Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/
Salah satu fungsi kritik sastra adalah sebagai bahan tulisan yang memberikan sumbangan pendapat, yang memberikan petunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan yang tidak baik, yang asli dan yang tidak asli. Untuk selanjutnya bahan tulisan itu dapat dijadikan pertimbangan bagi pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya.
Berkenaan dengan digelarnya diskusi online komunitas ini dengan tema “Menggugat Aksara Dua Puisi : SK Tuhan dan Surat Kepada Bintang II” maka kali ini kebetulan Muhammad Rain (selanjutnya dapat disebut Muhrain) mendapat kesempatan mengajukan gugatan sebagaimana keinginan grup ini. Adapun gugatan aksara yang disampaikan di sini dipakai juga untuk bahan diskusi, sehingga sifatnya dapatlah dianggap gerbang pembuka bagi para sahabat lain untuk menguji dan bahkan membantah serta menawarkan solusi lain terhadap gugatan yang disampaikan.
Kita mulai dengan membedah puisi Tosa Putra berikut ini:
SK TUHAN (Perjanjian Alam)
Matahari, bumi, pohon, bulan, bintang dan rangkaian galaksi dicipta dengan perjanjian mengisi alam yang ditulis dalam kitap perundangan
mengingat: rotasi
menimbang: evolusi
memutuskan:
Pasal 1
1. Bulan adalah satelit bumi, menjadi cermin matahari, memantulkan cahaya-Nya, menerang bumi pada malam meski kadang terhalang awan.
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan. Bulan pun tak tercatat dalam sejarah ketika bumi diam tak berkisah.
3. Di langit gemerlap, bulan dan bintang bersanding sedang bumi sendiri menahan pedih.
4. Di langit terang, bumi mutlak hak matahari, sedang bulan-bintang mesti sembunyi di laci ; tercundi dalam kitab suci milik para sufi.
5. Bumi sabar menanti bulan menerang malam, sedang di langit bulan memilih bercengkrama dengan bintang, bermainan ayunan (menggantuk di atap bumi) dan Cuma cahaya-Nya yang menyapa.
Pasal 2
1. Akar tunggang kokoh mencengram hati agar tak roboh
2. Akar serabut menyedot sari bumi, disalurkan via selang kata bernama cambium makna sampai pada daun kehidupan.
3. Di bawah matahari, klorofil berfotosintesa agar dapat tumbuh-kembang ranting, dahan dan duan rindang untuk menebar keteduhan, kesejukan dan keindahan sampai berakhir di mata gergaji, menjadi laci menelan bulan-bintang dalam kitab suci.
Surat keputusan ini dibuat untuk dijadikan pengajaran makna kesetiaan, kebersamaan dan pengorbanan. Keputusan ini berlaku sejak alam dimuntahkan dari rahim tuhan. Terkait perubahan dan hal yang belum tercantum dalam surat keputusan ini diatur dalam kitab suci.
Lembah hati, awal kehidupan
Atas nama cinta
Tertanda
Sang pencipta.
Trenggalek 12-13 Juni 2011.
Kesan perdana akan serta merta muncul dari sisi visual bentuk sajak di atas, kita kenal dengan istilah tipografi, sebagaimana sikap konvensionalnya pembaca sastra secara umum, maka kelihatan bentuk sajak karya Tosa Putra di atas sangat menyimpang dari kebiasaannya. Sebentar dulu, ini masih kecurigaan kita sebab kita telah biasa disuguhi pola bentuk sajak yang berbait, berbentuk rangkaian larik-larik yang konon dibaca satu nafas, mendapat pemberhentian (jeda) pembacaan secara wajar. Namun sajak di atas sama sekali jauh memengang kendalinya untuk bisa disebut sajak konvensional.
Baiklah, maka selanjutnya berdasarkan fakta visual tekstual tersebut, kita tak dapat mengklasifikasikan puisi ini sebagai puisi umum, konvensional atau biasa yang di dalam sastra tergolong puisi baru. Namun puisi Tosa dapat kita golongkan sebagai puisi kontemporer, yang berusaha merubah unsur-unsur isi dan bentuk untuk tampil berbeda dari karya sajak umum. Bila dibandingkan dengan karya Ayano berikut tampak sekali secara kontras perbedaan puisi secara bentuk sepintas (visual).
SURAT KEPADA BINTANG II
Karya: Ayano Rosie
Malam menjenguk bulan
Melerai bumi dipijakan
Merayu bintang tuk berkedip
: senyap mengusung meteor
Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari
Kepada bumi bulan bercahaya
Kisah bintang tak berpola
Larut terik disejuk bumi
: menangis
Ini kisah bintang
Di bulan ranum memendam
Langit jingga di lengkung bumi
: layu lebur.
Berdasarkan dua bentuk yang berbeda dari dua puisi ini, maka tak dapat kita gunakan tangan yang sama dalam menyisih-nyisihkan bentuk itu. Muhrain mengganggap bahwa sajak/puisi Tosa dapat kita dekati sebagai bentuk puisi kontemporer, yang membutuhkan minat kreatifitas untuk menolak sisi bentuk umum puisi konvensional dari karya puisi Ayano.
Pola berbentuk undang-undang, peraturan yang berpasal pula dan berikut berisi penyataan menjadi sesuatu yang mengikat bahwa sajak Tosa bertujuan untuk menggunakan nilai bentuk (bentuk SK) sebagai gaya tarik utama puisinya. Berhasilkah?
Berbicara bentuk (nilai visual) maka karya Tosa jelas kalah saing dengan karya Ayano, alasannya gampang sekali, sebab untuk memunculkan kesan indah, sastra berupa karya indah (su-sastra) kumpulan karya (tulisan) yang indah, nah dengan demikian nilai keindahan lebih dimiliki oleh karya Ayano, berdasarkan pandangan formalitas kaum sastra kita, indah pada pandangan seorang Muhrain tentu kebanyakan sifatnya, indah secara bentuk karena sajak sangat membutuhkan dukungan dari sisi bentuk, yang selanjutnya didukung oleh kekuatan isi.
Berikutnya kita mengkaji nilai keberaksaran kedua karya puisi ini. Perhatikan bagaimana Tosa dalam puisinya menggunakan seluruh nilai bahasa sastra demi meninggikan nilai hasil karya ciptanya. Kelihatan secara nyata karena ia berkehendak menciptakan suatu bentuk surat keputusan, lalu dari sanalah kesan diksi bertujuan menunjukkan surat-surat (kiriman pesan lewat karya tulis) yang merujuk kepada suatu keputusan mulai menggerayangi dunia kreasi Tosa, maka ia mulai memilih kata beraroma tegas, menunjukkan, menyatakan: “Mengingat, Menimbang, Memutuskan” dst.
Bandingkan dengan Ayano dalam menunjukkan minat awal penciptaan karya puisinya. Awalnya kedua sahabat kita ini sudah menyepakati untuk menulis puisi yang punya kaitan dengan tiga kata:
Tiga kata itu yakni bumi, bulan dan bintang. Nah meski ini bukan lomba lalu pilihan-pilihan keduanya memiliki tujuan untuk mengangkat tema yang disepakati kedua Sahabat kita ini. Ayano menulis surat juga rupanya, tapi bukan surat keputusan, apalagi keputusan dari Tuhan (ala Tosa). Surat Ayano bukan kepada kekasihnya atau siapapun yang sejenis makhluk hidup, tapi ia menulis suratnya untuk bintang. Siapakah bintang? maka mulailah Ayano menulis bahasa planet, bahasa semesta, meskipun masih bisa dimengerti oleh manusia, ia memakai kata-katanya sebagai penyampaian berita tentang sikap-sikap antara penghuni semesta, sikab bumi, sikap bulan bahkan sikap sang bintang sendiri yang konon Ayano sedang menulis suratnya untuk sang bintang itu sendiri. Aneh khan? seorang Ayano menulis surat yang menceritakan kisah si bintang, bintang yang bakal menerima suratnya.
Surat Ayano menjadi muskil alias mustahil oleh adanya larik ini, perhatikan:
*Merayu bintang tuk berkedip
*Kepada bintang, bulan tersenyum
*Kisah bintang tak berpola
Tiga larik inilah yang menyumpalkan ketidaklogisan seorang penulis surat kepada bintang ini, Ayano. Logika bahasa seterusnya bekerja dalam menyingkap perjalanan suatu bentuk teks bahasa. Teks bahasa tak mati sebagai teks, ia hidup dalam ruang berbahasa yang multi indra, ia dibaca oleh mata, dilafal oleh mulut, dipahami oleh kemampuan otak dalam mengartikan bahasa, juga seolah diperdengarkan kepada kuping saat kita menjalani proses pembacaan.
Selanjutnya kita akan seterusnya menyikapi nalar-logika kata-kata, kelompok kata bahkan kalimat yang begitu ramai pada bentuk puisi Tosa, dan permainan kata yang tertera pada karya Ayano. Sebab bahasa sastra bukan bahasa planet yang antilogika, bukan bahasa orang yang ngelantur dan cap-cus.
Sapardi Djoko Damono (1975-76 : 299) pernah menyampaikan kira-kira begini bunyinya: (saya penggal untuk menohok tajam)…
Kritik yang baik adalah semacam kesan-kesan pribadi yang memberi isyarat kepada pembaca lain untuk bangkit menemukan pembahasan yang disampaikan penulis kritik itu…, Kritik tidak berpura-pura untuk mencampuri percakapan yang mungkin terjadi antara sebuah sajak dengan pembacanya. Ia pun tidak menghias sebuah sajak agar nampak lebih menyenangkan, juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu, kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk memperhatikan kembali karya yang “hilang” karena tersapu debu waktu.
Masih menurut Sapardi DD., bagi penyair , kritik yang baik dapat membukakan kesadarannya akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada sajaknya, yang mungkin sekali belum pernah ia ketahui sebelumnya. Barangkali ia bisa mengembangkan lebih jauh beberapa kemungkinan yang diharapkan dapat menaikkan nilai tulisan yang ia hasilkan nanti.
Pantas juga diingat bahwa kritik sastra yang kita baca tidak semata-mata karena isinya, melainkan karena gayanya. Terlepas dari apa yang dibicarakan, maka kritik yang baik tetap enak dibaca.
…
Tadi kita telah melihat, mendiskusikan, bahkan sudah ada beberapa kawan yang selesai sampai pada kesimpulannya, kali ini biarlah giliran saya menyelesaikan tulisan saya.
Ayano benar telah menyusun kalimat-kalimat, larik, bait dari aksara indah, namun keindahan nanti dulu kita katakan sebagai indah yang maksimal, mari kita cermati keindahan diksi yang berhasil atau tidak berhasil ditumpuk Ayano dalam puisinya:
Atas bumi langit memeluk
: memeluk apa?
Larik yang ini menjadi gantung, antara kita menyebutnya indah atau malah tidak indah. Bandingkan jika misalnya urutan kata kita rombak, dengan bertujuan meraih indah yang lebih kuat, meskipun tidak satu katapun dari larik ini yang dirubah atau diganti. Tanpa merusak kesinambungan makna tentunya dengan larik sebelumnya atau larik sesudahnya.
Atas bumi langit memeluk
kita rombak sembarang saja tanpa bermaksud mengobok-ngobok acak tanpa tujuan:
langit memeluk atas bumi
(awalnya..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari
(perubahan..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
langit memeluk atas bumi
beriak di tusukan hari
Persoalan logika bahasa yang saya sampaikan di tulisan awal tadi bahwa Ayano melakukan ketidaktelitian dalam menulis lariknya, baik secara susunan bahasanya apalagi pemaknaannya secara benar.
Manakah yang memeluk di sini? Apakah bumi yang memeluk langit atau langit yang memeluk bumi?
Jawaban logis tentunya langitlah yang memeluk bumi, bukan sebaliknya, bumi lebih kecil di banding langit terutama dari sisi luasnya. Jadi tak bisa bila bumi ternyata malah ingin memeluk langit, ia malah diselimuti oleh langit (dipeluk) keseluruhan bidangnya oleh langit.
Dalam konsep imajinasi, orang tentu ada yang bisa terbang dengan mengandalkan selendang (seperti kisah Jaka Tarup yang menyembunyikan selendang salah satu peri), ada yang terbang bahkan dengan angin dan banyak lagi, itu kita kenal sebagai logika sastra, yakni logika yang hanya akan ada nyata dikawasan sastra. Benar memang sastra itu bebas, tapi bukan bebas mabuk kehilangan nilai rasa logikanya, kehilangan ketentraman jiwanya, mengapa kita sebut ketentraman jiwa? karena ketika kerja bersastra, menulis puisi, merangkai kekuatan bahasa sastra, bahasa indah namun kerja ini malah mengaburkan tuntutan kelogisan bahkan serendah-rendahnya tuntutan berbuat logis itu, maka kita para pesastra sedang mabuk diluar kesadaran, ngoceh dan sayang sekali wahai saudaraku sekalian, ketika kita mulai ngoceh dalam bersastra maka nilai indah menjadi semakin abstrak tak tepahami, seperti kita memandang coretan cakar ayam siswa PAUD, indah mungkin baginya, namun hanya dia sendiri yang mengatakan itu indah, asyik baginya ya, karena dengan asyik dirinya sendiri dalam membela keasyikan dirinya.
Kali ini kita berhadapan dengan pasal-pasal dari Tosa Poetra , dalam puisinya yang telah dengan yakin ia mencap konsep menyusun surat keputusan (SK), maka lalu meskipun itu sk-sk-an ala manusia murni sastra, saya ingin sekali sebenarnya membaca ketegasan Tosa secara berimbang dalam mencap puisinya ini bernafas Surat Keputusan. Pasal-pasal yang dibuka dengan tiga barisan sakti ini:
mengingat : rotasi
menimbang : evolusi
memutuskan :
Di sinilah titik kulminasi, titik pagut pembacaan karya Tosa dimulai, ia menyatakan “mengingat” untuk memberi petunjuk refleksi, “menimbang” untuk menunjukkan nilai kebijaksanaan (saya kira bijaksananya Tuhan), dan lalu Tosa memakai kata terakhirnya dalam tiga rangkai yang sudah mentradisi ini pada banyak jenis SK kaum manusia, ia menyatakan “memutuskan”?
Saudara yang membaca sudah bisa memilah banyak isi pasal, dan yang mana dari yang banyak ini yang berupa keputusan, mari saya hidangkan:
(sepintas yang bisa digolongkan keputusan):
Pasal 1:
1. “Bulan adalah satelit bumi”
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan.
kata “pada” harusnya diganti dengan kata “saat”, guna memperjernih pernyataan.
4. ” …bumi mutlak hak matahari”
sedangkan
nomor 3 dan 5 sama sekali tak berbau keputusan. Silahkan kita cermati lebih jauh.
Pasal 2, semua bagiannya telah tergolong jenis keputusan, karena Sahabat kita Tosa memang telah menelitinya dengan yakin menggunakan korelasi ilmu biologi. Jadi tidak kita temukan hal yang melenceng dari kehendaknya dalam mengkreasikan suatu keputusan.
Penutup dalam mencermati dua puisi (sajak) Saudara kita ini, Ayano dan Tosa, saya menyimpulkan bahwa kita perlu menilai dengan benar kenyataan-kenyataan karya sastra yang hendak dimunculkan terutama ke publik, sehingga penalaran bahasa secara sederhanapun dapat memperoleh keyakinannya. Gugatan aksara yang muncul di sini tak lain sebagai sebuah kehendak bersama dalam mempertinggi kreatifitas dan produktifitas berkarya para pelaku sastra puisi.
Bagian-bagian yang tersampaikan di sini murni mencari titik penggugatan versi Apresiator Utama, dengan maksud menemukan jalan yang telah terhambat dalam kedua karya tersebut, menawarkan refleksi kajian kepenulisan puisi, dan turut sertanya kita seluruh pembaca dalam memberikan dorongan demi temuan-temuan jalan baru selanjutnya bagi saya sendiri selaku penyaji, sebab sayapun sedang tahap belajar, kepada Ayano dan Tosa, juga kepada segala pihak yang berkenan mendapatkan petikan-petikan istimewa grup ini.
Dengan kerendahan hati dan segenap cinta sastra, selamat bersastra saya ucapkan kepada pembaca umum, terima kasih atas kesempatan mengisi laman ini, jumpa kata lagi di masa yang akan datang.
Wallahu a’lam Bis’shawaf.
Catatan:
1. SK tuhan, Karya Tosa Putra dari Trenggalek
2. Surat Kepada Bintang II, Karya Ayano Rosie dari Makasar
Sumber: GRUP (KOMUNITAS) SASTRA: KEBUN SASTRA
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 21 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar