Jumat, 25 Januari 2013

Gadis Berkerudung Biru

Ahmad Rofiq *
Seputar Indonesia, 27 Sep 2009

Pada akhirnya, aku dapatkan juga kesempatan emas itu. Setelah kemarin kontak dengannya lewat sepucuk surat, gadis itu setuju, bahkan dengan senang hati menerima ajakanku jalan-jalan. Aku katakan padanya juga, kami berencana menyusuri jalan pantura saat senja mengambang. Akan kami reguk pesona alam saat rona jingga mengkuasi permukaan langit barat. Dan kami akan mengukur ketebalan aspal jalan hasil karya tuan Daendels yanga asli Belanda tersebut.
Dan sejak sore tadi aku sudah memesan sepeda motor milik sepupuku. Ah, maksudku aku pesan untuk dapat meminjamnya. Memang bukan sepeda bagus, namun lumayan juga untuk kencan dengan kekasih. Lagi pula bukan kendaraannya yang penting. Tapi siapa yang ada di dekat kita.

Jam setengah lima sore aku berangkat. Sepeda aku untir gagang gas-nya dan melaju ke arah gang lima. Lokasinya berdekatan dengan kuburan Cina. Di situ, kekasihku Rani berjanji akan menunggu kehadiranku. Dia akan menanti jemputanku di senja itu.

Saat laju sepedaku semakin dekat dengan gang lima, aku tersenyum. Dari kejauhan aku sudah dapat melihat sosok Rani. Dan kuakui, pacarku sore itu sungguh luar biasa cantiknya. Kulihat dia memakai pakaian halus, longgar dan tidak seronok. Bisa dikatakan, pakaian Rani senja itu terlalu sopan untuk acara kencan pertama. Dia juga memakai selembar kain kerudung warna biru. Rani duduk menunggu di atas sebongkah batu. Sambil sesekali memandangi jam tangan mungil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Aku sampai di gang lima. Rani langsung menyambutku dengan protes
“Lama sekali, Mas?”

“Sepedanya baru saja datang. Sebenarnya aku akan membawanya jam empat lebih seperempat. Namun sepupuku membawanya untuk membeli sekaleng susu buat keponakan. Sudalah, yang penting sekarang aku sudah di sini. Ayo lekas naik !”

Rani naik ke boncengan sepeda motor.
Kami melaju di atas jalanan aspal yang, seperti kuceritakan tadi, dibangun atas prakarsa gubernur Daendels. Oh Ya. Saat menyebut Daendels, aku jadi ingat tentang pembicaraan orang mengenai sekelumit kisah di balik pembangunan jalan pinggir pesisir itu. Konon, jalan yang kulewati dalam acara kencan itu rakus sekali pada tumbal. Tak tanggung-tanggung, ribuan tubuh pribumi menjadi tumbal jalan halus yang memanjang di belahan utara pulau jawa tersebut. Tapi, entahlah. Apakah semua itu memang benar atau sekedar kasak-kusuk. Aku hanya mendengar dari omongan beberapa teman. Aku sendiri belum menjumpai kabar tumbal manusia itu dalam buku sejarah baku.

Jika cerita temanku tentang sejarah jalan pantura itu memang benar, maka aku jadi bertanya-tanya. Apakah setiap karya besar memang butuh banyak tumbal? Mungkin juga. Lihat saja catatan sejarah pembangunan Piramida, tembok besar Cina, atau bangunan lainnya. Tidakkah dibawahnya terkubur beberapa ratus tubuh yang telah kehilangan nyawa?

Saat aku masih terlalu kecil dan suka bermain sendirian di sawah, ibuku kesal. Diapun bercerita. Bermain sendirian di sawah sangatlah berbahaya, kata ibu. Sebab saat suasana sudah sepi, entah siang ataupun malam, akan bertebaran sekelompok orang yang membawa karung goni. Orang-orang itu akan mencari anak-anak kecil yang bermain sendirian. Pendek kata, mereka akan menculik bocah yang berkeliaran sendiri di tempat sepi. Bocah-bocah itu akan ditangkap, diikat tangannya lalu dimasukkan ke dalam karung goni. Setelah itu dibawa kabur dengan mobil box.

Akupun bertanya pada ibu
“Akan diapakan mereka. Pakai dimasukkan dalam karung goni segala?”
“Mereka akan digorok. Setelah itu kepala selusin anak kecil itu akan dipotong dan dibuat Tumbal pembangunan sebuah jembatan. Atau bangunan bendungan untuk irigasi. Agar bangunan tidak ambruk dalam jangka lama. Begitulah permintaan makhluk halus penunggu tempat yang akan dibanguni jembatan atau bendungan itu. Di alam sana, telah terjadi kesepakatan antara Danyang penunggu dengan orang yang membangun.” Demikian jawab ibu. Akupun menggigil.

Berbekal ingatan akan cerita ibu, aku bertanya-tanya sendiri. Benarkah tuan Daendels telah menandatangani kesepakatan dengan Danyang pantura untuk memberi tumbal sekian ribu kepala penduduk pribumi? Entahlah. Atau ibuku yang terlalu berlebihan.
***

Senja mencuat. Angin laut berhembus menubruk tubuh kami yang bergerak ke depan. Diangkut dan disorong tenaga sepeda motor tua hasil pinjaman. Kulihat, beberapa ekor Camar melintasi bibir pantai utara. Saat itu tangan Rani melingkar di perutku. Entah karena takut terjatuh atau ada alasan lain gadis itu melakukannya.

“Kuikrarkan cintaku di hadapan burung-burung Camar. Sebagai delegasi alam yang akan setia menyimpan segala rasa.” Bisikku padanya
“Ah, Gombal !”
“Sungguh” aku meringis
“Buktikan !” Rani menantang

Namun aku tak tahu arah kata ‘buktikan’ yang meluncur dari mulutnya. Apakah aku harus melakukan satu hal yang luar biasa di hadapan Rani? Entahlah. Sementara, jauh di langit, gumpalan awan hitam mulai mengotori ronasenja. Kulihat semakin lama semakin menebal. Mendung bergulung menjajah keindahan panorama pantai utara. Semburat kuning telah terkikis habis. Digantikan kelam awan yang nampak sekali akan segera mengusung curah hujan. Aku khawatir, jika hujan deras turun, sensasi indah dari acara kami akan ternoda. Padahal, baru kali ini aku mendapatkan kesempatan membonceng Rani.

“Achh… kerudungku..!” Rani memekik
Aku merasakan gerak sepeda sedikit Oleng sebab gerakan tubuh Rani. Seperti sedang berusaha menggaet sesuatu.

“Kenapa?”
“Berhenti, Mas. Kerudungku lepas disambar angin.”

“Ah, tenang saja, Ran. Tidak usah gugup begitu. Ada aku di sampingmu. Ngapain panik. Aku akan mengambilnya.”

“Mas bisa memanjat beringin sebesar dan setinggi itu?”
“Jangankan hanya memanjat beringin, mengarungi lautan atau mendaki puncak gunung aku mampu melakukannya. Demi cintaku padamu, Ran.”

“Benarkah?”
“Aku akan buktikan di hadapanmu.”
Kali ini, Rani tidak mengatakan ‘Gombal’.
***

Hujan tanpa permisi tumpah. Keindahan senja di pantai utara benar-benar ternoda. Aku membelokkan sepeda di depan rumah seseorang. Kami sendiri tidak mengenal pemilik rumah tersebut. Namun itu rumah terdekat saat tetes-tets air menghunjam dari atas. Kami berteduh di teras rumah itu. Lama, dan tak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti. Kupandangi langit di balik titik-titik hujan yang terbanting ke tanah. Kelam semakin menebal.

“Jam enam, Ran. Hari akan segera gelap. Bagaimana ini?”
“Entahlah, Mas. Kita menanti di sini atau …”
“Kita tunggu beberapa saat. Kalau memang hingga malam hujan tidak berhenti, maka terpaksa kita…”

Aku belum menyelesaikan kata-kataku, saat pintu rumah itu terkuak. Kami terkejut oleh suara deritnya. Seorang perempuan setengah baya melongokkkan kepala. Kami memberi isyarat ‘permisi’ dengan kepala mengangguk.

“Loh, kok berteduh di luar saja. Silahkan masuk. Ayo, dik. Nanti masuk angin kalau di luar terus.”

Kami masuk rumah sederhana di pinggir jalan pantura itu. Perempuan pemilik rumah itu bercerita. Dirinya hidup sendirian dalam rumah itu. Anaknya yang katanya seusia denganku sedang bekerja di Jakarta. Suaminya sudah beberapa tahun lalu meninggal. Celakanya, dia mengira kami adalah sepasang pengantin baru yang kehujanan

“Menginap di sini saja. Kelihatannya hujan belum akan berhenti. Tak usah malu-malu. Ada kamar kosong di sini. Bukankah kalian pengantin baru?”

Kami tidak menjawab.
“Nah, tidak apa-apa menginap di sini. Daripada malam-malam kehujanan. bisa masuk angin nanti. Kasihan adik ini.”

Kami tak bisa mengelak menerima tawaran itu. Di dalam kamar, kami bingung. Bagaimana akan melewati malam. Hanya ada satu dipan di kamar itu. Dan kami merasa masih mempunyai kewajiban menjaga moral dan etika. Ingin aku tidur di lantai. Namun rasanya aku tak akan betah dengan dingin lantai. Akhirnya aku mengambil keputusan

“Begini, Ran. Kita tetap tidur di atas satu dipan. Tapi kita akan meletakkan guling ini di tengah. Kita anggap guling ini pembatas wilayah kita. Bagaimana.?”

Rani tidak menjawab. Pandangan matanya sulit kuartikan.

Pagi hari, kami mengucapkan terima kasih pada ibu pemilik rumah itu. Kukatakan, kami sungguh berhutang budi pada kebaikannya. Memberi kami tempat berteduh saat hujan.

“Ah, tidak apa-apa, Nak. Aku malah senang sebab ada teman.” Begitu ucapnya
Sejak bangun tidur hingga meninggalkan rumah itu, gadis itu selalu diam dan nampak murung. Seperti telah terjadi sesuatu pada dirinya. Semalam seperti ada sesuatu berharga yang terenggut darinya. Padahal aku yakin, semalam-malaman tak secuilpun kusentuh kulit calon istriku itu. Tapi, kenapa dia selalu murung ?

“Ran, bukankah aku konsisten. Sebelum tidur kita telah sepakat dengan batas wilayah. Guling sebagai pembatasnya. Dan pada perasaanku, tak sedikitpun kulitmu kusentuh. Lalu kenapa kamu murung begitu?”

Di sela kemurungan, Rani menjawab
“Ternyata kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Mas.”
“Lho, siapa bilang. Aku tetap mencintaimu kok?”
“Lalu mana buktinya?” dia masih terisak

“Kamu tahu sendiri kan. Pohong beringin sebesar dan setinggi itu kupanjat. Aku tak peduli dengan semut-semut merah yang menghajar kulitku. Semua demi cintaku padamu, Ran”

“Benar, Mas. Kamu mampu memanjat batang beringin. Lalu kenapa kamu tak mampu memanjat sebatang guling?”

Sepeda terus melaju menyusuri jalan beraspal. Jalan sepanjang pesisir utara yang dibangun Daendels. Kini, aku dapat memaklumi kebingungan Sigmund Freud tentang apa yang sebenarnya diinginkan seorang wanita.

Gresik, September 2009

*) Ahmad Rofiq, lahir kira-kira Juli 1978 di Medalem-Senori- Tuban. Sejak kecil menyukai buku. Karya-karyanya telah dimuat di banyak media cetak, lokal maupun nasional, seperti Kompas, Seputar Indonesia (Sindo), harian Batam Pos, Sumut Pos, Radar Bojonegoro, Majalah Madinah dan lain-lain. Buku novelnya yang telah terbit “Haji Tak Perlu Lagi ke Mekah”.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar