Sabtu, 21 Januari 2012

CABO DAN BATU AJAIB *

Cerita Rakyat dari Kampung Kayubatu
Dikembangkan oleh: Eni Suryanti, S.Pd.
http://sastralisanpapua.blogspot.com/

Ratusan tahun yang telah silam di Papua terdapat beberapa kampung pembuat panci ataupun pembuat perkakas dapur dari tanah. Salah satu dari kampung-kampung itu adalah kampung Kayubatu yang letaknya di Teluk Imbi, Jayapura. Penduduk Kayubatu pada saat itu terdiri dari 16 kepala keluarga yang masing-masing keluarga terdiri dari 60 hingga 80 orang.
Jumlah penduduknya lebih banyak dahulu daripada sekarang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan menangkap ikan. Biasanya mereka membuka ladang di lereng-lereng gunung sekitar teluk dan ditanami dengan umbi-umbian. Laut di sekitar kampong ikannya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan ratusan orang.

Karena tanah itu selalu dipakai lama kelamaan tanahnya menjadi gersang dan berkurang hasilnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan orang-orang mengusahakan perladangan baru. Yang dimaksud dengan perladangan baru adalah ladang yang agak jauh dari kampung dan masih subur. Mencari perladangan baru berlangsung dari tahun ke tahun hingga tanah subur di sekitar kampung habis terpakai. Untuk mencari perladangan lain mereka harus pergi jauh dari kampung dan mungkin memasuki wilayah kampung lain. Memasuki wilayah kampung lain akan membawa akibat, oleh sebab itu orang-orang berusaha menggunakan tanah bekas. Mengusahakan tanah bekas tidak membawa hasil yang memuaskan dan lambat laun kesulitan untuk mencari perladangan semakin terasa. Kesulitan yang paling dirasakan adalah pada tahun yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Hal itu terjadi karena tanaman jagung yang masih muda habis dihanyutkan air hujan yang lebat. Karena tanaman jagung sudah musnah, selain itu babi hutan pun mengganggu tanaman ubi. Demikian pula hasil laut sudah berkurang. Mengapa hasil laut berkurang seorang pun tidak ada yang tahu, tetapi pada waktu itu di laut sekitar kampung tampak awan yang sering merendah dan mengapung-apung. Tahun itu memang kesialan tengah menimpa penduduk kampung, pohon-pohon kelapa kurang menghasilkan buah, pucuknya habis dihancurkan oleh kumbang-kumbang kelapa.

Waktu itu orang-orang merasa bahwa arwah nenek moyang mereka marah. Agar arwah nenek moyangnya tidak marah, mereka mencoba mempersembahkan manik-manik di tanjung-tanjung atau tempat-tempat yang diperkirakan terdapat arwah nenek moyang bersemayam. Walaupun korban persembahan telah dilaksanakan, namun tidak membawa hasil juga. Mereka sangat menderita karena kebutuhan hidup semakin sulit dicari. Setiap petang orang-orang duduk bersama dan berbincang tentang kesusahan itu.

“Saya kira arwah nenek moyang kita marah sekali, korban persembahan telah dilaksanakan namun belum juga berhasil,” kata salah seorang dari yang berbincang-bincang itu.

“Mengapa arwah nenek moyang begitu marah?” sela orang lain pula.

“Ya, mengapa…? Sebelum bencana ini menimpa kita, penduduk kampung ini selalu bahagia. Mengapa kita sekarang menjadi begini? Tanya yang lain.

“Mungkin di antara kita ada yang burbuat suatu kesalahan kepada arwah nenek moyang.” kata pembicara pertama tadi.

“Bila hal itu memang demikian, maka kita harus mengadakan pesta tari. Mungkin dengan diadakannya pesta tari tiu akan membawa kita kembali dalam suatu alam yang menyenangkan,” kata pembicara lain.

Ajakan untuk membuat pesta disetujui oleh semua penduduk kampung, tetapi pestanya harus sederhana karena bekal tidak mencukupi. Walaupun pesta sederhana telah dilaksanakan, tetapi tidak dapat menolong juga. Orang sering tidur tanpa makan. Yang paling prihatin memikirkan nasib kampung itu adalah Cabo Pui. Cabo Pui sering berkata kepada Tiaghe saudaranya, bahwa ia senang bila dapat berbuat sesuatu untuk kampungnya.

Pada suatu malam Cabo Pui bermimpi. Dalam mimpinya itu ia berjalan menyusuri pantai tanjung Suaja dengan membawa sebuah batu pipih lonjong yang indah. Dari mana ia peroleh dan asal usul batu pipih itu tidak diketahuinya. Batu pipih itu berada di tangannya ketika ia meninggalkan pantai dan pergi menuju ke suatu jalan karang yang terjal. Setibanya di ketinggian jalan itu, tiba-tiba di tempat itu menjelmalah sebuah gunung bertanah merah. Kemudian datanglah perempuan-perempuan yang masing-masing membawa sebuah keranjang kosong. Mereka mengisi keranjang-keranjang kosong itu dengan tanah merah dari gunung itu dan disertai dengan sedikit pasir. Salah satu dari perempuan-perempuan itu juga mendapat sebuah batu seperti yang dimilki oleh Cabo. Setelah keranjang penuh dengan campuran tanah dan pasir lalu mereka pulang. Di kampung perempuan-perempuan itu membuat gerabah dari tanah merah yang mereka bawa dengan menggunakan batu pipih. Sementara mereka sibuk mengerjakannya, tiba-tiba rumah-rumah di kampung berubah menjadi indah. Orang-orangnya pun bergembira seperti sebelum kemelaratan dan kemiskinan menimpa penduduk kampung.

Ketika Cabo bangun, ia duduk dan dalam hatinya berkata, “Benarkah aku bermimpi? Atau memang benar-benar apa yang saya saksikan itu.” Pergumulan pikiran tentang mimpinya tetap menguasai benaknya. Ia tak dapak menafsirkan arti mimpi itu kepada Tiaghe. Keesokan harinya, sesudah petang ia pergi menjumpai Tiaghe. Ia bercerita mengenai mimpinya dengan sejelas-jelasnya.

“Aku harus memiliki batu ajaib itu dan apabila telah kumiliki mungkin dapat mendatangkan kembali kemakmuran kampung ini,” kata Cabo mengawali pembicaraan.

“Tahukah engkau di mana batu itu harus dicari?” tanya Tiaghe.
“Tidak.” jawab Cabo Pui.

“Kau telah menceritakan mimpimu dengan jelas, tetapi mengenai batu itu masih belum jelas asal usulnya,” timpal Tiaghe.

“Ya, tetapi batu itu aku harus mencarinya,” kata Cabo penuh semangat.

“Bolehkah aku ikut bersamamu, Cabo? Bukankah lebih mudah mencari dengan dua orang daripada satu orang?” usul Tiaghe.

“Tidak, Tiaghe. Dalam mimpiku aku hanya seorang diri.” kata Cabo lagi.

“Kalau begitu, pesanku bawalah anjingmu. Ia adalah binatang yang cerdik dan setia,” kata Tiaghe memberi usul.

“Akan aku turuti nasihatmu, Tiaghe.”

“Ke manakah engkau akan pergi?” tanya Tiaghe lagi.

“Aku akan pergi ke arah barat, menyusuri kaki gunung yang tinggi. Pada kesempatan ini juga aku berpesan kepadamu saudaraku, bila engkau mendengar atau melihat suatu tanda alam, maka pergilah engaku ke tanjung Suaja. Di sana engkau akan menemukan benda-benda yang membawa keuntungan abadi kepada segenap keluarga kita,” kata Cabo panjang lebar.

“Aku senantiasa mendoakanmu, semoga engkau selamat dalam perjalanan dan kemakmuran yang dicari dapat tercapai,” kata Tiaghe memberi semangat.

“Jagalah keluargamu baik-baik dan jangan lupa tanda-tanda alam, sekarang aku akan segera berangkat,” kata Cabo berpamitan.

Dengan sebuah perahu berangkatlah ia ke muara sungai Numbai. Di kiri kanan muara sungai itu sekarang terletak Kantor Pos Jayapura dan Kantor DPR Papua. Setelah tiba di muara sungai Numbai, Cabo Pui dan anjingnya yang bernama Abu turun dari perahu. Mereka menyusuri sungai menuju bukit-bukit yang berhutan lebat. Pada bukit-bukit itu terdapat jalan setapak yang genting. Cabo dengan tabah mendaki dan menuruninya. Setelah petang hari, tibalah mereka pada sebuah bukit yang tinggi. Di kejauhan terbentang sebuah teluk yang indah, diapit oleh dua tanjung. Di antara kedua tanjung itu seolah-olah terdapat sebuah pintu menujun laut bebas. Di sanalah terlihat beberapa rumah yang mirip dengan kampung cabo pui. Rumah-rumah itu di bangun diatas permukaan laut. Dengan jelas cabo melihat air laut menghijau yang menandakan air sangat dangkal. Rumah-rumah itu adalah rumah dari kampung Injiros (Enggros) dan kampung Tobati.

Dari puncak bukit itu terbentang pula suatu jalan terjal menuju ke bawah. Jalan terjal itu dilaluinya dengan hati-hati dan tibalah ia pada sebidang tanah bekas kebun. Di carinya tempat untuk bermalam. Karena tempat itu adalah kebun lama ia memastikan bahwa di sekitar kebun itu ada gubuk. Memang benar, setelah beberapa saat kemudian ia menemukan gubuk kecil dan memutuskan untuk bermalam di gubuk itu. Karena sudah lapar dicarinya makanan di kebun itu dan berhasil menemukan beberapa umbi-umbian. “Pemilik kebun tidak akan memarahiku apabila ku habiskan umbian ini”, pikirnya.

Segera di buatnya api kemudian umbi-umbian itu dimasukan ke dalamnya. Beberapa saat kemudian umbi-umbian itu masak, lalu di keluarkan dan dimakannya dengan lahap. Abu berdiri di depan tuannya dan pandangan matanya mengikuti saetiap gerakan Cabo. Demi melihat anjing kesayangannya, Cabo memberinya sepotong umbian. Meskipun Cabo telah kenyang ia merasa masih ada kurang pada dirinya, yaitu belum mendapat batu ajaib.sambil berbaring Cabo berbicara dengan anjingnya, “Di pinggir danau ini mestinya ada penduduk kampung yang membuat sempe. Kita harus berusaha untuk mendapatkan kampung itu. Kalau tidak salah, Abar namanya. Sering orang-oarang dari kampung itu datang ke kampung kita untuk menjual sempe”. Abu sudah terbiasa, bila tuannya berbicara ia selalu merasa gembira. Karena gembiranya ia meletakkan kaki depannya yang sebelah di atas lutut Cabo, seolah- olah Abu hendak mengatakan, “Aku senantiasa akan membantumu, Tuan”.

Keesokan harinya setelah matahari terbit Cabo bertekad untuk mencari suatu puncak yang tinggi. Dari puncak itu ia akan dapat melihat sekitar gunung dan danau. Dengan jelas dilihatnya di atas permukaan air, bangunan kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Beberapa kampung di antaranya ada yang sebesar kampung Cabo Pui. Sebagian dari lereng-lereng gunung di sebelah danau nampak amat gundul. Walaupun cuaca amat cerah dan kampung-kampung dapat dilihat denga jelas, tetapi kampung Abar belum diketahui secara pasti. Ia ingin segera mendapatkan kampung Abar di mana tempayan-tempayan tanah di buat. Dengan hati- hati sekali mereka menuruni bukit. Kadang-kadang mereka melewati kebun-kebun yang sedang dikerjakan orang. Setelah beberapa saat kemudian Cabo dan Abu sampai di pinggir danau. Tiap kali menjumpai persimpangan jalan, mereka memastikan bahwa letak kampung Abar tidak jauh lagi. Cabo mengikatkan tali pada kalung Abu agar anjingnya dapat dikekang. Ia akan memasuki kampung untuk melihat apa yang ada di sana. Saya akan menyembunyikan tombak, busur dan anak panah. Kalau orang melihat saya tidak membawa senjata tajam berati tidak mempunyai maksud jahat, pikir Cabo. Ia menyembunyikan senjata tajamnya di dalam semak-semak belukar. Tali yang di ikat pada kalung Abu tetap dalam tangan Cabo. Dengan sengaja Cabo berjalan mengelilingi tempat di mana wanita-wanita bekerja. Ketika ia mengelilingi tempat wanita-wanita itu, tiba-tiba terdengar olehnya bunyi kapak. Cabo memastikan bahwa mereka kini sudah mendekati sebidang kebun yang sedang di kerjakan oleh pemiliknya. Ia berdiri di samping tempat yang baru saja dibakar. Cabo melihat sepasang suami istri yang sedang sibuk bekerja. Sang suami menoleh dan melihat ke arah Cabo. Orang itu tidak terkejut.

“Untunglah,”pikir Cabo.

Kemudian laki-laki itu berkata dalam bahasanya. Cabo merasa asing mendengar kalimat-kalimat itu, tetapi ia dapat menerka apa yang dimaksud oleh laki-laki itu. Kalimat itu diterkanya demikian, “Dari mana dan hendak kemana ?”

Cabo tampak ragu-ragu menjawab dalam bahasanya “Dari timur dan saya hendak ke barat”. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi dalam bahasa teluk Imbi, “Anda datang dari pantai ?”

“Ya, benar saya datang dari pantai, ” jawab Cabo. Laki-laki itu menghampiri Cabo dan memberitahukan namanya. Abo, demikian nama orang itu.

Cabo bertanya lagi ”Anda tahu bahasa kami ?”

Cabo tersenyum seraya berkata “tahu sedikit-sedikit, dahulu saya pernah merantau ke tempat anda”. Cabo sangat girang karena ada orang yang mengetahui bahasanya. Anjing Cabo mengibas-ibaskan ekornya karena mengikutu kegirangan tuannya. Abo mengantarkan Cabo dan memperkenalkan pada istrinya. Setelah itu Abo mengatakan sesuatu kepada istrinya, lalu istrinya pergi ke pondok yang terletak di pojok kebun. Kemudian Abo bersama Cabo mengikuti istrinya. Pada cabang kayu di pondok itu tergantung satu noken. Si istri mengangkat noken dan mengeluarkannya sagu bakar dari dalamnya. Sagu bakar itu di hidangkan di atas selembar daun pisang lalu Abo mengajak Cabo untuk makan bersama. Dengan perasaan syukur Cabo memakan beberapa potong sagu bakar. Abo menjamunya dengan penuh ramah tamah. Sesudah itu ia menceritakan tentang keadaan kampung dan rencananya dengan sejelas- jelasnya. Dalam keyakinan Abo timbullah suatu pemikiran lalu ia berkata, “Hanya orang-orang kami saja yang boleh membuat sempe. Tetapi saya bukan Ondolofo, nanti malam kita akan membicarakannya dengan penduduk kampung ini ”.

Sepanjang hari sebelum pulang kerumah mereka bekerja bersama-sama, Cabo membantunya dengan tulus ikhlas. Ketika petang tiba mereka pun meninggalkan kebun lalu pulang ke rumah. Mereka mengikuti jalan kecil, arah mana cabo datang tadi. Ketika mereka tiba di kampung hari masih terang. Kampung itu terletak pada sebuah sungai kecil yang jernih dan datangnya dari pegunungan. Orang-orang kampung menatap tamu asing itu dengan penuh simpati serta ingin tahu siapa gerangan tamu itu.

Pada sore hari orang-orang tua berkumpul di rumah-rumah khusus laki-laki. Dalam kesempatan itu Cabo menceritakan kembali dalam bahasanya tentang apa yang di ceritakan kapada Abo. Abo membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah setempat. sebagian orang-orang menatapnya, agar Cabo berbicara lagi. Tetapi Cabo menginsafi dahwa baginya tidak ada lagi waktu luang untuk berbicara. Salah seorang yang tertua dari antara mereka memberi suatu isyara agar Abo membawa tamu asing itu keluar rumah. Setelah Cabo keluar, terdengar suara mendengung karena mereka dengan mereka yang berbincang-bincang.

Salah seorang di antara mereka bersungut-sungut “Kalau ada orang yang tidak dikenal datang ke kampung kita, apa yang harus kita lakukan? Apakah orang itu boleh menangkap ikan di teluk kekuasaan kita? ”

Sedang bersungut-sungut orang itu bertanya lagi kepada Cabo “Bolehkah orang asing menangkap ikan di telukmu?”

“Tidak,” jawab Cabo. Cabo berpaling pada Abo seraya berkata “Tetapi di kampung saya jumlah penduduknya banyak, bagaimana dengan kampung ini?”

Abo mengangkat bahunya lalu menjawab “Saya bukan ondolofo dan mungkin ketidakpuasan anda akan di jawab oleh para orang tua nanti.”

Tiada beberapa kemudian, mereka dipanggil lagi masuk ke dalam rumah. Orang yang tertua berbisik kepada Abo lalu Abo pun menyampaikan bisikan itu kepada Cabo. Hasil bisikan itu adalah Cabo dan seluruh keretnya, tidak berhak untuk membuat sempe. Mimpi tetap mimpi. Sebab setiap orang dapat saja bermimpi demikian. Walaupun ada larangan kepada warga Cabo, namun orang-orang Abar menghendaki agar hubungan persaudaraan tetap ada dengan orang-orang Kayubatu. Karena orang-orang Kayubatu sering membeli sempe dari mereka.

Cabo adalah tamu Abo. Cabo boleh saja tinggal lebih lama di rumah Abo jika Cabo menghendaki. Tetapi Cabo tidak menginginkannya. Keputusan orang-orang tua masih terbayang di benaknya. “mimpi tetap mimpi, marga Cabo tidak berhak untuk membuat sempe. Kata-kata orang-arang Abar memang benar. Untuk memiliki kepandaian membuat sempe harus ada suatu kejutan, suatu keajaiban.” Demikian pemikiran Cabo. Oleh sebab itu ia tidak ingin tinggal lebih lama lagi. Kemudian Cabo pergi meninggalkan perkampungan masyarakat Abar. Tetapi Abu tidak mau mengikuti Cabo. Berkali-kali ia memanggil tetapi Abu tetap bergeming. Cabo menjadi geram. Sekarang aku tidak dapat mengendalikan anjing ini. Mengapa Abu berbuat begitu?” demikian pikir Cabo. Berbagai cara telah dilakukan, sampai-sampai ia mengangkat tombak untuk mengancam Abu. Abu tidak takut, binatang yang cerdik itu tetap berdiri seolah-olah memohon sesuatu kepada tuannya. Karena Abu tetap tidak mau berjalan, tiba-tiba timbulah suatu pemikiran baru bagi Cabo.

Ia melepaskan tali rotan seraya berkata “Baiklah Abu, engkau saja yang bertindak sebagai penunjuk jalan!” Dengan melompat-lompat Abu berlari kembali ke simpang tiga. Di simpang tiga, Abu mengibas-ibaskan ekornya sambil menanti kedatangan tuannya.

Setelah Cabo tiba lalu mereka pun pergi mengikuti jalan terkal ke arah gunung, di sebelah utara. Sementara berjalan, Cabo menyadari bahwa Abu akan mengantarnya ke tempat batu ajaib yang dicari. Mereka melintasi kebun-kebun bekas kemudian memasuki hutan alang-alang yang luas. Beberapa kali mereka melewati anak sungai, Cabo dan Abu berkesempatan untuk minum. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah mereka di lereng gunung. Jalan semakin terjal, sempit dan tidak jelas. Sebenarnya jalan itu masih sering dilalui orang. Walaupun jalan itu terjal dan tidak jelas, namun Abu akan menuntun Cabo ke tempat yang di tuju. Jika sudah lelah Cabo beristirahat sebentar sambil memakan ubi. Setelah makan mereka melanjutkan perjalanannya. Pendakiaan terakhir diharapkan ditempuh pada waktu tengah hari. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di suatu tebing yang tinggi. Sementara berjalan Cabo acapkali berdiri sejenak untuk melihat ke belakang. Melalui celah pohon-pohonan, di kejauhan dilihatlah sebuah danau yang indah. Di atas permukaan danau terletak kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Ketika mendaki semakin tinggi daun-daunan dan batang-batang pohon basah, karena ditutup kabut yang tebal. Matahari seolah-olah tidak dapat menerobos kabut tebal itu. Pemandangan danau pun tidak nampak lagi. Bukan pemandangan danau saja yang tidak nampak, tetapi Cabo tak dapat lagi melihat kemana-mana.

“Kita teruskan perjalanan, Abu! Bila kita sudah sampai di tempat yang rendah, mungkin sudah ada sinar matahari,” kata Cabo.

Abu seakan-akan mengerti ucapan tuannya dan mereka terus berjalan. Jalanan menurun maupun menanjak amat licin karena kabut. Dengan hati-hati sekali mereka menjalani lereng-lereng di sebelah utara. Sementara mereka berjalan, kabut yang tebal itu telah berubah menjadi tipis. Cabo sudah dapat melihat langit yang biru. Tiada berapa hari kemudian cahaya matahari yang cerah menimpa Cabo. Karena segarnya sinar matahari lalu Cabo bersanjak.

“Aku dalam perlawatan
Mencari batu keajaiban
Batu bakal pembawa kemakmuran
Kepada manusia yang sekarang hidup
Dan yang akan datang
Abu membimbingku berjalan
Akan kemanakah aku dibawa Abu ?”

Di hadapannya, terbentanglah batu-batu yang luar biasa curamnya, di mana hampir tidak ada pohon dan rumput tumbuh. Nun jauh di sana langit dan laut sama membiru sehingga sulit untuk di bedakan. Yang jelas adalah garis pantai. Di sebelah kiri pantai itu terlihat sebuah kampung dan pohon-pohon kelapa.

“Apakah rahasia yang di cari ada di sana ?” pikir Cabo.

Cabo hanya melihat sebentar saja lalu melanjutkan perjalanan. Jalan itu tidak terjal lagi dan sudah menurun. Setelah beberapa lama berjalan Cabo melihat potongan dahan kayu dan bekas-bekas telapak kaki manusia pada anak sungai. Ia memastikan bahwa beberapa saat lagi akan mememukan kampung. Kini tiba saatnya untuk lebih waspada. Ia ingin lebih dahulu melihat dari pada orang kampung melihat dirinya. Cabo meramalkan bahwa tiada berapa lama lagi akan terjadi sesuatu. Memang benar apa yang diramalkan, sebab tiada berapa lama kemudian terdengar suatu suara. Dengan hati-hati sekali Cabo berjalan terus. Ia melampaui palung kering lalu memasuki semak-semak dan lalu ia menghampiri suatu pantai yang agak terbuka. Di pantai, sambil bersembunyi Cabo melihat sekelilingnya. Ketika ia megarahkan matanya ke atas batu di lihatnya seorang laki-laki sedang duduk sambil memakan pinang. Semula Cabo tidak melihat orang lain, tetapi tak lama kemudian ia mendengar suara dan tampaklah orang-orang. Rupa-rupanya batu tempat duduk orang itu bergua. Ia menyelinap mendekati gua itu untuk mengintai.

Di gua itu di lihatnya orang-orang sedang sibuk dengan batu-batu besar. Beberapa orang memalu batu pada batu yang lain dan ada pula yang menggosok batu lain. Cabo seolah mengerti apa yang sedang dikerjakan oarang-orang itu, yaitu kapak-kapak batu. Karena kapak-kapak yang dikerjakan, Cabo yakin bahwa ia telah berada di kampung Ormu. Sebab orang-orang Ormu saja yang sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu.

“Alangkah baiknya jika menyelinap lebih dekat lagi. Tetapi, tidak bisa karena orang di atas gua tadi, adalah seorang pemimpin,” pikir Cabo.

Raut muka orang yang di atas gua itu tampaknya kurang tenang. Ia berdiri sejenak lalu berjalan dan berbicara dengan laki-laki lainnya. Setel;ah ia berbicara, Cabo melihat orang-orang menghentikan pekerjaannya. Batu-batu yang dikerjakan itu dimasukkan ke dalam kantong noken lalu pergi mengikuti palung anak sungai. Tetapi salah seorang di antara yang bekerja tadi masih berbicara dengan pemimpin itu. Ia memperlihatkan dan menyerahkan batu yang baru di kerjakan kepada pemimpin lalu mereka pergi berdiri di bawah sinar matahari. Cabo melihat batu itu dengan jelas dan ternyata batu itu indah seperti yang pernah di mimpikan dahulu.

Dalam hatinya bertanya ”Batu itukah yang saya cari?”

Tanpa bergerak Cabo mengarahkan pandangannya ke batu. Ia melihat pemimpin itu mengelus-elus dan mengamati datu yang sudah selesai di kerjakan itu, sambil mengangguk-anggukan kepala. Cabo ingin segera memiliki batu itu. Setelah batu di amati lalu di kembalikannya kepada orang itu sambil mengetakan sesuatu. Orang itu menjawab kemudian mengikuti arah teman-temannya yang pergi terdahulu.

“Untung sang pemimpin itu tinggal, sekarang aku dapat berbicara kepadanya,” pikir Cabo.

Ketika orang yang pergi itu lenyap dari pandangan matanya, Cabo pun keluar dari semak-semak dan pergi ke suatu tempat kecil yang terbuka. Ia berdiri persis berhadapan dengan pemimpin yang masih tetap berada di sebelah gua. Pemimpin itu dengan cepat melihat Cabo tetapi ia tidak kaget. Tampaknya ia seperti sedang menantikan kedatangan seseorang. Pemimpin itu bertanya dalam bahasanya sendiri kepada Cabo. Karena Cabo tidak mengerti tentang bahasa itu lalu ia pun menjawab dalam bahasanya sendiri pula.

“Saya dari Kayubatu dan saya ingin kembali”

Pemimpin itu tidak heran walaupun Cabo menjawab dalam bahasanya sendiri malahan ia berbalik tanya “Apa yang hendak saudara cari di sini? Mengapa anda mengintip dari semak-semak itu?”

“Saya akan menceritakan semuanya. Tak usah khawatir, percayalah!” jawab Cabo.

Setelah itu masing-masing memperkenalkan diri, Sirwai demikianlah nama orang itu. Karena telah saling mengenal mulailah mereka berbasa-basi. Sirwai menceritakan bahwa ia, semasih muda sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu dengan benda-benda lain yang berguna. Dengan demikian ia telah banyak belajar bahasa daerah Cabo. Selanjutnya Sirwai mengatakan pula, bahwa ia telah lama merasa ada seseorang yang mengintip dirinya. Akibatnya pekerjaan yang dikerjakan orang-orang kali ini tidak dapat berlangsung dengan baik.
“Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya tujuan anda datang ke Ormu ini?” tanya Sirwai.

Cabo yakin bahwa Sirwai dapat dipercaya dan dianggapnya sebagai seorang sahabat tua yang akan dapat membantunya. Oleh sebab itu Cabo menceritakan semua rencananya dan kisah perjalananya.

Sirwai dengan penuh perhatian telah mendengarkan cerita Cabo lalu bertanya ”Batu apakah itu ?”

Cabo menatapnya dengan tajam seraya berkata ’Batu yang terakhir di kerjakan orang itu !”

Sirwai mengangguk-angguk dan berpikir tanpa berkata sesuatu. Setelah beberapa saat kemudian lalu Sirwai berkata ”Ikutilah saya !”

Sirwai berjalan di depan lalu diikuti Cabo dari belakang. Mereka mengikuti jalan kecil yang dilalui orang-orang tadi. Abu sekarang dengan tenang mengikuti tuannya dari belakang.

Setelah beberapa saat berjalan Sirwai berdiri sejenak lalu berkata “Dalam hutan kecil ini sebaiknya anda bersembunyi dahulu. Saya harus berpikir dan menceritakan kembali tentang apa yang anda ceritakan tadi kepada putraku. Nanti malam saya kirimkan putraku. Ia akan membawa anda ke rumah laki-laki. Tak usah khawatir, kami orang-orang Ormu selalu bergaul dengan orang-orang Kayubatu dan kami anggap sebagai saudara sendiri”.

Setelah berkata demikian Sirwai menghilang. Karena kepergian Sirwai tanpa permisi, Cabo tetap menunggu dengan penuh harapan. Ketika hari mulai kelam, tiba-tiba Cabo mendengar namanya di panggil. Di suatu jalan yang menuju kampung terlihatlah olehnya tubuh Sirwai.

“Saya kira anakmu yang akan menjemputku. ” kata Cabo.

“Saya harus memberitahukanmu sesuatu hal yang penting, karena itu saya datang sendiri. Yang saya maksudkan itu adalah nanti apabila engkau tiba di rumah laki-laki, engkau hanya boleh meminta perahu dan dayungnya. Tak usah berbicara tentang yang lain,” sela Sirwai.

Suasana ramai meliputi rumah khusus laki-laki. Setiap orang yang ada di dalam rumah laki-laki menyambut kedatangan Cabo dengan ramah tamah. Dari penjelasan Sirwai, oarang-orang telah mengetahui bahwa Cabo datang dari Kayubatu dan ia sekarang dalam perjalanan kembali ke kampung halamannya. Setelah Cabo diperkenalkan lalu di ajak untuk makan bersama. Banyak makanan yang di sediakan seperti ubi, ikan, sayur, dan makanan lain yang lezat. Karena menemppuh perjalanan yang jauh Cabo sangat lapar. Oleh sebab itu Cabo makan hingga sekenyang-kenyangnya.

Setelah makan, Sirwai bertanya kepada orang-orang ” Bagaimana, dapatkan kita membantu tamu kita ini?”

Lalu ia berpaling kepada Cabo dan bertanya ”Inginkah anda melepaskan lelah beberapa hari di kampung ini?”

“Saya ingin segera kembali ke kampung halamanku. Tetapi perjalanan lewat pegunungan sangat berat dan memakan waktu lama bagi saya. Oleh sebab itu saya ingin lewat laut saja. Bolehkan saya meminjam sebuah perahu dan dayung?”

Orang-orang bersedia membantunya lalu Sirwai menjawab “Perahu dan dayung akan kami berikan. Ikutilah, saya akan mengantarmu ke pantai!”

Cabo mengucapkan terimakasih atas kebaikan hati orang-orang Ormu lalu ia pergi bersama Sirwai. Cabo meninggalkan rumah laki-laki itu. Abu tetap mengikuti tuannya. Sirwai membawa tamunya ke suatu tempat yang sunyi di pantai. Di sana telah siap sebuah perahu dan sebuah dayun.

“Silakan duduk, Cabo. Saya telah lama berpikir tentang mimpimu itu. Batu yang kau impikan itu sekarang ada dalam noken saya. Batu itu sungguh ajaib. Sebentar dalam perjalanan, batu ini akan mendampingimu. Batu inilah yang akan membantu kampungmu untuk membuat gerabah. Tetapi akan terjadi suatu yang luar biasa. Engkau harus mempersembahkan suatu kurban yang besar kepada batu ini dan engkau sendiri yang akan menjadi kurban itu,” kata Sirwai.

“Di mana dan bagaimana dengan batu ini saya tidak mengerti,” sela Cabo.

“Batu dan Abu akan membimbingmu lebih lanjut,” kata Sirwai lagi.

Setelah itu, Cabo lebih banyak mendengar daripada berbicara. Mulai saat itu kekuatan gaib terasa mengalir ke dalam tubuhnya. Cabo masih ingat akan mimpinya di mana akan terjadi sesuatu yang luar biasa pada dirinya.

“Saya tahu bahwa apa yang telah engkau katakan itu adalah benar. Sebab saya akan menyelamatkan kampung Kayubatu dari kesengsaraan. Dan saya rela berkorban demi kebahagiaan dan kemakmuran sesama. Saudaraku Tiaghe akan mengetahui bahwa kami telah berhutang budi terhadapmu. Kaum kerabatku akan terkenang selalu kepada orang yang telah berjasa terhadap kampung halamanku. Orang-orang Kayubatu akan menjunjung tinggi keluhuran hati orang-orang ormu,” kata Cabo.

Dalam gelap malam dan hanya diterangi cahaya bintang, Cabo mengayuh perahunya menyusuri pantai. Di malam yang sepi dan olengan ombak mulai menyulitkan perjalanan Cabo. Tetapi ia tak gentar dan sabar, bahwa perjalanan akan berakhir di tanjung Suaja, kampung halamannya. Abu duduk di bawah kaki tuannya. Kadang-kadang ia mengangkat kepalanya dan menatap Cabo dengan penuh kesetiaan. Sepanjang malam Cabo terus mendayung. Secara teratur ia mengayunkan dayungnya ke dalam air dengan tanpa rasa bosan. Malam yang panjang itu hampir berakhir, hal itu diketahui dengan munculnya semburat terang di ufuk timur. Di sebelah kanan Cabo nampak pula gunung-gunung. Tidak berapa lama kemudian Cabo telah melihat tanjung Suaja. Abu duduk sejenak di dekat kaki Cabo, lalu ia memalingkan kepala ke arah darat. Di ujung selatan dari tanjung Suaja yang disebut tanjung Utu, Cabo mengarahkan perahu ke pantai dan menariknya ke darat.

Setelah itu ia mengumpulkan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu kering. Kemudian dipasangnya api di bagian bawah depan perahu lalu ditimbuni dengan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu tadi. Setelah menyala, api pun menjulang tinggi yang mula-mula menghanguskan tepi perahu, tetapi lama-kelamaan menghabiskan seluruh bagian perahu. Cabo tidak menunggu sampai seluruh perahu terbakar karena ia ingin mandi di laut. Laut, selain tempat untuk mendirikan rumah, tetapi juga merupakan tempat ia dilahirkan. Abu berjalan kian kemari sambil menyalak sementara tuannya sedang mandi di laut. Setelah mandi Cabo merasa ada seperti kekuatan gaib yang menyuruhnya pergi. Sesuai dengan mimpi Cabo sebelumnya, ia berjalan sambil menggenggam batu ajaib. Abu berjalan di depan dan Cabo mengikuti dari belakang. Mereka mendaki sebuah bukit yang berbentuk tanjung. Setiba di puncak bukit tanjung, Cabo dan Abu berhenti.

Cabo sadar bahwa saat yang luar biasa akan terjadi. Ia melihat sekeliling lalu berpaling ke arah timur, barat, utara, dan selatan. Cabo yakin bahwa tujuannya akan segera tercapai dan ia telah sampai untuk mengurbankan diri. Dengan meundukkan kepala, ia menantikan sesuatu yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian apa yang dinanti-nantikan benar-benar terjadi, dari kejauhan terdengar gemuruh angin yang semakin dekat semakin keras gemuruhnya. Tiba-tiba tanah di bawah kaki Cabo terbelah diiringi dengan suara gemeretak tanah yang terbelah. Abu terkejut dan hendak melarikan diri dari tempat itu, akan tetapi Cabo menahan anjing itu dengan kuat. Abu merasa kagum atas ketabahan dan keikhlasan tuannya untuk itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi. Kemudian terdengar bunyi petir menggelegar dasyat. Tanah yang terbelah semakin lebar dan tubuh Cabo dan Abu terjatuh ke dalam celah yang menganga tersebut. Setelah tubuh keduanya masuk ke dalam celah, celah itu dengan cepat tertutup kembali dan menelan tubuh mereka berdua.

Hingga keesokan harinya Tiaghe Pui mencari ikan di laut menggunakan perahu. Usaha untuk mencari ikan kali ini pun nampaknya kurang mendapatkan hasil yang maksimal. Namun semanjak kepergian Cabo Pui, seolah-olah ikan kembali lagi berkumpul ke teluk sehingga kebutuhan masyarakat akan ikan dapat terpenuhi lagi. Tiaghe senantiasa memikirkan Cabo, saudaranya. Dalam hati ia selalu bertanya, “Di mana Cabo gerangan? Apakah ia telah berhasil dalam pencariannya?”.

Tiaghe amat resah dan gelisah. Untuk melenyapkan kegundahan hatinya ia pun segera pulang ke rumah. Tiaghe mendayung perahunya perlahan menuju rumah. Setelah sampai, perahu diikat di tiang rumah. Baru saja ia selasai mengikat perahu, tiba-tiba terdengar suara petir menggelagar di angkasa. Tiang-tiang rumah bergoyag keras seakan-akan terjadi gempa bumi yang dasyat.

“Itu mungkin merupakan suatu tanda. Cabo pernah berkata bahwa ia harus memperhatikan tanda-tanda yang ditunjukkan oleh alam. Sementara ia keluar dari perahu, istrinya pun keluar dari rumah.

“Untunglah engkau telah pulang Tiaghe. Saya sangat sedih. Apakah engkau tidak mendengar bunyi petir tadi?” tanya istri Tiaghe.

“Mungkin ada sesuatu mengenai Cabo, Bu. Tanda yang kita nanti-nantikan telah terlihat. Mari kita pergi untuk mencari Cabo! Bawalah sebuah pinggan tempat sagu dan sepotong kayu!” perintah Tiaghe kepada istrinya.

Setelah itu Tiaghe dan istri bergegas untuk mencari Cabo menggunakan perahu. Tiaghe tidak ragu lagi. Perahu ditepikan dan mereka mendaki sebuat tanjung yang membukit.

“Dari sanalah terdengar suara tadi, mungkin telah terjadi sesuatu.” kata Tiaghe yang diikuti oleh istrinya dalam diam.

Dengan susah payah mereka mendaki tanjung yang terjal itu. Peluh bercucuran membasahi kedua badan pasangan suami istri ini. Tiaghe tidak ingin beristirahat sebelum mencapai puncak tanjung. Ia bersemangat sekali, karena teringat pada pesan Cabo. Ketika tiba di puncak bukit, mereka melihat lautan luas yang bebas terbentang. Setelah beberapa saat memandang lautan, mereka melanjutkan perjalanan menuruni bukit menuju pantai. Di pantai mereka menemukan sisa-sisa pembakaran perahu, bekas kaki Cabo dan anjingnya. Tiaghe dan istrinya mengikuti jejak kaki itu hingga ke tanjung Out, tempat di mana Cabo dan Abu menghilang. Tiaghe menemukan tanda-tanda yang ajaib pada tanah tempat Cabo dan Abu menghilang.

“Engkau lihat benda yang berwarna merah ini? Ajaib, di sini tak ada sesuatu pun selain batu karang, tetapi banyak tanah merah yang lembek.” kata Tiaghe kepada istrinya sambil menunjuk ke tanah.

Tiaghe mencoba menggali lapisan tanah merah itu menggunakan tongkat yang dibawa oleh istrinya. Dari hasil galian itu Tiaghe menemukan batu ajaib.

“Sekarang saya tahu bahwa Cabo berdiri di sini, sebab batu inilah yang dicari. Mari kita bawa batu ini ke rumah,” kata Tiaghe.

“Saya juga ingin membawa tanah ini,” sela istri Tiaghe sambil mengisi tanah merah ke dalam pinggan. Tiaghe dan istrinya kini sadar bahwa mereka tak akan melihat Cabo lagi sepanjang masa.

“Di atas tempat inilah Cabo dan Abu menghilang,” kata Tiaghe Pui.

Istri Tiaghe menangis, begitu juga Tiaghe. Air mata berlinang di pipi mereka berdua. Setelah beberapa lama mereka menangis, mereka kembali ke rumah. Jalan yang ditempuh adalah menyusuri tanjung Suaja. Setiba di kampung, Tiaghe dan istrinya mengaduk tanah merah itu dengan pasir. Semula mereka mencoba membuat mangkuk kecil. Mereka menggunakan batu ajaib untuk mengerjakan mangkuk hingga menjadi licin dan bagus.

Beberapa hari kemudian, Tiaghe memanggil penduduk kampung untuk berkumpul. Ia menceritakan tentang penyebab kepargian Cabo. Setelah mendengar penuturan Tiaghe, penduduk kampung merasa terharu dan kagum. Untuk menguatkan kepercayaan penduduk kampung, Tiaghe memperlihatkan mangkuk kecil yang telah dibuat. Salah seorang wanita dari penduduk kampung memegang mangkuk sambil berkata, “Mangkuk ini belum selesai dikerjakan, sebaiknya dibakar dahulu agar menjadi keras dan kuat.”

Hari demi hari terus berlalu. Kemakmuran kampung Kayubatu perlahan mulai nampak berkat pengorbanan Cabo Pui. Penduduk kampung Kayubatu terus mengenang jasa dan pengorbanan Cabo sepanjang masa. Sejak saat itu kaum kerabat Pui mulai membuat kerajinan tangan yang terbuat dari tanah liat.

Setalah peristiwa penemuan batu ajaib yang kemudian diberi nama Kecabo itu, kian hari jumlah Kecabo kian bertambah banyak. Kecabo asli yang pertama kali ditemukan oleh Cabo Pui sampai saat ini masih ada dan dirawat dengan baik oleh Isak Pui.

_____________March 3, 2010
*) Pemenang II Sayembara Penulisan Cerita Rakyat 2009
**) Guru SMA YPPK Taruna Dharma Kotaraja
Dijumput dari: http://sastralisanpapua.blogspot.com/2010/03/cabo-dan-batu-ajaib.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar