Sabtu, 21 Januari 2012

Tebing

Yetti A. KA
http://lampungpost.com/

BELAKANGAN, aku sering merasa tiba-tiba berada di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.

Maka cepat sekali aku menggigil. Rambut di keningku basah. Juga di tengkuk. Pipiku panas dan sepertinya terus membengkak. Dadaku seakan dialiri cairan asam yang terus naik hingga ke mulut. Sebelum benar-benar limbung, segera kutampar wajah keras-keras hingga kudapatkan kembali diriku sedang duduk beku di depan laptop yang berkedip, kertas kerja yang berserakan, dan buku agenda bersampul hitam.

Berjam-jam kemudian aku tetap duduk di sana. Gemetar.

***

AKU ingat saat pertama kali merasa berada di tepi tebing itu. Suatu malam, tepat pukul 01.00, aku terbangun dari tidur yang gelisah. Pikiranku sumpek. Aku ingin melihat dunia di luar, maka kubuka semua gorden di ruang tengah apartemanku. Aku melihat ke bawah. Lampu kendaraan melintas cepat, satu-satu. Tiang listrik membeku, berjejer di sepanjang jalan. Tukang satai bersuara parau. Serombongan anak muda setengah mabuk. Aku sedikit mundur. Menatap bayangan samar diriku di kaca. Rambutku sudah melewati bahu. Tanpa poni. Mataku tampak lelah. Astaga, aku terkesiap. Itu bukan mata yang lelah, melainkan mata yang telah mati. Di sana hanya terlihat sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Betapa mengerikan memiliki mata semacam itu. Bukankah dulu dia, kekasihku, bahkan bisa melihat bermacam-macam buah semak di sana, bergelantungan di dahan-dahan kecil namun kuat? “Imajinasimu liar,” ujar kekasihku itu sambil memetik satu buah semak, entah apa namanya, dalam mataku. “Dan kau menyukainya?” tanyaku manja. “Aku menginginkannya, Marinda,” dia berkata, memikat.

Sepanjang malam kami berbahagia. Kami saling berjanji dan berciuman di jalan yang sepi. “Ini tentang hati, bisa apa kita,” katanya. Dia memandangku, lekat. “Ini tentang kita yang bertemu di waktu yang tidak tepat,” tukasku sambil melepaskan syal di leher yang mulai membuat sesak. Kami sama-sama tertegun.

Aku mengusap-usap mataku. Bermalam-malam aku tidak tidur, wajar saja mata itu lelah, lalu mati.

Sesaat aku melupakan soal mata dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, sebab perhatianku tiba-tiba tertuju pada pintu yang tertutup yang juga tampak samar di kaca. Aku kurang suka pintu yang tertutup karena itu dapat membungkam khayalanku tentang seseorang yang muncul dari kelokan lorong, berdiri di depan pintu membawa seikat bunga lalang (aku tak pernah menginginkan mawar atau krisan, jenis bunga yang mudah saja dibeli pada penjual kembang). Namun begitu, ini penting kukatakan, aku memang jenis orang yang terlampau banyak bermain-main dengan pikiran sendiri. Sebenarnya, tidak pernah ada bunga lalang dalam hidupku seperti juga tidak pernah satu kalipun aku berani membiarkan pintu itu terbuka, terutama pada jam satu dini hari.

“Marinda, kau belum tidur?” kekasihku terdengar mengantuk saat aku tak kuasa menghalau rindu dan nekat meneleponnya.

Aku malas menanggapinya, dan berkata, “Aku sedang mengingat saat kau memetik buah semak, yang entah apa namanya, dalam mataku. Aku juga membayangkan tentang pintu yang terbuka dan kau….”

“Istriku bangun….” Tut…tut…tut….

Berjam-jam aku mengingat nada itu, berjam-jam aku termangu di depan kaca yang ingin sekali kupecahkan. Tapi… aku tetap menunggu dia meneleponku kembali, hingga aku punya kesempatan menyambung kalimat yang putus, “…dan kau muncul dari lorong, berdiri di depan pintu itu membawa seikat bunga lalang.”

Tidak. Dia bahkan tidak mengirim pesan pendek. Dengan cepat sesuatu menyesak di dadaku. Sangat penuh, rasanya. Kemudian aku kedinginan, cemas, lembab. Aku meronta-ronta ingin lepas dari semua yang terasa kejam itu, sampai aku kelelahan, sampai aku berada di tepi tebing yang tidak kukenali, tapi mencoba menarikku amat kuat.

***

SEIRING dengan itu, lalu aku mulai terbiasa pula meringkuk dan memeluk kedua kaki di sudut ruangan hingga lewat tengah malam. Aku mirip anak kecil yang ditinggal sendirian di rumah dan tak tahu mesti melakukan apa. Seekor cicak menyergap nyamuk di dinding dan nyamuk itu langsung lenyap tanpa bekas. Laptop di atas meja sudah lama kulupakan, termasuk beberapa pekerjaan yang seharusnya kuselesaikan bulan ini dan sudah kutandai dengan stabilo hijau. Selebihnya, hidupku adalah sunyi. Sunyi membuatku tergelitik untuk kembali menyusuri jalan kenangan. Hanya saja, saat ini semua kenangan menjadi pahit untuk dibicarakan.

“Kau belum tidur?” tanya suamiku saat kuhubungi.

“Tidak bisa,” ujarku.

“Kau perlu obat tidur lagi.”

“Aku ingin kau segera pulang. Temani aku. Sungguh, aku merasa tidak tenang. Kau bisa?” tanyaku.

“Kau tahu ini pukul tiga pagi dan aku sedang berada di sebuah pulau… jauh di Sumatera. Aku tidak mungkin pulang sekarang.”

Berjam-jam aku duduk terdiam. Aku tetap mengharapkan ia benar-benar datang, membawakanku aroma laut yang lembut atau tubuh garam yang berpasir. Kami akan berpelukan, sedalam-dalamnya, untuk pertama kali. Ah, sekali saja, kenapa ia susah sekali melakukan sesuatu yang bisa membuatku menangis saat membayangkan kehilangannya?

Namun ia memang tak pernah datang, juga sesudah aku membuang semua obat tidur ke dalam saluran air yang membuatku kembali berada di tepi tebing dengan amat mudah. Berjam-jam aku ketakutan. Merasa sendirian. Kesakitan.

***

AKU tidak tidur hingga matahari mulai membuat mataku silau. Biasanya buru-buru aku menutup gorden dan menyandarkan tubuhku di sana, dalam bingkai kaca. Seperti pagi ini, aku menyandarkan tubuhku dalam bingkai kaca itu sambil berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menemui kekasihku. Satu kali lagi saja. Aku tidak akan memintanya untuk kembali padaku, tapi paling tidak aku mau berteriak di hadapannya untuk terakhir kali. Teriakan yang mungkin saja ia ingat seumur hidup. Bisa jadi ini caraku menghukumnya. Dan selanjutnya, tepat pada hari itu juga, aku akan memulai hidup dengan bahagia. Tidur di hamparan rumput di alam terbuka. Berjam-jam. Tanpa siapa-siapa. Bernyanyi riang dalam hati. Menari sesukanya.

“Ini rumit, Marinda.”

“Aku hanya mau bertemu. Tidak untuk membicarakan apa-apa.”

“Marinda….”

“Sekali saja. Kau yang tentukan harinya,” kataku.

“Tak bisakah kau mengerti?”

“Tidak bisa,” ujarku.

“Apa sulit sekali bagimu?”

“Hmm.”

“Aku sudah katakan, jangan hidup dalam kenangan.”

“Aku sudah hidup di dalamnya, mau apalagi.”

“Aku tak suka jika kita menyakitinya.”

“Istrimu?” tanyaku.

“Ibu dari anak-anakku kelak.”

“Kaubilang….”

“Mengertilah, jangan hidup dalam kenangan. Bukankah itu sudah terlalu sering kita bincangkan?”

Harapanku terlalu sering patah, memang. Ah, sebenarnya kami berdua yang telah membuatnya patah. Kami membiarkan hati kami membentuk diri menjadi pohon yang getas, kemudian patah teramat mudah. Meskipun tentu saja dia berusaha membuat alasan sendiri, “Istriku hamil muda. Aku tak bisa lagi menemui atau menerima teleponmu.” Dia segera mematikan ponsel, seperti biasa.

Berjam-jam aku tetap diam di tempat seolah-olah dia mencemaskanku, lantas muncul secara tiba-tiba di hadapanku, mengulurkan tangannya. Hanya saja, sekali lagi, kenyataan telah melemparkanku ke lantai paling keras. Aku lebam. Biru. Hitam.

***

“AKU mengubah rencana dan akan segera pulang akhir minggu ini.” Suara suamiku terdengar bening.

“Tidak perlu. Aku sudah tidak ingin kau pulang,” kataku dingin. Sedingin lantai tempat akhir-akhir ini aku sering berbaring.

“Kau masih marah?” tanyanya, tak sebening tadi.

“Mungkin.”

“Kau membuatku selalu bingung.” Suaranya mulai keruh.

“Kau benar.”

“Bertahun-tahun kita terjebak dalam kekacauan. Kapan kau berhenti begini, Marinda?”

“Aku tidak tahu,” ujarku, lebih dingin.

“Ini benar-benar gila, hidup kita.”

“Aku sungguh menyesal. Maaf.”

“Marinda, kau…”

Telepon ditutup. Ia menyerah terlampau cepat. Begitu selalu. Kenapa ia tidak membujukku sedikit lagi saja, menunjukkan kalau aku cukup penting untuk ia pertahankan meski tanpa cinta sekalipun? Ia seringkali berbalik arah ketika sudah berada di tengah-tengah, membuatku setengah bahagia setengah terluka.

Berhari-hari setelah itu aku tetap bertahan di apartemen. Membiarkan matahari berlalu begitu saja. Membiarkan semua rencana, termasuk sejumlah seminar, berantakan tanpa aku memperjuangkannya sedikit pun. Aku memilih meringkuk atau rebahan di lantai, menatap langit-langit dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian yang tak sempat kusadari selama ini sambil membayangkan bintang-bintang yang berkilat.

***

LANGIT mulai gelap di atas kepalaku, lampu-lampu mulai dihidupkan ketika aku memutuskan keluar apartemen dan berdiri di pinggir jalan. Beberapa taksi sengaja berjalan lambat, dan aku membiarkannya berlalu.

“Sudah malam lagi,” aku bergumam sambil melihat ke langit. “Apa yang akan kulakukan sekarang?”

Aku bahkan tidak punya rencana apa-apa. Aku sama sekali tidak punya gambaran hendak melakukan apa atau mau pergi ke mana. Aku hanya menginginkan keluar dari apartemen. Hanya begitu. Selanjutnya adalah sesuatu yang benar-benar buram. Mungkin saja ini lebih baik daripada aku duduk terdiam menunggu seseorang yang akan pulang dari sebuah pulau dan setelah bertemu kami bertengkar, berulang-ulang.

Tidak. Aku merasa sudah cukup. Aku tidak mau membicarakan apa-apa lagi. Saat ini, aku tidak menginginkan siapa pun memandang mataku dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, lantas meraih bahuku dengan cara yang membuatku terus bersedih beberapa waktu ke depan.

Sungguh, kini aku justru menginginkan berdiri di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.

Aku tersenyum dan menangis, sama lebarnya.

Jalan Enam Mei, 11-12

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar