Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Tanjung Dungkak, adalah kota kecil dari sekian puluh kota yang pernah aku singgahi. Dibanding Tanjung Benoa Bali, kota ini tak sekedar jauh wilayah teritorialnya, melainkan jauh pula tingkat peradapannya. Kawasan sunyi dari lalu lalang menusia, minim gedung mewah, tak ada kendaraan transportasi dan dunia gemerlap. Keadaan ini berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Tanjung Benoa Bali yang tak sepi turis manca negara silih berganti menyinggahi.
Hingga kini aku tak pernah mempertanyakan, apakah hidup di rantau adalah takdir yang aku pesan. Yang aku tau adalah saat kepala bagian kontraktor CV tempatku bekerja menelphon, mengabari perpindahan tempatku selanjutnya setelah libur beberapa minggu.
Kerjaku memang berganti wilayah. Sekali berangkat, tak akan pulang hingga garapan usai. Jarak kepulanganku yang paling pendek sekitar enam bulan, selebihnya hingga empat tahun. Bahkan kepulangan terakhirku, seorang anak kecil yang baru jalan terantanan memanggilku kakek, padahal keberangkatan terahir lalu, anak gadisku masih kelas dua SMP.
Kehidupan kadang seperti diktator. Ia mengangkang berkacak pinggang saat kita besimpuh merunduk di telapak kakinya sekali pun. Kebutuhan hidup menjadi seutas tambang yang dilempar matador dan persis mendadung leher dan kemudian menyeretku seperti sapi atau kerbau dungu.
Meski bertahun tahun di rantau, tetap saja ada secarik goresan yang gagal aku hilangkan. Yakni seperti ada yang tak tercatat di langit dan kitab suci, rindu kampung halaman, rindu ingin pulang. Padahal telapak kakiku sering berkata,”Indonesia adalah kampung halamanku, Indonesia mana yang tak aku singgahi?”
Sejatinya aku bukan keturunan Marcopolus Colombus, sang kakek Amerika itu. Aku ingat, nisan kayu goprak yang tak bernama lagi, adalah kepala Tukejo, buyutku yang asli Jawa. Tapi mungkin Tukejo adalah sejawat Marcopolo, atau sekedar teman gaplei di gardu beratus tahun lalu. Terbukti kedekatan mereka, mewaris kepadaku. Dimana ada pulau, di situ aku berlabuh.
***
Berbeda dengan setahun lalu. Tempat ini sudah berbentuk beton cor yang layak ditiduri. Awalnya hanyalah rawa-rawa. Sejak kali pertama di tempat ini, tugasku setiap hari merubah kawasan ini menjadi bangunan layak huni bagi kapal kapal berlabuh. Tak terasa memang, adonan semen dan pasir yang ditanting tangan kuli anak buahku se ember demi se ember kini telah mengeras, tak berupa lumpur rawa yang membuat badan belepotan dan wajah hingga tak berbentuk saat bekerja.
Kadang aku mendengar senda gurau kawan sepekerjaku saat mereka menyelesaikan lelah. “ Seandainya istriku tau kalau kerjaku begini sengsara, mungkin ia tak sampai hati, makan hasil jerih payahku,” Kawan yang lain segera menyahut! “Lantas kalau gak makan jerih payahmu, istrimu mau makan apa? Yang namanya wanita itu, lobangnya lebar. Dimasukkan apa saja pasti muat. Jangankan uang pas pasan, harta segudang pun tetap kurang. Lha wong kepala bayi saja muat kok.” Seperti biasanya, kedua sahabatku itu larat ke kisah mereka semalam di tepian kolam madu yang jaraknya tujuh kilo meter. Sebuah kubangan segaran yang direguk para perantau sebagai pelepas dahaga.
Selintas aku ingat Rahwana. Ia jadi tersangka saat penculikan Shinta dari pagar Lesmana. Padahal sesungguhnya tanpa diculik pun Shinta tetap keluar dari lingkaran pagar. Kijang kencana yang berlarian di sekitar pagar, membuat lidah Shinta kemecer memilikinya sebelum wanita lain mendapatkannya. Dan betapa indah wanita jika berhias emas kencana dan berlian, apalagi harta melimpah. Andai Shinta keluar pagar tanpa pakaian pun akan ia lakukan jika itu syarat mendapat kijang kencana.
***
Cangkang laut hulu anak sungai Musi ini, soal ikan bakar, aku seperti pemilik restaurant. Senja seusai bekerja, tinggal melempar mata kail, dua kali straekan cukup buat lauk. Berbeda ketika aku di sepanjang pantai Uluwatu Jimbaran. Tiap bobot ikan dihitung harga dollaran.
Terhitung bulan ke enam, dari selatan matahari sudah menyeberangi katulistiwa. Hujan tak akan berkunjung lagi tiap pekan. Dedaunan yang lebat segera rontok di pesta musim gugur. Dan setelahnya, pasti segera berbuah.
Tepat di depan bangunanku, di seberang sungai, pohon beringin itu satu-satunya pohon terbesar di tempatku. Pemukim asli menyebutnya istana kera. Taruan saja memang pohon itu tak sepi ditempati kawanan kera.
Sudah tiga hari ini bunyi kera-kera itu lain dari biasanya. Tak sekedar pating cruet, bunyi mereka disertai perubahan nada. Dari crueeet, crueeet, beberapa hari itu cruet uww, uww. Awal bunyi itu dilantunkan sang raja kera. Sepertinya pernah dirapatkan dalam aturan perundang-undangan perkerahan, bahwa suara khas sang raja kera itu harus disauti semua pejantan kera seantero hutan belantara. Tak pelak, dalam waktu singkat, berbagai penjuru hutan gemontang suara yang sama.
Melihat perkelahian terus menerus tiga hari sesudahnya, agaknya suara itu adalah tanda tiba waktunya diselenggarakan ajang penentuan pejantan sejati. Semua kera jantan harus bertarung dan terseleksi. Hari hari itulah yang paling mengesankan bagi kami. Sambil bekerja, seolah sambil menonton gratis pagelaran teater kera kala memasuki akting antagonis. Namun beberapa kawanku ada yang kerja tak bergaji. Sebab dalam pertarungan kera itu, mereka berjudi menebak kera mana yang kalah. Sedang teman lain yang tak suka berjudi, bertaruh dengan colekan arang di wajah. Siapa yang sering kalah, wajahnya pating celoteng melebihi kera.
Selama tiga hari keramaian pohon istana nyaris menghapus minggu minggu dan bulan sebelumnya. Tak tau persis kapan kera ini mengirim surat kepada buaya. Hingga cangkang hulu sungai itu dipenuhi sembulan ombak ratusan buaya yang nenggak. Ratusan buaya berbondong bondong ke sekitar istana. Bagi buaya, saat petarungan kera adalah pesta bagi bangsanya. Sekian lama melata bertahun-tahun, dalam kesengsaraan (buaya), kera ingin mempersembahkan hal yang paling sisah dalam hidupnya untuk menghibur buaya.
Suara raungan silih berganti. Bagi pejantan yang lari artinya kalah. Tetapi tak sedikit yang memilih mati demi harga diri. Beberapa saat kemudian dua ekor segera melempar bangkai kawan tak bernyawa karena teguh dengan kegigihannya. Kematian mulia bagi manusia, ternyata tidak berlaku bagi kera. Tak sekedar melempar, kera itu sambil berekspresi memoncongkan bibir mengutuk bangkai kawannya. Bangkai bertelantingan di dahan-dahan, dan kemudian terjebur ke sungai. Jangankan sejak bertelantingan jatuh, jauh sebelum pertarungan saja buaya sudah menunggu dengan celangap mulut laparnya.
***
Setelah pertarungan itu, pohon istana yang doyong ke sungai hanya dihuni beberapa ekor saja, yakni pejantan sejati dan beberapa ekor pengabdi. Namun tiap hari tak sepi sekitar sepuluh ekor betina berbanjar mengantri. Para betina yang datang dari penjuruh hutan berarti memasuki masa kawin. Suda jadi resiko pejantan sejati, selalu dikunjungi betina yang ingin berketurunan dominan. Dan kalau pejantan sejati itu tidak mau, sama artinya mampus dikeroyok rombongan betina. Demikianlah kiranya siklus hutan. Untuk memilih pejantan sejati ditentukan lawan pejantan lain. Sedang untuk membuktikan jantan sejati, harus diadu melawan betina.
Aku ingat Sarmin, kawanku SMA. Dia harus mati dirajam hukum Arab Saudi. Saat bekerja menjadi supir pribadi di negara itu, juragannya adalah 5 wanita dalam satu rumah. Selain menyopir mobilnya, Samin juga dipaksa menyupir tubuh mereka secara bergantian. Dua tahun kemudian tubuh Sarnim kurus kekurangan hormon, dan ketika ia menolak ajakan juragannya, mereka beramai-ramai melaporkan ke polisi dengan alasan pemerkosaan.
Tak hanya pertarungan yang menjadi momen berkesan bagiku, masa kawin kera juga tontonan gratis pelepas lelah. Di dahan besar itu pejantan malu-malu, salah tingkah di hadapan sederet betina. Satu di antara betina mendekat. Sementara yang lain seperti tidak ada urusan dengan kedua pasangan itu. Meskipun antri, tetap saja bagi mereka adalah urusan dan kepentinan tersendiri. Mula-mula pejantan mengusap kepala betina, lalu mencari kutu di bulu-bulunya. Setelah keduanya berciuman, tak berselang lama yang memang telanjang sebelumnya, seperti saat aku dan istriku yang kemudian melahirkan kedua anakku.
Itulah saat saat keduanya menjadi pemilik sorga hutan belantara. Jangankan keranya, kutu di bulunya pun memiliki hal yang sama. Betina yang selesai diajak bertamasya pejantan ke ruang-ruang hampa segera pergi tanpa mau tahu apa yang dilakukan pejantan dengan betina giliran berikutnya. Para betina pun hamil dan menyusui bayi mereka sekian bulan sesudahnya.
Waktu bersamaan dengan tontonan pesta perkawinan kera itu, kadang beberapa rekanku langsung ngelonyor ke tempat mandi dan betah berlama-lama. Seperti biasanya, sore seusai bekerja, dua orang temanku sudah berpakaian necis. Mereka pergi ke lembah madu yang berjarak tujuh kilo meter. Sebuah kubangan segaran tempat para perantau mereguk madu pelepas dahaga. Apalagi setelah berguru pada kera, penonton ibarat murit cerdas yang segera memraktekkannya.
Sementara aku dengan sisah dada bergemuruh, sibuk menghalau rasa kangen pada istri di rumah nan jauh. Aku yakin. Aku bukan keturunan Marcopolo yang di mana ada pulau, di situ pula aku mendarat. Tentu, sekalian menjelajahi wanita setempat.
17 Oktober 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 09 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar