Putu Wijaya*
http://www.jawapos.com/
Di jalanan yang sudah bertahun-tahun saya lalui, ada rumah orang kaya. Depan rumahnya ada sebatang pohon kelapa gading. Buahnya terus berlimpahan seperti mau tumpah. Kalau lewat di situ, saya selalu kagum. Tapi juga tak habis pikir. Mengapa kelapa itu tak pernah dijamah. Mungkin pemiliknya terlalu kaya sehingga sudah tidak doyan lagi minum air kelapa. Padahal kalau saya yang punya, tiap hari tidak akan pernah saya biarkan lewat tanpa rujak kelapa muda.
Perasaan saya sama dengan orang-orang lain. Mereka juga heran. Karena mereka pun tahu, setiap bulan puasa, kelapa muda di mana-mana laris. Hanya dengan gula merah dan jeruk nipis, buah itu mengantar ke surga di saat buka. Diteguk langsung juga sedapnya bukan main. Semua minuman keluaran pabrik yang digondeli seabrek bahan pengawet dan zat warna, lewat. Kelapa memang nomor satu.
***
Setelah berhasil membeli rumah yang saya kontrak, yang pertama saya lakukan adalah menanam pohon kelapa gading. Tidak perlu diurus, tak peduli bagaimana curah hujan, kemarau kepanjangan sekalipun, pohon kelapa itu terus tumbuh. Dalam waktu 5 tahun mulai berbuah. Lebatnya juga tidak ketulungan.
Tapi aneh. Setelah punya pohon kelapa sendiri yang ngamuk berbuah seperti milik orang kaya itu, selera saya menenggak kelapa muda, berhenti. Buah kelapa saya biarkan saja tergantung di pohonnya sampai tua. Baru kalau ada bahaya bisa menjatuhi kepala orang lewat, atau menghajar kap mobil, saya suruh sopir menurunkannya.
Ketika satpam di kompleks dengan malu-malu datang minta satu dua kelapa muda untuk buka puasa, dengan tangan terbuka saya persilakan.
”Silakan-silakan, ambil saja. Sepuluh juga boleh!”
Satpam itu nampak segan.
”Dua saja cukup, Pak,” katanya malu-malu.
Tapi belakangan pembantu saya mengadu.
”Bukan dua, bukan tiga, bukan lima, tapi sepuluh butir kelapa yang dipetik si Rakus itu, Pak!”
Saya sabarkan dia. Saya bilang, pohon kelapa itu justru akan semakin rajin berbuah kalau buahnya dipetik. Pembantu saya tidak berani menjawab. Tapi dia ngedumel terus. Mungkin dia marah karena tidak diberi. Saya biarkan saja itu jadi urusannya.
Bulan puasa berikutnya, satpam itu tidak minta izin lagi. Dia selalu memetik kelapa kalau mau buka. Kembali pembantu saya marah. Saya hanya ketawa.
”Kalau kamu mau, ambil sendiri dong, jangan marah doang,” kata saya .
”Bukan begitu, Pak.”
”Minta tolong sopir biar kamu dipetikin!”
”Terima kasih, Pak. Memangnya saya tupai, saya tidak doyan kelapa!”
Saya ketawa. Kalau pembantu berani ngumpat-umpat di muka majikan seperti itu, bagi saya tanda hubungan kemanusiaan di antara kami masih sehat. Saya tidak pernah menganggap pembantu itu manusia yang lebih rendah dari majikan. Itu soal pembagian tugas dan nasib saja. Itu karena ibu saya sendiri dulu adalah bekas pembantu.
Tapi kemarin, pembantu saya mengetuk pintu kamar. Saya agak marah, karena saya sedang tidur enak.
”Kan sudah aku bilang aku mau tidur, jangan diganggu!”
”Tapi ini gawat, Pak.”
”Gawat apa?”
”Memangnya Bapak sudah ngijinin?”
”Ngijinin apa?”
”Itu ada dua orang yang lagi ngambil kelapa, Pak!”
”Biarin aja. Apa salahnya satpam buka dengan air kelapa muda? Satpam juga manusia. Kamu saja terlalu sensitif!”
”Tapi itu bukan si Rakus itu, Pak!”
”Bukan?”
”Bukan sekali!”
”Siapa?”
”Coba Bapak lihat sendiri. Nyebelin sekali, Pak. Sudah tidak pakai permisi, main ambil tangga aja. Apa dia pikir itu punya moyangnya, pakai golok di dapur segala, nyuruh bikin kopi lagi, Pak!”
Saya tertegun. Sambil membetulkan resluiting celana, saya keluar rumah.
Di atas pohon kelapa nampak seorang lelaki sedang mengebul-ngebulkan asap rokok. Ada tali yang terentang ke bawah dari dahan kelapa, untuk mengirim kelapa yang tangkainya sudah di kapak. Di dekat bak sampah, temannya sedang memasukkan kelapa yang sudah dipetik ke dalam karung. Saya hitung sudah dua karung. Rupanya kelapa saya mau disikat habis.
”Heee, lagi ngapain?” teriak saya terkejut.
Lelaki yang di bawah menoleh. Dia tersenyum sopan.
”Selamat sore, Pak.”
”Kamu lagi ngapain?”
”Lagi metikin kelapa, Pak.”
”Lho, ini kan kelapa saya?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa dipetik?”
”Nanti ketuaan, Pak?”
“Lho apa urusan kamu? Ini kan pohon kelapa saya?”
Orang itu berteriak kepada temannya yang di atas.
”Jo, Bapaknya nanyain ini!”
Orang yang di atas menoleh ke bawah, ke arah saya.
”Kenapa Pak?”
”Emang kamu mau ngabisin kelapa saya?”
”Ya sekalian, Pak. Besok saya mudik.”
”Terserah. Tapi ini kelapa saya!”
”Ya, Pak!”
”Ya apa?! Kenapa kamu ambilin kelapa saya?”
Orang itu tertegun heran.
”Emang kenapa Pak?”
Saya mulai marah.
”Jangan ngomong dari atas. Ayo turun kamu!”
”Tinggal dikit lagi, Pak. Nanggung.”
Saya tambah keki.
”Turunnn!”
Suara saya menggelegar. Saya sendiri terkejut. Tetangga depan rumah sampai melonggokkan kepalanya di jendela. Lelaki di atas pohon itu tiba-tiba menjatuhkan kapak dari atas pohon. Menancap ke atas rumput depan pagar. Darah saya tersirap, seakan kapak mengiris leher saya. Terus terang saya ngeper. Meskipun kelapa itu milik saya, saya tidak mau mati konyol hanya karena soal kelapa.
”Kenapa Pak?” tanya lelaki itu setelah dengan sigapnya turun.
”Saya cuma mau tanya. Kenapa kalian memetik kelapa saya?”
”Tapi kan saya sudah saya bayar, Pak.”
”Apa?”
”Sudah saya bayar, Pak.”
”Bayar apa?”
”Harganya. Kan sudah saya naikkan seperti yang diminta.”
”Harga apa?”
”Harga kelapanya semua, Pak.”
”Kamu beli kelapa saya?”
”Ya Pak.”
”Tapi ini kelapa saya, tahu!”
”Betul Pak!”
”Kelapa ini tidak dijual!”
Lelaki itu bingung. Dia menoleh temannya. Lalu temannya menghampiri. Dia berusaha menjadi penengah. Dengan suara yang sejuk, dia menyapa.
”Kami sudah bayar lunas, Pak.”
”Bayar lunas apa?”
”Kelapanya. Semua. Kami borong, Pak.”
”Aku tidak jual kelapa!”
Ganti orang itu nampak heran. Dia balik menoleh temannya. Lalu temannya mengambil kapak. Dada saya berdetak. Semangat saya amblas. Saya betul-betul tidak ingin berkelahi soal kelapa. Itu terlalu sembrono.
”Begini, Pak,” kata lelaki yang membawa kapak itu, ”Memang belum lunas semua, tapi seperempatnya lagi akan dibayar setelah kami rampung.”
Lelaki itu lalu merogoh saku mengeluarkan dompet.
”Mana duitnya?!”
Temannya ikut merogoh saku dan mengeluarkan amplop.
”Nih lunasi sekarang!”
Lelaki itu memasukkan isi dompetnya ke dalam amplop.
”Sana kasih sekarang!”
”Tapi itu kelapanya masih ada?”
”Udah cukup. Bapak ini kali mau minta yang kecil-kecil itu jangan diambil dulu,” katanya sambil menoleh saya dengan tersenyum. ”Ya kami juga tidak akan ngambil itu, Pak. Ini saja sudah cukup. Cepetan sana bayar!”
Orang yang membawa amplop itu bergerak pergi menuju ke pos satpam.
”Begitu, Pak. Kami tidak pernah nakal.”
”Jadi kamu beli kelapa saya?”
”Ya Pak.”
”Beli dari siapa?”
”Pak satpam, Pak.”
Saya terhenyak. Marah saya meledak lagi. Tapi kapak di tangan lelaki itu terlalu menakutkan. Saya terpaksa menelan perasaan saya. Lelaki itu tidak bicara lagi. Ia memasukkan semua kelapa yang dia anggap sudah dibelinya ke dalam karung. Waktu itu tetangga saya keluar dari rumah dan menyapa.
”Dijual berapa?”
Saya hanya menggeleng. Tapi lelaki yang membawa kapak itu menyahut.
”Seratus ribu, Pak.”
”Wah lumayan! Boleh juga!”
Saya tak menjawab. Sayup-sayup saya dengar suara satpam di pos. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tak sanggup melihat buah yang selalu saya pandangi sebagai keindahan itu, sekarang berserakan di jalan, diam-diam saya masuk ke rumah. Korden jendela saya tutup. Saya tidak mau atau katakan saja takut melihat kenyataan itu.
Di luar saya dengar suara entakan sepatu satpam datang. Saya tak percaya dia akan masuk, lalu menyerahkan hasil penjualannya. Itu hanya harapan saya. Dan saya jadi benci sekali karena semuanya itu tetap hanya harapan.
Semalaman saya tak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar menegur satpam yang kurang ajar itu. Tapi saya punya rencana yang lain. Orang itu tidak cukup ditegur. Dia harus diberi pelajaran biar tahu rasa.
Pagi-pagi, saya berunding dengan sopir yang antar-jemput saya ke kantor.
”Kamu mau berbuat baik, Jon?”
”Apa itu, Pak, boleh.”
”Kamu tahu tukang sayur yang selalu lewat dengan gerobaknya pagi-pagi itu?”
”Tahu, Pak.”
”Cantik kan?”
”Ah Bapak, sudah peot begitu, masak cantik.”
”Jangan begitu. Dulu dia cantik. Sekarang karena kurang terurus dan kerja keras, anaknya juga sudah dua, jadi layu begitu.”
”Ya Pak. Dia suka mengeluh, suaminya mau kawin lagi. Tidak pernah ngurus anak bininya sekarang. Pulang juga jarang.”
”Coba hibur dia.”
”Hibur bagaimana, Pak?”
”Kembalikan kepercayaan dirinya!”
”Bagaimana itu Pak?”
”Kamu katakan kepada dia, dia itu sebenarnya cantik, asal mau mengurus badannya lagi.”
Sopir ketawa.
”Ah Bapak bisa aja!”
”Lho ya nggak? Jujur saja! Kalau dia mau nguruskan badan lagi, dengan gampang dia bisa dapat suami baru. Ya tidak?!”
Sopir saya ketawa. Dia melirik saya dengan mata curiga.
”Aku serius!”
Sopir itu tak menjawab. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di kantor saya intip dia bisik-bisik dengan sopir lain. Pasti sedang menebar gosip. Saya pura-pura tidak tahu. Tetapi kemudian apa yang saya rencanakan terjadi.
Sehari kemudian, sore menjelang saat buka, terjadi kegegeran. Satpam sudah menunggu saya di teras. Mukanya nampak terlipat oleh kemarahan.
”Kenapa Min?”
”Ada masalah, Pak!”
”Masalah apa lagi? Ada bom?”
”Bukan ini pribadi, Pak!”
”O, kamu mau kawin lagi?”
”Ah itu gosip, Pak!”
”Atau sudah kawin?”
”Sumpah, Pak, mana mungkin saya kawin lagi… Yang satu saja tidak sanggup saya urus, sampai dia terpaksa jualan sayur dengan gerobak.”
”Ya, kamu kok sampai hati membiarkan istri kamu dorong gerobak, padahal dia asma kan?”
”Itulah, Pak!”
”Makanya jangan kawin melulu!”
”Sumpah, Pak, tidak. Malah saya yang kena batunya sekarang!”
”Kena batunya gimana?”
”Istri saya ada yang godaan, Pak!”
”O ya?”
”Betul, Pak! Istri saya digoda!”
”Digoda bagaimana?”
”Masak istri saya dibilang cantik, Pak!”
”Lho istri kamu kan memang dulu cantik? Kalau tidak, mana mau kamu!”
”Memang. Tapi itu kan dulu, Pak. Sekarang anaknya sudah dua, asma lagi, mana ada cantiknya. Nggak ada orang yang akan melirik dia, kecuali kalau ada niat jahat.”
”Maksudmu apa?”
Satpam itu pindah kursi, mendekat, lalu bicara dengan berbisik.
”Ini menyangkut sopir Bapak.”
”Si Jon?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa dia?”
”Masak dia merayu istri saya, Pak!”
”Merayu bagaimana?”
”Katanya, istri saya itu sebenarnya cantik, asal saja mau dandan lagi. Kalau sudah dandan dia nanti gampang cari suami baru! Begitu Pak!”
”Terus?”
”Ya kalau si Jon itu tidak ada maksud apa-apa, dia tidak akan bilang begitu. Saya tahu persis apa maunya kalau laki-laki sudah ngomong memuji-muji begitu. Perempuan kan lemah hatinya, Pak. Kalau sudah dipuji, apa saja dia kasih.”
”O ya?”
”Betul, Pak.”
”Jadi sekarang maksudmu apa?”
”Ya, Bapak tolong kasih tahu, janganlah si Jon itu coba-coba dengan istri saya!”
”Tapi kamu kan sudah tidak memperhatikan istri kamu lagi.”
”Bukan tidak memperhatikan, Pak.”
”Terus apa?”
”Nggak punya duit saja, Pak. Bagaimana saya memperhatikan kalau tidak ada duit yang bisa saya kasihkan?”
”Memperhatikan itu tidak harus dengan duit. Istri kamu kan sudah kerja sendiri. Katanya malah kamu yang sering minta duit dari dia? Betul?”
”Betul, Pak.”
”Kenapa?”
”Kan dia itu istri saya!”
”Jadi, meskipun tidak kamu perhatikan, dia itu tetap istri kamu kan?!!”
”Betul, Pak. Makanya saya marah. Hanya karena saya ini satpam, saya jadi serbasalah. Saya tidak berani melakukan kekerasan, masak satpam yang harusnya menjaga keamanan melakukan kekerasan. Tidak betul kan, Pak!”
”Jadi maksud kamu apa?”
”Saya minta Bapak ngasih tahu si Jon, janganlah ganggu istri saya. Meskipun tidak saya perhatikan, tapi dia tetap istri saya. Orang tidak boleh mengganggu perempuan yang masih berstatus istri orang lain. Ya kan Pak?!”
Di situ saya tertegun. Jadi dia bukan tidak mengerti. Dia tahu. Meskipun tidak ditunjuk-tunjukkan, hak itu tetap hak. Kenapa dia sangat mengerti dan menuntut haknya agar dihormati sebagai suami oleh orang lain, tapi pada saat yang sama dia dengan seenaknya saja melangkahi hak saya terhadap pohon kelapa. Apa karena tidak saya petik, berarti kelapa itu boleh dia jual?
Lamunan saya terganggu, karena tiba-tiba istri satpam, tukang sayur itu, muncul.
”Jangan didengar omongannya, Pak!” katanya dengan berani. ”Dia ngaku-ngaku saya istrinya lagi, karena ada maunya! Baru dengar saya dapat warisan dari nenek saya di kampung, langsung dia ngaku bapaknya anak-anak lagi. Tapi kemaren-kemaren apaan, anak-anaknya sendiri digebukin, kepala saya dikencingin!”
Saya takjub. Satpam itu kelihatan pucat. Tapi tiba-tiba dia membentak.
”Ngapain lu ikut-ikutan kemari? Pulang!”
Istrinya sama sekali tidak takut. Ia balas menggertak.
”Lu kagak usah nyuruh-nyuruh gua pulang, gua memang mau balik kampung sekarang. Gua cuma mau pamitan sama Bapak! Pak, saya pamit pulang, Pak. Maapin kalau saya ada salah.”
Perempuan itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Saya terpaksa menyambutnya. Ia mencium tangan saya sambil menangis.
”Maapin kesalahan-kesalahan saya, Pak, saya terpaksa pulang. Saya tidak kuat lagi di sini.”
Satpam mula-mula hanya memandang, tetapi kemudian berdiri, lalu menarik istrinya untuk dibawa pulang. Yang ditarik melawan. Saya terpukau menonton. Untung istri saya muncul dan menarik istri satpam itu, langsung diselamatkan masuk.
Satpam tidak berani bertindak lebih jauh. Seperti orang tolol dia berdiri di depan saya. Saya siap mencegah, kalau dia mencoba mau menyusul masuk. Tapi itu tidak terjadi. Malah kemudian dia menangis.
Saya tunggu saja sampai tangisnya reda. Rasanya agak aneh melihat satpam mewek seperti itu.
”Saya memang salah, Pak.” katanya kemudian, ”Saya baru ingat istri, kalau sudah ada yang menggoda. Hari-hari saya sia-siakan. Anak tidak pernah saya urusin. Giliran mereka mau pulang kampung, baru saya sadar. Untung dia bilang, jadi saya bisa nyegah. Untung dia mau pulang, kalau tidak, saya pasti terus lupa saya sudah punya istri, punya dua anak. Saya sudah lupa daratan, Pak Saya menyesal, Pak.”
Saya tidak menjawab. Saya menunggu dia bergerak satu langkah lagi. Minta maaf sebab dia sudah dengan seenak perutnya menjual kelapa saya tanpa persetujuan. Tapi penantian itu nampaknya akan sia-sia. Satpam itu lebih sibuk memikirkan istrinya yang baru dapat warisan itu tapi akan meninggalkannya. Saya jadi geram. Akhirnya saya terpaksa ngomong juga.
”Jadi sekarang kamu sadar! Memang kita baru ingat milik kita kalau sudah diambil orang. Itu biasa. Semua orang juga begitu! Tapi meskipun maling itu ada gunanya, tetap saja namanya maling!! Kudu dihukum!”
Satpam terkejut. Mukanya merah padam. Tiba-tiba ia berhenti menangis lalu berkata geram.
”Kurangaajar! Pasti si Jon tahu istri saya dapat warisan! Malingggg!” teriaknya ganas sambil mencabut pisau lalu kabur ke garasi tempat sopir saya membersihkan mobil.
”Malingggg!”
Saya jatuh bangun mengejar. Tapi terlambat. Dia sudah membacok tengkuk sopir saya.
Untung si Jon seorang pendekar. Dengan refleknya yang luar biasa dia menepis serangan satpam itu. Pisau satpam terlempar ke tembok. Lalu tangan si Jon terangkat. Tangan yang bisa membelah tumpukan bata itu akan meretakkan muka satpam. Saya berteriak.
”Jangan!!!!!”
Sekarang saya menyesal.
”Mengapa Bapak teriak jangan? Maling apa pun alasannya, perlu mendapat pelajaran, biar kapok!” kata istri saya mencak-mencak, sesudah peristiwa itu berlalu.
Sebenarnya saya tidak bermaksud mencegah. Hanya sopir saya tidak mengerti, dengan berteriak ”jangan” maksud saya ”hajar”. Masak saya harus bilang pukul. Nanti saya disalahkan menzalimi orang lemah. Saya kan ketua RT. ***
Jakarta, 4 September 09 (setelah berita tentang Pulau Jemur)
—
*) Cerpenis, dramawan, pendiri Teater Mandiri.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 09 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar