Chavchay Syaifullah
http://www.leadership-park.com/
Apakah setiap kita menjadi naif, bila sebentar-sebentar bertanya: di mana peran negara ketika masyarakat kita saat ini masih saja jumpalitan seperti cacing tanah tersulut api mengatasi kesulitan hidupnya sendiri-sendiri?
Dalam perjalanan 65 tahun kemerdekaan RI ini, siapa pun akan mudah menemukan potret kemiskinan. Dan bila potret 1945 atau potret 1965, tergambar kemiskinan yang hampir merata dalam lanskap pembangunan yang masih minim sehingga terbetik kesusahan hidup rakyat terjadi dalam situasi negara yang memang masih miskin. Namun kini potret kemiskinan itu justru telah banyak berdampingan sangat dekat dengan potret kemewahan yang luar biasa.
Kita bisa dengan mudah menyaksikan pemandangan gedung-gedung perkantoran dan hotel-hotel yang megah berdiri di samping perumahan kumuh berdinding triplek. Juga ketika pemerintah secara resmi menyatakan Indonesia dalam situasi krisis ekonomi, jalan-jalan raya justru semakin disesaki mobil-mobil mewah. Pusat-pusat perbelanjaan, pusat hiburan, pusat maksiat berlabel salon dan panti pijat, pun justru tumbuh menjamur. Semua ini terjadi berbarengan dengan kabar-kabar kuno tentang busung lapar, kaki gajah, gizi buruk, penangkapan anak jalanan, dan sebagainya.
Belum lagi kini kita menyaksikan bagaimana rakyat harus jumpalitan seperti cacing tanah tersulut api mengatasi masalah-masalah yang muncul dari kebijakan negara yang konon terpaksa harus dijalankan. Lihatlah tarif dasar listrik yang mendadak naik setelah marak gosip rumah berdaya listrik 450 watt akan digratiskan. Lihatlah rumah-rumah yang hancur berantakan dibom tabung gas elpiji 3 kilo gram hasil sumbangan negara sebagai kebijakan pengalihan minyak tanah. Jerit tangis rakyat yang menyaksikan keluarganya hangus terbakar dengan tubuh hitam lebam seperti gorengan ikan lele dumbo, telah dihadapi dengan instruksi normatif Presiden agar rakyat selalu memastikan kompor dalam kondisi off sebelum meninggalkan dapur atau memastikan selang tidak bocor. Rakyat pun harus mengelus dada. Mau kembali ke minyak tanah sudah tidak ada di pasaran, mau beli tabung 14 kilo gram dan kompor gas yang layak jelas tidak mampu.
Maka dengan sangat terpaksa ibu-ibu kita pun rela menyimpan teror bom 3 kilo gram di sudut dapurnya. Dan bila suatu ketika meledak dan membakar para penghuni serta seluruh bagian rumah, itulah yang disebut nasib masing-masing, takdir sendiri-sendiri. Rakyat kembali mengelus dada.
Di tengah kemiskinan yang kisah-kisahnya terlalu lebar dibicarakan ini, kita juga menyaksikan kekerasan dalam bentuk dan modus yang rupa-rupa. Bila sampai dekade awal 1990-an kekerasan di tengah masyarakat yang marak terjadi bersifat individual dan atau sektoral, seperti pencopetan atau pun perkelahian antar geng-geng kecil yang ribut akibat soal remeh temeh, kini tidak lagi begitu.
Indonesia yang sudah berusia kakek-nenek ini, harus menyaksikan tayangan pembakaran ratusan mobil, ratusan rumah, ratusan toko. Menyaksikan tayangan pembantaian rasial dengan tombak-tombak yang ujungnya tertancap wujud asli kepala orang, lengkap dengan darah segarnya. Indonesia harus menyaksikan kekerasan purna dari organisasi-organisasi legal skup besar berlabel pembelaan agama dan atau kesatuan primordial. Organisasi-organisasi seperti ini terus bermunculan dan masih menjadi teror keamanan rakyat, sebab rakyat sudah tahu sama tahu bila organisasi-organisasi besar ini sudah membuat onar, aparat keamanan pun tidak cukup bisa mengendalikan keadaan.
Kekerasan yang tidak kalah mengerikan yaitu dalam proses pemilihan kepala daerah. 498 kabupaten/kota di Indonesia harus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Andai saja di setiap kabupaten/kota terdapat 2 pasangan calon bupati/walikota, terdapatlah 996 kekuatan yang potensial melahirkan kekerasan di tanah air ini. Hal ini semakin mengerikan sebab kekisruhan pilkada di mana pun telah menumpahkan darah segar, menghanguskan kantor-kantor pemerintah, serta kekerasan yang berlarut-larut. Kekerasan ini semakin besar sebab didukung oleh kekuatan modal yang besar. Hal ini mudah dipahami karena setiap calon bupati dan calon walikota dipastikan memiliki modal besar, ini karena antara lain masyarakat kita sudah apatis dengan idealisme politik dan memilih politik uang sebagai jawaban atas janji-janji yang tidak pernah ditepati. Ibu pertiwi mengelus dada.
Di tengah kemiskinan dan kekerasan yang harus disaksikan oleh Indonesia yang kini tengah duduk lelah di kursi goyang, korupsi semakin menjadi-jadi. Jumlah pelakunya terus bertambah. Modusnya semakin aneh-aneh saja. Rakyat kini umumnya sudah tidak bisa lagi berharap pada kerja Polisi, Kejaksaan, bahkan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tingkat kepercayaan rakyat terhadap Presiden dalam hal pemberantasan korupsi semakin hari semakin pupus. Kalaupun ada aksi-aksi penangkapan koruptor, termasuk oleh KPK, rakyat sesekali hanya tertawa sambil menebak-nebak ini ada angin politik apalagi, ini ada rekayasa apalagi, ini ada pengalihan isu apalagi, atau ini ada dagelan apalagi.
Ya, kepercayaan rakyat sudah harus masuk ke ruang ICU. Sebab kondisi kepercayaan rakyat sudah gawat darurat dan butuh penanganan khusus. Namun sayang, dokter-dokter kepercayaan rakyat yang jujur dan berani sudah banyak yang wafat, ruang ICU pun sudah penuh. Kepercayaan rakyat akhirnya pingsan di ruang tunggu. Ibu pertiwi tak kuasa menahan gejolak darah di wajahnya. Ibu pertiwi memeluk erat kepercayaan rakyat sambil menahan air mata yang hampir saja tumpah serupa air bah.
Namun ketika luka kemiskinan, kekerasan, dan korupsi coba disembuhkan Indonesia, sayang bin sayang Indonesia harus melihat rakyatnya tidak memiliki daya saing yang tinggi. Indonesia kembali lelah dan duduk di kursi goyang. Ia kembali menyaksikan tayangan daya saing anak bangsa megap-megap dalam hempasan gelombang besar. Ia menyaksikan bagaimana dunia birokrasi tidak lagi memiliki daya saing yang baik, sehingga untuk meraih jabatan, kaum birokrat harus melahirkan fitnah dan jebakan. Ia menyaksikan dunia kampus tidak lagi memiliki daya saing, sehingga lahir di sana-sini karya-karya plagiat, hasil penelitian yang tidak valid, gelar-gelar akademis yang kosong melompong, juga mahasiswa-mahasiswi yang lebih senang pacaran ketimbang belajar.
Indonesia menyaksikan dunia politik tidak punya daya saing, sehingga melahirkan politikus-politikus yang gemar membunuh keluhuran cita-cita politik sebagai alat mewujudkan kesejahteraan umum. Politik telah berubah menjadi medan konspirasi, telah menjadi ajang caci maki, dan gawatnya politik telah dijadikan mesin untuk menghasilkan uang jumlah besar dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ia juga menyaksikan guru agama berdaya saing rendah, sehingga selalu melakukan agitasi terhadap kelompok yang lebih maju dengan dalil-dalil agama. Ia juga menyaksikan artis-artis berdaya saing rendah, sehingga kerap masuk ke dunia pelacuran kelas kakap yang melayani oknum pejabat bermental bejat, politikus yang haus seks bebas, dan pengusaha yang hobi pelacuran.
Di atas kursi goyangnya, Indonesia meneteskan air matanya. Ia biarkan air mata itu membasahi pipinya. Ia seperti tidak bisa lagi membendung kesedihan purba itu. Kini Indonesia merasakan luka daya saing anak bangsa seperti luka yang telah melahirkan luka kemiskinan, luka kekerasan, dan luka korupsi. Luka demi luka yang meneteskan darah dan air mata, membuat lautan tidak lagi biru, gunung tidak lagi tinggi, hutan tidak lagi gondrong, air bercampur racun, tempe bercampur formalin, rumah sakit jadi perusahaan orang sakit, seks bebas jadi rutinitas, bencana alam jadi siklus, kemewahan jadi tontonan, kekerasan jadi jalan keluar, kemiskinan jadi tontonan, dan seterusnya.
Di dalam kesedihan yang pilu, Indonesia tiba-tiba bangkit dari kursi goyangnya. Ia berjalan perlahan. Ia melihat kalender. Ia melihat warna merah di tanggal tujuh belas. Ia mulai sadar, usianya sudah 65 tahun. Ia mulai sadar usianya sudah cukup tua. Karenanya ia semakin mantap berpikir bahwa usia 65 tahun adalah usia yang asyik untuk berpikir dewasa, bertindak penuh wibawa, dan melangkah penuh kepastian.
Indonesia lantas berlari-lari anjing menghampiri daun jendela. Ia membuka jendela selebar-lebarnya. Halaman nusantara terbentang luas di matanya. Dengan suara lantang, Indonesia pun memanggil-manggil anak-anaknya. Ia memanggil-manggil kesetiakawanan sosial, ia memanggil-manggil pendidikan, ia memanggil-manggil kejujuran, ia memanggil-manggil keberanian, ia memanggil-manggil demokrasi, ia juga memanggil-manggil kemajuan.
Kepada anak-anaknya ia meminta untuk segera masing-masing membangun karakter. Karakter bukan ilmu dan pengetahuan, namun nilai dan jiwa. Nilai dan jiwa akan tumbuh antara lain dari lingkungan dan cita-cita. Indonesia meminta anaknya bernama kesetiakawanan sosial untuk segera membangun karakter dari lingkungan yang menjalin kepedulian satu sama lain, untuk cita-cita membangun peradaban yang berkemanusiaan dan berkeadilan.
Indonesia juga meminta kepada anaknya bernama pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan zaman. Pendidikan yang terjangkau bagi rakyat harus segera direalisasi. Lembaga-lembaga pendidikan yang diskriminatif harus segera dievaluasi, agar siswa-siswa sekolah unggulan kelak tidak berlaku elitis di tengah masyarakat, sementara siswa-siswa sekolah rendahan hanya bisa minderan karena terlalu sering terkena stigma.
Indonesia juga meminta anaknya bernama kejujuran untuk berjalan bareng dengan keberanian, sebab tidak ada kebenaran yang gratisan. Semuanya harus dimulai dari perjuangan yang jujur dan berani. Tanpa itu, demokrasi hanya tinggal urusan formal-formalan di atas kertas. Apapun sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial kalau dilakukan secara tidak jujur dan tidak berani, maka yang terjadi hanya kekacauan. Bukan kemajuan. Karena itu kepada anaknya bernama kemajuan, Indonesia sangat berharap agar bersabar dalam melangkah sambil menyesuaikan diri dengan kemanusiaan dan keadilan sosial. Kesempatan dan pintu masuk untuk maju, harus dimiliki oleh setiap bangsa Indonesia. Tidak boleh ada sekelompok kecil orang maju menari-nari di atas golongan besar yang tidak maju. Kesenjangan pasti bisa diatasi.
Indonesia menegaskan kepada anak-anaknya bahwa karakter bangsa harus segera dicipta, digerakkan, dan diajak berlari menuju cita-cita kebersamaan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Namun apa daya, hingga hari ini kepercayaan rakyat masih pingsan dalam pelukan ibu pertiwi di ruang tunggu di sebuah rumah sakit. Indonesia harus segera menjemputnya. Indonesia harus segera mengajaknya pulang untuk kembali bernyanyi dan menari. Tapi apakah kepercayaan rakyat masih bisa bernyanyi dan menari? Bisa! Tentu setelah disembuhkan dulu luka lamanya. Tapi, maaf, siapakah Indonesia itu? Hmmm…..kenapa kau masih bertanya terus soal ini? Kenapa kau masih bertanya terus tentang siapa Indonesia? Dengarlah baik-baik, Indonesia adalah kita semua. Indonesia adalah kita semua. Indonesia adalah kita semua.
Chavchay Syaifullah – Sastrawan & Wartawan, aktif di Yayasan Dayamuda Nusantara (Yadanu) dan Indonesia Institute for Democratic Development (IIDD), kini tinggal di Banten.
*) Materi ini dipresentasikan dalam Forum Media Massa bertajuk “Refleksi Kesetiakawanan Sosial dalam 65 Tahun Kemerdekaan RI”, di Kantor Kementerian Sosial, Jakarta, 16 Agustus 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar