Selasa, 21 Juni 2011

MENGGUGAT AKSARA

Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/

Salah satu fungsi kritik sastra adalah sebagai bahan tulisan yang memberikan sumbangan pendapat, yang memberikan petunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan yang tidak baik, yang asli dan yang tidak asli. Untuk selanjutnya bahan tulisan itu dapat dijadikan pertimbangan bagi pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya.

Berkenaan dengan digelarnya diskusi online komunitas ini dengan tema “Menggugat Aksara Dua Puisi : SK Tuhan dan Surat Kepada Bintang II” maka kali ini kebetulan Muhammad Rain (selanjutnya dapat disebut Muhrain) mendapat kesempatan mengajukan gugatan sebagaimana keinginan grup ini. Adapun gugatan aksara yang disampaikan di sini dipakai juga untuk bahan diskusi, sehingga sifatnya dapatlah dianggap gerbang pembuka bagi para sahabat lain untuk menguji dan bahkan membantah serta menawarkan solusi lain terhadap gugatan yang disampaikan.

Kita mulai dengan membedah puisi Tosa Putra berikut ini:

SK TUHAN (Perjanjian Alam)

Matahari, bumi, pohon, bulan, bintang dan rangkaian galaksi dicipta dengan perjanjian mengisi alam yang ditulis dalam kitap perundangan

mengingat: rotasi
menimbang: evolusi
memutuskan:

Pasal 1

1. Bulan adalah satelit bumi, menjadi cermin matahari, memantulkan cahaya-Nya, menerang bumi pada malam meski kadang terhalang awan.
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan. Bulan pun tak tercatat dalam sejarah ketika bumi diam tak berkisah.
3. Di langit gemerlap, bulan dan bintang bersanding sedang bumi sendiri menahan pedih.
4. Di langit terang, bumi mutlak hak matahari, sedang bulan-bintang mesti sembunyi di laci ; tercundi dalam kitab suci milik para sufi.
5. Bumi sabar menanti bulan menerang malam, sedang di langit bulan memilih bercengkrama dengan bintang, bermainan ayunan (menggantuk di atap bumi) dan Cuma cahaya-Nya yang menyapa.

Pasal 2

1. Akar tunggang kokoh mencengram hati agar tak roboh
2. Akar serabut menyedot sari bumi, disalurkan via selang kata bernama cambium makna sampai pada daun kehidupan.
3. Di bawah matahari, klorofil berfotosintesa agar dapat tumbuh-kembang ranting, dahan dan duan rindang untuk menebar keteduhan, kesejukan dan keindahan sampai berakhir di mata gergaji, menjadi laci menelan bulan-bintang dalam kitab suci.

Surat keputusan ini dibuat untuk dijadikan pengajaran makna kesetiaan, kebersamaan dan pengorbanan. Keputusan ini berlaku sejak alam dimuntahkan dari rahim tuhan. Terkait perubahan dan hal yang belum tercantum dalam surat keputusan ini diatur dalam kitab suci.

Lembah hati, awal kehidupan
Atas nama cinta
Tertanda
Sang pencipta.

Trenggalek 12-13 Juni 2011.

Kesan perdana akan serta merta muncul dari sisi visual bentuk sajak di atas, kita kenal dengan istilah tipografi, sebagaimana sikap konvensionalnya pembaca sastra secara umum, maka kelihatan bentuk sajak karya Tosa Putra di atas sangat menyimpang dari kebiasaannya. Sebentar dulu, ini masih kecurigaan kita sebab kita telah biasa disuguhi pola bentuk sajak yang berbait, berbentuk rangkaian larik-larik yang konon dibaca satu nafas, mendapat pemberhentian (jeda) pembacaan secara wajar. Namun sajak di atas sama sekali jauh memengang kendalinya untuk bisa disebut sajak konvensional.

Baiklah, maka selanjutnya berdasarkan fakta visual tekstual tersebut, kita tak dapat mengklasifikasikan puisi ini sebagai puisi umum, konvensional atau biasa yang di dalam sastra tergolong puisi baru. Namun puisi Tosa dapat kita golongkan sebagai puisi kontemporer, yang berusaha merubah unsur-unsur isi dan bentuk untuk tampil berbeda dari karya sajak umum. Bila dibandingkan dengan karya Ayano berikut tampak sekali secara kontras perbedaan puisi secara bentuk sepintas (visual).

SURAT KEPADA BINTANG II
Karya: Ayano Rosie

Malam menjenguk bulan
Melerai bumi dipijakan
Merayu bintang tuk berkedip
: senyap mengusung meteor

Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

Kepada bumi bulan bercahaya
Kisah bintang tak berpola
Larut terik disejuk bumi
: menangis

Ini kisah bintang
Di bulan ranum memendam
Langit jingga di lengkung bumi
: layu lebur.

Berdasarkan dua bentuk yang berbeda dari dua puisi ini, maka tak dapat kita gunakan tangan yang sama dalam menyisih-nyisihkan bentuk itu. Muhrain mengganggap bahwa sajak/puisi Tosa dapat kita dekati sebagai bentuk puisi kontemporer, yang membutuhkan minat kreatifitas untuk menolak sisi bentuk umum puisi konvensional dari karya puisi Ayano.

Pola berbentuk undang-undang, peraturan yang berpasal pula dan berikut berisi penyataan menjadi sesuatu yang mengikat bahwa sajak Tosa bertujuan untuk menggunakan nilai bentuk (bentuk SK) sebagai gaya tarik utama puisinya. Berhasilkah?

Berbicara bentuk (nilai visual) maka karya Tosa jelas kalah saing dengan karya Ayano, alasannya gampang sekali, sebab untuk memunculkan kesan indah, sastra berupa karya indah (su-sastra) kumpulan karya (tulisan) yang indah, nah dengan demikian nilai keindahan lebih dimiliki oleh karya Ayano, berdasarkan pandangan formalitas kaum sastra kita, indah pada pandangan seorang Muhrain tentu kebanyakan sifatnya, indah secara bentuk karena sajak sangat membutuhkan dukungan dari sisi bentuk, yang selanjutnya didukung oleh kekuatan isi.

Berikutnya kita mengkaji nilai keberaksaran kedua karya puisi ini. Perhatikan bagaimana Tosa dalam puisinya menggunakan seluruh nilai bahasa sastra demi meninggikan nilai hasil karya ciptanya. Kelihatan secara nyata karena ia berkehendak menciptakan suatu bentuk surat keputusan, lalu dari sanalah kesan diksi bertujuan menunjukkan surat-surat (kiriman pesan lewat karya tulis) yang merujuk kepada suatu keputusan mulai menggerayangi dunia kreasi Tosa, maka ia mulai memilih kata beraroma tegas, menunjukkan, menyatakan: “Mengingat, Menimbang, Memutuskan” dst.

Bandingkan dengan Ayano dalam menunjukkan minat awal penciptaan karya puisinya. Awalnya kedua sahabat kita ini sudah menyepakati untuk menulis puisi yang punya kaitan dengan tiga kata:

Tiga kata itu yakni bumi, bulan dan bintang. Nah meski ini bukan lomba lalu pilihan-pilihan keduanya memiliki tujuan untuk mengangkat tema yang disepakati kedua Sahabat kita ini. Ayano menulis surat juga rupanya, tapi bukan surat keputusan, apalagi keputusan dari Tuhan (ala Tosa). Surat Ayano bukan kepada kekasihnya atau siapapun yang sejenis makhluk hidup, tapi ia menulis suratnya untuk bintang. Siapakah bintang? maka mulailah Ayano menulis bahasa planet, bahasa semesta, meskipun masih bisa dimengerti oleh manusia, ia memakai kata-katanya sebagai penyampaian berita tentang sikap-sikap antara penghuni semesta, sikab bumi, sikap bulan bahkan sikap sang bintang sendiri yang konon Ayano sedang menulis suratnya untuk sang bintang itu sendiri. Aneh khan? seorang Ayano menulis surat yang menceritakan kisah si bintang, bintang yang bakal menerima suratnya.

Surat Ayano menjadi muskil alias mustahil oleh adanya larik ini, perhatikan:

*Merayu bintang tuk berkedip
*Kepada bintang, bulan tersenyum
*Kisah bintang tak berpola

Tiga larik inilah yang menyumpalkan ketidaklogisan seorang penulis surat kepada bintang ini, Ayano. Logika bahasa seterusnya bekerja dalam menyingkap perjalanan suatu bentuk teks bahasa. Teks bahasa tak mati sebagai teks, ia hidup dalam ruang berbahasa yang multi indra, ia dibaca oleh mata, dilafal oleh mulut, dipahami oleh kemampuan otak dalam mengartikan bahasa, juga seolah diperdengarkan kepada kuping saat kita menjalani proses pembacaan.

Selanjutnya kita akan seterusnya menyikapi nalar-logika kata-kata, kelompok kata bahkan kalimat yang begitu ramai pada bentuk puisi Tosa, dan permainan kata yang tertera pada karya Ayano. Sebab bahasa sastra bukan bahasa planet yang antilogika, bukan bahasa orang yang ngelantur dan cap-cus.

Sapardi Djoko Damono (1975-76 : 299) pernah menyampaikan kira-kira begini bunyinya: (saya penggal untuk menohok tajam)…

Kritik yang baik adalah semacam kesan-kesan pribadi yang memberi isyarat kepada pembaca lain untuk bangkit menemukan pembahasan yang disampaikan penulis kritik itu…, Kritik tidak berpura-pura untuk mencampuri percakapan yang mungkin terjadi antara sebuah sajak dengan pembacanya. Ia pun tidak menghias sebuah sajak agar nampak lebih menyenangkan, juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu, kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk memperhatikan kembali karya yang “hilang” karena tersapu debu waktu.

Masih menurut Sapardi DD., bagi penyair , kritik yang baik dapat membukakan kesadarannya akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada sajaknya, yang mungkin sekali belum pernah ia ketahui sebelumnya. Barangkali ia bisa mengembangkan lebih jauh beberapa kemungkinan yang diharapkan dapat menaikkan nilai tulisan yang ia hasilkan nanti.

Pantas juga diingat bahwa kritik sastra yang kita baca tidak semata-mata karena isinya, melainkan karena gayanya. Terlepas dari apa yang dibicarakan, maka kritik yang baik tetap enak dibaca.


Tadi kita telah melihat, mendiskusikan, bahkan sudah ada beberapa kawan yang selesai sampai pada kesimpulannya, kali ini biarlah giliran saya menyelesaikan tulisan saya.

Ayano benar telah menyusun kalimat-kalimat, larik, bait dari aksara indah, namun keindahan nanti dulu kita katakan sebagai indah yang maksimal, mari kita cermati keindahan diksi yang berhasil atau tidak berhasil ditumpuk Ayano dalam puisinya:

Atas bumi langit memeluk

: memeluk apa?
Larik yang ini menjadi gantung, antara kita menyebutnya indah atau malah tidak indah. Bandingkan jika misalnya urutan kata kita rombak, dengan bertujuan meraih indah yang lebih kuat, meskipun tidak satu katapun dari larik ini yang dirubah atau diganti. Tanpa merusak kesinambungan makna tentunya dengan larik sebelumnya atau larik sesudahnya.

Atas bumi langit memeluk

kita rombak sembarang saja tanpa bermaksud mengobok-ngobok acak tanpa tujuan:

langit memeluk atas bumi

(awalnya..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

(perubahan..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
langit memeluk atas bumi
beriak di tusukan hari

Persoalan logika bahasa yang saya sampaikan di tulisan awal tadi bahwa Ayano melakukan ketidaktelitian dalam menulis lariknya, baik secara susunan bahasanya apalagi pemaknaannya secara benar.

Manakah yang memeluk di sini? Apakah bumi yang memeluk langit atau langit yang memeluk bumi?

Jawaban logis tentunya langitlah yang memeluk bumi, bukan sebaliknya, bumi lebih kecil di banding langit terutama dari sisi luasnya. Jadi tak bisa bila bumi ternyata malah ingin memeluk langit, ia malah diselimuti oleh langit (dipeluk) keseluruhan bidangnya oleh langit.

Dalam konsep imajinasi, orang tentu ada yang bisa terbang dengan mengandalkan selendang (seperti kisah Jaka Tarup yang menyembunyikan selendang salah satu peri), ada yang terbang bahkan dengan angin dan banyak lagi, itu kita kenal sebagai logika sastra, yakni logika yang hanya akan ada nyata dikawasan sastra. Benar memang sastra itu bebas, tapi bukan bebas mabuk kehilangan nilai rasa logikanya, kehilangan ketentraman jiwanya, mengapa kita sebut ketentraman jiwa? karena ketika kerja bersastra, menulis puisi, merangkai kekuatan bahasa sastra, bahasa indah namun kerja ini malah mengaburkan tuntutan kelogisan bahkan serendah-rendahnya tuntutan berbuat logis itu, maka kita para pesastra sedang mabuk diluar kesadaran, ngoceh dan sayang sekali wahai saudaraku sekalian, ketika kita mulai ngoceh dalam bersastra maka nilai indah menjadi semakin abstrak tak tepahami, seperti kita memandang coretan cakar ayam siswa PAUD, indah mungkin baginya, namun hanya dia sendiri yang mengatakan itu indah, asyik baginya ya, karena dengan asyik dirinya sendiri dalam membela keasyikan dirinya.

Kali ini kita berhadapan dengan pasal-pasal dari Tosa Poetra , dalam puisinya yang telah dengan yakin ia mencap konsep menyusun surat keputusan (SK), maka lalu meskipun itu sk-sk-an ala manusia murni sastra, saya ingin sekali sebenarnya membaca ketegasan Tosa secara berimbang dalam mencap puisinya ini bernafas Surat Keputusan. Pasal-pasal yang dibuka dengan tiga barisan sakti ini:

mengingat : rotasi
menimbang : evolusi
memutuskan :

Di sinilah titik kulminasi, titik pagut pembacaan karya Tosa dimulai, ia menyatakan “mengingat” untuk memberi petunjuk refleksi, “menimbang” untuk menunjukkan nilai kebijaksanaan (saya kira bijaksananya Tuhan), dan lalu Tosa memakai kata terakhirnya dalam tiga rangkai yang sudah mentradisi ini pada banyak jenis SK kaum manusia, ia menyatakan “memutuskan”?

Saudara yang membaca sudah bisa memilah banyak isi pasal, dan yang mana dari yang banyak ini yang berupa keputusan, mari saya hidangkan:

(sepintas yang bisa digolongkan keputusan):

Pasal 1:

1. “Bulan adalah satelit bumi”
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan.
kata “pada” harusnya diganti dengan kata “saat”, guna memperjernih pernyataan.
4. ” …bumi mutlak hak matahari”

sedangkan
nomor 3 dan 5 sama sekali tak berbau keputusan. Silahkan kita cermati lebih jauh.

Pasal 2, semua bagiannya telah tergolong jenis keputusan, karena Sahabat kita Tosa memang telah menelitinya dengan yakin menggunakan korelasi ilmu biologi. Jadi tidak kita temukan hal yang melenceng dari kehendaknya dalam mengkreasikan suatu keputusan.

Penutup dalam mencermati dua puisi (sajak) Saudara kita ini, Ayano dan Tosa, saya menyimpulkan bahwa kita perlu menilai dengan benar kenyataan-kenyataan karya sastra yang hendak dimunculkan terutama ke publik, sehingga penalaran bahasa secara sederhanapun dapat memperoleh keyakinannya. Gugatan aksara yang muncul di sini tak lain sebagai sebuah kehendak bersama dalam mempertinggi kreatifitas dan produktifitas berkarya para pelaku sastra puisi.

Bagian-bagian yang tersampaikan di sini murni mencari titik penggugatan versi Apresiator Utama, dengan maksud menemukan jalan yang telah terhambat dalam kedua karya tersebut, menawarkan refleksi kajian kepenulisan puisi, dan turut sertanya kita seluruh pembaca dalam memberikan dorongan demi temuan-temuan jalan baru selanjutnya bagi saya sendiri selaku penyaji, sebab sayapun sedang tahap belajar, kepada Ayano dan Tosa, juga kepada segala pihak yang berkenan mendapatkan petikan-petikan istimewa grup ini.

Dengan kerendahan hati dan segenap cinta sastra, selamat bersastra saya ucapkan kepada pembaca umum, terima kasih atas kesempatan mengisi laman ini, jumpa kata lagi di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam Bis’shawaf.
Catatan:
1. SK tuhan, Karya Tosa Putra dari Trenggalek
2. Surat Kepada Bintang II, Karya Ayano Rosie dari Makasar
Sumber: GRUP (KOMUNITAS) SASTRA: KEBUN SASTRA

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar