Kamis, 03 Juli 2014

Mengarai Kata Menyinggasana Puisi

Abdul Kadir Ibrahim
www.tanjungpinangpos.co.id 02/02/2014

Kata: Akulah Puisi
Sekali lagi kita ajak para pemula dan sesiapa yang sudah merasa sebagai menulis puisi, tetapi mungkin merasa belum berhasil atau mengena, tiada jalan lain kecuali membaca puisi-puisi penyair lainnya yang sudah “jadi” dan selalu membaca dan mengubah secara mendalam puisi yang ditulis sendiri. Penulisan puisi boleh berangkat dari persoalan apapun, tetapi lagi-lagi ia tidak mengangkat persoalan ke dalam puisi sebagaimana faktanya seperti penulisan berita, reportase ataupun laporan. Puisi bahasa “istimewa” seni dan indah.
Kata Ignas Kleden dalam “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan” (2004), dengan lain perkataan, puisi datang kepada kita bukan lewat gagasan atau ide. Seandainya pun ada ide yang harus disampaikan, komunikasi dan penerusan ide itu tidak dilakukan lewat konseptualisme, melainkan lewat nada, imaji, sentuhan dengan benda-benda, keterpesonaan pada warna dan cahaya atau impresi yang dirangsang oleh bunyi dan suara. Yang terjadi dalam puisi adalah peristiwa yang lain sama sekali wujudnya, yaitu “saya mengalami maka saya ada”.

Seperti kita tahu, pengalaman bukanlah perjumpaan intelektual dengan dunia, melainkan keterlibatan eksistensial di dalamnya.Dalam puisi terjadi transposisi pikiran menjadi pengalaman dan suasana, rindu menjadi getar dan perasaan, proposisi menjadi instuisi, dan intuisi menjadi vision tentang warna langit dan bau hutan, dan argumentasi yang tersusun rapi menjadi imaji yang liar berkejar-kejaran.

Dalam menulis atau membubuhkan judul karangan ataupun buku sekalipun, kata-katanya adalah kata-kata pilihan yang lazim pula tidak telanjang dan terang benderang, melainkan menyiratkan seni-sastra.Sebagai misal, lihatlah Bung Karno yang menulis banyak buku, antara lain berjudul Di Bawah Bendera Revolusi.Dari kata judul buku itu telah dengan sangat mengajuk-ajuk dan menggugah pikiran kita apa gerangan yang dimaksudkan dengan judul tersebut. Jikapun Bung Karno masih hidup, tidak ada relefansinya kita menanyakan apamakna dan maksud judul bukunya itu.

Hal terpenting adalah dari kata yang dipakainya sebagai judul bukunya itu telah memberi kita ruang untuk berpikir, menginterpretasi, menafsirkan, dan mengapresiasi sesuai dengan pikiran kita masing-masing. Tentang apa? Banyaklah jawabannya! Bahwa betapa kata diletakkan sebagai simbol, metafora atau perlambangan sebagai menyembunyikan makna dan maksud secara langsung, dan sebaliknya memainkan makna-maksud yang sangat menyentak, misteri dan indah.Apatah lagi kata-kata yang dipakai sebagai bangunan kalimat ataupun baris-baris puisi.

Sekali lagi, kita hendak menjadi penulis puisi (penyair) mau tak mau, suka tak suka bukan teori tentang puisi (sajak) yang mesti banyak dibaca, tetapi bagaimana volume, jumlah dan lamanya kita membaca karya puisi penyair yang ada. Dengan itulah kita dapat menemukan pola, bentuk, gaya dan jatidiri bagi puisi yang kita tulis. Sebagai ajukan, saya hendak berkisah apa yang saya alami belum lama ini yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan puisi di Indonesia. Adalah di penghujung tahun 2013nyaris dalam waktu bersamaan saya menerima limabuku kumpulan puisi langsung dari penyair Indonesia yang begitu sudah punya nama.

Sungguh menggembirakan dan seketika diterima maka hanya dalam beberapa saat kemudian langsung hatamlah saya membacanya.Ada yang sayabaca di tempat acara, di hotel, di bandara ataupun di pesawat terbang. Buku puisi yang saya maksudkan, pertama, Ros karya Rida K Liamsi (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2013), yang saya terima di Pekanbaru, 12 Oktober 2013. Kedua,Kopi, Kretek, Cinta karya Agus R Sarjono (Komodo Books, Depok, Juni 2013), yang saya terima dalam pesawat terbang tatkala penerbangan dari Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjungpinang-Soekarno-Hatta, Jakarta, 29 November 2013. Ketiga, Air Mata Kopi karya Gol A Gong (Gong Publishing, Serang, Oktober 2013) yang saya terima di Rumah Dunia, Serang, Banten, 30 November 2013. Keempat, Rontaan Masehi karya Iwan Kurniawan (Terbit Press, Bogor, Juli 2013), yang saya terima di Tanjungpinang, 14 Desember 2013. Kelima, Di Bawah Tanah karya Raudal Tanjung Banua (Akar Indonesia, Yogyakarta, Oktober 2013) yang saya terima di sela-sela acara Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XVII di Pekanbaru, Riau.

Perlu saya sisipkan kabar pula, di samping kelima buku kumpulan puisi itu, saya juga menerbitkan sebuah kumpulan puisi, Mantra Cinta (Akar Indonesia, Yogyakarta, Agustus 2013). Buku kumpulan puisi ini sebagai menyertai kedelapan judul buku saya yang terbit tahun yang sama, yakni Tanah Air Bahasa Indonesia (Esai), Politik Melayu(Esai), Santet Tujuh Pulau(Kumpulan cerpen), Karpet Merah Wakil Presiden(Kumpulan cerpen), Tanjung Perempuan (Kumpulan cerpen), dan Harta Karun (Cerita anak dan remaja) yang masing-masing diterbitkan oleh Komodo Books, Depok, 2013. Kemudian Memburu Kasih Perempuan Sampan (Novel) diterbitkan Akar Indonesia, Yogyakarta, 2013 dan Kartini & Aisyah Sulaiman Cinta Sekian Mendalam (Esai) diterbitkan Melaz Grafika, Tanjungpinang, 2013.

Maksud kita mengemukakan judul-judul kumpulan puisi antara lain yang saya terima dalam tahun 2013 itu, tak lain sebagai memberi kabar kepada sesiapa saja peminat, penyuka dan penulis puisi (penyair), bahwa menulis puisi ataupun karya sastra lainnya bukan hanya sekedar menulis atau ditulis dengan tanpa kesungguhan, keseriusan dan pembelajaran. Ianya ditulis dengan pemikiran dan perenuangan yang sungguh-sungguh dan mendalam.

Jikapun dalam sekali waktu, sekali jalan langsung jadi, tetapi tidaklah bermakna bahwa puisi yang sudah ditulis itu dapat kukuh sebagai sebuah puisi.Ianya masih perlu dibaca ulang, disigi, direnyai, dipahami, diganti katanya, dan terus dipoles sehingga benar-benar memadailah dipandang sebagai puisi.Soal tema, obyek, gagasan, ide ataupun imajinasi sebagai pangkal ditulisnya puisi boleh bebas dan seluas-luasnya.Namun bukanlah sebagaimana tindakan seorang menulis laporan ataupun berita.Tentang hal ini sudah kita tekankan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya.

Rida K Liamsi, lahir di Singkep, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943.Menulis puisi amat berbait dan bersebati dengan kesehariannya, negerinya, lingkungannya, budayanya dan apa-apa mengitarinya sepanjang perjalanan hidupnya.EDE X: Ada seribu mawar/ seribu merah/ seribu pagi/ basah// Tapi aku mau pergi/ dari satu ke lain malam/ Luluhkan sukma dalam gaung gaib/ gua resahku/ Karena seribu bunga layu/ dalam genggamanku/ Karena aku tak bisa berikan selamat pagiku/ pada kupu-lupu// Mawar merah/ pagi yang basah/ Jangan berikan selamat pagimu/ Pada bumi/ yang cemburu kupu-kupu/ berikan bau peluhmu. Agus R Sarjono, lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Sama halnya dengan Rida, menulis puisi amat jeli dan memahami serta memaknai apa-apa perkara yang berlaku di sekitarnya.Apa saja bagi Agus bisa menjadi puisi.

Selepas Perjamuan: Semua telah pergi. Di piring tinggal duri/ duri yang menganga.Jejak-jejak kaki/ di lantai dingin.Tumpahan saus/ nasi basin dan tulang-tulang ayam berserakan/ di paru-paruku. Dari jendela/ kulihat engkau di restoran lain/ bersendawa tak habis-habisnya// Di sebuah pinggan/ kulihat sepotong ikan bagai diriku/ terendam di kuah yang salah/ hingga rasanya kikuk dan masam di lidah./ Maka kukemasi diam-diam sisa bumbu/kulit bawang dan pecahan telur/ yang berserak dalam batinku.// Akupun belajar memasak bagi diriku/ sendiri. Sekali saja kau sebut kata perjamuan/ piring-piring di nadiku segera berderak pecah/ membikin hatiku luka parah.

Gol A Gong, lahir di Purwakarta, 15 Agustus 1963. Begitu mahir dan fasih mengambil segala apa yang berlaku dan dimati atau dialaminya sehingga menjadi puisi. Bagaimana peristiwa iamelampauwi banyak daerah di Indonesia tertuang dalam puisinya. Salah satunya tentang bagaimana perempuan malam dan hidung belang di Pulau Serindit, Bunguran, Natuna. Yang sungguh mati, apa gerangan sehingga beberapa tahun terakhir ini sudah “berkeliaran” perempuan yang dulu dikatakan orang sebagai “pelacur”.

Semakin menghenyakkan hati, terjadi di dalam “Kota Bunguran Timur”.KOPI PANGKU: Seorang wanita Jawa menanak air laut/ senja robek di Natuna selatan China/ kursi-kursi berjejer di pasir kasar/ kopi plastik dipajang siap ditawarkan/ diaduk keruh dengan gula sembilu/ keringat bercampur lenguh kuda binal.// “Malam dingin di Natuna, apakah langit/ Penuh bintang?” isteriku tersenyum di rumah./ Kujawab, “Hanya ada wajahmu di bintang.”// Wanita Jawa menyiapkan kursi pengantin/ menanyakan apa maharnya kepadaku/ dipersilahkannya gadis muda dipangku/ segelas kopi dalam genggaman kucing nakal/ meliuk musik hasrat sekarung keringat.// Setiap menghitung satu gelas kopi plastik/ diaduk dengan desahan panjang/ “Hilang lagi satu anakku,” tulisnya pilu.// Kau tahu Jakarta melipat ini di balik map/ tak peduli negeri tetangga memanjakan/ aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri. (Ranai, Natuna, 26 Oktober 2011).

Iwan Kurniawan, lahir di Nusa Tenggara Timur. Penyair muda Indonesia ini juga menulis puisi yang pada intinya terlihat benar sebagai puisi kritik sosial atau menyangkut persoalan sosial, di samping keagungan Tuhan. Tapi mesti begitu sama sekali tidak ada puisinya yang berapi-api sebagaimana pidato, ceramah atau tulisan opini (esai) lazim dihidangkan di hadapan khalayak dengan terus terang, dan menggugah, mengajak, menyuruh atau bahkan menegah untuk jangan atau tidak berbuat buruk atau salah. Tetap: tetaplah di sini, Ibu/ belum selesai malam mengucapkan selamat tinggal/ sebelum matahari merah timbul besok// tetaplah di sini saja/ perjuangan masih berlangsung/ dua mata api belum terbakar oleh gerhana perjanjian// busur-busur tertancap pada tiang/ hanya temali mengisyaratkan/ pada bekas memar di tapak kakimu// berjalan di sini saja, Ibu/ pabrik-pabrik belum tertutup/ dua bulldozer baru saja meratakan temboknya// berjalan di sini saja/ botol-botol vodka digilas/ ruangan berjemur dengan kerikil dan batu// tetaplah di sini, Ibu/ penjara hanya rumah kedua/ mengurung para nasionalis, koruptor, dan penjahat berdasi/ terali-terali melingkar pada baja dan besi/ membukakan lubang kecil bagi keledai// satu halaman kecil/ masih bisa bermain dan bercanda/ memaksakan angina untuk tidak masuk/ melewati jendela tanpa kain gorden// tetaplah di sini, Ibu/ dinding buta menjelma baja/ dentuman waktu sebentar lagi meledak/ melantarkan anak cucu dari tanah yang kita sebut Indonesia.

Terakhir, Raudal Tanjung Banua, yang lahir di Langsano, Kanagarian Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975.Bagaimana Raudal menghidangkan betapa sentralnya sosok seorang ibu dan begitu juga kekasih.Penuh hormat, kasih-sayang, kesetiaan dan kerinduan.Tiada lagi sepantas cinta selain kepada bunda.Laci: ibu dan kekasih yang cemburu/ bagiku selalu baru/ seperti buku puisi/ tersimpan di laci tak terkunci/ ngengat mengerat/ anak-anak kalimat, kujadikan pengingat/ wajah ibu yang sabar serta surat kekasih/ rindu menanti, tetapi aku lama/ kembali: maka kucari ibu dan kekasih baru/ dalam puisi apa saja yang kumau.

Temukan Pukaunya Kata
Melayang awan/ embun rebas/ selembar daun kemunting terbang/ gelisah hati/ kekasih ke mana memantau!
Kita lihat dan baca puisi Ahad, 12 Januari 2014. Ditulis oleh 4 orang, Novita Tri P dengan puisinya “Suryaku”, Fanny Silvia dengan puisi “Mama” dan “Melangkah”, Giovanni dengan puisi “Harapan yang Sia-sia”, dan Adelia Lintang dengan puisi “Cinta Sejati”. Novita Tri P dapat diselam kedalaman puisi begitu mengagungkan ibu.Hampir seluruh baris puisinya menggunakan kata-kata sebagai mengisyaratkan demikian hebat dan luar biasanya ibu.

Tampak ikhtiar penyair ini untuk menempatkan metafora dalam puisinya. Hanya saja sebagian besar kata-kata metafora yang digunakan terkesan hanya menjadi kata ganti untuk ibu. Dikau bagai embun di pagi hari/ Menyambut matahari terbit/ Dikau bagai sinar matahari/ yang menyhinari kehidupanku/ Dikau bagai rembulan/ Yang sinarnya meneduhkan jiwaku/…Terlihat betapa masih perlu upaya untuk menyelami ke dalaman kata dalam penyajian puisi sehingga indah dan memukau.

Puisi Fanny Silvia yang berjudul “Mama” tak jauh beda dengan puisi Novita. Seluruh kata-kata puisinya adalah menuturkan tentang pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Begitu biasa bahasanya dan perlulah diikhtiarkan agar kelak lahirlah puisi tentang ibu yang mempesona. Mama…/ engkau adalah wanita yang hebat/ kau bagaikan bidadari dalam hidupku/ Mama…/….. Kemudian dalam puisi “Melangkah” Fanny Silvia, bagaimana pula kata puisinya.Saat jarak dinanti telah tiba/ Dan kita mulai melangkah maju/ Singkirkan arang (aral?Pen.) yang melintang/….. Sayang sekali kata-kata menjadi sekedar rangsangan, memotivasi, dorongan atau menyemangati sebagaimana lazimnya kata-kata dalam ceramah atau petuah biasa saja.
Puisi Giovanni “Harapan yang Sia-sia” sejatinya masih sebagai keluhan dan kegalauan yang dihidangkan dengan lazim dan lurus saja.Kata-kata pilihan dan tidak telanjang sayang sekali belum muncul.Sehingga menjadikan keseluruhan puisinya penuturan biasa juga.Pun puisi Adelia Lintang Kirana “Cinta Sejati” juga puja-puji terhadap ibu.

Meski demikian lebih elok dibanding puisi yang disebutkan di atas.Hanya saja masih belum mendalam dan kering.Kubangun istana cinta di atas setiaku/ Kulindungi dindingnya dengan/ percayaku….. Meski demikian, Novita, Fanny, Giovanni dan Adelia sudah menunjukkan ada kelebat kata yang nampak sehingga selanjutnya akan dapat melahirkan puisi yang sebagaimana dikenal luas.

Puisi Ahad, 19 Januari 2014 terdapat lima buah karya E. Naz Achmad. Dalam kaitan puisi-puisi penulis ini niscayalah berkaitan erat dengan pembahasan kita terdahulu.Pada arahan kita sebelumnya dan kali ini kembali dapat kita katakan puisi penyair ini amat mengkhususkan dan menampilkan pada persajakan dari akhir setiap baris.Dia begitu produktif menulis puisi, dan tentu kita berharap banyak kepadanya muncul ikhtiar dalam menyergamkan dan menyanggamkan puisi-puisinya.

Barangkali waktulah yang akan memberi laluan dan mengubahnya. Tapi sebelum itu sekali lagi perlu E. Naz Achmad meknai benar bahwa puisi sama sekali bukan sekedar peringatan, kabar, ajakan, himbauan ataupun sumpah-seranah. Puisi adalah kata pilihan, yang bernas, motafora, berisi dan seni.Coba kita salami penggalan puisinya “Percakapan”.Gunakanlah bahasa yang baik/ Ketika kita berada di mana saja/ agar fenomena memberikan keakraban/ …..

Selanjutnya pada Ahad, 26 Januari 2014 ada enam puisi karya Ferry “Kehilangan”, “Sahabat Terbaik”, “Hilang Semangatku”, dan “Sinar Mentariku”. Karya Yulia Sahbi “Bintang Kecilku” dan Machmudy Al-makkarSHARE menulis dalam bahasa inggris.Baik Ferry maupun Yulia serirama juga menampilkan puisi dengan penulis yang disebutkan di atas.Perlu banyak dan serius belajar menulis puisi dan membaca puisi-puisi penyair lainnya yang sudah jadi.Tidak ada salahnya bagi nama-nama yang kita sebutkan di atas dan lainnya untuk bertanya dan mendiskusikan puisi-puisinya kepada para guru, dosen atau penyair yang ada di kotanya masing-masing.

Tanjungpinang, 29 Januari 2014

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar