Ahmad Rofiq *
Seputar Indonesia, 27 Sep 2009
Pada akhirnya, aku dapatkan juga kesempatan emas itu. Setelah kemarin kontak dengannya lewat sepucuk surat, gadis itu setuju, bahkan dengan senang hati menerima ajakanku jalan-jalan. Aku katakan padanya juga, kami berencana menyusuri jalan pantura saat senja mengambang. Akan kami reguk pesona alam saat rona jingga mengkuasi permukaan langit barat. Dan kami akan mengukur ketebalan aspal jalan hasil karya tuan Daendels yanga asli Belanda tersebut.
Dan sejak sore tadi aku sudah memesan sepeda motor milik sepupuku. Ah, maksudku aku pesan untuk dapat meminjamnya. Memang bukan sepeda bagus, namun lumayan juga untuk kencan dengan kekasih. Lagi pula bukan kendaraannya yang penting. Tapi siapa yang ada di dekat kita.
Jam setengah lima sore aku berangkat. Sepeda aku untir gagang gas-nya dan melaju ke arah gang lima. Lokasinya berdekatan dengan kuburan Cina. Di situ, kekasihku Rani berjanji akan menunggu kehadiranku. Dia akan menanti jemputanku di senja itu.
Saat laju sepedaku semakin dekat dengan gang lima, aku tersenyum. Dari kejauhan aku sudah dapat melihat sosok Rani. Dan kuakui, pacarku sore itu sungguh luar biasa cantiknya. Kulihat dia memakai pakaian halus, longgar dan tidak seronok. Bisa dikatakan, pakaian Rani senja itu terlalu sopan untuk acara kencan pertama. Dia juga memakai selembar kain kerudung warna biru. Rani duduk menunggu di atas sebongkah batu. Sambil sesekali memandangi jam tangan mungil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Aku sampai di gang lima. Rani langsung menyambutku dengan protes
“Lama sekali, Mas?”
“Sepedanya baru saja datang. Sebenarnya aku akan membawanya jam empat lebih seperempat. Namun sepupuku membawanya untuk membeli sekaleng susu buat keponakan. Sudalah, yang penting sekarang aku sudah di sini. Ayo lekas naik !”
Rani naik ke boncengan sepeda motor.
Kami melaju di atas jalanan aspal yang, seperti kuceritakan tadi, dibangun atas prakarsa gubernur Daendels. Oh Ya. Saat menyebut Daendels, aku jadi ingat tentang pembicaraan orang mengenai sekelumit kisah di balik pembangunan jalan pinggir pesisir itu. Konon, jalan yang kulewati dalam acara kencan itu rakus sekali pada tumbal. Tak tanggung-tanggung, ribuan tubuh pribumi menjadi tumbal jalan halus yang memanjang di belahan utara pulau jawa tersebut. Tapi, entahlah. Apakah semua itu memang benar atau sekedar kasak-kusuk. Aku hanya mendengar dari omongan beberapa teman. Aku sendiri belum menjumpai kabar tumbal manusia itu dalam buku sejarah baku.
Jika cerita temanku tentang sejarah jalan pantura itu memang benar, maka aku jadi bertanya-tanya. Apakah setiap karya besar memang butuh banyak tumbal? Mungkin juga. Lihat saja catatan sejarah pembangunan Piramida, tembok besar Cina, atau bangunan lainnya. Tidakkah dibawahnya terkubur beberapa ratus tubuh yang telah kehilangan nyawa?
Saat aku masih terlalu kecil dan suka bermain sendirian di sawah, ibuku kesal. Diapun bercerita. Bermain sendirian di sawah sangatlah berbahaya, kata ibu. Sebab saat suasana sudah sepi, entah siang ataupun malam, akan bertebaran sekelompok orang yang membawa karung goni. Orang-orang itu akan mencari anak-anak kecil yang bermain sendirian. Pendek kata, mereka akan menculik bocah yang berkeliaran sendiri di tempat sepi. Bocah-bocah itu akan ditangkap, diikat tangannya lalu dimasukkan ke dalam karung goni. Setelah itu dibawa kabur dengan mobil box.
Akupun bertanya pada ibu
“Akan diapakan mereka. Pakai dimasukkan dalam karung goni segala?”
“Mereka akan digorok. Setelah itu kepala selusin anak kecil itu akan dipotong dan dibuat Tumbal pembangunan sebuah jembatan. Atau bangunan bendungan untuk irigasi. Agar bangunan tidak ambruk dalam jangka lama. Begitulah permintaan makhluk halus penunggu tempat yang akan dibanguni jembatan atau bendungan itu. Di alam sana, telah terjadi kesepakatan antara Danyang penunggu dengan orang yang membangun.” Demikian jawab ibu. Akupun menggigil.
Berbekal ingatan akan cerita ibu, aku bertanya-tanya sendiri. Benarkah tuan Daendels telah menandatangani kesepakatan dengan Danyang pantura untuk memberi tumbal sekian ribu kepala penduduk pribumi? Entahlah. Atau ibuku yang terlalu berlebihan.
***
Senja mencuat. Angin laut berhembus menubruk tubuh kami yang bergerak ke depan. Diangkut dan disorong tenaga sepeda motor tua hasil pinjaman. Kulihat, beberapa ekor Camar melintasi bibir pantai utara. Saat itu tangan Rani melingkar di perutku. Entah karena takut terjatuh atau ada alasan lain gadis itu melakukannya.
“Kuikrarkan cintaku di hadapan burung-burung Camar. Sebagai delegasi alam yang akan setia menyimpan segala rasa.” Bisikku padanya
“Ah, Gombal !”
“Sungguh” aku meringis
“Buktikan !” Rani menantang
Namun aku tak tahu arah kata ‘buktikan’ yang meluncur dari mulutnya. Apakah aku harus melakukan satu hal yang luar biasa di hadapan Rani? Entahlah. Sementara, jauh di langit, gumpalan awan hitam mulai mengotori ronasenja. Kulihat semakin lama semakin menebal. Mendung bergulung menjajah keindahan panorama pantai utara. Semburat kuning telah terkikis habis. Digantikan kelam awan yang nampak sekali akan segera mengusung curah hujan. Aku khawatir, jika hujan deras turun, sensasi indah dari acara kami akan ternoda. Padahal, baru kali ini aku mendapatkan kesempatan membonceng Rani.
“Achh… kerudungku..!” Rani memekik
Aku merasakan gerak sepeda sedikit Oleng sebab gerakan tubuh Rani. Seperti sedang berusaha menggaet sesuatu.
“Kenapa?”
“Berhenti, Mas. Kerudungku lepas disambar angin.”
“Ah, tenang saja, Ran. Tidak usah gugup begitu. Ada aku di sampingmu. Ngapain panik. Aku akan mengambilnya.”
“Mas bisa memanjat beringin sebesar dan setinggi itu?”
“Jangankan hanya memanjat beringin, mengarungi lautan atau mendaki puncak gunung aku mampu melakukannya. Demi cintaku padamu, Ran.”
“Benarkah?”
“Aku akan buktikan di hadapanmu.”
Kali ini, Rani tidak mengatakan ‘Gombal’.
***
Hujan tanpa permisi tumpah. Keindahan senja di pantai utara benar-benar ternoda. Aku membelokkan sepeda di depan rumah seseorang. Kami sendiri tidak mengenal pemilik rumah tersebut. Namun itu rumah terdekat saat tetes-tets air menghunjam dari atas. Kami berteduh di teras rumah itu. Lama, dan tak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti. Kupandangi langit di balik titik-titik hujan yang terbanting ke tanah. Kelam semakin menebal.
“Jam enam, Ran. Hari akan segera gelap. Bagaimana ini?”
“Entahlah, Mas. Kita menanti di sini atau …”
“Kita tunggu beberapa saat. Kalau memang hingga malam hujan tidak berhenti, maka terpaksa kita…”
Aku belum menyelesaikan kata-kataku, saat pintu rumah itu terkuak. Kami terkejut oleh suara deritnya. Seorang perempuan setengah baya melongokkkan kepala. Kami memberi isyarat ‘permisi’ dengan kepala mengangguk.
“Loh, kok berteduh di luar saja. Silahkan masuk. Ayo, dik. Nanti masuk angin kalau di luar terus.”
Kami masuk rumah sederhana di pinggir jalan pantura itu. Perempuan pemilik rumah itu bercerita. Dirinya hidup sendirian dalam rumah itu. Anaknya yang katanya seusia denganku sedang bekerja di Jakarta. Suaminya sudah beberapa tahun lalu meninggal. Celakanya, dia mengira kami adalah sepasang pengantin baru yang kehujanan
“Menginap di sini saja. Kelihatannya hujan belum akan berhenti. Tak usah malu-malu. Ada kamar kosong di sini. Bukankah kalian pengantin baru?”
Kami tidak menjawab.
“Nah, tidak apa-apa menginap di sini. Daripada malam-malam kehujanan. bisa masuk angin nanti. Kasihan adik ini.”
Kami tak bisa mengelak menerima tawaran itu. Di dalam kamar, kami bingung. Bagaimana akan melewati malam. Hanya ada satu dipan di kamar itu. Dan kami merasa masih mempunyai kewajiban menjaga moral dan etika. Ingin aku tidur di lantai. Namun rasanya aku tak akan betah dengan dingin lantai. Akhirnya aku mengambil keputusan
“Begini, Ran. Kita tetap tidur di atas satu dipan. Tapi kita akan meletakkan guling ini di tengah. Kita anggap guling ini pembatas wilayah kita. Bagaimana.?”
Rani tidak menjawab. Pandangan matanya sulit kuartikan.
Pagi hari, kami mengucapkan terima kasih pada ibu pemilik rumah itu. Kukatakan, kami sungguh berhutang budi pada kebaikannya. Memberi kami tempat berteduh saat hujan.
“Ah, tidak apa-apa, Nak. Aku malah senang sebab ada teman.” Begitu ucapnya
Sejak bangun tidur hingga meninggalkan rumah itu, gadis itu selalu diam dan nampak murung. Seperti telah terjadi sesuatu pada dirinya. Semalam seperti ada sesuatu berharga yang terenggut darinya. Padahal aku yakin, semalam-malaman tak secuilpun kusentuh kulit calon istriku itu. Tapi, kenapa dia selalu murung ?
“Ran, bukankah aku konsisten. Sebelum tidur kita telah sepakat dengan batas wilayah. Guling sebagai pembatasnya. Dan pada perasaanku, tak sedikitpun kulitmu kusentuh. Lalu kenapa kamu murung begitu?”
Di sela kemurungan, Rani menjawab
“Ternyata kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Mas.”
“Lho, siapa bilang. Aku tetap mencintaimu kok?”
“Lalu mana buktinya?” dia masih terisak
“Kamu tahu sendiri kan. Pohong beringin sebesar dan setinggi itu kupanjat. Aku tak peduli dengan semut-semut merah yang menghajar kulitku. Semua demi cintaku padamu, Ran”
“Benar, Mas. Kamu mampu memanjat batang beringin. Lalu kenapa kamu tak mampu memanjat sebatang guling?”
Sepeda terus melaju menyusuri jalan beraspal. Jalan sepanjang pesisir utara yang dibangun Daendels. Kini, aku dapat memaklumi kebingungan Sigmund Freud tentang apa yang sebenarnya diinginkan seorang wanita.
Gresik, September 2009
*) Ahmad Rofiq, lahir kira-kira Juli 1978 di Medalem-Senori- Tuban. Sejak kecil menyukai buku. Karya-karyanya telah dimuat di banyak media cetak, lokal maupun nasional, seperti Kompas, Seputar Indonesia (Sindo), harian Batam Pos, Sumut Pos, Radar Bojonegoro, Majalah Madinah dan lain-lain. Buku novelnya yang telah terbit “Haji Tak Perlu Lagi ke Mekah”.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar