Yetti A. KA
http://lampungpost.com/
BELAKANGAN, aku sering merasa tiba-tiba berada di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.
Maka cepat sekali aku menggigil. Rambut di keningku basah. Juga di tengkuk. Pipiku panas dan sepertinya terus membengkak. Dadaku seakan dialiri cairan asam yang terus naik hingga ke mulut. Sebelum benar-benar limbung, segera kutampar wajah keras-keras hingga kudapatkan kembali diriku sedang duduk beku di depan laptop yang berkedip, kertas kerja yang berserakan, dan buku agenda bersampul hitam.
Berjam-jam kemudian aku tetap duduk di sana. Gemetar.
***
AKU ingat saat pertama kali merasa berada di tepi tebing itu. Suatu malam, tepat pukul 01.00, aku terbangun dari tidur yang gelisah. Pikiranku sumpek. Aku ingin melihat dunia di luar, maka kubuka semua gorden di ruang tengah apartemanku. Aku melihat ke bawah. Lampu kendaraan melintas cepat, satu-satu. Tiang listrik membeku, berjejer di sepanjang jalan. Tukang satai bersuara parau. Serombongan anak muda setengah mabuk. Aku sedikit mundur. Menatap bayangan samar diriku di kaca. Rambutku sudah melewati bahu. Tanpa poni. Mataku tampak lelah. Astaga, aku terkesiap. Itu bukan mata yang lelah, melainkan mata yang telah mati. Di sana hanya terlihat sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Betapa mengerikan memiliki mata semacam itu. Bukankah dulu dia, kekasihku, bahkan bisa melihat bermacam-macam buah semak di sana, bergelantungan di dahan-dahan kecil namun kuat? “Imajinasimu liar,” ujar kekasihku itu sambil memetik satu buah semak, entah apa namanya, dalam mataku. “Dan kau menyukainya?” tanyaku manja. “Aku menginginkannya, Marinda,” dia berkata, memikat.
Sepanjang malam kami berbahagia. Kami saling berjanji dan berciuman di jalan yang sepi. “Ini tentang hati, bisa apa kita,” katanya. Dia memandangku, lekat. “Ini tentang kita yang bertemu di waktu yang tidak tepat,” tukasku sambil melepaskan syal di leher yang mulai membuat sesak. Kami sama-sama tertegun.
Aku mengusap-usap mataku. Bermalam-malam aku tidak tidur, wajar saja mata itu lelah, lalu mati.
Sesaat aku melupakan soal mata dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, sebab perhatianku tiba-tiba tertuju pada pintu yang tertutup yang juga tampak samar di kaca. Aku kurang suka pintu yang tertutup karena itu dapat membungkam khayalanku tentang seseorang yang muncul dari kelokan lorong, berdiri di depan pintu membawa seikat bunga lalang (aku tak pernah menginginkan mawar atau krisan, jenis bunga yang mudah saja dibeli pada penjual kembang). Namun begitu, ini penting kukatakan, aku memang jenis orang yang terlampau banyak bermain-main dengan pikiran sendiri. Sebenarnya, tidak pernah ada bunga lalang dalam hidupku seperti juga tidak pernah satu kalipun aku berani membiarkan pintu itu terbuka, terutama pada jam satu dini hari.
“Marinda, kau belum tidur?” kekasihku terdengar mengantuk saat aku tak kuasa menghalau rindu dan nekat meneleponnya.
Aku malas menanggapinya, dan berkata, “Aku sedang mengingat saat kau memetik buah semak, yang entah apa namanya, dalam mataku. Aku juga membayangkan tentang pintu yang terbuka dan kau….”
“Istriku bangun….” Tut…tut…tut….
Berjam-jam aku mengingat nada itu, berjam-jam aku termangu di depan kaca yang ingin sekali kupecahkan. Tapi… aku tetap menunggu dia meneleponku kembali, hingga aku punya kesempatan menyambung kalimat yang putus, “…dan kau muncul dari lorong, berdiri di depan pintu itu membawa seikat bunga lalang.”
Tidak. Dia bahkan tidak mengirim pesan pendek. Dengan cepat sesuatu menyesak di dadaku. Sangat penuh, rasanya. Kemudian aku kedinginan, cemas, lembab. Aku meronta-ronta ingin lepas dari semua yang terasa kejam itu, sampai aku kelelahan, sampai aku berada di tepi tebing yang tidak kukenali, tapi mencoba menarikku amat kuat.
***
SEIRING dengan itu, lalu aku mulai terbiasa pula meringkuk dan memeluk kedua kaki di sudut ruangan hingga lewat tengah malam. Aku mirip anak kecil yang ditinggal sendirian di rumah dan tak tahu mesti melakukan apa. Seekor cicak menyergap nyamuk di dinding dan nyamuk itu langsung lenyap tanpa bekas. Laptop di atas meja sudah lama kulupakan, termasuk beberapa pekerjaan yang seharusnya kuselesaikan bulan ini dan sudah kutandai dengan stabilo hijau. Selebihnya, hidupku adalah sunyi. Sunyi membuatku tergelitik untuk kembali menyusuri jalan kenangan. Hanya saja, saat ini semua kenangan menjadi pahit untuk dibicarakan.
“Kau belum tidur?” tanya suamiku saat kuhubungi.
“Tidak bisa,” ujarku.
“Kau perlu obat tidur lagi.”
“Aku ingin kau segera pulang. Temani aku. Sungguh, aku merasa tidak tenang. Kau bisa?” tanyaku.
“Kau tahu ini pukul tiga pagi dan aku sedang berada di sebuah pulau… jauh di Sumatera. Aku tidak mungkin pulang sekarang.”
Berjam-jam aku duduk terdiam. Aku tetap mengharapkan ia benar-benar datang, membawakanku aroma laut yang lembut atau tubuh garam yang berpasir. Kami akan berpelukan, sedalam-dalamnya, untuk pertama kali. Ah, sekali saja, kenapa ia susah sekali melakukan sesuatu yang bisa membuatku menangis saat membayangkan kehilangannya?
Namun ia memang tak pernah datang, juga sesudah aku membuang semua obat tidur ke dalam saluran air yang membuatku kembali berada di tepi tebing dengan amat mudah. Berjam-jam aku ketakutan. Merasa sendirian. Kesakitan.
***
AKU tidak tidur hingga matahari mulai membuat mataku silau. Biasanya buru-buru aku menutup gorden dan menyandarkan tubuhku di sana, dalam bingkai kaca. Seperti pagi ini, aku menyandarkan tubuhku dalam bingkai kaca itu sambil berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menemui kekasihku. Satu kali lagi saja. Aku tidak akan memintanya untuk kembali padaku, tapi paling tidak aku mau berteriak di hadapannya untuk terakhir kali. Teriakan yang mungkin saja ia ingat seumur hidup. Bisa jadi ini caraku menghukumnya. Dan selanjutnya, tepat pada hari itu juga, aku akan memulai hidup dengan bahagia. Tidur di hamparan rumput di alam terbuka. Berjam-jam. Tanpa siapa-siapa. Bernyanyi riang dalam hati. Menari sesukanya.
“Ini rumit, Marinda.”
“Aku hanya mau bertemu. Tidak untuk membicarakan apa-apa.”
“Marinda….”
“Sekali saja. Kau yang tentukan harinya,” kataku.
“Tak bisakah kau mengerti?”
“Tidak bisa,” ujarku.
“Apa sulit sekali bagimu?”
“Hmm.”
“Aku sudah katakan, jangan hidup dalam kenangan.”
“Aku sudah hidup di dalamnya, mau apalagi.”
“Aku tak suka jika kita menyakitinya.”
“Istrimu?” tanyaku.
“Ibu dari anak-anakku kelak.”
“Kaubilang….”
“Mengertilah, jangan hidup dalam kenangan. Bukankah itu sudah terlalu sering kita bincangkan?”
Harapanku terlalu sering patah, memang. Ah, sebenarnya kami berdua yang telah membuatnya patah. Kami membiarkan hati kami membentuk diri menjadi pohon yang getas, kemudian patah teramat mudah. Meskipun tentu saja dia berusaha membuat alasan sendiri, “Istriku hamil muda. Aku tak bisa lagi menemui atau menerima teleponmu.” Dia segera mematikan ponsel, seperti biasa.
Berjam-jam aku tetap diam di tempat seolah-olah dia mencemaskanku, lantas muncul secara tiba-tiba di hadapanku, mengulurkan tangannya. Hanya saja, sekali lagi, kenyataan telah melemparkanku ke lantai paling keras. Aku lebam. Biru. Hitam.
***
“AKU mengubah rencana dan akan segera pulang akhir minggu ini.” Suara suamiku terdengar bening.
“Tidak perlu. Aku sudah tidak ingin kau pulang,” kataku dingin. Sedingin lantai tempat akhir-akhir ini aku sering berbaring.
“Kau masih marah?” tanyanya, tak sebening tadi.
“Mungkin.”
“Kau membuatku selalu bingung.” Suaranya mulai keruh.
“Kau benar.”
“Bertahun-tahun kita terjebak dalam kekacauan. Kapan kau berhenti begini, Marinda?”
“Aku tidak tahu,” ujarku, lebih dingin.
“Ini benar-benar gila, hidup kita.”
“Aku sungguh menyesal. Maaf.”
“Marinda, kau…”
Telepon ditutup. Ia menyerah terlampau cepat. Begitu selalu. Kenapa ia tidak membujukku sedikit lagi saja, menunjukkan kalau aku cukup penting untuk ia pertahankan meski tanpa cinta sekalipun? Ia seringkali berbalik arah ketika sudah berada di tengah-tengah, membuatku setengah bahagia setengah terluka.
Berhari-hari setelah itu aku tetap bertahan di apartemen. Membiarkan matahari berlalu begitu saja. Membiarkan semua rencana, termasuk sejumlah seminar, berantakan tanpa aku memperjuangkannya sedikit pun. Aku memilih meringkuk atau rebahan di lantai, menatap langit-langit dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian yang tak sempat kusadari selama ini sambil membayangkan bintang-bintang yang berkilat.
***
LANGIT mulai gelap di atas kepalaku, lampu-lampu mulai dihidupkan ketika aku memutuskan keluar apartemen dan berdiri di pinggir jalan. Beberapa taksi sengaja berjalan lambat, dan aku membiarkannya berlalu.
“Sudah malam lagi,” aku bergumam sambil melihat ke langit. “Apa yang akan kulakukan sekarang?”
Aku bahkan tidak punya rencana apa-apa. Aku sama sekali tidak punya gambaran hendak melakukan apa atau mau pergi ke mana. Aku hanya menginginkan keluar dari apartemen. Hanya begitu. Selanjutnya adalah sesuatu yang benar-benar buram. Mungkin saja ini lebih baik daripada aku duduk terdiam menunggu seseorang yang akan pulang dari sebuah pulau dan setelah bertemu kami bertengkar, berulang-ulang.
Tidak. Aku merasa sudah cukup. Aku tidak mau membicarakan apa-apa lagi. Saat ini, aku tidak menginginkan siapa pun memandang mataku dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, lantas meraih bahuku dengan cara yang membuatku terus bersedih beberapa waktu ke depan.
Sungguh, kini aku justru menginginkan berdiri di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.
Aku tersenyum dan menangis, sama lebarnya.
Jalan Enam Mei, 11-12
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 21 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar