Saut Poltak Tambunan
Suara Karya, 29 Des 2012
“HOIII, Ama ni Molling, duduklah sebentar, buru-buru mau ke mana?” sapa seseorang yang tampaknya mulai mabuk di kedai tuak Lapo Sipitudai.
“He he he,” Ama ni Molling hanya tertawa menyeringai sambil mengemas bungkusan makanan yang dibelinya. Giginya coklat semua kebanyakan merokok.
“Sesekali ngobrollah sini,” sambung yang lain.
“Ini si Molling belum makan,” sahut Ama ni Molling menunjukkan bungkusan makanan lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma tuak dan celoteh orang sekedai itu.
Olop nama aslinya, lengkapnya Marolop. Sudah enampuluhan umurnya dan menurut cerita orang dahulu dia nyaris insinyur dari ITB. Lelaki ini hidup sendiri. Tak menikah. Ia lebih suka menyendiri di sawahnya atau berada di depan perapian besar di tengah rumahnya.
Gelar panggilan untuk orang Batak berubah seiring statusnya berketurunan. Marolop akan digelari Ama ni Lompas, andai anak pertamanya dinamai si Lompas. Nanti menjadi Ompu Tangkas jika cucu pertamanya bernama si Tangkas. Tetapi Marolop tak menikah. Usianya membuat orang merasa tak patut menyebut nama kecilnya.
Belasan tahun ia tinggal berdua dengan anjing kampung yang setia itu, si Molling. Di mana ada Marolop, pasti ada si Molling. Entah dari siapa muncul pikiran konyol itu, tahu-tahu orang sekampung menyebutnya Ama ni Molling. Keterlaluan memang, seolah si Molling anjing itu anaknya.
Sesekali dia mampir ke lapo Sipitudai, kedai tuak di kampung itu. Bukan untuk kombur ngalor-ngidul seperti biasanya orang kampung, hanya beli lauk untuk makan dengan si Molling. Hebatnya, si Molling meniru tuannya, tak suka gaul dengan anjing kampung lainnya. Ia lebih suka tetap berada di dekat kaki tuannya.
Tak ada yang tega menganggapnya tak waras. Sebab ia baik. Sawahnya luas. Setiap panen, dua janda miskin di kampung itu dia beri padi. Kaleng adalah takaran padi di kampung ini, sekarung tujuh kaleng. Ama ni Molling suka berburu.
Hampir setiap pulang berburu ia memanggil anak-anak makan di rumahnya. Sesekali ia dapat rusa atau ringgarung (pelanduk yang dalam cerita anak-anak suka mencuri mentimun di kebun petani). Belakangan lebih sering bawa rande (belibis). Ia juga mengajari anak-anak itu cara menangkap belibis. Dua buah jeruk besar yang bisa mengambang di permukaan air, dihubungkan dengan senar pancing sepanjang sepuluh meter. Dipasang di tala-tala – rawa-rawa.
Nanti jika serombongan belibis yang disebut rande berenang di situ, kakinya akan terlilit senar. Dia bilang, belibis punya solidaritas tinggi. Jika seekor terjerat, temannya akan menolong lalu ikut terjerat. Karena itu sekali menjerat bisa dapat 20 ekor belibis.
“Jangan kalian ambil semua, seperlunya saja. Betinanya lepaskan biar bisa bertelur, beranak dan datang lagi ke tala-tala,” begitu pesan Ama ni Molling.Sejak muda Ama ni Molling gemar berburu.
“Semua sudah berubah. Sekarang terlalu banyak orang berburu pakai senapan, binatang hutan sudah hampir punah,” kata Ama ni Molling. Dahulu, begitu cerita Ama ni Molling, berburu gompul (beruang) pun bisa. Pernah ia dapat beruang sebesar tigakali ukuran manusia. Dia bilang mudah menangkapnya. Beruang suka madu, pandai memanjat tapi turunnya meluncur hingga berdebuk ke tanah seperti nangka.
Jika terlihat ada beruang memanjat pohon, pasang saja dua-tiga batang tombak di bawahnya. Setelah itu beruang dilempar batu atau kayu. Beruang itu akan meluncur turun, jatuh, lalu mati tertancap tombak.
Cerita seperti ini membuat anak-anak tercengang kagum. “Di hutan tak boleh serakah. Berburu tak boleh berlebihan. Jangan asal-asalan. Nagogo bisa marah.”
Setiap kali Ama ni Molling menyebut nagogo, maksudnya harimau si penguasa hutan, anak-anak bergidik ngeri. Tahun 60-an memang banyak harimau di hutan itu. Sering mereka dengar cerita orang mati diterkam harimau.
“Sekarang orang membabat hutan, gelondong batang pohon diangkut ke pabrik!” kata anak-anak itu.
Ama ni Molling diam tak menjawab. Wajahnya keruh. Pembabat hutan itu memang rakus, jangankan pohon, ‘penguasa hutan’ pun dihabisinya. Lain kali Ama ni Molling mengajari anak-anak memasang perangkap untuk menang-kap babi hutan, ringgarung (kancil) dan rusa. Termasuk menangkap monyet pakai kelapa.
Sekali waktu dia bawa beberapa anak ke hutan. Dia tunjukkan akar dan daun semak yang bisa dijadikan obat. Dia sebutkan pula nama pohon liar di hutan dan manfaatnya yang sudah nyaris terlupakan. Ada hoting, tambissum, maranti bunga, maranti bosi, sarimarnaek langit, turi-turi, bane, motung dan lain-lain.
* * *
“TAHUN BARU liburan Bu?” tanya Erika setelah menyerahkan ketikan makalah di kamar Nurita, Hotel Danau Toba Medan.
“Hmm, libur ke mana, ya? Ada ide?” balas Nurita sambil membalik-balik makalahnya untuk para pejabat pemegang otoritas pertanian di Korsel awal bulan depan.
“Ah, kamu ini.
Nama saya salah lagi: Dr. Ir. Nuritaningsih, M.AP. Bukan MPA,” tukas Nurita.
“Aduh, maaf, Bu. Salah copy lagi. Saya perbaiki sebentar!” Erika bangkit, kembali ke kamarnya.
“Sudah, nanti saja. Urus tiket kita, telepon Pak Juki, suruh siapkan rapat evaluasi akhir tahun besok.”
“Baik, Bu,” sahut Erika perempuan sekretaris itu manut. Bagaimana tak salah ketik? Baru sore tadi selesai seminar, sampai di hotel harus mengetik makalah.
Tahun baru libur ke mana? Pertanyaan Erika tadi masih berpendar-pendar di benak Nurita. Dia dan suaminya berdarah Jawa, tetapi sudah sejak dulu ia meniru tradisi keluarga Batak dari teman-teman kuliahnya. Orang Batak bisa bergegas ribuan kilometer untuk mengejar moment malam tahun baru itu, berkumpul dengan keluarga besar dan berdoa bersama. Nurita sudah punya keluarga besar sendiri. Anak cucunya pasti sudah menyiapkan acara bersama untuk malam tahun baru nanti.
Untuk tugas kantor, bisa berkali-kali dalam setahun Nurita ke Medan ini. Selalu ia ingat seseorang istimewa dalam hidupnya tetapi tak terlintas pikiran untuk menemui di kampungnya yang butuh enam-tujuh jam perjalanan lagi.
Nurita berdiri di depan cermin, mengusap kerut di sudut matanya. Di lehernya. Ia merasa jauh lebih tua dari usianya. Tahun depan ia akan pensiun. Puluhan tahun Nurita hidup untuk suami dan anak cucunya. Puluhan tahun kerja keras merealisasikan ambisinya untuk sebuah kursi penting di pemerintahan.
“Usia tak bisa dibantah, tapi … ya, Tuhan …!
Sudah bagaimana dia sekarang?” tiba-tiba ia teringat lagi seseorang itu, lelaki yang pernah mengatakan itu padanya: Kau lebih suka tampak pintar daripada cantik.”Erika, batalkan tiket Ibu besok. Kau pulang sendiri, Ibu mau ke kampung teman dulu,” kata Nurita tak lama kemudian lewat telepon ke kamar Erika.
“Lha, barusan saya sudah telepon Pak Juki untuk rapat …!” “Nggak apa, nanti Ibu telpon Pak Ismet untuk menggantikan Ibu memimpin rapat.”
* * *
“Sebentar lagi 2013!” gumam Ama ni Molling sambil menuang separuh mi instannya ke piring si Molling. Anjing itu menguik sebentar lalu melahapnya.
Gerimis ragu siang itu. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di tengah kampung. Seorang perempuan turun menggegas langkahnya, berkerudung dan berkaca mata hitam lebar. Tampilannya tampak amat kontras dengan jalan bersemak.
“Heh? Cari siapa?” Ama ni Molling terkejut sambil jongkok memeluk si Molling yang sejak tadi menggeram melihat ada orang mendekat.
Tak ada jawaban. Tanpa menunggu dipersilakan perempuan itu sudah masuk ke rumah, membuka kaca mata dan kerudungnya lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tampaknya memang ia sengaja berpakaian seperti itu agar orang tak mengenalinya.
“Bah, kau!?” Ama ni Molling terkesiap. “Ini kau ..!?”
“Ya, aku ..!”
“Kok bisa ke sini..!?”
“Kau belum terima tanganku,” kata perempuan itu membuat Ama ni Molling makin salah tingkah.
“Eh, ya …! Aku pikir siapa tadi …!”
Mereka bersalaman. Sudah itu Ama ni Molling buru-buru masuk ke kamarnya, mengganti celana pendek kumalnya dengan celana panjang. Lalu kemeja batik yang sudah belasan tahun tak dipakainya. Ah, dia ganti lagi dengan kaus yang masih bersih. Pikirnya, biar apa adanya saja. “Aku tak bisa lama-lama di sini, tak baik kalau ada yang mengenali aku datang ke sini,” kata Nurita kemudian.
“Lalu? Untuk apa kau datang?” sahut Ama ni Molling dingin.
“Aku ingin melihatmu.”
Ama ni Molling terdiam. Puluhan tahun ia merindu perempuan ini. Luka hati menganga yang dibawanya pulang dari Bandung, memerih dan meradang berlama-lama bahkan kemudian membuatnya keterusan tak menikah. Ama ni Molling kuliah di ITB dan Nurita di Fakultas Pertanian. Ama ni Molling hanya anak petani biasa, sedang Nurita anak kepala polisi di Bandung. Itu soalnya. Dua hari Ama ni Molling menginap di sel sampai dia menandatangani pernyataan tidak akan menemui Nurita lagi. Tak akan! Sebab segera setelah itu Nurita akan menikah.
“Aku tak boleh melihatmu,” lanjut Ama ni Molling. “Maafkan aku, semua berlalu di luar kendali kita. Aku tahu perasaanmu. Tapi tak bisa kita surut ke belakang. Kita sudah tua. Esok lusa entah siapa di antara kita yang mati duluan,” lanjut Nurita lirih. “Ada hal lain yang lebih penting dari perasaan itu …!”n”Untukku tak ada lagi yang penting. Aku tinggal menunggu mati …!”
“Anakmu!” selak Nurita, suaranya bergetar, tiba-tiba tercekat tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
“Apa? Anakku!?” Ama ni Molling terperangah.
“Maksudku …. ,” Nurita tergagap, bingung mencari kata-kata yang paling pas untuk menyembunyikan badai di dadanya, lalu, “Di jalan tadi aku tanya alamatmu ini, mereka bilang namamu Ama ni Molling …!”
“Ama ni Molling? Maksudmu .. aku bapak si Molling?” Mendengar namanya disebut, si Molling merapat ke kaki laki-laki itu lalu mengibas-ngibaskan ekornya.
“He he he, ini si Molling. Lebih setia dari semua yang pernah kukenal.”
Nurita terdiam. Kalimat itu berubah lembing tajam yang diacu tepat menghunjam ulu hatinya. Ada yang menggelegak di matanya. Bendungan itu nyaris bobol. Tidak, dia tak boleh melihatku menangis!
“Aku harus pergi. Aku hanya ingin melihatmu, malam ini langsung pulang ke Jakarta,” kata Nurita kemudian sambil berdiri.
Ama ni Molling membisu. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan itu.
“Sebentar lagi 2013. Aku ingin ucapkan Selamat Tahun Baru,” lanjut Nurita setengah berbisik, ” … bolehkah aku memelukmu?”
“Jangan.”
“Aku … aku memaksa.”
Akhirnya lelaki itu tak menjawab lagi. Dia berdiri. Dia biarkan Nurita memeluknya. Mencium pipinya di kiri dan kanan.
Kembali ke mobil, barulah Nurita menangis sejadi-jadinya. Entah harus bersyukur atau tidak, nyatanya ia tiba-tiba tak sanggup memberi tahu lelaki yang pernah sangat dicintainya itu. Padahal ia tak ingin rahasia itu dia simpan sendiri hingga mati. “Anakmu ada padaku,” dalam tangisnya ia mendesahkan kalimat yang tadi nyaris ia babar di hadapan lelaki itu.
“Aku … aku tahu siapa ayah dari anakku ..! Hasil pertemuan kita yang terakhir di kamar kostmu sebelum aku menikah, sebelum kau memutuskan untuk pulang kampung …!” ***
* Spt-Des 2012
Dijumput dari: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=318225
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 25 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar