/Hlmn: 2007 : 36
Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI:XXIX).
Ia dekati dadamu atau kau pada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).
Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka di jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).
(…..)
Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).
Apa yang menjadi pakaian penyair tiga meski masih berbahan sutera namun jahitannya tetap berbeda dibandingkan pakaian bahasa (kata) yang dipakai penyair empat. Penyair tiga dengan rutinnya memperhatikan jahitan pakaian kebertuhanannya lewat 99 jahitan tersebut, saban hari, saban waktu sampai lelah jemarinya meletih. Mengambil simbol ilalang yang beribadat di belakang rumah dengan perbandingan taatnya si “aku” lirik dalam beribadah pula, menyebut nama (asma) tuhannya. Sebagai insan kamil, makhluk yang seharusnya memimpin dunia, penyair tiga menyampaikan poin kritiknya bahwa manusia harus berpakaian syukur, syukur sebab ia dicipta lebih sempurna maka sebab itu tak pantas melupakan ibadahnya pada khalik. Ilalang sujud, manusia yang memiliki perangai tak rutin sujud, tak yakini lagi arti penciptaannya. Keindahan pakaian sindiran penyair tiga dengan lembut berupaya mencapai kesadaran mata, hati dan kelembutan peribadatan yang wajib dimiliki setiap umat manusia yang mengaku bertuhan.
Penyair empat menggunakan metode pakaian bahasa justru berbeda dari kebanyakan penulis puisi lain. Seolah tidak sedang berpuisi jika kita lihat dari ketiadaannya bait dan larik. Kalimat-kalimat meluncur sebagaimana seorang petasbih yang berzikir dalam mabuknya doa dan kata-kata, barangkali penyair jenis empat ini sudah muak dengan pakaian bait dalam berpuisi, ia merombaknya mendesain sendiri tipografinya sehingga penampilan pakaian bahasa yang dikenakan dalam berpuisi dan bergaya di bidang kesusastraan semacam pengasingan diri, asing di tengah riuhnya ramai penulis-penulis puisi yang masih memakai jahitan model konvensional. Kain-kain perca bahasa ia satukan, setiap kalimat berlintasan berlepasan dan berbuih namun tetap mencirikan ombak penampilan puisinya.
Kalimat-kalimat berupa larik puisi menyusun jedanya masing-masing, keadaan yang menjadi fasilitas kebermaknaan puisi berupa bait dari berlarik-larik pakaian kata selanjutnya menemukan ceruk, mendapati lubang-lubang penuh buih. Pembaca yang penasaran dan terlihat jarang menemukan pakaian kata di dalam puisi sejenis selanjutnya mengajak dirinya untuk mau mengetuk. Sebab dasar dari tujuan membaca adalah memahami maksud yang disampaikan penulis, dalam hal ini penulis puisi bukan penulis umum yang sekedar mencaplok kata-kata dari kamus dan kebiasaan pemakaiannya di lingkungan dunia penulisan. Kerjanya sebagai penghimpun pakaian kata yang unik justru mengharuskan dirinya sebagai pekerja seni bahasa untuk bekerja serius memperbaharui tenaga kata, mempertinggi nilai kandungan bahasa, juga turut mewaspadai matinya kata-kata yang akhirnya justru jadi kain lap, pembersih debu di dapur atau kain perca sebagai alat rumah tangga sekedar untuk dipijaki kaki yang kotor oleh tamu maupun tuan rumahnya.
Lemahnya daya kreasi pendesain pakaian kata akan mempengaruhi nilai dan mutu karya yang diciptakannya. Pengunjung lemari puisinya (pembaca antologi puisinya) hanya melihat sekilas pintas belaka terhadap pajangan di dalam lemari kaca itu, tidak mau memegangnya, memilih-milihnya mana yang cocok sesuai jiwa dan selera dan bahkan seperti melihat pameran mode maju yang konon justru memasang diskon besar dan obralan murah meriah. Kesan bahwa penyair sebagai tukang loak kata-kata tak bisa tidak dengan miris akan dihadapi oleh kaum sastra, keadaan seperti ini tentu tak layak dibiarkan. Perlu ada pemerhati desain kata, perlu ada tukang ukur kat, tukang pasang kancing kata, tukang jahit pinggir kata. Misalnya editor buku puisi, illustrator sampul buku puisi, juga penerjemah warna lokal (pakaian lokal) dalam buku puisi yang dibutuhkan untuk membedah nilai secara mumpuni, nilai kekaryaan, nilai konstruktif yang ikut membangun tingginya mutu karya sastra puisi.
Korelasi dunia kata-kata dengan dunia berpakaian sesungguhnya seperti melihat sesosok manusia modern yang rapi berdasi namun kalimat-kalimat pidatonya sebagai seorang pemimpin justru tidak seideal pakaian (pembalut tubuh) yang dikenakannya. Banyak sudah contoh perilaku kemanusiaan bangsa kita yang tanpa disadari telah meninggalkan kebudayaan dalam berpakaian perilaku berupa kata-kata pantas. Orang bermobil tapi caciannya kepada pengemis seakan lebih rendah dari bahasa penjahat. Perkataan justru menjadi penggenap kurangnya penampilan seseorang, jika ia seorang yang sederhana namun kalimat-kalimat yang diutarakannya sungguh memikat hati, tak urung orang lain bisa menganggapnya guru yang berbudi bahasa. Tradisi kita sebagai orang timur memang suka sekali memperpanjang kata-kata, memutar-mutarkan kalimat sehingga meliuk tak berujung pangkal, nah di sinilah perlu kita sikapi bahwa roda jaman mengharapkan kita lebih hemat dalam berkata, layak mempertimbangkan kepraktisan namun pemugaran ini butuh etika dan kedinamisan yang bijaksana.
Penulis puisi tidak serta merta dapat membebaskan pemakaian bahasanya dengan segala alasan yang tidak konstruktif, yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan meninggikan mutu/nilai pakaian katanya. Compang-camping dan meresahkan hati pembaca. Sikap dewasa dalam berpuisi menggunakan kata berhati, bernas dan tetap sederhana justru tak ada ukuran idealnya. Lain lubuk lain ikan, dengan ragam bahasa yang ribuan suku ini, bangsa kita membutuhkan sikap berbahasa yang berlandaskan rasa kebersamaan. Konsep pembinaan bahasa yang dilakukan oleh lembaga bahasa Indonesia di seluruh propinsi sudah selayaknya disikapi proporsional, ranah sastra tak luput pula dari perhatian lembaga tersebut, proyek-proyek kreatif kesusatraan turut pula diatur secara bersinergi dengan sekolah-sekolah, lembaga kesenian di tiap daerah, para penyair lokal juga pemerintahan yang punya tuntutan kerja di bidang ini, bidang mengatur pakaian bahasa yang sepantasnya.
Tradisi menulis terpengaruh pula dari lingkungan di tempat penyair puisi tumbuh, jika Anda orang Medan, tentu bahasa lugas, tuntas dan tegas ikut menjadi bumbu puisi yang ditulis, jika Anda berlatar belakang masyarakat sosial suku Jawa, maka tak ayal bahasa Anda penuh santun dan sangat mempertimbangkan bunyi, jika Anda berlatar Melayu, bahasa Anda menjadi semacam pantun yang melambai seperti pucuk-pucuk para, atau jika pun Anda seorang Aceh yang gemar bercerita, bahasa Anda sedikit banyak nantinya dalam menulis puisi akan tampil ketegasan, kesopanan dan sedikit intonasi meninggi yang menyerupai dialektika orang Batak, Padang bahkan Bali.
Rumah puisi yang kita ibaratkan tadi semacam lemari kaca buat meletakkan pakaian-pakaian bahasa tersebut, harus berhasil menunjukkan kemauannya untuk menyesuaikan mode/desain dan tuntutan atmosfer baru dalam kancah seni bersastra puisi. Kita tak mungkin menggunakan pakaian bahasa seorang Amir Hamzah yang sudah usang bukan? Namun bukan dengan demikian artinya kita tidak menghargai usaha seorang pujangga besar di dekade kesusastraan lama ini, sebab dengan demikian kita telah bekerja di luar batas-batas kedirian kita, orisionalitas bangunan dasar (foundament) kesusastraan kita. Perlu dengan dewasa mencermati, apa yang penyair-penyair besar itu tanam (termasuk seorang Chairil Anwar) dengan benih mutu yang baik pada akhirnya memunculkan batang tubuh kesusastraan Indonesia yang kekar dan tahan cuaca.
Namun adalagikah upaya kita selain memelihara apa yang sudah ada, yang sudah menjadi pakaian kesusastraan kita untuk selanjutnya berubah, berevolusi sesuai jamannya? Kebijaksanaan para kreator pakaian bahasa kita jangan sampailah melanggar etika ketimuran kita, lupa diri dan Salah Asuhan dalam modernitas yang justru menjadi Belenggu, sementara Layar Terkembang jangan lagi menjadikan bangsa sastra masuk jurang. Manifes ya Manifes , Lekra ya Lekra, tapi kini jaman Millenia, segala yang secuil dapat menjadi api, segala yang menggunung dapat menjadi cenung.
Manusia mencapai kodratnya sebagai makhluk bahasa dan menempati keindahan sebagai tanah untuk berpijak dan di sinilah ia melangkah dengan pakaian bahasa, bahasa sebagai fitnah jika tak dipakai semestinya, bahasa yang membunuh jika ia menjadi harimau bagi dirinya, tentu saja kebutuhan pakaian baru selalu ada, rasa ketidakpuasan menjadi hukum alam dunia manusia, apa yang sudah lewat tidak semuanya perlu diubah dan apa yang di hadapan justru membutuhkan esensi dari pencapaian kodrat manusia demi kemaslahatan dunia seni sastra secara umum dan keberlangsungan berkarya para penyair itu. Sebetulnya tidak semua sastra yang membawakan suara jamannya pasti sastra yang baik, seperti pendapat Budi Darma (dalam buku Sejumlah Esei Sastra, cetakan 1, 1984:15). Sebab, kalau sastra yang membawakan suara jamannya adalah sastra yang baik, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Setiap jaman memang membawakan mode tersendiri. Dan seseorang yang latah adalah hasil jamannya dan sekaligus membawakan suara jamannya.
Jaman pembredelan sudah lewat maka di depan kita akan melihat sebuah jaman di saat buku menumpuk tanpa pembaca, nilai dinamis menjadi raja, kebermaknaan menjadi harga dan kesetiaan kepada pakaian bahasa menemukan tantangan besar. Marilah kita hadapi bersama sebuah masa transisi di antara kendaraan seni sastra yang makin berlintasan, kawan dan lawan harus tetap sejalan jangan bugil jangan malas bercermin seperti apa sudah pakaian bahasa kita? Selamat berjuang.
Langsa-Indonesia, 14 Juni 2011.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 14 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar