KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/
Memagut aku memagut
Racutan gelanggang mengurai pulut
Mematut aku mematut
Bunga pengimbang lamun bertaut.
Ikhwan yang setiawan.
Banyak bayang-bayang yang sepanjang badan; tapi lebih banyak lagi bayang-bayang yang tak lagi mengindahkan badannya, malahan bersebadan dengan rayuan yang jauh di atas ukuran wujudiah. Cara bagaimana pun untuk mengekalkan carapandang seseorang di tengah dunianya, niscaya akan membikin kecut orang lain, jika kekerasan diucapkan sebagai bahasa inti. Namun demikian, tiada seorang pun ragu akan kekuatan pribadinya, jikalau dia memang punya kekuatan untuk terbang. Siapa dapat menghadang?
Nah, pada hari menjelang Malam Ramadlan itu, telah pula aku usahakan untuk bertemu dengan Engku Syarifuddin, yang biasanya memberikan pelajaran khusus untuk anak-anakku. Sebetulnya aku teramat gembira, karena setiap dia datang, selalu juga anakku satu-satunya itu menyiapkan segelas air jeruk kegemarannya, dengan juadah seperlunya. Kemudian si Tulip itu akan memanggil dua kemenakanku yang tinggal agak jauh di belakang rumah, untuk ikut menyemarakkan pelajaran yang bersifat kekeluargaan tadi. Alangkah akrabnya, alangkah manisnya menyaksikan kanak-kanak berumur antara 8-10 tahun itu belajar membaca, berhitung dan bahasa melayu dari seorang kerabat seperti Engku Syarifuddin itu, yang sepenuh kerelaan mengajari para bocah yang haus ilmu pengetahuan. Maklum, tempatku jauh di pedalaman dan sebagai seorang perintis pengeboran minyak di kawasan hutan rindang Malawak, agaknya wajar kalau aku datangkan guru semacam itu, untuk menjaga agar anakku tak ketinggalan dalam ‘adab-budaya’ dibandingkan kanak-kanak sebaya (yang tentunya pada jam-jam sekolah mereka giat belajar) – dan tiada pilihan lain selain kebijaksanaan demikian.
“Anak-anak yang cerdas,” gumamnya suatu pagi, ketika menyeruput minumannya. Di depannya, ketiga bocah lanang cilik itu telah siap menerima pelajarannya hingga tengah hari, setelah disela istirahat sejenak (di mana mereka main karambol atau halma) dan shalat lohor. Aku terharu menyaksikan keluargaku begitu akrab dengan guru yang berasal dari kampung halamanku sendiri, di Sungai Batang-Maninjau. Di rantau orang, di pedalaman Brunei yang tua ini, aku merasa menemukan seorang sanak-saudara. Ia tergolong masih muda, penyantun, dan telah lima tahun lebih beberapa bulan meninggalkan negerinya, untuk memupu nafkah di bandar-raya itu.
“Pukul berapa Engku mengajar di Sekolah Sore Sribunga?” tanyaku agak menyelidik. Karena, alangkah lelahnya dia. Paling tidak, setelah keluar dari pelataran rumahku, dia harus menuju ke Batang Pinang, sungai yang panjang-luas, tempat perahu-perahu tambang menawarkan jasanya. Pelayaran di sungai memakan waktu kurang lebih satu jam. Maka, paling tidak baru pukul 16.00 petang dia tiba di rumahnya, ujung dusun injuk. “Ya, tuan, saya selalu menyempatkan diri untuk beristirahat barang seperempat jam, begitulah. Biasanya jam 17.00 lebih sedikit, saya harus siap mengajar di Sekolah Raja di Jalan Bendahara, hingga pukul 19.00. Itulah yang saya lakukan selalu.”
“Dan apakah Engku mendapat jemputan mobil tiap hari?”
“Tidak juga, tuan. Dari Injuk, biasanya saya numpang ojek sepedamotor yang dijajakan di mulut gang. Memang hanya itu yang mungkin saya tempuh. Soalnya Sekolah Sore tak mau tahu dengan kesulitan perjalanan guru…”
Saya menelan ludah. Aneh, pikirku. Bukankah dia masih tergolong lajang, dan di negeri kayaraya ini kehidupan ditata secara cermat?
Begitu mengherankan, sekaligus memilukan. Jika demikian, maka Engku Syarifuddin menyandang beban rangkap. Beban pertama sebagai seorang perantau muda, dia merasa kurang memiliki hari depan yang baik. Ia seperti tengah digaduh oleh kecemasan berlarut-larut, sehingga hidupnya sendiri harus ditata dari rinci-rinci terkecil. “Ah, adakah Engku sudah teringat untuk berumahtangga?” Tanya istriku pada suatu ketika. “Adikku lelaki tampaknya sebaya dengan Engku sudah beranak dua orang…” Dia tak meneruskan, sedangkan wajah Engku Syarifuddin kemerahan. Dalam memberikan pelajaran, dia tak pernah terkungkung oleh persyaratan keilmuan tertentu. Ia lebih bersifat terbuka, seperti kakak mengajari adik-adiknya; dan justru cara itu lebih memadai untuk anakku yang agak manja. Istriku sebetulnya menuntut agar pelajaran Bahasa Inggris juga diberikan. Tapi untuk sementara hal itu kutangguhkan mengingat umur para pelajar-rumah (sebutlah: sekolah kebun) di kawasan hutan ini hanya menepati peribahasa yang berbunyi: ‘tiada rotan, akarpun jadi’. Lagipula, anak-anak lekat sekali dengan guru muda yang periang-lincah.
Ikhwan yang lembut.
Minggu sore, aku sudah mengatakan kepada Engku Syarifuddin, agar hari Seninnya (yang kebetulan libur, karena bersamaan dengan perayaan Idul Adha), ia datang seperti biasa. Kami sekeluarga bermaksud mengunjungi Situ Kuala, untuk mandi-mandi dan menikmati udara gunung. Perjalanan ke sana dilakukan dengan menyewa kuda tunggang terlebih dahulu. Sungguh menggembirakan, bahwa Engku tak berkeberatan. Si Tulip, anakku dan dua keponakan, Lolong dan Dodi juga menyertai perjalanan yang penuh santai ini. Nah, jadilah empat ekor kuda, dua besar berbulu dawuk, dinaiki aku bersama istri dan Engku seorang; sedangkan dua yang agak kecil, berbulu putih, dinaiki anak dan dua keponakan. Jalan setapak di perkebunan kopi, dengan bau tanah tersiram gerimis lembut, sungguh sedap. Apalagi serujuk dengan uap hangat harum dari buah-buah kopi yang siap-petik. Suasana pagi memberikan sinar sumringah!
Tatkala mandi-mandi, di situlah terjadi pembicaraan yang berlangsung dari hati ke hati, antara kami. Usai mandi ala kadarnya, sambil mengawasi si buyung sayang berkecimpung di airjernih, sayapun bertanya kepada Engku, mengapa mengajar di Sekolah Sore yang dibangun oleh kesultanan itu, dia kurang memperoleh pelayanan memuaskan. “Bukankah sekolah itu dibiayai berjuta ringgit dari modal orang-orang Inggris?” Tanya istriku dengan mata iba. Kulihat baju dan celana Engku penuh tisikan, yang tentunya dilakukan olehnya sendiri lantaran tak begitu halus jarumannya. Dengan suara agak parau, dia menjawab: “Dugaan Uni memang tepat. Artinya bahwa seyogyanya sekolah itu memberikan segalanya yang baik. Karena saya mengajar anak orang besar-besar dan di antaranya juga sinyo-sinyo yang kepingin menuntut pelajaran di sekolah kerajaan.” Ia menghela nafas, kemudian menghembuskannya kembali. Suaranya lebih kental, begini: “Kalau saja saya mau. Tetapi rupanya hal itu memang harus lepas dari keduabelah tangan. Paling tidak untuk saat sekarang.”
“Lho, bukankah dalam usia kini, biaya hidup lebih Engku butuhkan? Tanyaku agak tak sabar. “Dan Engku bisa mengajukan usulan itu…”
“Tidak. Tidak. Karena… Zubaidah jadi kendalanya, tuan…”
“Zubaidah? Siapa gerangan yang Engku sebut ini?”
“Gadis remaja ini adalah putri Datuk Landuga, direktur Sekolah Sore Sribunga, tuan. Saya menolaknya. Itu lebih baik katimbang saya menggadaikan diri kepada keluarga bangsawan yang selalu haus kekuasaan itu.”
“Sayang,” kata istriku memotong. “Engku punya pandangan tertentu. Umpamanya memilih hidup secara zuhud, menjauhi gebyar keduniawian…” Giliran Engku tertawa agak keras. “Jangan salah kira, Uni. Dalam hal ini, saya lumrah-lumrah saja. Naluri kelelakian juga bicara. Cuma belum waktunya. Betul.”
Belum waktunya. Belum waktunya. Belum waktunya. Sungguh, belum pernah saya mendengar ihwal sepelik dan seaneh ini. Engku dari kampung, yang bersahaja dan senang mendidik-mengajar para bocah di kampung seputar hutan, toh punya sikap hidup yang pantas disimak. “Apa gunanya saya tenggelam di tengah gelora zaman yang menyilaukan, tuan – lebih-lebih jika saya menyadari, bahwa diriku teramat hina. Asal dari sesuatu yang rontang-ranting, terserpih-serpih. Aku berasal dari sebuah Panti Asuhan untuk para yatim-piatu. Siapa ayahku, siapa nama ibuku, telah samar sekali. Orang tua-tua juga bungkam setiap aku berusaha untuk menanyakan hal itu. Akhirnya aku simpulkan, Tuhan punya kehendak, agar diriku tetap berada di jalur jelata. Jalur rakyat miskin. Bersatu dengan mereka. Bergaul dan membina panggulawenthanya. Karena pada jalur seperti ini, hidupku akan senantiasa terpelihara dari kesombongan, kedustaan, jubriya, lupa pada Tuhan, mempertaruhkan hawa nafsu, mendewakan pribadi!”
Sepintas, ada yang tak kusetujui dari pilihan-batin begini. Tapi setelah kurenungkan lebih lanjut, memang tak jauhlah dari sesuatu yang telah disengaja jadi carapilih yang dalam. Kala itu, air kuala berwarna biru tua, sewaktu sinar surya dengan girang-gumirang melintaskan sorotnya, seraya melihat beberapa rumpun caldena yang berwarna ungu bercuplik-cuplik, yang menghias karang berpesanggrahan, sebagai Si Cantik di Kerajaan Timur – alur dan alir sungai ini pelan merayap ke sanubari. Aku pernah, dalam awal tugas-dinasku di kerajaan Brunei Darussalam itu menyaksikan Keraton Sultan Hasanal Bolkiah yang diliputi emas permata yang bagaikan memberikan cahaya berlapis mutiara, serta kereta kencana yang menyiratkan bayang seribusatu malam. Mungkinkah dari seorang Engku Syarifuddin dari maninjau yang hanya menganggap dirinya lara-papa dan tanpa nilai kebangsawanan, kecemerlangan yang dipamerkan oleh pusat Sri Diraja itu sungguh-sungguh merawankan…?
Ikhwan yang setiawan.
Aku mengeluh beberapa kali. Aku sering pedih, mengurut dada, meneteskan airmata bila tinggal di kawasan yang tak menjanjikan apa-apa selain bau kembang hutan dan kumbang madu yang bernafaskan arkadis. Kalau sesekali sempat bertamasya di daerah lain yang agak indah dan seronok, hati jadi terhibur. Sebenarnya, aku masih mendambakan kemuliaan hidup, yang bukan hanya di tengah pengabdian kepada tugas dan kesetiaan kepada Tajuk Mahkota Diraja, melainkan diliputi pula dengan segala yang bernama prasana dan sarana kehidupan modern yang pantas (untuk orang-orang seusia ini, dengan jenjang pendidikan tinggi dan halus kemapanan orang lain sebagai kompas) – tapi, ah, ah, ah. Istriku lebih-lebih lagi, kurang memahami arti kesyukuran dan mensyukuri nikmat. Tatkala mendengar secelah ungkapan yang digoreskan Engku Syarifuddin kepada kalbu kami berdua, kurasakan, betapa aku tiba-tiba merasa pongah, sombong dan meninggalkan Al-Khalik. Aku lupa, ada oranglain yang kurang beruntung tapi yang jauh di dasar hatinya terpeta jelas jalan munajat ke hadirat Rabbani.
Ikhwan, sahabat setia.
Kami anak-beranak dan Engku berenang sepuas-hati di Kuala itu. Airnya segar-sejuk memberikan kecambah keharuan ke lurung sukmaku. Esok, atau hari-hari kemudian, ingin aku lebih berguru kepada guru anakku yang masih muda itu. “Saya menolak Zubaidah. Sebagai balasannya, Datu memperlakukan diriku semacam ini. Dibiarkannya diriku menanggung beban sengsara. Melata dan merayap menuju sekolah, tempatku mengajar. Upah atau gajiku dibuatnya paling kecil, yang membuat diriku lebih-lebih lagi tertindas. Saya maafkan segala perlakuan itu. Bila Tuhan melimpahkan karunia, fajar pasti menyingsing nanti!”
Aku tercenung, seraya membuka bekal makanan dan minuman dari rumah. Sebentar kemudian, kami serombongan melahap hidangan sambil istirah.
—
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar