Selasa, 15 Januari 2013

Sastrawan Bali Enggan Dihimpun?

Dari Ceramah Temu Sastrawan se-Bali 2003
Nuryana Asmaudi
http://www.balipost.co.id/

Sastrawan Bali saat ini sepertinya masih enggan atau kurang berminat untuk dihimpun dalam sebuah komunitas, perkumpulan, atau organisasi sastrawan. Selain karena rata-rata sastrawan (seniman) tersebut tidak mau dan juga “sulit diatur”, juga masih ada “trauma” melihat pengalaman atau sejarah masa lalu. Dulu, pernah bermunculan organisasi atau perhimpunan seniman di Indonesia yang akhirnya justru menjebak seniman pada kegiatan-kegiatan di luar dunia kreativitas kesenian — seperti politik praktis dan faham-golongan — yang terbukti kemudian “membunuh” masa depan kesenian dan seniman, bahkan memicu perpecahan.

BANYAK pengalaman, bahwa dengan berhimpun justru membuat seniman (satrawan) tidak bisa bebas bahkan jadi “mandul”. Karenanya, jika sekarang misalnya ada keinginan untuk membuat perhimpunan sastrawan, sebaiknya mesti disiapkan rumusan dan penataan yang lebih matang dan baik. Perhimpunan itu sekiranya bisa lebih luwes dan longgar, bisa diterima kalangan sastrawan sendiri, memberi ruang kebebasan untuk berkreativitas, tidak mengikat, tidak menyusahkan atau merugikan, bahkan bisa memperjuangkan hak dan melindungi sastrawan.

Demikian kurang lebih gambaran yang bisa ditangkap dari ceramah tentang komunitas sastrawan Bali pada “Temu Sastrawan se-Bali 2003″ di Balai Bahasa Denpasar, Selasa (1/7) lalu, yang disampaikan oleh Nyoman Tusthi Eddy. Tusthi tampil dengan makalah berjudul “Komunitas Sastrawan Bali dan Urgensi Perhimpunan Sastrawan” yang memaparkan perjalanan sastra modern di Bali berikut para sastrawan dan komunitas sastra yang tumbuh di Bali selama ini. Sebuah materi ceramah yang dimaksudkan sebagai landasan atau gambaran perbandingan jika ada keinginan untuk membentuk komunitas perhimpunan sastrawan Bali seperti yang ditawarkan Kepala Balai Bahasa Denpasar Drs. IB Darmasuta kepada para sastrawan. Dalam pembukaan acara, Darmasuta memang menyampaikan keinginan beberapa kalangan sastra di Bali yang pernah disampaikan kepadanya, tentang perlunya komunitas untuk mewadahi sastrawan Bali. Maka Kepala Balai Bahasa Denpasar itu pun memasukkan materi pembicaraan mengenai hal tersebut pada forum itu, barangkali komunitas atau perhimpunan sastrawan Bali memang diperlukan atau tidak.

Dalam catatan Tusthi, sudah sejak lama Bali memiliki sastrawan yang menulis sastra modern, baik berbahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Namun, para sastrawan itu baru dikenal eksistensinya di permukaan dan diperhitungkan serta masuk dalam sejarah sastra sejak sekitar tahun 1930-an, dengan hadirnya AA Panji Tisna yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia. Keberadaan Panji Tisna tidak saja sebagai sastrawan lokal Bali, tetapi juga nasional yang diperhitungkan. Karya-karyanya telah terkukuhkan dalam sejarah sastra, bahkan ada yang kemudian sangat terkenal. Sementara sastrawan Bali modern yang menulis dalam bahasa Indonesia saat itu belum begitu nampak keberadaannya di permukaan, meskipun sebenarnya mereka telah tampil, seperti Gde Sarwana dengan novel “Mlancaran ka Sasak” dan I Wayan Gobiah dengan novel “Nemu Karma”. Mereka ini kurang atau belum dikenal kalangan luas, lantaran kurang terdukung publikasi dan trend sastra yang berkembang saat itu

Komunitas sastrawan Bali sendiri, menurut Tusthi, sudah mulai marak pada 1960-an. Ketika itu muncul para sastrawan muda Bali yang menulis sastra modern seperti puisi sampai cerpen dalam bahasa Indonesia, meski baru bisa dipublikasikan pada satu-satunya media massa cetak di Bali, yakni koran Suluh Marhaen (kini Bali Post). Pada masa itu, catat Tusthi lagi, komunitas sastrawan Bali sebenarnya juga telah mekar dan mulai membuat perhitungan dalam percaturan sastra di level nasional. Tetapi, sayangnya, saat itu sastrawan Bali belum ditoleh publiknya. Pada tahun itu juga muncul pengarang Bali yang menulis sastra Bali modern — terutama puisi — yang juga dimuat Suluh Marhaen. Sastrawan yang paling menonjol dalam jajaran ini adalah Made Sanggra, Gde Darna, Nyoman Manda.

Kondisi kehidupan sastra modern di Bali kemudian kian membaik dan berkembang pada masa atau tahun-tahun berikutnya, yakni tahun 1970-an sampai 1990-an. Para sastrawan Bali makin banyak bermunculan dan media cetak yang mempublikasikan karya mereka juga bertambah. Kehadiran Umbu Landu Paranggi di Bali, kata Tusthi, menimbulkan dampak positif bagi perkembangan komunitas sastrawan Bali dan sastra Indonesia di Bali. “Karya mereka lebih beragam, dan mereka mulai mengadakan penjelajahan estetik baru serta media massa yang lebih luas. Saat itu sastrawan Bali yang menulis dalam bahasa Indonesia telah mengambil peran jelas dalam memberikan warna kepada sastra Indonesia modern,” tandas Tusthi.

Sementara kemudian, di sisi lain, yakni sastra Bali modern juga muncul dengan pesat — terutama pada dekade belakangan ini — setelah dua sastrawan Bali menerima Hadiah Sastra Rancage tahun 1998 yakni Made Sanggra dan Nyoman Manda. Saat itu sastra Bali modern mulai dilirik publiknya, meskipun masih jauh kalah dengan sastra Indonesia modern. Sejumlah buku sastra Bali modern diterbitkan, meskipun baru oleh penerbit tak resmi atau nonkomersial, tapi setidaknya dapat membantu mengukuhkan keberadaan mereka di tengah publiknya.

Perhimbunan Sastrawan

Menurut catatan Tusthi, perhimpunan sastrawan Bali paling awal terjadi pada masa multi-partai tahun 1960-an. Para sastrawan bergabung dengan organisasi kebudayaan atau seniman di bawah atap partai politik. Pada saat itu sastrawan berperan ganda, sebagai sastrawan dan politisi. Hal itu membuat kreativitas sastra jadi terabaikan, karena sastrawan yang tergabung di dalamnya lebih menyerupai anggota orsospol yang berkarya demi partai.

Perhimpunan sastrawan Bali dalam arti yang sesungguhnya, yang memberikan media kepada para sastrawan untuk berkreativitias dan berkarya, mendokumentasikan dan menerbitkan karya mereka, serta menyelenggarakan diskusi kesastraan, kata Tushi, adalah Himpi (Himpunan Pengarang Indonesia) Bali yang kemudian berubah menjadi Lesiba (Lembaga Seniman Indonesia Bali) untuk mewadahi pula seniman dari luar sastra. “Setelah Lesiba, tidak nampak lagi adanya muncul perhimpunan sastrawan. Yang marak adalah kelompok teater dan perupa,” tandas Tusthi.

Oleh karenanya, menurut Tusthi, jika komunitas atau perhimpunan sastrawan Bali kini sudah diperlukan lagi, maka disarankan olehnya untuk menimba pengalaman yang telah terjadi dulu demi tidak terulangnya lagi kegagalan perhimpunan sastrawan seperti itu. Hal lain juga perlu dipertimbangkan adalah faktor dari diri sastrawan itu sendiri, yang menurut Tusthi, biasanya banyak yang menolak untuk dihimpun-himpun karena dianggap akan memasung kreativitas sastrawan.

Bentuk perhimpunan sastrawan yang ideal menurut Tusthi, adalah yang memberikan lapangan dan situasi kondusif kepada sastrawan untuk berkreativitas dan berkarya. Sifat perhimpunan yang mengekang dan terlalu banyak mengatur harus diminimalisasi, jika perlu dibuang. Dengan demikian seniman yang terhimpun masih merasa bermain di alam bebas. Bagi Tusthi, melihat situasi terakhir dari kehidupan bersastra di Bali, nampaknya memang sudah dibutuhkan perhimpunan sastrawan. Hal itu setidaknya dimaksudkan atau bermanfaat untuk mengusahakan lapangan yang lebih luas bagi publikasi karya, pendokumentasikan karya, dan jika diperlukan membantu mencarikan penerbit, membela kepentingan hukum para sastrawan agar tidak diperlakukan seenaknya oleh penerbit.

Tetapi, perhimpunan sastrawan tentu saja tetap harus memberi kebebasan kepada sastrawan untuk masuk perhimpunan atau pun tidak. Karenanya, saran Tusthi lagi, perhimpunan tersebut sebaiknya diprakarsai oleh sastrawan itu sendiri, bukan atas desakan pihak luar — apalagi yang bertentangan dengan cita-cita sastrawan. Perhimpunan itu juga tidak harus diurus oleh sastrawan, tetapi diurus oleh orang yang memang sungguh-sungguh memahami dan komit kepada sastrawan.

Tak Ada Kesepakatan

Ceramah ini memang bukan dimaksudkan untuk mengajak atau berpromosi membentuk komunitas atau perhimpunan sastrawan Bali. Maka wajar kalau hari itu tidak ada semacam kesepakatan untuk membentuk wadah perhimpunan sastrawan . Ada yang menganggap perlu perhimpunan dibentuk, tapi banyak pula yang kurang berminat.

Banyak hal lain diantara bagian ceramah Tusthi yang tak kalah menarik untuk ditanggapi. Semisal soal perjalanan atau perkembangan sastra modern di Bali, perihal pertumbuhkembangan komunitas sastra di Bali, pun soal pempublikasian karya sastrawan dari Bali di tingkat nasional. Soal keberadaan Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali, misalnya, dengan perannya dalam kancah sastra nasional yang jika sempat terpaparkan barangkali bisa menjadi pertimbangan dan reverensi tambahan tentang masih perlukah atau tidak perhimpunan sastrawan Bali.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar