Rabu, 04 Oktober 2017

Puisi-puisi Penyair Nizar Qabbani melalui Usman Arrumy, Dea Anugrah, Fazabinal Alim

Persoalan terjemahan buah karya puisi berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia
Nurel Javissyarqi *

Bismillahir Rahmanir Rahim… Sebelum merantak (merambat, menjalarnya sejenis api membakar daun-daun kering) nun jauh. Perkenalkan saya sekadar pengelana yang tak tahu menahu bahasa teks lain ‘kecuali’ bahasa Indonesia, yang ini pun masih terus mengalami perkembangannya, jadi apapun karya-karya terjemahan yang saya kunyah, makan (baca), otomatis tak paham secara persis kebenarannya, hanya meraba (ngincipi, kadang terlanjur lahap) sekaligus berjarak di sisi bercuriga,
maka dapat dipastikan (kerap mengalami keracunan), tapi tak sampai maut menjelang. Lantaran saya lebih menempuh (mementingkan) sarapan, gorengan tempe (eling), ditambah wedang kopi (waspodo), disertai penghisap rokok kretek (Luwih begja kang eling lan waspodo, R.Ng. Ronggowarsito), kemudian berjalan melewati gapura (membuka lelembaran buku) di bawah pepohonan sawo besar (hasil-hasil terjemahan), lalu memasuki kamar dan mengunci pintu jendela rapat-rapat (membaca dengan tenang, -teringat di Tegalsari). Jalan-jalan ini menyadarkan saya juga, agar semakin mawas tidak salah minum dan makan di siang harinya, yang bisa berimbas perut mual-mual kebanyakan tertawa atau pusing tujuh keliling alun-alun Jogjakarta.

Kemunculan nama Usman, dapat dikata saya sedikit bertanggung jawab (jikalau sok merasa) juga tidak, sebab diri ini sudah pernah membo-membo (berpura-pura) jadi iblis di hadapannya; sewaktu ia menghimpun para gus dan ning dalam sebuah antologi puisi yang berjudul “Jadzab, Sekumpulan sajak pesantren” yang saya bedah lewat makalah bertitel “Membo-membo Jadi Iblis di Kediri” http://sastra-indonesia.com/.../membo-membo-jadi-iblis.../ yang merupakan bentuk mengeman (menyayangkan) jikalau kehadiran mereka pada masa-masa berikutnya masih kurang bisa ngeker (menahan kesabaran sekuat bertabah), sedangkan bibit-bobotnya betapa indah. Pilihan ‘menjelma’ iblis merupakan wujud teguran keras bagi yang mawas, bukan semata abang-abang lambe atau pemanis buatan. Namun kehidupan memanglah pelajaran, olehnya saya senantiasa berlaku ‘belajar sambil menghajar’ kepada diri pribadi, serta yang bersikap sewenang-wenang di atas kekuasaannya dari ilmu pengetahuan, dsb.

Ketika membaca esainya Dea Anugrah (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan” 11 Juni 2017), lalu kupasannya Fazabinal Alim (“Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” 28 September 2017). Seyogyanya Usman Arrumy… ;Penerjemah Puisi-puisi Nizar Qobbani, dengan judul buku “Surat dari Bawah Air” 400 Halaman, Oktober 2016, Penerbit Perpustakaan Mutamakkin Press (penerbit yang membawakan nama besar KH. Ahmad Mutamakkin, Al-Fatihah), Endosemennya: KH. Husein Muhammad, Candra Malik, Acep Zamzam Noor, …berterima kasih matur nuwon kepada Alim, dikarena perihal itu sebatu pelajaran pula, meski dirinya sudah tenar tidak ketulungan. Dengan bermodalkan sebagai anak kiai (gus) serta keuangan cukup demi menimba keilmuan di Kairo, dan karya-karyanya terus mengalir sejiwa muda, tentulah gampang bergaul dengan para seniornya, Sujiwo Tejo, Sapardi Djoko Darmono &ll. Ke-mentereng-an tersebut dapatlah ditebak, sebab mempan (bisa dengan mudah) dibombong, dilulu (dieluh-eluhkan, dibesar-besarkan) oleh mereka yang membutuhkan para pengikut dari generasi lebih muda, namun fatalnya menjelma bencana, karena tiadanya kemampuan ngeker (ngerem), merenung, belajar ulang berulang-ulang demi menyadari posisi dirinya sekaligus mencurigai siapa pun meski kepada malaikat, umpamanya.

Saya yakin, jika Usman mengikuti saran petuah para seniornya, tentu tanggapannya (kupasannya) Alim akan dibiarkan mengapung seibarat bayi terlunta-lunta dalam peti, mengikuti aliran air sungai atau melawan arus yang takdirnya kemudian diketemukan orang lain lalu dirawatnya dalam istana, lantas masa-masa berikutnya menantang siapa saja yang menghalangi dirinya dalam pencarian kebenaran; siapakan kediriannya? Kalau itu yang terjadi (Usman diam seribu bahasa), tidak menariknya cepat-cepat menyelamatkan anak-anak karyanya, ada kemungkinan lain dimakan buaya atau sekarat sia-sia, sebab terus menunggu datangnya keajaiban, padahal segenap itu tepatnya karomah, tetaplah menjalani prosesi alami setindak ke-istikomah-an, dan Usman sudah hafal diluar kepala juga mengetahui tradisi para alim ulama tempo dulu yang berbantah-bantahan demi memperdalam pandangannya melalui sungai-sungai mengarus deras yang senantiasa ditatapnya menerus, dirasai seraga-batiniahnya.

Kayakinan kuat di atas tersebab saya sendiri tengah menghadapi kasus hampir sama, sebagaimana kesalahan-kesalahan fatal dibiarkan, oleh yang merasa sudah senior; mereka pada tutup mata-telinganya atau dianggap angin lalu saja kritikan tajam maupun pedas, lantaran bayu pastilah berlalu… tapi angin juga berkemampuan memusar mengangkut apa saja sekaligus dihempaskannya ke tanah atau mendorong kuat-kuat hingga sanggup mencerabut akar-akar pohon raksasa. Kasus yang saya hadapi adalah kekurangajaran pada pelucutan makna “Kun Fayakun” yang dirombaknya membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Pidato Anugerah Sastra DKR 2000 SCB, Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, 14 Maret 2006). Maka dengan berbungkam saja cukuplah menjadi kalangan senior, dan kritikan Fazabinal Alim semakin mengekalkan Usman menduduki barisan yang patut disegani, tanpa membaca kesalahan fatal pun mutilasi besar-besaran pada puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani, atau dapat pula diartikan rangkaian kalimat Dea bekerja meruang-waktu memitoskan Usman dan berhasil di atas kebungkaman penerjemah tersebut oleh karena terlena menikmati alam mitologi kesusastraan di Indonesia.

Dan bisa saja Dea Anugrah telah lama mengetahui beberapa kehilafan, keteledoran serta kenekatan Usman, tapi dikesampingkan semuanya demi naiknya generasi muda, kemudian rupa-rupanya perangai terjemahan tersebut diamini begitu rupa menjadi pembelajaran bersama, atau Dea sengaja mengangkat Usman setinggi-tingginya sambil menanti hukum bandul (yang diperkarakan Alim kemungkinan tidak akan muncul, jikalau Dea tidak menuliskan esai mengenai hasil-hasil terjemahannya Usman). Dan jika menengok judul esainya Dea atas kata “Terjemahannya” dan bukan dengan kata “Penerjemahnya” (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan”), yang berarti bukan menunjuk kepada penerjemahnya, namun lebih terhadap hasil kerja Usman, walaupun di dalam catatan Dea seolah menjempolinya. Jika dikutip lengkap “Terjemahannya yang Meragukan” masih menuju pada hasil terjemahan Usman. Makna lain judul tersebut, “terjemahannya yang meragukan Dea” atau Dea lebih mempercayai Usman dibandingkan hasil kerja terjemahannya, ataukah Dea salah ketik menuliskan judul? Hanyalah Dea yang tahu permainannya di sana. Tapi yang patut disayangkan, Usman tidak beranjak dari kursi empuknya, hanya mempercayakan kepada pembaca karya-karyanya, ini pula sejenis meremehkan pengkritiknya, oleh sebab sudah terlanjur ngetop seperti selebritis senyum-senyum kecil di ruangan kesadarannya paling pribadi sambil mengusap-usap beberapa kealpaannya sebagai perihal lumrah, atau mengira para pembacanya manggut manut di atas usahanya bersusah payah menerjemahkan senada seleranya, yang telah dianggapnya sangat cukup mewakili sedari segenap ikhtiarnya selama penggarapan buku tersebut.
***

Ketika menuliskan ini, Alim mengirimkan tautan yang bersangkut dengan yang tengah terkerjakan jemari kini, dan Fazabinal Alim menuliskan komentar di samping memberikan link catatan facebook Admin Dalfis Latee (“Membandingkan Terjemahan Puisi Nizar Qabbani Versi Fazabinal Alim dan Usman Arrumy” 1 Oktober 2017), berikut pengantarnya; “Terimakasih atas kritik dan apresiasi, teman-teman semua. Terutama Musyfiqur Rahman, Admin Dalfis Latee (tempat saya belajar bahasa Arab sewaktu di Pondok Pesantren Annuqayah). Tulisan ini bagus. Namun membandingkan terjemahan saya yang hanya diambil dari status Facebook yang saya tulis pada tahun 2014 lalu dengan karya terjemahan Usman Arrumy yang sudah menjadi satu buku utuh, sangatlah tidak adil. Sebab proses penerbitan sebuah buku di penerbit manapun telah melalui pembacaan dan koreksi ulang oleh seorang editor dan proofreader. Semoga tulisan semacam ini semata dalam rangka proses pembelajaran dan kritik yang membangun. Karena sejatinya tak ada istilah berhenti dalam belajar. Bukan membandingkan untuk menjatuhkan satu sama lain. Semoga catatan-catatan kritis dan kritik-kritik semacam ini sama seperti yang dilakukan Aristoteles kepada gurunya Plato, “Amicus Plato Sed Magis Amica Veritas”.”

Tulisan saya ini dapat dibilang terlambat, kalau menengok bukunya Usman telah terbit bulan September 2016 (menurut catatan Admin Dalfis), dan saya baru tahu tulisannya Alim yang terbit di basabasi.co, lewat tautan sedari facebooknya Kanjeng Tok (Awalludin GD Mualif), pada tanggal 29 September 2017 pun tidak langsung membacanya beserta tulisan Dea yang terkait di tirto.id, oleh rasanya tidak punya kepentingan pada penyair yang diterjemahkan Usman, pun saya tengah suntuk membaca ulang tulisan sendiri yang kehendaknya terbit tahun ini, tapi ketika Usman saya jawil melalui tag di fb tidak berkomentar hanya menjempolinya, maka jadi penasaran pada esainya Alim serta Dea. Lantas inilah jadinya saat jari-jemari menari mengudara. Tepat kata Alim, bahwa perbandingan puisi yang di buku dengan catatan di fb merupakan tindakan kurang adil, apalagi catatan tersebut telah lama mendekam dari tahun 2014 pun belum terbukukan, jadi kurang layak disoroti, dan pembandingnya pun tidak menyebutkan nama pena secara langsung, hanya menterakan ‘Admin Darul Lughah Al-Arabiyah Wal Fiqh As-Salafi (Dalfis)’ yang jika mengamati komentarnya Alim, ianya Musyfiqur Rahman. Dan perlu pembaca ketahui, tulisan-tulisan saya yang gentayangan di website, blog, masih kerap saya benahi tanpa sepengetahuan pembaca ketika sebagai adminya. Untuk seimbangnya, kritisilah yang sudah tercetak; buku, koran, majalah, jurnal &ll. Penggal saja habis-habisan tidak masalah, meski pada jenjang selanjutnya banyak buku-buku ketika cetak ulang mengalami perombakan dan itu syah tidak masalah, apalagi buah karya puisi banyaklah versi meski dari tangan pertama sang penyairnya.
***

Sebenarnya persoalan ini tak akan sampai merantak kemari, jikalau penerjemahnya selain berendah hati juga mengedepankan kejujuran serta sikap keterbukaan, toh itu semua menambah keindahan di dalam alunan lagu belajar, meninggalkan sungkan maupun gengsi, sebab ajaran Islam sudah memberikan topangan terbaik pada prosesi menyusuri jalan hayati, semisal ‘Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat’ serta makolah-makolah lain, sedari hadits-hadits, ujaran para sahabat, petuah para ulama dsb, tentunya Usman telah hatam mempelajarinya. Berendah hati sudahlah bersikap jujur telah, seperti memberikan catatan karya sedari sumber aslinya, tapi penghapusan beberapa larik dari puisi aslinya juga seharusnya dikabarkan, semisal berkata-kata; “Ada beberapa larik puisi yang ‘seolah’ sengaja saya hapus sebab merasa kalau satu kata yang menempel di larik selanjutnya yang saya terjemahkan itu telah mewakili keberadaannya sebagai puisi tersebut.” Sehingga ketika terjadi kekeliruan dikarena tindak kehilafan fatal yang mendasar dari terjemahan tidaklah mengapa menerimanya, jika sebelumnya pada pengantar buku memberikan keterangan seperti; “Ada lelangkah kesengajaan merombak puisi aslinya ke dalam terjemahan berbahasa Indonesia, sebab merasa lebih sesuai bagi para pembaca di Tanah Air, atau mengikuti proses naik-turunnya saya di dalam belajar.” Jika itu yang ditempuh, kemungkinan kritikan Alim tak kan muncul dari yang paling mendasar hingga yang agak wajar (jika tidak dibilang kurang ajar), atas perubahan puisi-puisi terjemahan buah karya Nizar Qabbani, apalagi yang mengerjakannya juga penyair.

Saya menjadi teringat petuah agung H.O.S Cokroaminoto “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Barangkali sudahlah tinggi ilmunya serta mapan tauhidnya, namun rasa-rasanya belumlah pandai bersiasat demi menanggulangi bencana kebocoran, ambrolnya bendungan, jebolnya arus bengawan. Siasat itu sangatlah penting untuk menghimpun dinaya ruapan energi dikala melawan balik dengan bentuk bersiasat pula, istilah saya ‘main licik-licikan’ dan itu syah, dibanding bertingkah pola menutupi tetapi terbongkar nantinya. Terus terang matahari musim kemarau panas penerawang, saya banyak belajar bersiasat atau sinahu main licik (bahasa halusnya cerdik) dari para pengkritik yang terutama berasal dari pribadi purna sastrawan pun budayawan. Di sanalah lahirnya istilah ‘belajar sambil menghajar’ yang itu muncul saat prosesi belajar terus-menerus, atau sedari tangan lembut gemulainya sampai di jemari sekarang.
***

Sebagai penyuka buku-buku hasil terjemahan, apakah dari bahasa asal; China lama; modern, bahasa Belgia, Belanda, Jerman, Prancis, Swedia, Arab, Inggris &ll, enak tidak enak tetap saya baca, kadang memaksakan berjenak lama-lama meski kuranglah nyaman dirasa, pun saya kerap membandingkan hasil-hasil terjemahan penerbit A, B dan C atas satu judul buku. Ada juga penerbit yang saya golongkan terjemahannya buruk, tapi tetap membacanya, dan ternyata menemukan di antara terbitannya ada yang lumayan. Oleh karena seringnya membaca buku dari terjemahan, seolah (sudah terbiasa) merasai (menilai) hasil terjemahan ini baik atau tidak, bertele-tele mengikuti hasrat penerjemahnya atau saklek sesuai teks aslinya, agak-agak amburadul atau mulus lantaran pengeditannya berindah-indah, pun ada yang bertetap kuat berpegangan teks asli sekaligus berupaya nikmat dibaca. Salah satu buku terjemahan yang sampai saya membelinya tiga kali; tersebab pertama karena hilang, yang kedua ketlisut, dan pembelian ke tiga titip lewat adik sewaktu ke Yogyakarta. Buku yang terbeli sampai tiga periode itu, saya anggap terjemahannya baik (berkualitas) meski saya awam pada bahasa aslinya. Buku tersebut karya sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe yang berlabel “Faust,” Penerbit Kalam, Penerjemahnya Agam Wispi dari bahasa sumbernya Jerman, Cetakan Pertama Oktober 1999. Terang sajalah, saya mengenal pemikiran para tokoh dunia melalui buku-buku karya-karya terjemahan, pun tampaknya nilai-nilai dari terjemahan di tahun-tahun lawas, rasanya banyak yang berkualitas. Pula saya tetap berjarak tatkala membaca karya hasil terjemahan, dan ketika menjadi bebahan kutipan, maka berarti saya srek atau percaya dengan terjemahannya.

Dalam persoalan bukunya Usman yang menerjemahkan puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani dari bahasa aslinya Arab, saya tak bisa berkata lebih, sebab tidak memegang bukunya (tidak memilikinya), di sini hanya berpegangan pada penelusuran Alim yang terang kejeliannya, dan ini menambah pengetahuan mengenai buku-buku terjemahan sekaligus tetaplah menghargai jerih payah penerjemah, tidak terkecuali kepada Usman. Satu bentuk penghormatan saya kepada buku-buku hasil terjemahan ialah berdoa sebelum membacanya. Ada suatu pengalaman pada buku terjemahan karangan Ibnu Arabi, yang saya lupa penerbit serta judulnya, sampai tujuh kali saya membaca ulang sambil tetap menjaga wudhu, barulah dapat memahami. Maka, makin membeludak para penerjemah di Indonesia pastinya indah, karena bangsa ini membutuhkan berderet-deret amunisi, lantaran buku hasil terjemahan tentu memperluas wawasan memperkaya hasana keilmuan serta melebarkan pandangan, dan andai ada yang melenceng terjemahan karya puisi bagi saya tidak masalah, toh itu hanya untuk menambah sarapan pagi jika diperlukan sebelum bekerja (berkarya). Lalu saya pikir kerjanya Usman lebih baik daripada mereka lulusan Jurusan Sastra Arab, juga yang menimba keilmuan di luar negeri, tapi sepulangnya ke tanah kelahiran, dirinya tersesat di dunia politik hingga lupa keilmuan Allah yang betapa manis di bumi Sholawat.

*) Pengelana asal Lamongan, kini tinggal di kecamatan Laren, desa Tejoasri, dusun Pilang, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo, setengah lingkaran bengawan arusnya tenang, setengahnya lagi air menjalar sampai jauh... (Gesang).

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar