Ahmad Zaini*
http://sastra-indonesia.com/
Gerimis di pagi itu mengusap daun-daun pohon yang berjajar rapi di
tepi jalan. Noda yang menempel pada lembaran daun itu luruh tersapu
rintik yang semakin kerap. Jalan setapak berkelok dipenuhi bercak-bercak
liatpada genangan air hujan menjebak kaki-kaki orang yang melintas di
jalan itu. Tepat di ujung jalan setapak terdapat rumah kecil yang
beratap genting dari bahan baku tanah liat. Dalam rumah tersebut
tinggallah sebuah keluarga yang teridiri dari suami, istri dan kedua
anak buah dari perkawinannya beberapa tahun silam.
Pagi masih berkabut tebal. Matahari belum kunjung tiba di langit yang
tertutup gumpalan mendung. Akan tetapi, Bang Kumis tetap berangkat ke
areal pertambakan sambil memanggul jaring di punggungnya. Kelokan jalan
setapak yang licin sedikit menggoda perjalanannya ke tempat itu. Tubuh
Bang Kumis terhuyung dan hampir saja terjerembab di genangan air
berliatsaat kakinya tak terkendali melintasi jalan setapak.
Kerlip bara rokok terlihat dari mulut mungil yang dipenuhi kumis.
Asapnya mengepul laksana kereta api tempo dulu yang berbahan bakar batu
bara. Tangkas langkahnya mempercepat lajunya hingga sampai di sebuah
dangau yang dibangun di pematang tambak. Jaring ia letakkan di dangau
itu. Tak lama kemudian ia masuk ke dalam tambak yang airnya seperut
orang dewasa.
Ikan-ikan peliharaannya berlompatan menghindar dari terjangan Bang
Kumis. Ia berjalan menyusuri air yang berubah keruh. Bang Kumis merasa
was-was saat melihat sebagian ikan di tambaknya terkulai lemas. Ada
beberapa ekor ikan menggelapar kemudian timbul tenggelam tertelan ombak.
Setelah melihat kondisi ikan peliharaannya seperti itu, dengan cekatan
Bang Kumis mengambil sekarung pupuk lalu disebarkan ke seluruh penjuru
tambaknya untuk menetralkan warna air keruh yang diduga sebagai penyebab
klegernya beberapa ikan di tambaknya.
Seekor, dua ekor ikan yang sudah mati dan timbul di permukaan air
tambak ia ambili dengan membawa besek. Setelah penuh, besek itu diangkat
ke pematang kemudian dibawa ke dangau. Julaiha, istri Bang Kumis, sudah
menunggu di dangau dan siap membantu suaminya tercintanya yang sudah
hampir sejam berendam dalam tambak.
Matahari remang merayap di langit kelam. Bang Kumis beserta Julaiha
yang berada di dangau berbicara serius tentang nasib ikan-ikannya yang
dipanen sebelum saatnya. Setelah selesai berbincang-bincang, Julaiha
menghidangkan pepiring nasi dengan lauk ikan bandeng pada untuk suami
tercinta. Dengan lahap Bang Kumis menyantap masakan istrinya. Setelah
menghabiskan makanan yang dihidangkan istrinya, Bang Kumis pun mengambil
pisang sebagai cuci mulut. Kumis tebal yang mengelilingi bibirnya agak
menghambat keasyikannya menelan pisang.
”Pak, sudah siang. Mari kita pulang sebelum anak-anak pulang sekolah!” ajak istrinya.
Bang Kumis tak menolak ajakan istrinya. Akhirnya kedua sejoli itu pun
beranjak pulang melewati pematang tambak yang dipenuhi pohon pisang.
Rumah kecil di tepi jalan setapak terlihat lengang. Dinding-dindingnya
banyak yang berlubang. Bahkan di bagian belakang rumah itu masih
terlihat sisi-sisi rumahnya yang belum dipasang dinding bambu. Andaikan
ada pencuri atau orang yang berniat jahat untuk memasuki rumahnya, maka
orang itu akan dengan leluasa keluar masuk rumahnya. Kalaupun ada
pencuri yang masuk rumah tersebut, ia pun akan sia-sia karena tidak ada
perabot rumah yang berharga tersimpan di dalam bangunan sederhana itu.
Ketika Bang Kumis beserta istri belum sempat membuka pintu rumah,
tiba-tiba dari arah jalan setapak terdengar suara anak-anaknya yang
bergirang pulang dari sekolah. Mereka menenteng sepasang sepatunya yang
sengaja dilepas agar tidak kotor terkena liat yang memenuhi jalan menuju
ke rumahnya.
“Assalamualaikum, Bapak, Ibu!” ucap anak-anaknya.
“Waalaikum salam!” jawabnya.
Lantas mereka menjabat tangan orang tuanya sambil mengecupnya. Kemudian mereka masuk ke rumahnya yang jauh dari keramaian warga.
***
Pada suatu siang saat Bang Kumis sedang menyeruput kopi di warung
pojok, datanglah serang laki-laki tampan mengendarai sepeda motor.
Lelaki yang dempal itu turun lalu menghampiri beberapa pemuda yang
sedang asyik mengobrol di teras warung. Setelah melepas helm, ia
kemudian menanyakan rumah salah seorang warga desa itu.
”Maaf, numpang tanya! Rumah Mas Ipin mana, ya?” tanya lelaki itu.
Para pemuda itu tampak asing dengan nama itu. Mereka saling bertanya
kepada yang lain tentang nama itu. Ternyata mereka tidak mengenal nama
tersebut.
”Nama lengkapnya siapa, Mas?” seorang pemuda balik bertanya kepada lelaki tampan tersebut.
”Kalau tidak salah namanya Arifin,” jawabnya.
Mendengar sebutan nama itu, Bang Kumis pun keluar dari dalam warung.
Ia meninggalkan secangkir kopi yang masih separo di meja warung.
Bang Kumis mengamati lelaki yang masih berdiri di depan teras warung.
Dari rambut hingga ujung kaki ia pelototi. Dari wajah lelaki itu, ia
mengingat salah seorang teman sekolahnya lima belas tahun silam.
”Bapak ini, namanya Ahmad, ya?” tanya Bang Kumis.
”Iya. Mas, kok, tahu?”
”Saya ini Arifin yang Mas cari!” kata Bang Kumis sambil merangkul lelaki itu.
Kedua lelaki yang sudah terpisah sejak lima belas tahun lalu itu pun
berangkulan melepas rasa rindu yang mendalam. Sampai-sampai Bang Kumis
terasa grogi berbicara dengan Ahmad karena terharu. Para pemuda yang
duduk di teras warung pun clingukan dan kaget ternyata Bang Kumis itu
bernama asli Arifin. Maklum, mereka terbiasa memanggil dengan sebutan
Bang Kumis karena kumis tebal Arifin. Tanpa komando, Bang Kumis pun
mengajak Ahmad ke rumahnya.
”Kamu nanti jangan kaget saat melihat gubuk saya!”
”Kenapa harus kaget? Kamu kan seorang pemborong? Jelas rumahmu megah dan mewah.”
”Itu dulu. Semua telah berubah. Nanti aku ceritakan.”
Dua sepeda motor pun melaju membawa dua orang yang digandrungi rasa
senang. Mereka tak mengira Tuhan masih mempertemukan kedua lelaki yang
sempat berpisah selama itu. Ahmad penasaran dengan perkataan Bang Kumis
barusan.
Sesampai di ujung desa, sepeda motor yang mereka kendarai melewati
jalan setapak yang licin. Roda belakangnya memutar tak mampu
menggerakkan bodi motornya. Bang Kumis terpaksa turun lalu mendorong
sepeda motor Ahmad. Tepat di depan rumah mungil berdinding bambu mereka
berhenti.
”Inilah rumahku yang kutempati sekarang ini. Pasti kamu kaget, kan?!”
Ahmad diam tak mampu berkata apa-apa. Ia merasa perihatin melihat tempat tinggal teman akrabnya sewaktu sekolah dulu.
”Bu, ada tamu. Ayo masuk!”
Julaiha muncul dari dalam rumah.
“Ini Ahmad, teman sekolahku dulu,” kata Bang Kumis memperkenalkan Ahmad pada istrinya. Si Julaiha pun mengangguk sopan.
Angin semilir yang menyelinap lewat celah dan lobang dinding rumah
merontokkan daun-daun renik dari atas genting. Daun-daun itu luruh dan
mengotori meja tamu. Bang kumis bergegas mengambil lap lalu
menyingkirkan kotoran itu. Bola mata Ahmad berkeliling memandangi
kondisi rumah temannya. Dalam hatinya ia tak tega membiarkan temannya
menempati rumah seperti itu. Akan tetapi, kalau dilihat dari wajah Bang
Kumis dan istrinya, tak ada sedikit pun ada rasa risih tinggal di rumah
seperti itu. Ia begitu senang dan bahagia.
Sesaat suasana hening. Kedua lelaki itu diam membisu di ruang tamu.
Mata Ahmad tiada henti melihat kondisi rumah Arifin tidak seperti yang
ia dengar dari temannya dulu. Kata temannya bahwa Arifin sekarang jadi
pemborong bangunan yang sukses. Ia menempati rumah mewah dengan perabot
rumah yang serba wah. Kini yang ia lihat sebaliknya. Dalam hati kecil ia
ingin bertanya kepada Arifin tetapi dia juga kuatir jangan-jangan
pertanyaannya nanti menyinggung perasaan temannya. Akhirnya ia pun
memilih diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
“Pasti kamu heran kenapa saya tinggal di rumah seperti ini?” celetuk Bang Kumis akan mengawali cerita.
”Tidak, tidak. Saya tidak heran,” sahutnya gugup.
“Ceritanya panjang,” imbuhnya.
Tanpa ada permintaan dari Ahmad, Bang Kumis kemudian bercerita kepada
Ahmad tentang perjalanan bisnisnya dari zero to hero sampai hero to
zero seperti yang ia alami sekarang ini.
Perjalanan bisnis Bang Kumis sebagai pemborong bangunan pernah
mencapai masa keemasan. Puluhan bahkan ratusan warga memanfaatkan
jasanya guna memborong bangunan rumah atau yang bangunan lainnya. Pada
masa jayanya ia pernah mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya itu
hingga 200 juta rupiah pertahun. Nah, uang dari hasil kerja kerasnya itu
kemudian ia gunakan untuk membuat rumah megah dengan perabot rumah yang
lengkap. Ia juga membeli beberapa bidang tanah di desanya. Mobil
kinclong yang menyilaukan mata jika terkena sinar matahari pun ia
miliki. Namun sayang seribu sayang ia hanya menikmati masa emas itu
selama dua tahun.
Menjelang tahun berikutnya, bisnisnya terkena prahara kebangkrutan
yang luar biasa. Krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998 menjadi
biang kehancuran bisnisnya. Sendi-sendi ekonominya bertumbangan karena
kenaikan harga bahan bangunan yang di luar batas kewajaran.
Pada tahun itu ia sudah terlanjur meneken kontrak dengan beberapa
konsumen. Dari perjanjian kontrak Bang Kumis sudah menerima uang muka
dari nilai bangunan yang diborong dengan harga sebelum ada kenaikan
harga bahan bangunan. Maka ketika krisis ekonomi dan moneter melanda
Indonesia, ia harus mengerjakan bangunan itu dengan harga baru yang naik
berlipat ganda. Ia mencontohkan ketika dia menggarap bangunan Pak Rizal
dengan kontrak senilai 14 juta rupiah sebelum krisis ekonomi. Saat
krisis ekonomi melanda dan harga bahan bangunan naik, dia harus
mengeluarkan biaya hingga mencapai 40 juta rupiah. Dari dsampak kenaikan
harga bahan bangunan itu dia harus merugi hingga 360 juta rupiah. Nilai
uang yang sangat besar pada saat itu.
Maka dengan segala risiko dia harus menanggung semua kerugian dengan
menjual harta kekayaan yang ia miliki untuk menutupi kekurangannya.
Rumah megah beserta isinya, beberapa bidang tanah yang ia miliki, serta
mobil mewah, ia jual semua dengan harga yang sangat murah. Ia tak
berpikir panjang tentang harga. Yang penting barang yang akan dijual itu
laku. Beres.
Bertahun-tahun lamanya mereka hidup terlunta-lunta. Mereka tak
mempunyai sebidang tanah pun untuk mendirikan rumah ala kadarnya. Ia
pindah rumah kesana kemari. Itu pun bukan rumah hak milik melainkan
rumah familinya yang iba kepadanya dan hanya ditempati untuk sementara.
Jika dihitung sampai sekarang Bang Kumis dan keluarga sudah pindah rumah
empat kali. Mereka juga pernah hidup dengan uang pinjaman selama dua
tahun lebih. Bang Kumis belum mendapatkan pekerjaan. Para tetangga dan
masyarakat juga ewuh pakewuh memberi pekerjaan kepadanya karena ia
mantan pemborong bangunan yang sukses. Ia tidak berhenti di situ. Mereka
tetap tegar dan bisa tersenyum saat menghadapi cobaan hidup yang sangat
dasyat. Ia yakin bahwa penderitaan pasti ada akhirnya.
Bang Kumis tergolong orang yang pantang menyerah. Selama nyawa masih
dikandung badan, ia akan tetap berusaha untuk mencari jalan keluar dari
prahara ekonomi yang ia alami beserta keluarga. Bang Kumis bekerja
serabutan. Ia membantu tetangga atau warga lainnya memelihara dan
merawat ikan di tambak. Hasil yang ia dapatkan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan sebagian lagi disisihkan sebagai tabungan untuk
biaya hidup di hari depan.
Lambat laun ia bangkit dari keterpurukan. Bang Kumis sudah bisa
membeli sebidang tanah di ujung desa. Kemudian ia bisa mendirikan
bangunan rumah ala kadarnya yang kini ia tempati bersama istri dan kedua
anaknya. Ia juga menjadi tangan kanan seorang juragan tambak di
desanya. Ia diberi kepercayaan khusus untuk mengelolanya. Dari
pengalamannya itu akhirnya ia memberanikan diri untuk menyewa tambak dan
dikelola sendiri.
Ahmad meratap iba mendengar cerita dari Bang Kumis. Hati kecilnya
menangis mendengar kisah perjalanan hidup teman karibnya. Ia tak
membayangkan Bang Kumis mengalami kerumitan hidup seperti itu. Ahmad tak
menyadari kalau rasa ibanya kepada Bang Kumis sampai menitikkan air
mata. Ia merunduk dan salut atas kesabaran dan ketabahan dari temannya.
Ucapan salam dari anak-anak Bang Kumis mengagetkan Ahmad. Ia
mendongakkan wajah dan melihat dua bocah yang berseragam sekolah sambil
memanggul tas di punggungnya berdiri lantas masuk rumah kemudian
menjabat tangan ayahandanya yang hebat. Kedua anak yang duduk di bangku
kelas 5 dan 2 SD itu masuk ke ruang tengah lalu bersungkem kepada ibunya
yang menyeduh kopi untuk suaminya tercinta.
Dua bocah polos yang sudah merasakan peliknya kehidupan yang dialami
orang tuanya. Mereka mestinya belum saatnya hidup di tengah badai
ekonomi keluarga. Akan tatapi rupanya mereka sudah terbiasa tinggal di
rumah yang dinding-dindingnya bolong dan tata letak rak pakaian dan buku
yang tak beraturan.
Kumandang azan dhuhur menggema dari masjid jamik. Para warga yang
baru pulang bertambak berbenah diri untuk mendatangi panggilan Tuhan
Yang Mahasuci. Tak terkecuali Bang Kumis dan Ahmad. Mereka bergegas
menuju Masjid meninggalkan dua cangkir kopi yang belum habis di atas
meja. Kepulan asap kopinya membawa aroma sedap terbang menyelinap dari
celah dinding dan atap rumah mungil di pinggir jalan setapak.
*) Cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 22 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar