Usman Arrumy
http://sastra-indonesia.com/
Kali ini aku hendak bercerita tentang kisah di Kediri, tepatnya
tentang acara launching dan bedah buku Antologi Pesantren JADZAB.
Sebetulnya aku mengalami ragu untuk menulisnya kembali, sebab aku
terlalu jenaka, apalagi hendak kumulai dengan paragraf yang mana kisah
ini? Namun secepatnya kutarik perasaan itu, sebab aku menyadari bahwa
apa yang abadi dari kenangan setelah aku mati, selain tulisan? Paling
tidak untuk mengobati rasa kangenku pada sedulur-sedulur jadzab, bahkan
kian mendorongku untuk menulis kisah ini ketika paham bahwa kenangan
itu rapuh, perlahan akan menyusut hingga lupa.
Dulu, tiga hari selepas acara itu rampung, aku mulai menulis kisah
ini hingga mencapai 10 page, bahkan hampir selesai, kutaksir sudah 80%.
Namun karena fleshdisk tempat menyimpan tulisan itu hilang dan sampai
kini belum juga ketemu, akhirnya kuputuskan memulai lagi dari awal. Aku
agak kesulitan menulis lagi persis seperti tulisan awal, sebab proses
kelahiran tiap tulisan berbeda sehingga tidak bisa digurat secara sama.
Namun dari sini, aku kembali mereplay kejadian di Tribakti, dari awal
hingga akhir dengan sisa-sisa ingatan. Mengurai sepanjang perjalanan
terselenggaranya Launching, tentu dengan bekal ingatan yang sudah
terendap lupa. Itulah sebabnya, semampuku kutulis dengan sederhana, agar
kenangan itu tidak kian terbenam, tapi selalu nancap di hati. Lewat
ini, semoga bisa menjadi pelipur rindu, dengan terbatasnya kemampuan
yang serapuh kenangan itu sendiri.
Meski catatan ini hanya kisah yang terlalu klasik untuk diceritakan
kepada sahabat-sahabatku apalagi yang mencebur di dunia akademis, namun
inilah kepolosanku dalam menulis, tanpa pernah takut jika seandainya
tidak ada yang baca, tanpa pernah malu andaikata tidak dianggap sebagai
kisah yang layak dipublikasikan. Sebab kepolosan ini dari rasa kangenku
terhadap kejadian di ruang aula itu, ketimbang tidak menulis sama
sekali?
***
Aku masih ingat betul kali pertama mendengar kabar buku JADZAB sudah
terbit, saat itu tanggal 6 Maret. Ketika aku sedang kursus bahasa Arab
di OCEAN Pare, Kediri, justru aku tahu kabar itu dari temanku. Sepulang
dari kursus aku mencari warnet di jalan brawijaya untuk membuktikan
bahwa JADZAB benar-benar terbit, kukayuh sepeda onta-ku yang kusewa dari
persewaan, kubuka akun facebook. Kulihat foto sampul buku JADZAB. Benar
saja, seketika kegiranganku tak bisa disembunyikan saat tahu Antologi
yang jauh-jauh hari dicanangkan kini sudah terbit, pertengahan September
2011 kali pertama direncanakan, dan aku kian terpacu menulis.
Di kos tempat sehari-hari aku mukim selama di Pare, malam sehabis aku
dari warnet, masih kefikiran wall-nya Ning Nabilah yang menyatakan akan
begitu senang jika seluruh penulis dapat kumpul untuk mendiskusikan
buku itu. Ya, seluruh malam waktu itu fikiranku hanya berpusat di
seputar launching. Berkelabat beribu bayang tentang hayalan sebagai
penyair sungguhan yang tampil di depan panggung, entah apa yang
mendorongku begitu kuat hingga kulepas dengan liar fikirku ke alam
harap. Seperti penulis sungguhan berhasil me-Launching karyanya, atau
penyair yang telah memuncak namanya. ‘’Aku ingin seperti mereka’’
:Teriakku malam itu.
Mulanya aku hanya iseng dalam arti tidak sungguhan, mencoba
barangkali ada respon dari sahabat-sahabat antologi tentang hayal yang
berjubel mengenai Launching. Akhirnya kukirim sms pada Ning Ochi.
Kunyatakan keinginanku mengadakan launching di Tribakti, barangkali
lewat Ning Ochi semua akan berjalan lancar, paling tidak dengan membawa
nama ning ochi, Gus Reza akan mempermudah perjalanan. Pikirku waktu itu.
Pendek kata, Ning Ochi kujadikan Joker.
Aku agak girang, Ning Ochi mengabari bahwa Gus Reza merespon
keinginanku, artinya secara tidak langsung aku disuruh menindak lanjuti,
bahkan ketika itu aku sudah sadar ternyata launching yang dulu
kuhayalkan tidak bisa lagi di anggap hayalan, namun proses untuk
melangkah lebih berani.
Dua hari selepas aku sms Ning Ochi, akhirnya aku melawat ke IAI
TRIBAKTI, sebelumnya memang aku minta tolong untuk menghubungkan ke Gus
Reza, agar lebih jelas dan benar-benar bukan semata omong kosong, agar
setidaknya kunjunganku ke Tribakti dianggap serius dalam arti tidak
main-main. Kalau tak salah saat itu hari senin, aku berangkat dari kos,
jalan sekitar 1 kilo menuju angkot mangkal, tepatnya di Tugu Garuda di
Kota Pare. Di dalam angkot warna coklat itu sesekali kubuang tatapanku
keluar jendela, duduk di pinggir sopir, jalan menuju arah selatan dari
Tugu Garuda, sambil memutar mp3 dari hapeku yang sengaja kupasang
hedset, aku masih ingat, saat itu lagunya Poppy Mercury.
Setiba di kampus aku langsung ketemu Gus Reza, sebelumnya memang
sudah janjian, di ruang kerja kampus itu, bertempat di jalan masuk
pertama, sebelah kanan dari luar kampus, proses itu bermula. Kupaparkan
dengan agak gugup perencanaan launching, jujur saja aku hanya berbekal
nekat tanpa mempunyai kelihaian melobi, bahkan aku sendiri membayangkan
jika aku menjadi Gus Reza, aku akan ngakak mendengar penuturanku seperti
habis kehujanan, tubuhku basah keringat, saking groginya! Bagaimana
tidak? Baru pertama aku memproses sendiri acara formal, Begitu
amburadulnya pemaparanku hingga kulihat agak melirik Gus Reza
mengernyitkan keningnya, mungkin beliau berfikir, iki bocah karepe piye?
Kok awet pertama aku rak mudeng?
Beliau bertanya, lha nanti teknisnya bagaimana? Pertanyaan itu
membuatku bingung, malah seingatku aku balik tanya; teknisnya bagaimana?
Teknis maksutnya bagaimana Gus? Sambil tersenyum –geli- mungkin, beliau
menjawab: Ya jalannya launching itu aturannya bagaimana? Aku menjawab
dengan sepenuh keyakinan ‘’pokoknya ya launching Gus’’…
Barangkali Gus Reza tahu kekampunganku, akhirnya beliau bilang; Ya
sudah sampean nanti nemui Gus I’ing, beliau itu Directore Of Exelent,
biasanya yang mengurusi masalah begituan. Nggeh Gus! Jawabku
mantaaaaabbb sekali (padahal aku tidak tahu apa itu Directore Of
Exelent). kebingunganku semakin bertambah ketika Gus Reza menyuruhku
buat proposal untuk mengajukan surat permohonan perihal acara launching
buku JADZAB yang ditujukan kepada Directore Of Exelent untuk rektor!
Selepas 30 menit aku di ruang kerja bersama Gus Reza, kucari ruang
tempat Gus I’ing biasanya istirahat di kampus, ternyata sedang tidak
berangkat setelah kutanyakan pada satpam di depan kampus. ‘’Anu gus, Mas
I’ing nembe ndak enak badan, katanya suruh nemui Mas Bombom saja, biar
dia yang ngurus’’, Suara Ning Ochi terdengar di hapeku saat aku sudah di
depan kampus, kemudian hapeku berdering lagi. Sms masuk, dari Ning
Ochi. Phone number Mas Bombom.
Ibarat perjalanan, aku tidak tahu arah, pada tikungan yang mana aku
harus belok, pada rambu yang mana aku harus berhenti, aku memperpelan
atau mempercepat jalan? Ibarat orang buta butuh tongkat untuk setidaknya
membantu dalam perjalanan, seperti itulah aku saat itu, tak tahu sama
sekali, dan akhirnya nabrak-nabrak. Sangat sesuatu bukan?
***
Sepulang aku dari Tribakti, aku janjian dengan Mas Bombom untuk
merancang proses selanjutnya, saat itu hari selasa, aku mbolos kursus
untuk yang keduakalinya setelah sehari sebelumnya sudah libur kursus,
maksutnya meliburkan diri. Hari itu aku bangun sangat pagi untuk
ukuranku. Jam 8. Pertama aku ke Tribakti, berjalan satu kilo untuk bisa
naik angkot berwarna coklat itu, begitu semangatnya aku hingga lupa
kalau hari itu ada hafalan 200 mufrodat!
Nampaknya akan menjadi kenangan terelok sepanjang aku di Pare, angkot
berwarna coklat itu melaju menuju Stadion Brawijaya tempat nanti aku
turun, aku duduk di sebelah sopir lagi, panas terik masih bisa menembus
kaca mobil menyentuh mataku, terpicing mataku melihat jejalan raya itu,
perjalanan dari Pare ke Brawijaya menelan waktu sekitar 45 menit, dalam
perjalanan itu, sesekali aku mendengar Pak Sopir curhat tentang hendak
naik-nya harga BBM, sebab waktu itu hanya aku yang jadi peserta angkot,
berarti curhat itu ditujukan padaku, namun aku tidak mengomentari banyak
selain lagi-lagi senyum terpaksa yang kuwakilkan sebagai jawabannya.
Dan sesampainya di Stadion Brawijaya, aku turun. Menuju warung kopi
dekat Kantor Pos Polisi. Menunggu teman untuk mengantarku ke Tribakti,
agak lama, sekitar 1 jam aku menunggunya, akhirnya kuputuskan menulis
puisi demi mengusir suntuk.
Kali ini sudah di emperan Musola Kampus dengan Mas Bombom, berbincang
panjang tentang perencanaan launching, seperti yang aku katakan tadi,
aku sama sekali tidak tahu-menahu teknis launching, oleh karenanya aku
meminta beliau untuk mengurusi seluruhnya. Sekaligus menjadi Event
Organiser. Sekitar 2 jam pertemuanku dengan Mas Bombom berlangsung,
mencakup membincangkan segala sesuatu berkaitan launching, sesekali
kudengar Mas Bombom menelfon temannya yang sudah terbiasa mengurusi
acara launching, di situ aku agak paham jalannya proses, meski sebatas
wacana. Di sini nilai lebihnya. Semula aku tidak paham dengan apa yang
namanya Event Organiser, tidak tahu apa itu teknis, tidak paham segala
hal bersangkut paut soal launching, kali itu, benar-benar menjadi sebuah
pelajaran baru, dari ketidaktahuan menjadi pengertian yang sebelumnya
tidak pernah aku mengerti. Dengan modal nekat aku mengambil ilmu formal
setidaknya untuk menambah pengetahuan, dengan nekat itulah aku berani
merengsek ke Tribakti untuk mengadakan hajat besar –bagiku.
Sampai berapa lamanya surat pengajuan belum juga tertulis, hampir 10
hari proposal itu hanya menggantung di fikiran tanpa pernah kucoba
menulisnya. Bagaimana bisa jadi kalau aku sendiri tidak paham teks
prposal? Konsepnya apa? Dengan paragraf yang mana musti ditulis? Aku
tidak paham, lha wong hanya lulusan MI kok. Akhirnya, mungkin Gus Reza
melas melihat wajahku yang kebingungan, tanpa proposal-pun jadi.
***
Sepanjang proses itu, kubayangkan andai saja 17 penulis bisa kumpul
semua dalam satu acara, seluruh penulis JADZAB tampil di depan membaca
puisinya masing-masing, kubayangkan andaikata dalam satu tempat 17
penulis bisa saling berbagi cerita. Maka siapa yang tidak bahagia?
Keharuan macam apa yang tidak tergurat di dada jika yang semula tidak
pernah ketemu akhirnya berjumpa? Barangkali itulah yang tetap jadi
prinsipku untuk terus semangat, mempertemukan sahabat-sahabatku dalam
satu acara, sebab apa yang bisa melebihi kebahagiaan seseorang selain
ketemu sedulur yang sebelumnya hanya bisa dilihat dalam foto? Ah… semoga
bisa terwujud seperti yang kudambakan selama ini. Doaku malam itu di
depan kos Pare.
Jika boleh menggambarkan, aku seumpama Bung Tomo memakai kain
merah-putih terikat di keningnya dalam peristiwa 10 November di
Surabaya, seumpama para mahasiswa dalam tragedi Semanggi tahun 1998, aku
ibarat Soebandrio dalam peristiwa Rom Royen di Linggar Jati dan kapal
Renvil, aku bagaikan Pangeran Diponegoro dengan jubah hijau di pundak
kanannya, pendek kata, nyala semangat berkibar saat itu seperti ketika
revolusi jihad di gaungkan Mbah Hasyim Asy’ari.
Barangkali akan menjadi sejarah yang tak pantas jika dilupakan,
sebuah proses maha aneh sepanjang diadakannya launching di indonesia,
keseriusanku untuk mengadakan launching tidak sebanding dengan
pengalaman di medan bedah buku, semangatku demi mempertemukan para
sahabatku tidak seimbang dengan pengetahuanku tentang launching, maka
aku hanya berbekal nekat. Bukankah di dalam pesantren sudah berulang
kali melakukan hal nekat? Ya meski dalam konteks yang berbeda, itulah
mengapa, bagiku mengambil dasar Man Jadda Wa Jada sudah cukup tanpa
harus pintar, tanpa musti mempunyai title untuk bisa mengadakan
launching, maka sebenarnya perjalanan dalam proses launching sendiri
mengalami ke-Jadzab-an paling Jadzab di dunia per-Jadzab-an, tak sekedar
sampul bukunya, namun pelaku sejarah di dalam terselenggaranya melebihi
Jadzab dalam arti sesungguhnya, coba bayangkan! Hanya Lulusan MI, itu
pun di raportnya menempati ranking 20 dari 25 siswa berani membuat acara
di sebuah perguruan tinggi. Jadzab nian bukan?
Sebenarnya setelah ketemu Mas Bombom untuk yang kedua kalinya,
semangatku agak menurun, lebih tepatnya aku kian tidak faham ketika
dijelaskan proses selanjutnya, padahal waktu itu hanya kurang 3 hari aku
sudah balik ke Demak. Dan ketika itu belum juga mencapai titik deal.
Akhirnya kuputuskan untuk membuat pleno terakhir terkait launching dan
bedah buku, meski dalam rapat nanti hanya aku dan Mas Bombom saja di
emperan Musola seperti sidang pertemuan sebelumnya.
Hari itu, 3 hari sebelum aku boyongan dari Pare, aku ingin memastikan
seluruh hal yang bersangkutan launching. Aku meminjam motor supra 125
milik temanku untuk menuju Tribakti, mumpung saat itu tidak ada kegiatan
kursus, sebab memang sudah rampung. Tidak seperti naik angkot, hanya
butuh waktu 20 menit menempuh perjalanan dari Pare ke Tribakti, itupun
belum mengerahkan jiwa mudaku dulu saat masih demen balap liar. Seperti
saat ketemu Mas Bombom sebelumnya, kali itu ngopi di emperan musola
kampus sambil ngobrol apa saja, umpama dalam dunia akademis, maka
pertemuanku dengan Mas Bombom bisa dinamakan cheking. Akhirnya, setelah
agak lama memilih tanggal dan cukup alot seperti acara bahsul masail,
tanggal 7 april dipilih sebagai waktu di selenggarakannya acara. Ketika
Mas Bombom tanya tentang siapa nanti yang mengisi kuratornya, aku
bingung lagi. Kurator? Wa ma adrokama kurator? Ini bahasa apa lagi? Tapi
ngomongku hanya ‘di hati.’ kuputuskan untuk nelfon Gus Reza Bakhirza,
sebab aku meyakini bahwa beliau mesti tahu apa itu kurator, soalnya tiap
kali ngobrol bahasanya selalu intelek, yah bahasanya itu setara dengan
pak Andi Malarangeng yang jadi jubirnya presiden itu, sehingga aku
selalu manggut-manggut, bukan karena paham, namun tepatnya biar di kira
paham. Sekitar 10 menit aku ngobrol dengan Gus Reza Bakhirza tentang
kurator, akhirnya nama Nurel Javissyarqi dipilih. Seorang pelaku seni
dari Lamongan.
Pikirku, mumpung masih di Kediri apalagi bawa motor, kuputuskan
jalan-jalan dulu, muter-muter tanpa arah, refreshing setelah di tempa
kemumetan yang hanya bisa diobati dengan ngopi, aku melaju menuju
alon-alon Kediri. Oh ya… saat itu aku sama temanku dari Banten, ponakan
dari Abuya Dimyati. Padahal aku juga sadar bahwa saat itu aku tidak
membawa STNK dan apalagi tidak membawa SIM, namun sekali lagi nekat.
Setiba di lampu merah arah utara dari Masjid Agung, tepatnya di
pertigaan. Aku lurus ke jalur depan. Tiba-tiba ada suara teriakan sangat
kencang, seperti orang demo di depan senayan. Hai….hai….hai… berhenti,
temanku yang menengok kebelakang juga ikut teriak. Ayooo gaaass poook!
Di kejar polisi dul! Seketika kukencangkan laju motor sambil masih tidak
mengerti kesalahan apa yang kulanggar sehingga dikejar polisi? Sekitar
20 detik aku baru paham ternyata lajuku melawan arah. Ketika itu aku
melihat ke kiri ada jalan menuju area perkampungan, saking gemeternya
hampir nabrak tukang becak yang mangkal di pinggir jalan saat aku
membelokkan motor, kalau bahasa di desaku ngeplek. Jiiiaaaannccoooookkk!! Kudengar lantang pisuhan itu dari tukang becak,
mungkin kalau aku berhenti akan ditonyoni, namun aku tidak peduli,
daripada kecekel polisi? Sudah jauh lamanya polisi masih menguntitku,
sekitar berjarak 50 meter di belakangku dengan ninja hijau 4 tak. Untung
saja jalan raya saat itu agak ramai sehingga polisi mungkin kesulitan
dengan motor besarnya untuk mengejar aku, dan ini memang medanku,
kesukaanku di jalan yang ramai membuatku meniru daniel pedrosa. Wah,
kalau ini polisi memang sengaja memaksaku memunculkan jiwa mudaku
setelah 4 tahun insyaf dari balapan liar. Sampai di alon-alon gumul
kulihat dari kaca spion pak polisi yang dengan berani-beraninya
menantang aku untuk balapan tadi akhirnya balik arah dengan tangan
hampa, mungkin pikir pak polisi, paling umpomo kecekel yo ra nduwe duwit
kae…
***
Tanggal 7 kian dekat ketika aku sudah berada di rumah. Tanggal
diadakannya acara launching, setelah jauh hari sudah diputuskan bahwa
tanggal itulah terselenggaranya, namun tanpa terduga sebelumnya,
ternyata tanggal 7 April itu banyak yang ada udzur, menyatakan
ketidaksediaannya untuk mengikuti prosesi acara di hari itu. Seperti
Ning Devi dan Ning Aisya sudah bisa dipastikan tidak hadir sebab
ketepatan tanggal 7 itu Buntet pesantren sedang ada acara Haul, yu Nurul
Farida dari Jogja juga tidak siap sebab pada tanggal 8 ada acara besar
di keluarganya, paling tidak tangal 7 sudah sibuk mengurusi segala hal,
Ning Uswaa baru saja nikah, otomatis sulit untuk diharapkan
kehadirannya, Ning Azzqi sendiri tanggal 7 ada acara dimanaaaaa gitu,
Gus Lizam yang rencananya kuajak berangkat bareng ternyata juga sibuk
mengurusi acara lamarannya, Ning Amna sedang di Pondok, Ning Mia di
Bengkulu, Ning Lely di Depok, Ning Nabilah dan Ning Nada sibuk skripsi,
pendek kata lengkap sudah ke-mumetanku hari itu, kalau ternyata acara
tetap diadakan tanggal 7 maka yang menkonfirmasi kehadirannya hanya Ning
Nayya, Gus Hasan dan tentu saja Ning Ochi. Di dalam kebingunganku, aku
menghayalkan andai aku bisa seperti Nabi Sulaiman, akan kusuruh angin
Timur Tengah mengantarkan Gus Awy dan Gus Ufi ke Kediri. Itu bukan
hayalan biasa dalam arti tak biasa, namun tetap saja hayal!
Tepat seminggu sebelum hari dimana acara launching terselenggara, aku
mulai mempunyai rasa pesimis antara maju dan tidak. Kalau tetap
diadakan berarti hanya empat penulis yang hadir, itupun jika keempatnya
tiada halangan, kalau mundur? Bagaimana bisa. Sedangkan sudah jauh hari
terencana apik, apalagi aku akan begitu sungkan dengan Mas Nurel jika
ternyata tanggal 7 tidak jadi. Hari itu puncak dari mumet, mungkin andai
aku jadi presiden akan kujadikan hari itu hari ‘mumet nasional.’
Di sela pikiranku hampir tidak menemukan jalan keluar sebab rasa
pesimisku kian menjadi, Akhirnya kuputuskan menuju Kediri lagi dalam
rangka menemui Mas Bombom, merancang kembali proses acara dari awal,
bahkan aku sudah tidak bisa menyembunyikan wajah galau bahkan terhadap
pepohonan, malam itu tanggal 7 mustinya tanggal itu hari dimana
launching di adakan, aku mangkat dari Demak menuju Kediri jam 2 dini
hari dengan naik bus Sinar Mandiri, satu hal yang membikinku untuk
dengan nekat melakukan perkara itu adalah, aku masih ada niatan untuk
mempertemukan sahabat-sahabat dalam satu acara, tanggung jawab seorang
aku yang terlanjur diberi amanaat untuk memproses dari awal. Di tengah
perjalanan menuju Kediri aku sempat berfikir: Wes kadung njegur banyu yo
sisan telese. Sambil agak ngantuk aku mendengarkan mp3 murottal oleh
syaikh Musyari Rasyid. Ketika secara tidak sengaja semangatku kembali
menyala-nyala pas mendengar bunyi murottal surat Alam Nasyroh, apalagi
ketika sampai ayat Inna ma’al usriyusro# Fa Idza Faroghta Fanshob# Wa
Ila Robbika Faarghob. Aku semakin yakin bisa melampaui seluruh persoalan
ini ketika aku ingat ayat: La yukallifullohu Nafsan Illa Wus’aha.
Pada malam ketika sudah sampai kediri, tidak pakai lama aku menuju
Tribakti untuk menemui Mas Bombom yang sebelumnya sudah kuhubungi
terlebih dahulu, di warung kopi depan kampus itu rapat dimulai, sidang
perwakilan Jadzab antara aku dan mas bom-bom saja, dimalam itu pula
rancangan diubah, sekitar 1 jam aku dan Mas Bombom mencari tanggal yang
bisa diterima oleh banyak pihak, menyusun dari awal prosesi acara yang
hendak ditampilkan pada launching nanti, malam itu aku agak lega setelah
menemukan titik deal, ditentukan launching diadakan tanggal 21 April
dengan konsep yang sama sedia kala, sampai aku sempat berfikiran,
andaikata penulis hanya aku saja yang bisa hadir aku tak peduli,
pokoknya tanggal 21 April harus ada acara!
Selepas dari Tribakti pada malam itu juga, aku ingin membuat suasana
nyaman untuk melayangkan fikiran, paling tidak meredamkan isi batok
kepala yang sebelumnya sempat menguap-uap, malam itu ketepatan malam
minggu, aku ingin malam mingguan seperti anak muda zaman sekarang.
Akhirnya kupilih alon-alon Kediri sebagai tempat untuk merebahkan
seluruh kepenatan, namun aku mengambil posisi di pelataran Masjid Agung.
Setelah wudzu di area masjid, kusandarkan punggungku di keramik tangga
di pelataran masjid, di sebrang dhoho plaza di pinggir jalan
kubayangkan, ketika Umy Qur kali pertama mengajakku untuk mengumpulkan
puisi, ketika kali pertama kuajak Ning Ochi untuk ikut, kali pertama aku
ketemu Mbak Dian di Hasfa, masih kubayangkan, seluruh perjalanan yang
kulewati untuk mengadakan acara, keadaan basah kuyub di bawah deras
hujan selepas pulang dari Tribakti, kubayangkan wajahku ketika dalam
keadaan sakit tipes dan aku tetap memaksa untuk yang kedua kalinya ke
Tribakti, aku akan sangat bersalah ketika mencoba melupakan seluruh
kenangan itu, semua berlalu dengan doa dan dorongan semangat para
sahabat antologi, punggungku masih bersandar di tangga pinggir jalan,
kusulut rokokku. Tiba-tiba teringat orang yang begitu membikinku
semangat untuk mengadakan launching, orang yang begitu berjasa dalam
proses launching berjalan, namun orang itu tak kan hadir dalam acara,
orang itu hanya memberi seluruh kekuatan untuk mentenungku agar selalu
berkobar-kobar dalam memproses di Tribakti. Kulihat jam di dalam hape,
menunjukkan pukul setengah satu, akhirnya kuputuskan untuk ke Jamsaren
Kediri. Pondok Assaidiyah, Sowan ke Kyai Dauglas (Pak Lik). Mencari obat
hati J.
***
Ketika sudah merambah ke 3 hari sebelum acara launching digelar ada
haru yang tak henti tersedu, seperti ketika membayangkan seluruh hal di
pelataran Masjid Agung Kediri pada suatu malam, antara kebahagiaan dan
keharuan juga kesedihan bertubi-tubi mencacah seluruh ronggaku,
berdentam-dentam tak kunjung usai, entah perasaan macam bagaimana lagi
yang hendak bertandang, kadang aku merasa belum berjuang apa-apa untuk
Antologi Jadzab, sebab aku hanya pelayan yang tidak bisa dikatakan
berjuang, itu namanya khidmat. Iya, mencari sececap berkah lewat JADZAB,
Adakalanya aku berfikir bahwa aku terlalu bocah untuk diberi mandat
dalam proses launching, aku hanya mendamba, bahwa keringatku yang
berkali-kali buncah semasa aku berjalan dari Pare ke Tugu Garuda menjadi
bebulir permata berkah kelak, mendamba bahwa gigilku sewaktu dikoyak
angin di bawah hujan saat menunggu angkot untuk pulang ke Pare menjelma
angin sejuk kelak, mendamba bahwa tiap langkah kakiku saat berjalan dari
Tribakti menuju Masjid Agung malam itu menjadi ganjaran kelak, dari
JADZAB kuniatkan mencari berkah pesantren, bukan semata untuk aku. Namun
semoga juga melimpah kepada semua yang terlibat. Aku terlelap setelah
lelah pikirku berkunjung ke dalam kenangan.
Malam itu malam jum’at, aku sudah berencana berangkat ke Kediri
sehabis fajar, aku mencoba menulis esai tentang antologi Jadzab,
sebetulnya di luar maksudku untuk mentuntaskan makalah itu, aku hanya
menulis saja tanpa ada niat untuk menjadikan tulisan itu esai, sambil
membuka akun facebookku, kulihat di dinding Ning Ochi ada sebuah
pengumuman tentang diadakannya launching di Tribakti. Jantungku kian
berdebar tiap kali melihat namaku tercantum di dalam undangan perihal
launching yang dibuat pihak Tribakti, kulihat juga yu Nurul Farida ikut
mengumumkan waktu acara, aku kian tidak paham ketika sahabat-sahabat
tidak ada yang berkenan untuk tampil dalam presentase buku, aku sempat
berfikir, mengapa sahabat-sahabatku itu sedemikian percayanya kepada
orang yang hanya menempuh sekolah dasar saja? Mengapa tidak sahabat lain
yang sudah teruji di dalam dunia per-launching-an? Bukankah ning Devi
Sarah itu Vocal di dalam kampusnya? Apalagi sudah jadi presenter di
stasiun TV local di Cirebon. Mestinya akan lebih aduhai tinimbang aku,
lihat juga Ning Nabilah, mahasiswi UGM, tentu sudah biasa menyikapi hal
yang semacam ini. Dan aku? Hanya penyair kampung yang kesehariannya
ngopi di tiap pemakaman umum. Hanya orang desa yang kesehariannya
melancong dari lampu merah ke lampu merah yang lain, hanya orang yang
tanpa pernah disentuh beragam dunia akademis. namun dari sini timbul
pernyataan. Sebuah kesadaran. Tanggung jawab dari sahabat-sahabat, dan
satu bekalku…nekat!
Selepas subuh, kudengar suara Ibuk nderes Qur’an di kursi putih depan
kamarnya, akhirnya kutunggu sampai selesai sambil nge-print tulisan
yang semalam kuanggap jadi esai. Seperti biasa, sebelum aku menjadi
pendekar bolang selalu kusempatkan untuk pamit kepada ibuk terlebih
dahulu, kuhaturkan niatku kepada ibuk untuk mengikuti suatu acara di
Kediri, pagi itu hari jum’at, langit menyala, seterang semangatku
seperti dendam kesumat Nyi Roro Kidul, semangatku menggebu-gebu,
sehingga tidak kusadari, sesampai di dalam bus aku lupa bahwa adik
perempuanku tertinggal, padahal sehari sebelumnya menyatakan ikut serta,
dan saat aku berangkat dia masih dalam masa berdandan bahkan laptopku
juga ikut tertinggal. Dan itu kupahami sebagai dampak semangatku yang
hyper.
Sesampai aku di terminal Tuban, seperti kelakuanku sebelumnya, tiap
terminal yang kusambangi selalu kujadikan saksi bahwa aku pernah
menjalani ritual atau semacam wadhifah: ngopi. Sambil menyimak wajah
pedagang asongan yang menawarkan dagangannya kepada pengunjung terminal
Kuhubungi satu-satu sahabatku lewat sms, ingin mengetahui siapa saja
yang sudah positif berangkat. yu Nurul Farida ternyata sudah berangkat
jam 6 pagi naik kereta, ning Devi Sarah hendak mangkat jam 7 sehabis
maghrib juga dengan kereta, Gus Hasan berangkat selepas sholat jum’at,
tapi mendadak Ning Nayya mengabari, tanpa membawa alasan, beliau tidak
bisa menyertakan dirinya ke Kediri, aku agak kelimpungan saat Gus Mujab
tak bisa dihubungi, padahal malam sebelumnya sudah menyatakan ingin
berangkat bareng, namun kali ini, aku sudah sampai di Tuban pun beliau
selalu gagal kuhubungi. Ketika sudah di bus menuju Jombang tiba-tiba ada
sms dari Gus Mujab,yang intinya berbunyi begini: ngapunten Gus, kulo
nembe tangi, niki kulo langsung berangkat. Hatiku ploong membaca sms Gus
Mujab. Kebiasaan dan sudah kucurigai sebelumnya bahwa semalam-suntuk
beliau chatingan sama aku dan ternyata memang benar adanya.
Di daerah Babat, Lamongan, bus berhenti sebentar di depan pasar, aku
duduk di sebelah sopir, tanpa ada janjian sebelumnya, tanpa ada praduga
terlebih dahulu, ada orang yang nepuk pundakku dan itu adalah Gus Hasan,
iya… Gus Hasan mangkat sama santrinya satu. Selama perjalanan aku dan
Gus Hasan duduk berjejeran namun tidak banyak bicara. Seperti pengantin
anyar saja.
Setiba di alon-alon Kediri, saat itu menunjuk jam 5.15 sore, aku dan
Gus Hasan dan temannya langsung menuju Masjid Agung, masjid yang pernah
kujadikan tempat merenung sewaktu kali terakhir rapat di Tribakti,
masjid yang ikut serta menyimpan sejarah dalam masa proses launching,
setelah aku melakukan jama’ ta’khir dan Gus Hasan melakukan sholat
ashar, kami bertiga mencari warung buat memenuhi hak-nya perut di
sekitar alon-alon, kami saat itu makan sego pecel, sambil melepas penat
kuseduh kopi yang sudah agak menyusut dari bibir gelas, malam itu aku
berencana bermalam di masjid, sebab di Kediri aku hanya punya tempat
inap di Pare, dan itu kupikir akan menambah lelah saja jika aku
memaksakan ke Pare, dan satu lagi di Desa Blabak, pun juga jauh dari
alon-alon, maka kuputuskan merebahkan tubuh di masjid saja, sebelum
kuistirahatkan diri ini, kami bertiga jalan-jalan dulu ke dhoho plaza,
sekedar mencari hiburan. Istilahnya itu ngumbah mripat. Namun rencanaku
yang ingin bermalam di masjid ternyata tidak di restui Allah, barangkali
gusti Allah kasihan melihat wajahku yang sudah ngantuk berat sebab 4
hari belum tidur. Selanjutnya, yu Nurul Farida mengabari kalau hendak
menjemput kami dengan Nyai Muawanah di alon-alon, disuruh bermalam di
Jampes saja katanya.
Di Jampes, di ndalem Nyai Muawanah itu akhirnya kami bermalam. Malam
sabtu, malam terakhir sebelum launching digelar, tinggal beberapa jam
lagi acara dimulai, mataku lelah namun tak juga rebah, di ndalem itu,
ndalem sederhana dengan keindahan penghuninya, kami bercengkerama, yu
Nurul Farida, Nyai Muawanah, Gus Hasan, temannya, dan aku. Sambil ngopi
kami berlima bercerita tentang apa saja, kadang saling mengejek, kadang
bercerita serius, bahkan seperti rapat para dewan legislatif: sepaneng.
Seperti sudah bertemu lama kami cepat bisa akrab, seakrab langit dan
kebiruannya. Sungguh akan jadi sebuah malam yang selalu terkenang. Malam
itu pula aku kali pertama kenal Nyai Muawanah secara langsung dan entah
ada kekuatan apa yang mendorongku untuk menganggap sebagai ibu, iya,
sifatnya yang ke-ibu-an membuatku secara pribadi menjadikan beliau
sebagai ibu. Malam kian menjulur ke dini hari, membuat kami berlima
mengakhiri perbincangan, Gus Hasan dan temannya masuk kamar belakang, yu
Nurul Farida dan Nyai Muawanah masuk ke kamar. Kecuali aku, masih
meneruskan wirid malamku: ngopi. Ku baca kitab manahijul imdad karya
syaikh Ihsan Jampes, kitab milik Nyai Muawanah yang tinggal satu juz
itu, kitab yang sudah 3 tahun lusa kuidam-idamkan kini bisa kubaca
semauku, pikirku ini kesempatan sangat jarang, membaca kitab milik cucu
musonif itu sendiri, apalagi ini kitab dambaanku! Maka kusuntukkan
mataku menyimak sepuasku. Angin yang memaksa nyusup ke celah atas pintu
itu masuk dan membikin tubuhku dijamah dingin berkali-kali, mataku mulai
disentuh remang, lalu gelap dan lelap. Di kursi panjang ruang tamu itu
akhirnya aku tertidur pulas.
***
Hari itu sabtu tanggal 21 april 2012, hari yang sudah jauh-jauh
kutunggu, mungkin juga sahabat-sahabatku, sebab hari itu dimana
launching antologi Jadzab diadakan, masih pagi sekali aku keluar tanpa
pamit dari ndalemnya Nyai Muawanah, membeli rokok di dekat Makam Syaikh
Ihsan, sambil menghirup udara Jampes di pinggir jalan raya kubayangkan
acaranya nanti, sesekali aku dirayu oleh warung kopi di tepi jalan,
seakan melambai-lambai berkata begini: kesini Usman. Kemarilah. Seduh
kopiku barang sedikit. Di tengah aku berjalan menuju ndalemnya Nyai
Muawanah kubaca sms dari Ning Devi ‘’Gus, aku udah nyampai, ini di rumah
Ning Rya’’. Amboii….waktu kian dekat menuju acara dimulai, kusruput
kopi yang masih nguap buatan Nyai Muawanah, di kursi panjang tempat
semalam aku rebah, entah bahkan seperti orang ngidam. Aku ketagihan kopi
buatan beliau, barangkali dibuat dengan dasar kasih sayang. Sesaat
kemudian, Ning Devi dan temannya bersama Ning Rya datang ditengah kami
sedang sarapan, berdecak jantungku kian kencang ketika jam menunjuk
pukul 7 pagi, berarti acara kurang 2 jam lagi dimulai, ada kegetiran
yang berdebum berkali-kali, suasana kian panas-dingin, pating greges.
Seperti Bung Karno hendak memproklamasikan Indonesia.
Sambil berkemas menuju Tribakti, kubaca sejenak esai-ku. Setidaknya
untuk referensi nanti, atau mengusir ke-ndredegan selama habis subuh
tadi ‘’Aku sedang menuju kediri dari jombang’’, begitu bunyi sms Mas
Nurel. Aku masih ingat betul betapa saat membaca sms dari Mas Nurel,
hatiku tidak karuan. Dari situ, aku mencoba merenovasi mentalku yang
kacau, agar tersusun kembali setelah rubuh.
Kali ini sudah di depan kampus Tribakti, kusulut rokok Dunhill yang
kubeli dari Indomart depan kampus, sambil menunggu Ning Devi hadir
kubaca sms dari Ning Ochi yang intinya berbunyi sedang menuju tempat
lokasi, kulihat Gus Hasan sudah masuk duluan bersama temannya, kulihat
di atas tempat jalan masuk kampus ada x-Banner JADZAB ‘’ Selamat datang
penulis buku Jadzab ‘’dengan namaku tercantum di bawahnya, serasa ada
dentuman keras, bukan karena bangga, yang demikian justru membuatku kian
ciut nyali, sebab jujur saja, penampilanku pagi itu tidak seyakin
namaku. Ketika menatap kampus dari luar gerbang itu ada ingatan yang
mendadak tiba. Sebuah perjalanan sepanjang proses launching bermula,
ketika masuk kali pertama di Tribakti aku sempat di bentak oleh satpam
yang tubuhnya hitam kekar sebab aku nylonong tanpa permisi, apalagi saat
sarungku kucangklongkan di pundakku. Pagi itu, kulihat lagi pak satpam
dengan profil yang sama persis ketika kulihat dulu, menatapku heran dari
dalam pos mungkin pak satpam berfikir: lho, bocah iki kan sing meh tak
kepruk ndisik toh? Kok iso mrene maneh lapo kae?
Aku berjalan memasuki kampus dengan Ning Devi dan temannya, entah itu
ke-GR-anku saja atau memang betul adanya, hampir orang dalam kampus
melihat kami bertiga, tidak apalah berlagak jadi artis sebentar, cuma
sebentar saja kok… Di tengah kami berjalan nuju sula tempat launching
digelar, kubisikkan dengan lirih pada Ning Devi: Wah, seumpama tidak ada
acara beginian mungkin kita tidak pernah ketemu Ning. Lalu sambil
tersenyum Ning Devi entah bilang gimanaaaa gituuuu. Sebab suaranya lirih
ditelan riuhnya gempita suara mahasiswa, sebelum naik tangga, di tempat
buku Jadzab dipasarkan. Kulihat lagi spanduk yang memuat tulisan ‘’
selamat dan sukses launching buku antologi puisi JADZAB’’, sejenak
berkelabat betapa bahagiaku lindap begitu saja membaca tulisan itu,
seakan rasa haru melesak dalam. Masih di depan aula pasca sarjana, aku
ngobrol sejenak dengan Mas Bombom yang mungkin sudah sejak tadi disitu,
kulihat juga Mbak Dian duduk sambil senyam-senyum lalu bilang ‘’aku
berangkat tadi malam jam setengah 11 naik kereta’’.
Mulai kumasuki ruang tempat lokasi acara ‘’Aula Pasca Sarjana’’
berwana hijau tua, pertama kali yang kulihat ketika aku berada di aula
itu adalah BackGround-X Banner yang terpampang besar di dinding berwarna
cream, kubaca pelan sampai kuulang lagi, begitu seterusnya. Aku duduk
di kursi paling depan, sambil melihat 3 kursi di sebalik meja tempat
mungkin –pikirku waktu itu- di buat presentase nanti. Lho, kursinya kok
Cuma 3? Lha nanti penulis lainnya di mana? Apa memang konsepnya nanti
bergilran? Ah, nanti tahu-tahu sendiri: pikirku. Aku keluar dari ruang
menuju emper di sebelah ruang itu, sambil duduk kubaca lagi esaiku,
meski tidak serius, meski agak tidak nyaman. Dan meski hanya pura-pura
baca! Kupasang senyum kemunafikan kesemua orang agar dikira aku
tenang-tenang saja, aku berlagak santai biar dikira tidak grogi, pendek
kata, aku pura-pura tampil dinamis agar di sangka tidak pesimis.
***
Barangkali acara launching kali itu tidak semewah pesta Keluarga
Cendana, tidak seistimewa rapat parlemen di gedung senayan, tidak
semencekam pertemuan para mafia di hotel Schudlle Homestay, tidak
semeriah hajatan di keraton. Namun, jika boleh jujur meski agak lebay,
acara launching waktu itu justru sampai kiamat kurang seminggu pun akan
terus terkenang, sungguh kenangan yang aku tidak rela jika harus
dilalaikan begitu saja.
Semula kupastikan penulis yang hadir hanya 5 saja, namun tiba-tiba
ketika kulihat dari lantai dua Ning Nabilah keluar dari mobil bersama
Umi-nya. Padahal sebelumnya tidak mengabari terlebih dahulu jika hendak
hadir. Saat itu pula aku masuk ruang yang akan menjadi sejarah baru
bagiku. Sejarah bersama sahabat-sahabatku itu, aku sadar bahwa saat itu
aku merasa acara ini akan jadi sebuah memorandum, kali itu aku sudah
bisa sepenuhnya sadar, bahwa launching yang dulu kuhayalkan sudah tidak
menjadi halusinasi, bahwa bedah buku yang dulu hanya sebuah angan kini
sudah nyata. Waktu itu ada semacam perasaan bahagia campur haru. Kulihat
satu-satu sahabat-sahabatku itu. yu Nurul Farida sedang asyik
berbincang dengan Ning Devi, kulihat pula Ning Ochi sibuk melihat layar
hapenya, Ning Nabilah masuk ruang dan duduk di kursi nomor dua dari
depan, Gus Hasan sibuk memotret apa saja.
Waktu itu aku masih tidak percaya jika acara kali itu benar-benar
terselenggara, aku hanya mampu diam dan memandang X-Banner itu, lama aku
terdiam.saking grogine! Sebab aku kurang terlalu siap untuk tampil
sebagai penulis yang mewakili season presentase, maka aku mendatangi
tempat yu Nurul dan Ning Devi duduk dalam rangka menawarkan barangkali
berkenan presentase, namun seperti yang kusangka sebelumnya, hanya ada
jawaban ‘’emmoooohh’’ Giliran Ning Nabilah kulobi untuk presentase, juga
sama dugaanku. Apalagi Ning Ochi, belum sempat aku ngomong sudah
menunjukkan wajah tidak mau. Nampaknya aku akan menggunakan jurus
andalanku untuk presentase, seperti biasa: Nekat. Aku tampil bukan
karena aku yang paling lihai bercakap, namun dzorurot.
Dada tempat menampung paru-paruku kian nyaring berdegap, seumpama
michropon ditaruh meski berjarak 50 centi saja di depan dadaku, mungkin
akan terdengar bagaimana bergetarnya jantungku. Masih kudengar lagunya
Nancy Ajram ‘’hobak leya’’ bergaung di ruang aula itu, kulihat Ning Devi
dan Yu Nurul tertawa melihat tingkahkuyang ikut menyanyikannya. Aula
mulai penuh pengunjung, kebanyakan mahasiswa. Tiba-tiba ada orang yang
menghampirikudan lalu duduk di sebelahku, dia memperkenalkan dirinya
sebagai moderator acara ini, selanjutya dia menyodorkan selembar kertas
untuk diisi biodataku.
Dalam acara pagi itu, ada pengunjung yang kukenal secara pribadi,
beliau-beliau berangkat atas nama guru sekaligus pecinta sastra. Seperti
Gus Mujab, jauh-jauh dari Kudus hanya hendak menghadiri acara
launching. Kang Hasyim berangkat dari Tuban, beliau diberi mandat oleh
Umy Qur untuk mewakili ketidakrawuhannya, kebetulan Kang Hasyim juga
pelaku seni. Dan Bunyai Muawanah, rela merentangkan waktunya mengambil
posisi di kursi paling depan hanya ingin melihat kami tampil, lalu
Bunyai Azza, yang kerso rawuh bahkan dengan putri dan santrinya.
Kehadiran beliau-beliau ini seakan melecutkan mentalku yang sebelumnya
agak down. Secara otomatis nekatku di dalam presentase kian menjadi
kekuatan untuk tampil. Pendek kata, aku terlampau siap.
***
Pagi itu menunjukkan jam 10, mundur 1 jam dari waktu yang sudah
ditetapkan. Wajar Indonesia banget. Sesaat sebelum acara dimulai,
kulihat Gus Reza rawuh dan menempati kursi paling depan di sebrangku,
membuatku tidak bisa berkutik. Mas Nurel yang sudah hadir sekitar 15
menit sebelumnya duduk tepat di sisi kiriku. MC pembawa acara mulai maju
dan duduk di tempat yang sudah di sediakan panitia. Dia mengawali acara
itu dengan pembukaan al-fatihah. Sesaat seluruh ruangan hening.
Kemudian season selanjutnya diteruskan Gus Reza. Dalam pembukaanya
beliau mengatakan: ketika santri menulis, ketika tulisannya dikaitkan
dengan pesantren, tentu saja mengangkat citra pesantren, mengembalikan
ke tradisi lama, karena sesungguhnya pelajaran utama dari rasul adalah
menulis.
Alqur’an dulunya ditulis tanpa titik, kemudian diperbarui dengan
adanya titik, harokat, ilmu tajwid dan seterusnya, yang semuanya dimulai
dengan proses tulisan. Kejayaan Islam, kejayaan peradaban juga karena
tulisan para ulama’. Jadi salah kalau kita sampai meninggalkan tradisi
kreasi / menulis. Kenapa jadzab? Karena karakter santri setiap saat
memang harusnya Jadzab. Majdzub, ditarik oleh Allah; dia tidak tahu akan
ke mana, seakan tidak sadar, tapi yang dikatakannya itu dari Allah.
Harapannya, penulis-penulis ini teruslah jadzab agar tidak jauh dari
Allah, dan ilham dalam berkreasi senantiasa dari Allah. Penutup acara
sebelum launching benar-benar dimulai yaitu doa, dipimpin wakil rektor.
Jam sudah menunjukkan pukul 10-45. Kian hangat suasana pagi itu
membuat tenggorokanku ingin disiram kopi, tentu akan menjadi sebuah
kedigdayaan tersendiri jika sebelumnya sela ronggaku basah oleh cairan
hitam yang wujudnya kopi. Kulihat moderator menempati kursi menghadap
audiens. Lalu disela riuh rendah suara di ruang itu moderator
melancarkan statemen. Mengumumkan biodataku yang sebelumnya aku dipaksa
mengisinya, juga kepada Mas Nurel, biodatanya dipaparkan secara singkat.
Waktu itu masih sempat kulihat papan nama di atas meja tempat nanti aku
presentase. Paling kiri moderator, tengah penulis, dan pembanding.
Sesaat kemudian Moderator mempersilahkan seseorang untuk maju guna
memimpin berjalannya lagu kebangsaan, Lagu Indonesia Raya. Kulihat
suasana di gedung Aula Pasca Sarjana mendadak sunyi, sesunyi mataku
menatap entah. Ketika lagu kebangsaan sudah digaungkan serentak sekitar
200 pengunjung ikut hanyut dalam rasa ke-nasionalisme masing-masing.
Ketika pada liryc bangunlah jiwanya, bangunlah badannya mendadak aku
lupa. akhirnya, angge’r melu mangap, gremeng-gremeng sitik ben dikiro
hapal. Meminjam istilahnya Roma Irama: THERLAALUUH, dan ternyata itu
juga terjadi kepada Nyai Muawanah, beliau mengaku tidak hafal, terakhir
kali beliau melagukan lagu kebangsaan itu saat sekolah dasar, berarti
sudah mungkin sekitar 50 tahun. Itu masih mending, kalau aku? Sungguh
tidak bisa dimaafkan. Sampai aku membayangkan jika ketahuan FPI
barangkali akan dianggap tindak kriminal, dengan dasar tidak menghormati
bangsa Indonesia. Sebuah dilema muncul dalam diriku justru saat seluruh
ruang sedang khidmat melantunkan Lagu Kebangsan.
Sampai pada saatnya namaku dipanggil. Kau tahu apa yang terjadi saat
itu? Awakku pating ndredeg. Sebelum aku maju, aku berdiri sambil melihat
sahabat-sahabatku, ingin memastikan bahwa sahabat-sahabatku itu
benar-benar mengizini aku dalam presentase. Kulihat Yu Nurul dan Ning
Devi yang duduknya berjejeran menahan tawanya melihat aku salah tingkah,
Ning Nabilah senyum sambil menganggukkan kepalanya, Ning Ochi mimiknya
terlihat lirih berkata ‘’monggo.’’
Ketika aku berada di depan, sambil menunggu moderator selesai
memaparkan muqodimahnya, kulihat seseorang maju ke arahku. Membawa kopi
dan dua bungkus Dji Sam Soe. Asoooii….jimatku datang. Bisik hatiku
kegirangan. Seperti tiap aku hendak pidato di depan santri, selalu aku
tak lupa membaca al-fatihah. Sebab darinya memunculkan kekuatan gaib
yang akan menuntunku kala aku bicara nanti.
Kali itu aku sudah tidak peduli dengan titelku yang hanya lulusan MI,
aku sudah tidak mau tahu jika penampilanku yang tidak mengancingkan
kancing baju di anggap kampungan. Dan aku sadar, kali itu aku di depan
mahasiswa, aku berada di tengah-tengah para Vocal ulung. Andaisaja waktu
itu kopinya tak kunjung datang, barangkali aku sudah terdiam padam.
Seperti batu mulutku kelu. Berangkat dari kesadaranku dengan berbagai
kekuranganku. Aku berbicara menggunakan bahasa ilmiyah, sebab jika
terlalu terpancang pada tekstual maka yang terjadi adalah kerancauan Hak
berpikirku. Itulah sebab mengapa aku agak sungkan menjelaskan terlalu
jauh perihal definisi Jadzab itu sendiri, justru yang kutekankan waktu
itu adalah muasal sastra pesantren.
Kataku waktu itu, bahwa sastra pesantren sebetulnya sudah mewabah
sejak kali pertama Islam masuk ke ranah jawa, jauh sebelum wali songo
terbentuk. Yaitu ketika syaikh maulana maghribi masuk jawa. Bahkan jika
kita berkenan me-replay sejenak, betapa kita akan mengerti bahwa justru
kehidupan sehari-hari di dalam pesantren adalah bermuatan sastra, kita
bisa lihat, kali pertama yang di ajarkan di dalam pesantren adalah
sastra. Semisal jurumiyah. yang susunan hurufnya berbentuk prosa (kalam
nasar), belum lagi ketika naik ke tingkat selanjutnya, imriti (berbentuk
syair). Alfiyah bahkan uqudul juman. Semua itu berbentuk gramatikal
sastra. Kita di ajari bagaimana cara menyusun kata-kata yang benar, di
ajari bagaimana menciptakan frasa yang indah. Itu di dalam pesantren.
Lanjutku masih dalam keadaan menggebu-gebu meski grogi, kita bisa
lihat, Ronggowarsito. Penyair paling melegenda di ranah Jawa dalam
sastra pesantren, Ia menimba ilmu kepada kyai Hasan Besyari. Yang belum
lama ini, bagaimana Kyai Hamid Pasuruan. Menyusun syair bertema adab.
Kyai Hasyim Tebuireng menciptakan Diwan Asy’ari, jauh sebelum beliau ada
sekumpulan prosa ditulis syaikh Ja’far Assyahir dalam Barzanji-nya,
bahkan sampai saat ini seakan menjadi ritual tetap tiap malam jum’at.
Apalagi Imam Busyiri dengan puisi maha indah dalam Burdah-nya. Yang
paling kekinian kita mengenal di antara sekian banyak nama populer
kepesantrenannya. Gus Mus, Zawawi Imron dari Madura, Gus Acep Zamzam
Noor dari Tasikmalaya. Para beliau lahir dan dibesarkan di pesantren.
Di dalam kesempatan kali itu, aku mengutip hadis yang kuambil dari
kitab sunan Tirmidzi. Tentang sahabat yang bertanya kepada Sayidah
Aisyah: sahabat bertanya apakah pernah kanjeng nabi baca puisi? Pernah,
kanjeng nabi pernah melantunkan syairnya Ibnu Rawahah. Jawab Sayyidah
Aisyah. Bahkan pernah kanjeng nabi memberi penghargaan kepada sahabat
ka’ab Bin Zuhair selepas membaca puisi di depan Bani Su’ad. Juga pernah
kanjeng nabi bersabda: Kalimat yang paling benar yang diucapkan oleh
penyair ialah kalimat Labid: “Ketahuilah segala sesuatu yang selain
Allah adalah bathil (rusak dan binasa)”. Tidak Sampai di situ, saat
Perang Khondak sedang berlangsung kanjeng nabi bahkan melantunkan puisi
dua baris dalam bentuk Bahr Rojaz. Berarti itu menunjukkan bahwa dunia
perpuisian sudah ada sejak zaman-nya kanjeng nabi, bahkan begitu
pentingnya puisi sehingga di salah satu surat Al-Quran ada yang
dinamakan As-syuaro’ (para penyair), aku masih melanjutkan presentasi,
kupaparkan bahwa sebetulnya di pesantren banyak sekali penyair yang
dalam panggung kesastraan Indonesia masih tersembunyi atau bahkan belum
muncul. Antologi ini barangkali bisa diharapkan jadi awal dari sederet
antologi pesantren lainnya, meski di dalam ranah yang berbeda.
Terbitnya antologi Jadzab ini semata mengikuti jejak leluhur para
pendahulu, sebab barangkali dengan Ittiba’ kepada Ulama’ terdahulu,
melalui antologi ini, kami bisa mencecap berkah darinya. Kultur
kesastraan yang sudah sekian lama berjalan di alam pesantren, Suasana
memanas ketika memasuki sesi tanya-jawab. Seingatku ada 8 pertanyaan
yang kesemuaanya di ontarkan oleh pria. Aku masih ingat ketika ada salah
satu pertanyaan, kenapa harus dinamakan JADZAB? Aku berfikir sejenak
lalu menjawab sekenaku ‘’ kalau dengan jadzab pun saya tidak bisa
menjumpai hatimu, dengan airmata mana lagi harus kuketuk hatimu’’.
Kudengar jawabanku itu mengundang tawa kecil. Lalu, aku agak kaget saat
salah satu pertanyaan dijawab Mas Nurel dengan nada agak tinggi. Mas
Nurel menantang orang yang pertanyaannya agak menyudutkan dengan
tantangan menulis, Mas Nurel bilang, kalau tulisanmu lebih bagus
ketimbang aku, aku berani membiayai penerbitan bukumu! Ngeri!…
Di tengah Mas Nurel membaca esainya dari laptop untuk menjelaskan
sebagian presepsi mengenai buku Jadzab, aku mulai agak santai. Sambil
menyulut Dji Sam Soe kupandangi satu-satu sahabatku lagi. Mereka seakan
mengirimkan santet berbentuk kata-kata magis untuk jawabanku
selanjutnya, aku melihat di antara sahabatku seakan sedang memegang
jemparing yang lalu dengan bahasa intelek sebagai anak panahnya
dilesakkan ke dalam otakku. Kudengar dari audiens bertanya: aku melihat
di dalam dunia Sastra Indonesia, pesantren kurang mendapat tempat di
media. Bagaimana anda menyikapinya? Kuhisap rorokku terlebih dahulu
sebelum akhirnya kujawab begini: kalau menurutku, kesuksesan dalam
menulis tidak bisa dinilai secara mutlak oleh sering, atau tidaknya
diekspos media. Kalaupun iya, barangkali media itu sendiri yang kurang
informasi, dan data tentang sastra pesantren. Atau, memang gerak santri
untuk ingin mengirimkan naskah ke media terbentur peraturan pondok yang
ketat. Bisa jadi begitu. Sebab lepas dari itu semua, santri secara jujur
memiliki potensi untuk ber-sastra. Namun ruang yang terbatas
berekspresi bebas agaknya terkendala berbagai hal yang bersifat
hedonistic sekularisme.
Padahal waktu itu, aku sudah berlagak untuk tidak terlihat grogi,
namun ya begitu. Sak pinter-pintere gajah mencolot akhire yo ndlosor.
Kudengar Mas Nurel berbisik pelan sambil menahan senyum khasnya; ojo
grogi, santai wae. Mungkin kendedegkanku juga terlihat oleh audiens.
Bagaimanapun, sebetulnya aku tidak pandai berpura-pura. Namun demi
kemaslahatan terpaksa kubuat jurus. Dan ternyata, kepura-puraanku untuk
terlihat santai masuk dalam kategori produk gagal.
Yang mengejutkan, di tengah kian panasnya acara dialog siang itu,
tiba-tiba muncul seorang pria yang mengacungkan jarinya demi di
persilahkan moderator untuk berbicara, semula aku fikir akan bertanya
seperti audiens lainnya, namun justru pria itu yang akhirnya
memperkenalkan dirinya sebagai ketua Dewan Kesenian Kediri ingin
membacakan salah satu puisi yang di tulis oleh Ning Ochi. Kalau tidak
salah yang dibaca beliau waktu itu yang berjudul Tersangkar Asmara.
Begitu semangatnya beliau baca puisi, bernada agak sendu seperti pria
sedang merayu gadis pujaannya. Sebelum beliau mengakhirinya, sempat
terlontar kata yang entah itu sungguhan atau main-main atau bahkan
ungkapan yang selama itu terpendam i love you ning ochi….Mbooiiiss nian
bukan?
Pada kesempatan terakhir bagi audiens untuk bertanya, justru tidak
bersifat tanya. Namun dari audiens ingin melihat kami tampil membaca
puisi, sebab kata mereka. Jangan-jangan hanya bisa menulis puisi tanpa
bisa membaca? Kecurigaan audiens itulah yang memunculkan statemenku
bahwa kami akan menjawab dengan sepenuh keyakinan kalau kami nanti akan
membaca puisi di penghujung acara. Waktu itu kegaranganku mulai tampak.
Sampai pada acara yang terakhir. Pembacaan puisi oleh tiap penulis
dengan masing-masing puisinya. Dalam pada itu, yang hadir sebagai
penulis ada Enam. Barangkali season inilah yang paling menarik
perhatian, kurasakan aroma hening mulai menyeruak ke seluruh ruang kala
kupanggil satu-satu nama sahabatku untuk ke depan.
Pertama kali yang tampil membaca puisi adalah aku, sebelum kumulai
membaca, kuawali dengan sejarah singkat tentang terciptanya puisi
Jadzab. Aku masih ingat betul, puisi Jadzab kutulis pada tanggal 2
january tahun 2009. Saat itu mendengar cerita tentang seorang wali yang
hidup di pasar Kendal. Oleh masyarakat, beliau sudah masyhur dianggap
sebagai orang gila. Sehingga pada saatnya, Kyai Hamid Pasuruan
membongkar ke-wali-annya. Namun kali ini aku hendak mempersembahkan
kepada Kyai Fanani yang bermukim di atas bebatu besar di gunung Dieng
Wonosobo. Kataku waktu itu. Seperti biasa, aku membaca puisi dengan gaya
khasku sebagai Usman Arrumy, dalam intonasi instrument yang sendu
menambah suasana kian hanyut. Pada saat itu, aku benar-benar merasakan
kehadiran seorang Jadzab, yang tetap tak bergeming sekalipun terasing.
Iya. Wali di pasar Kendal itu seakan rawuh dengan melempar senyum ke
ruang aula itu, pagi itu, adalah momen terindah sepanjang tahun 2012. Di
samping kali pertama puisi Jadzab kubacakan dalam acara resmi, juga
sebagai awal di mana aku betul-betul bisa hanyut dalam pembacaan puisi.
Gus Hasan, orang kedua yang tampil ke depan untuk membaca puisi. Ia
begitu santai, begitu rilex ketika membaca. Dengan puisinya yang
berjudul Untukmu, Muh!. Aku merasakan kepolosan dalam berpuisi ada di
dalam Gus Hasan. Sangat tenang, keluguannya ketika membaca itulah yang
membikin suasana seakan sedang melihat dan mendengar penuturan paling
jujur. Tidak begitu saja, namun nada dari frasa yang terolah rapi itu
ternyata diimbangi oleh pembacaan yang sangat sesuatu. Luapan rindu
untuk seorang teman yang meninggal terlalu dini itu ditampilkan Gus
Hasan dengan ciri khas-nya.
Selanjutnya, Yu Nurul Farida. Barangkali ia sudah terbiasa dengan
pagelaran semacam pembacaan puisi, terlihat dari ketenangannnya
sekaligus penghayatan secara nyata. Puisi berjudul Eling Sliramu, yang
dibacakan dengan menggunakan bahasa Jawa. Ada kemungkinan yang terjadi
ketika mendengar Yu Nurul membaca, khususnya pagi itu; antara ora paham
dan tiba-tiba kagum. Sekalipun aku sendiri orang Jawa, namun melihat
diksi dan idiom yang digunakan sungguh terasa sangat asing di telinga,
di situlah kehebatannya. Ora mudeng nanging ngumun. Mungkin tak aku saja
yang mengalami perasaan semacam itu.
Dan Ning Ochi. Semula aku mengira ia tidak berkenan ikut membaca,
namun dugaanku itu dijawab dengan pembacaan yang sendu, sendu sekali.
Merindu Dalam Bisu. Judul puisi dari Ning Ochi, ia baca sepenuh rindu
kepada entah. Aku mengira teruntuk abah-nya. Ada yang tiba-tiba ingin
bencah dari mataku di tengah ia membaca puisi itu, aku sempat melirik
bahwa ternyata tidak hanya aku, hampir seluruh yang dengan khusuk berada
di ruang aula itu dibikin matanya lebam merah, akhirnya leleh. Nyai
Muawanah bahkan mengaku tangis yang sudah ditahan sejak awal akhirnya
tak mampu dibendung ketika Ning Ochi membaca, Nyai Azza juga demikian,
beliau mengaku berkali-kali air matanya jatuh. Aku mendengar sendiri
dari pernyataan Gus Mujab, selepas acara bahwa pembacaan puisi dari Ning
Ochi seratus kali lebih mendebarkan ketimbang peserta juara satu lomba
baca puisi di Jateng.
Kali ini Ning Devi Sarah, kalau ini aku sudah tidak heran jika
pembacaan puisinya mbooiisss.. Aku yakin, pagi itu barangkali sudah
kesekian kalinya Ning Devi membaca puisi. Jadi sangat wajar jika
gaung-nya mendebarkan. Satu hal aku tangkap ketika Ning Devi baca puisi,
gerak-geriknya itu loh, baru kali pertama itu aku lihat model bahasa
tubuh yang sulit dinalar jika seandainya dianggap jelek, itulah
sebabnya, khas seorang Ning Devi tampak sebagai gadis yang berupaya
menampilkan seluruh perasaannya. Aku melihat ia berpuisi dengan
mengikuti gaya kekinian, dan selayaknya memang begitu. Dengan puisi yang
berjudul Dunia Akan, ia mencoba membuat harapan dengan kepastian.
Terakhir Ning Nabilah, sesaat sebelum baca puisi, ia mengisahkan
bahwa beberapa hari yang lalu ibunya baru ulang tahun, ia kirimkan Buku
Jadzab sebagai kado ulang tahun ibunya. Dan ia sempat bilang sambil
masih memegang buku Jadzab: ‘’ibu, buku ini yang terbaik yang pernah aku
punya saat ini, dan kupersembahkan kepada ibu.’’ Sungguh betapa seorang
aku yang seingatku tak pernah merasakan haru seperti waktu itu. Aku
harus mengaku, sebetulnya aku hampir nangis, namun malu, akhirnya ya
tidak jadi… Dan entah ibu pernah menulis puisi atau tidak, sehari
setelah aku kirim buku Jadzab kepada ibu, ibu sms dengan menggunakan
puisi. Demikian penuturan Ning Nabilah. Di dalam pembacaan puisi waktu
itu, justru Ning Nabilah membaca puisi yang dikirimkan ibunya lewat sms.
Sebagai persembahan terindah untuk sang ibu, begini puisinya:
Bela cantikku
ketika garis-garis keriput menggurat di wajah ibu
gigi tak lagi lengkap, kendur di pipi, lengan badan dan paha.
mata tak bisa lagi baca tanpa kacamata
otak ibu juga tak secerdas dulu
berkreasi, berfikir dan bergelut dengan wacana baru
satu demi satu penyakit hinggap di tubuh yang tak sekekar dulu
mulai ubun-ubun hingga kaki
lutut ibu kaku jika bersimpuh
perut keroncongan tak lagi kuat puasa sunnah
kepala juga terasa berat ketika bekerja
inikah ketentuan?
inikah tanda bahwa ibu harus banyak istirahat?
tak mungkin!
di luar sana anak-anak asuh menunggu
menunggu uluran tangan ibu
ibu sentuh mereka dengan sisa energi ini
ibu tak mau tua apalagi renta
tapi bagaimana lagi sunnah Allah pasti di lalui
ibu berharap perjuangan tidak berhenti
berharap dari kamu-kamu kader sejati untuk pesantren ini.
Seperti halnya aku, Nyai Muawanah, Nyai Azzah dan Nyai Umdah sendiri
sebagai ibunya Ning Nabilah luruh dalam gemuruh tangis, seperti sunami
aceh beberapa waktu lalu. Namun ternyata tidak sampai disitu, Kang
Hasyim sendiri, yang aku yakin ia berjiwa tahan tangis, sempat kulirik
memerah matanya menyaksikan Ning Nabilah, entah keharuan macam apa lagi
yang layak untuk mewakili tangis peserta siang itu. Puisi yang dibaca
Ning Nabilah itu sebenarnya sederhana namun begitu bertenaga. Dan aku
lihat, Ning Bibah dan Ning Nada yang siang itu turut menyaksikan
bagaimana sendunya Ning Nabilah membaca juga menangis. Jika seandainya
aku gadis, mungkin tangisku paling hebat di ruang itu.
Seperti permintaan audiens yang ingin menyaksikan secara langsung Mas
Nurel membaca puisi, maka dengan penuh semangat beliau maju membacakan
puisi yang dikutip dari buku Kitab Para Malaikat miliknya. Selepas
acara, tidak ketinggalan sahabat-sahabatku menampilkan sesuatu yang
paling di tunggu-tunggu. NARSIS di depan.
6 Mei 2012 Demak
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar