Cerita Rakyat dari Kampung Kayubatu
Dikembangkan oleh: Eni Suryanti, S.Pd.
http://sastralisanpapua.blogspot.com/
Ratusan tahun yang telah silam di Papua terdapat beberapa kampung pembuat panci ataupun pembuat perkakas dapur dari tanah. Salah satu dari kampung-kampung itu adalah kampung Kayubatu yang letaknya di Teluk Imbi, Jayapura. Penduduk Kayubatu pada saat itu terdiri dari 16 kepala keluarga yang masing-masing keluarga terdiri dari 60 hingga 80 orang.
Jumlah penduduknya lebih banyak dahulu daripada sekarang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan menangkap ikan. Biasanya mereka membuka ladang di lereng-lereng gunung sekitar teluk dan ditanami dengan umbi-umbian. Laut di sekitar kampong ikannya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan ratusan orang.
Karena tanah itu selalu dipakai lama kelamaan tanahnya menjadi gersang dan berkurang hasilnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan orang-orang mengusahakan perladangan baru. Yang dimaksud dengan perladangan baru adalah ladang yang agak jauh dari kampung dan masih subur. Mencari perladangan baru berlangsung dari tahun ke tahun hingga tanah subur di sekitar kampung habis terpakai. Untuk mencari perladangan lain mereka harus pergi jauh dari kampung dan mungkin memasuki wilayah kampung lain. Memasuki wilayah kampung lain akan membawa akibat, oleh sebab itu orang-orang berusaha menggunakan tanah bekas. Mengusahakan tanah bekas tidak membawa hasil yang memuaskan dan lambat laun kesulitan untuk mencari perladangan semakin terasa. Kesulitan yang paling dirasakan adalah pada tahun yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Hal itu terjadi karena tanaman jagung yang masih muda habis dihanyutkan air hujan yang lebat. Karena tanaman jagung sudah musnah, selain itu babi hutan pun mengganggu tanaman ubi. Demikian pula hasil laut sudah berkurang. Mengapa hasil laut berkurang seorang pun tidak ada yang tahu, tetapi pada waktu itu di laut sekitar kampung tampak awan yang sering merendah dan mengapung-apung. Tahun itu memang kesialan tengah menimpa penduduk kampung, pohon-pohon kelapa kurang menghasilkan buah, pucuknya habis dihancurkan oleh kumbang-kumbang kelapa.
Waktu itu orang-orang merasa bahwa arwah nenek moyang mereka marah. Agar arwah nenek moyangnya tidak marah, mereka mencoba mempersembahkan manik-manik di tanjung-tanjung atau tempat-tempat yang diperkirakan terdapat arwah nenek moyang bersemayam. Walaupun korban persembahan telah dilaksanakan, namun tidak membawa hasil juga. Mereka sangat menderita karena kebutuhan hidup semakin sulit dicari. Setiap petang orang-orang duduk bersama dan berbincang tentang kesusahan itu.
“Saya kira arwah nenek moyang kita marah sekali, korban persembahan telah dilaksanakan namun belum juga berhasil,” kata salah seorang dari yang berbincang-bincang itu.
“Mengapa arwah nenek moyang begitu marah?” sela orang lain pula.
“Ya, mengapa…? Sebelum bencana ini menimpa kita, penduduk kampung ini selalu bahagia. Mengapa kita sekarang menjadi begini? Tanya yang lain.
“Mungkin di antara kita ada yang burbuat suatu kesalahan kepada arwah nenek moyang.” kata pembicara pertama tadi.
“Bila hal itu memang demikian, maka kita harus mengadakan pesta tari. Mungkin dengan diadakannya pesta tari tiu akan membawa kita kembali dalam suatu alam yang menyenangkan,” kata pembicara lain.
Ajakan untuk membuat pesta disetujui oleh semua penduduk kampung, tetapi pestanya harus sederhana karena bekal tidak mencukupi. Walaupun pesta sederhana telah dilaksanakan, tetapi tidak dapat menolong juga. Orang sering tidur tanpa makan. Yang paling prihatin memikirkan nasib kampung itu adalah Cabo Pui. Cabo Pui sering berkata kepada Tiaghe saudaranya, bahwa ia senang bila dapat berbuat sesuatu untuk kampungnya.
Pada suatu malam Cabo Pui bermimpi. Dalam mimpinya itu ia berjalan menyusuri pantai tanjung Suaja dengan membawa sebuah batu pipih lonjong yang indah. Dari mana ia peroleh dan asal usul batu pipih itu tidak diketahuinya. Batu pipih itu berada di tangannya ketika ia meninggalkan pantai dan pergi menuju ke suatu jalan karang yang terjal. Setibanya di ketinggian jalan itu, tiba-tiba di tempat itu menjelmalah sebuah gunung bertanah merah. Kemudian datanglah perempuan-perempuan yang masing-masing membawa sebuah keranjang kosong. Mereka mengisi keranjang-keranjang kosong itu dengan tanah merah dari gunung itu dan disertai dengan sedikit pasir. Salah satu dari perempuan-perempuan itu juga mendapat sebuah batu seperti yang dimilki oleh Cabo. Setelah keranjang penuh dengan campuran tanah dan pasir lalu mereka pulang. Di kampung perempuan-perempuan itu membuat gerabah dari tanah merah yang mereka bawa dengan menggunakan batu pipih. Sementara mereka sibuk mengerjakannya, tiba-tiba rumah-rumah di kampung berubah menjadi indah. Orang-orangnya pun bergembira seperti sebelum kemelaratan dan kemiskinan menimpa penduduk kampung.
Ketika Cabo bangun, ia duduk dan dalam hatinya berkata, “Benarkah aku bermimpi? Atau memang benar-benar apa yang saya saksikan itu.” Pergumulan pikiran tentang mimpinya tetap menguasai benaknya. Ia tak dapak menafsirkan arti mimpi itu kepada Tiaghe. Keesokan harinya, sesudah petang ia pergi menjumpai Tiaghe. Ia bercerita mengenai mimpinya dengan sejelas-jelasnya.
“Aku harus memiliki batu ajaib itu dan apabila telah kumiliki mungkin dapat mendatangkan kembali kemakmuran kampung ini,” kata Cabo mengawali pembicaraan.
“Tahukah engkau di mana batu itu harus dicari?” tanya Tiaghe.
“Tidak.” jawab Cabo Pui.
“Kau telah menceritakan mimpimu dengan jelas, tetapi mengenai batu itu masih belum jelas asal usulnya,” timpal Tiaghe.
“Ya, tetapi batu itu aku harus mencarinya,” kata Cabo penuh semangat.
“Bolehkah aku ikut bersamamu, Cabo? Bukankah lebih mudah mencari dengan dua orang daripada satu orang?” usul Tiaghe.
“Tidak, Tiaghe. Dalam mimpiku aku hanya seorang diri.” kata Cabo lagi.
“Kalau begitu, pesanku bawalah anjingmu. Ia adalah binatang yang cerdik dan setia,” kata Tiaghe memberi usul.
“Akan aku turuti nasihatmu, Tiaghe.”
“Ke manakah engkau akan pergi?” tanya Tiaghe lagi.
“Aku akan pergi ke arah barat, menyusuri kaki gunung yang tinggi. Pada kesempatan ini juga aku berpesan kepadamu saudaraku, bila engkau mendengar atau melihat suatu tanda alam, maka pergilah engaku ke tanjung Suaja. Di sana engkau akan menemukan benda-benda yang membawa keuntungan abadi kepada segenap keluarga kita,” kata Cabo panjang lebar.
“Aku senantiasa mendoakanmu, semoga engkau selamat dalam perjalanan dan kemakmuran yang dicari dapat tercapai,” kata Tiaghe memberi semangat.
“Jagalah keluargamu baik-baik dan jangan lupa tanda-tanda alam, sekarang aku akan segera berangkat,” kata Cabo berpamitan.
Dengan sebuah perahu berangkatlah ia ke muara sungai Numbai. Di kiri kanan muara sungai itu sekarang terletak Kantor Pos Jayapura dan Kantor DPR Papua. Setelah tiba di muara sungai Numbai, Cabo Pui dan anjingnya yang bernama Abu turun dari perahu. Mereka menyusuri sungai menuju bukit-bukit yang berhutan lebat. Pada bukit-bukit itu terdapat jalan setapak yang genting. Cabo dengan tabah mendaki dan menuruninya. Setelah petang hari, tibalah mereka pada sebuah bukit yang tinggi. Di kejauhan terbentang sebuah teluk yang indah, diapit oleh dua tanjung. Di antara kedua tanjung itu seolah-olah terdapat sebuah pintu menujun laut bebas. Di sanalah terlihat beberapa rumah yang mirip dengan kampung cabo pui. Rumah-rumah itu di bangun diatas permukaan laut. Dengan jelas cabo melihat air laut menghijau yang menandakan air sangat dangkal. Rumah-rumah itu adalah rumah dari kampung Injiros (Enggros) dan kampung Tobati.
Dari puncak bukit itu terbentang pula suatu jalan terjal menuju ke bawah. Jalan terjal itu dilaluinya dengan hati-hati dan tibalah ia pada sebidang tanah bekas kebun. Di carinya tempat untuk bermalam. Karena tempat itu adalah kebun lama ia memastikan bahwa di sekitar kebun itu ada gubuk. Memang benar, setelah beberapa saat kemudian ia menemukan gubuk kecil dan memutuskan untuk bermalam di gubuk itu. Karena sudah lapar dicarinya makanan di kebun itu dan berhasil menemukan beberapa umbi-umbian. “Pemilik kebun tidak akan memarahiku apabila ku habiskan umbian ini”, pikirnya.
Segera di buatnya api kemudian umbi-umbian itu dimasukan ke dalamnya. Beberapa saat kemudian umbi-umbian itu masak, lalu di keluarkan dan dimakannya dengan lahap. Abu berdiri di depan tuannya dan pandangan matanya mengikuti saetiap gerakan Cabo. Demi melihat anjing kesayangannya, Cabo memberinya sepotong umbian. Meskipun Cabo telah kenyang ia merasa masih ada kurang pada dirinya, yaitu belum mendapat batu ajaib.sambil berbaring Cabo berbicara dengan anjingnya, “Di pinggir danau ini mestinya ada penduduk kampung yang membuat sempe. Kita harus berusaha untuk mendapatkan kampung itu. Kalau tidak salah, Abar namanya. Sering orang-oarang dari kampung itu datang ke kampung kita untuk menjual sempe”. Abu sudah terbiasa, bila tuannya berbicara ia selalu merasa gembira. Karena gembiranya ia meletakkan kaki depannya yang sebelah di atas lutut Cabo, seolah- olah Abu hendak mengatakan, “Aku senantiasa akan membantumu, Tuan”.
Keesokan harinya setelah matahari terbit Cabo bertekad untuk mencari suatu puncak yang tinggi. Dari puncak itu ia akan dapat melihat sekitar gunung dan danau. Dengan jelas dilihatnya di atas permukaan air, bangunan kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Beberapa kampung di antaranya ada yang sebesar kampung Cabo Pui. Sebagian dari lereng-lereng gunung di sebelah danau nampak amat gundul. Walaupun cuaca amat cerah dan kampung-kampung dapat dilihat denga jelas, tetapi kampung Abar belum diketahui secara pasti. Ia ingin segera mendapatkan kampung Abar di mana tempayan-tempayan tanah di buat. Dengan hati- hati sekali mereka menuruni bukit. Kadang-kadang mereka melewati kebun-kebun yang sedang dikerjakan orang. Setelah beberapa saat kemudian Cabo dan Abu sampai di pinggir danau. Tiap kali menjumpai persimpangan jalan, mereka memastikan bahwa letak kampung Abar tidak jauh lagi. Cabo mengikatkan tali pada kalung Abu agar anjingnya dapat dikekang. Ia akan memasuki kampung untuk melihat apa yang ada di sana. Saya akan menyembunyikan tombak, busur dan anak panah. Kalau orang melihat saya tidak membawa senjata tajam berati tidak mempunyai maksud jahat, pikir Cabo. Ia menyembunyikan senjata tajamnya di dalam semak-semak belukar. Tali yang di ikat pada kalung Abu tetap dalam tangan Cabo. Dengan sengaja Cabo berjalan mengelilingi tempat di mana wanita-wanita bekerja. Ketika ia mengelilingi tempat wanita-wanita itu, tiba-tiba terdengar olehnya bunyi kapak. Cabo memastikan bahwa mereka kini sudah mendekati sebidang kebun yang sedang di kerjakan oleh pemiliknya. Ia berdiri di samping tempat yang baru saja dibakar. Cabo melihat sepasang suami istri yang sedang sibuk bekerja. Sang suami menoleh dan melihat ke arah Cabo. Orang itu tidak terkejut.
“Untunglah,”pikir Cabo.
Kemudian laki-laki itu berkata dalam bahasanya. Cabo merasa asing mendengar kalimat-kalimat itu, tetapi ia dapat menerka apa yang dimaksud oleh laki-laki itu. Kalimat itu diterkanya demikian, “Dari mana dan hendak kemana ?”
Cabo tampak ragu-ragu menjawab dalam bahasanya “Dari timur dan saya hendak ke barat”. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi dalam bahasa teluk Imbi, “Anda datang dari pantai ?”
“Ya, benar saya datang dari pantai, ” jawab Cabo. Laki-laki itu menghampiri Cabo dan memberitahukan namanya. Abo, demikian nama orang itu.
Cabo bertanya lagi ”Anda tahu bahasa kami ?”
Cabo tersenyum seraya berkata “tahu sedikit-sedikit, dahulu saya pernah merantau ke tempat anda”. Cabo sangat girang karena ada orang yang mengetahui bahasanya. Anjing Cabo mengibas-ibaskan ekornya karena mengikutu kegirangan tuannya. Abo mengantarkan Cabo dan memperkenalkan pada istrinya. Setelah itu Abo mengatakan sesuatu kepada istrinya, lalu istrinya pergi ke pondok yang terletak di pojok kebun. Kemudian Abo bersama Cabo mengikuti istrinya. Pada cabang kayu di pondok itu tergantung satu noken. Si istri mengangkat noken dan mengeluarkannya sagu bakar dari dalamnya. Sagu bakar itu di hidangkan di atas selembar daun pisang lalu Abo mengajak Cabo untuk makan bersama. Dengan perasaan syukur Cabo memakan beberapa potong sagu bakar. Abo menjamunya dengan penuh ramah tamah. Sesudah itu ia menceritakan tentang keadaan kampung dan rencananya dengan sejelas- jelasnya. Dalam keyakinan Abo timbullah suatu pemikiran lalu ia berkata, “Hanya orang-orang kami saja yang boleh membuat sempe. Tetapi saya bukan Ondolofo, nanti malam kita akan membicarakannya dengan penduduk kampung ini ”.
Sepanjang hari sebelum pulang kerumah mereka bekerja bersama-sama, Cabo membantunya dengan tulus ikhlas. Ketika petang tiba mereka pun meninggalkan kebun lalu pulang ke rumah. Mereka mengikuti jalan kecil, arah mana cabo datang tadi. Ketika mereka tiba di kampung hari masih terang. Kampung itu terletak pada sebuah sungai kecil yang jernih dan datangnya dari pegunungan. Orang-orang kampung menatap tamu asing itu dengan penuh simpati serta ingin tahu siapa gerangan tamu itu.
Pada sore hari orang-orang tua berkumpul di rumah-rumah khusus laki-laki. Dalam kesempatan itu Cabo menceritakan kembali dalam bahasanya tentang apa yang di ceritakan kapada Abo. Abo membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah setempat. sebagian orang-orang menatapnya, agar Cabo berbicara lagi. Tetapi Cabo menginsafi dahwa baginya tidak ada lagi waktu luang untuk berbicara. Salah seorang yang tertua dari antara mereka memberi suatu isyara agar Abo membawa tamu asing itu keluar rumah. Setelah Cabo keluar, terdengar suara mendengung karena mereka dengan mereka yang berbincang-bincang.
Salah seorang di antara mereka bersungut-sungut “Kalau ada orang yang tidak dikenal datang ke kampung kita, apa yang harus kita lakukan? Apakah orang itu boleh menangkap ikan di teluk kekuasaan kita? ”
Sedang bersungut-sungut orang itu bertanya lagi kepada Cabo “Bolehkah orang asing menangkap ikan di telukmu?”
“Tidak,” jawab Cabo. Cabo berpaling pada Abo seraya berkata “Tetapi di kampung saya jumlah penduduknya banyak, bagaimana dengan kampung ini?”
Abo mengangkat bahunya lalu menjawab “Saya bukan ondolofo dan mungkin ketidakpuasan anda akan di jawab oleh para orang tua nanti.”
Tiada beberapa kemudian, mereka dipanggil lagi masuk ke dalam rumah. Orang yang tertua berbisik kepada Abo lalu Abo pun menyampaikan bisikan itu kepada Cabo. Hasil bisikan itu adalah Cabo dan seluruh keretnya, tidak berhak untuk membuat sempe. Mimpi tetap mimpi. Sebab setiap orang dapat saja bermimpi demikian. Walaupun ada larangan kepada warga Cabo, namun orang-orang Abar menghendaki agar hubungan persaudaraan tetap ada dengan orang-orang Kayubatu. Karena orang-orang Kayubatu sering membeli sempe dari mereka.
Cabo adalah tamu Abo. Cabo boleh saja tinggal lebih lama di rumah Abo jika Cabo menghendaki. Tetapi Cabo tidak menginginkannya. Keputusan orang-orang tua masih terbayang di benaknya. “mimpi tetap mimpi, marga Cabo tidak berhak untuk membuat sempe. Kata-kata orang-arang Abar memang benar. Untuk memiliki kepandaian membuat sempe harus ada suatu kejutan, suatu keajaiban.” Demikian pemikiran Cabo. Oleh sebab itu ia tidak ingin tinggal lebih lama lagi. Kemudian Cabo pergi meninggalkan perkampungan masyarakat Abar. Tetapi Abu tidak mau mengikuti Cabo. Berkali-kali ia memanggil tetapi Abu tetap bergeming. Cabo menjadi geram. Sekarang aku tidak dapat mengendalikan anjing ini. Mengapa Abu berbuat begitu?” demikian pikir Cabo. Berbagai cara telah dilakukan, sampai-sampai ia mengangkat tombak untuk mengancam Abu. Abu tidak takut, binatang yang cerdik itu tetap berdiri seolah-olah memohon sesuatu kepada tuannya. Karena Abu tetap tidak mau berjalan, tiba-tiba timbulah suatu pemikiran baru bagi Cabo.
Ia melepaskan tali rotan seraya berkata “Baiklah Abu, engkau saja yang bertindak sebagai penunjuk jalan!” Dengan melompat-lompat Abu berlari kembali ke simpang tiga. Di simpang tiga, Abu mengibas-ibaskan ekornya sambil menanti kedatangan tuannya.
Setelah Cabo tiba lalu mereka pun pergi mengikuti jalan terkal ke arah gunung, di sebelah utara. Sementara berjalan, Cabo menyadari bahwa Abu akan mengantarnya ke tempat batu ajaib yang dicari. Mereka melintasi kebun-kebun bekas kemudian memasuki hutan alang-alang yang luas. Beberapa kali mereka melewati anak sungai, Cabo dan Abu berkesempatan untuk minum. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah mereka di lereng gunung. Jalan semakin terjal, sempit dan tidak jelas. Sebenarnya jalan itu masih sering dilalui orang. Walaupun jalan itu terjal dan tidak jelas, namun Abu akan menuntun Cabo ke tempat yang di tuju. Jika sudah lelah Cabo beristirahat sebentar sambil memakan ubi. Setelah makan mereka melanjutkan perjalanannya. Pendakiaan terakhir diharapkan ditempuh pada waktu tengah hari. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di suatu tebing yang tinggi. Sementara berjalan Cabo acapkali berdiri sejenak untuk melihat ke belakang. Melalui celah pohon-pohonan, di kejauhan dilihatlah sebuah danau yang indah. Di atas permukaan danau terletak kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Ketika mendaki semakin tinggi daun-daunan dan batang-batang pohon basah, karena ditutup kabut yang tebal. Matahari seolah-olah tidak dapat menerobos kabut tebal itu. Pemandangan danau pun tidak nampak lagi. Bukan pemandangan danau saja yang tidak nampak, tetapi Cabo tak dapat lagi melihat kemana-mana.
“Kita teruskan perjalanan, Abu! Bila kita sudah sampai di tempat yang rendah, mungkin sudah ada sinar matahari,” kata Cabo.
Abu seakan-akan mengerti ucapan tuannya dan mereka terus berjalan. Jalanan menurun maupun menanjak amat licin karena kabut. Dengan hati-hati sekali mereka menjalani lereng-lereng di sebelah utara. Sementara mereka berjalan, kabut yang tebal itu telah berubah menjadi tipis. Cabo sudah dapat melihat langit yang biru. Tiada berapa hari kemudian cahaya matahari yang cerah menimpa Cabo. Karena segarnya sinar matahari lalu Cabo bersanjak.
“Aku dalam perlawatan
Mencari batu keajaiban
Batu bakal pembawa kemakmuran
Kepada manusia yang sekarang hidup
Dan yang akan datang
Abu membimbingku berjalan
Akan kemanakah aku dibawa Abu ?”
Di hadapannya, terbentanglah batu-batu yang luar biasa curamnya, di mana hampir tidak ada pohon dan rumput tumbuh. Nun jauh di sana langit dan laut sama membiru sehingga sulit untuk di bedakan. Yang jelas adalah garis pantai. Di sebelah kiri pantai itu terlihat sebuah kampung dan pohon-pohon kelapa.
“Apakah rahasia yang di cari ada di sana ?” pikir Cabo.
Cabo hanya melihat sebentar saja lalu melanjutkan perjalanan. Jalan itu tidak terjal lagi dan sudah menurun. Setelah beberapa lama berjalan Cabo melihat potongan dahan kayu dan bekas-bekas telapak kaki manusia pada anak sungai. Ia memastikan bahwa beberapa saat lagi akan mememukan kampung. Kini tiba saatnya untuk lebih waspada. Ia ingin lebih dahulu melihat dari pada orang kampung melihat dirinya. Cabo meramalkan bahwa tiada berapa lama lagi akan terjadi sesuatu. Memang benar apa yang diramalkan, sebab tiada berapa lama kemudian terdengar suatu suara. Dengan hati-hati sekali Cabo berjalan terus. Ia melampaui palung kering lalu memasuki semak-semak dan lalu ia menghampiri suatu pantai yang agak terbuka. Di pantai, sambil bersembunyi Cabo melihat sekelilingnya. Ketika ia megarahkan matanya ke atas batu di lihatnya seorang laki-laki sedang duduk sambil memakan pinang. Semula Cabo tidak melihat orang lain, tetapi tak lama kemudian ia mendengar suara dan tampaklah orang-orang. Rupa-rupanya batu tempat duduk orang itu bergua. Ia menyelinap mendekati gua itu untuk mengintai.
Di gua itu di lihatnya orang-orang sedang sibuk dengan batu-batu besar. Beberapa orang memalu batu pada batu yang lain dan ada pula yang menggosok batu lain. Cabo seolah mengerti apa yang sedang dikerjakan oarang-orang itu, yaitu kapak-kapak batu. Karena kapak-kapak yang dikerjakan, Cabo yakin bahwa ia telah berada di kampung Ormu. Sebab orang-orang Ormu saja yang sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu.
“Alangkah baiknya jika menyelinap lebih dekat lagi. Tetapi, tidak bisa karena orang di atas gua tadi, adalah seorang pemimpin,” pikir Cabo.
Raut muka orang yang di atas gua itu tampaknya kurang tenang. Ia berdiri sejenak lalu berjalan dan berbicara dengan laki-laki lainnya. Setel;ah ia berbicara, Cabo melihat orang-orang menghentikan pekerjaannya. Batu-batu yang dikerjakan itu dimasukkan ke dalam kantong noken lalu pergi mengikuti palung anak sungai. Tetapi salah seorang di antara yang bekerja tadi masih berbicara dengan pemimpin itu. Ia memperlihatkan dan menyerahkan batu yang baru di kerjakan kepada pemimpin lalu mereka pergi berdiri di bawah sinar matahari. Cabo melihat batu itu dengan jelas dan ternyata batu itu indah seperti yang pernah di mimpikan dahulu.
Dalam hatinya bertanya ”Batu itukah yang saya cari?”
Tanpa bergerak Cabo mengarahkan pandangannya ke batu. Ia melihat pemimpin itu mengelus-elus dan mengamati datu yang sudah selesai di kerjakan itu, sambil mengangguk-anggukan kepala. Cabo ingin segera memiliki batu itu. Setelah batu di amati lalu di kembalikannya kepada orang itu sambil mengetakan sesuatu. Orang itu menjawab kemudian mengikuti arah teman-temannya yang pergi terdahulu.
“Untung sang pemimpin itu tinggal, sekarang aku dapat berbicara kepadanya,” pikir Cabo.
Ketika orang yang pergi itu lenyap dari pandangan matanya, Cabo pun keluar dari semak-semak dan pergi ke suatu tempat kecil yang terbuka. Ia berdiri persis berhadapan dengan pemimpin yang masih tetap berada di sebelah gua. Pemimpin itu dengan cepat melihat Cabo tetapi ia tidak kaget. Tampaknya ia seperti sedang menantikan kedatangan seseorang. Pemimpin itu bertanya dalam bahasanya sendiri kepada Cabo. Karena Cabo tidak mengerti tentang bahasa itu lalu ia pun menjawab dalam bahasanya sendiri pula.
“Saya dari Kayubatu dan saya ingin kembali”
Pemimpin itu tidak heran walaupun Cabo menjawab dalam bahasanya sendiri malahan ia berbalik tanya “Apa yang hendak saudara cari di sini? Mengapa anda mengintip dari semak-semak itu?”
“Saya akan menceritakan semuanya. Tak usah khawatir, percayalah!” jawab Cabo.
Setelah itu masing-masing memperkenalkan diri, Sirwai demikianlah nama orang itu. Karena telah saling mengenal mulailah mereka berbasa-basi. Sirwai menceritakan bahwa ia, semasih muda sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu dengan benda-benda lain yang berguna. Dengan demikian ia telah banyak belajar bahasa daerah Cabo. Selanjutnya Sirwai mengatakan pula, bahwa ia telah lama merasa ada seseorang yang mengintip dirinya. Akibatnya pekerjaan yang dikerjakan orang-orang kali ini tidak dapat berlangsung dengan baik.
“Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya tujuan anda datang ke Ormu ini?” tanya Sirwai.
Cabo yakin bahwa Sirwai dapat dipercaya dan dianggapnya sebagai seorang sahabat tua yang akan dapat membantunya. Oleh sebab itu Cabo menceritakan semua rencananya dan kisah perjalananya.
Sirwai dengan penuh perhatian telah mendengarkan cerita Cabo lalu bertanya ”Batu apakah itu ?”
Cabo menatapnya dengan tajam seraya berkata ’Batu yang terakhir di kerjakan orang itu !”
Sirwai mengangguk-angguk dan berpikir tanpa berkata sesuatu. Setelah beberapa saat kemudian lalu Sirwai berkata ”Ikutilah saya !”
Sirwai berjalan di depan lalu diikuti Cabo dari belakang. Mereka mengikuti jalan kecil yang dilalui orang-orang tadi. Abu sekarang dengan tenang mengikuti tuannya dari belakang.
Setelah beberapa saat berjalan Sirwai berdiri sejenak lalu berkata “Dalam hutan kecil ini sebaiknya anda bersembunyi dahulu. Saya harus berpikir dan menceritakan kembali tentang apa yang anda ceritakan tadi kepada putraku. Nanti malam saya kirimkan putraku. Ia akan membawa anda ke rumah laki-laki. Tak usah khawatir, kami orang-orang Ormu selalu bergaul dengan orang-orang Kayubatu dan kami anggap sebagai saudara sendiri”.
Setelah berkata demikian Sirwai menghilang. Karena kepergian Sirwai tanpa permisi, Cabo tetap menunggu dengan penuh harapan. Ketika hari mulai kelam, tiba-tiba Cabo mendengar namanya di panggil. Di suatu jalan yang menuju kampung terlihatlah olehnya tubuh Sirwai.
“Saya kira anakmu yang akan menjemputku. ” kata Cabo.
“Saya harus memberitahukanmu sesuatu hal yang penting, karena itu saya datang sendiri. Yang saya maksudkan itu adalah nanti apabila engkau tiba di rumah laki-laki, engkau hanya boleh meminta perahu dan dayungnya. Tak usah berbicara tentang yang lain,” sela Sirwai.
Suasana ramai meliputi rumah khusus laki-laki. Setiap orang yang ada di dalam rumah laki-laki menyambut kedatangan Cabo dengan ramah tamah. Dari penjelasan Sirwai, oarang-orang telah mengetahui bahwa Cabo datang dari Kayubatu dan ia sekarang dalam perjalanan kembali ke kampung halamannya. Setelah Cabo diperkenalkan lalu di ajak untuk makan bersama. Banyak makanan yang di sediakan seperti ubi, ikan, sayur, dan makanan lain yang lezat. Karena menemppuh perjalanan yang jauh Cabo sangat lapar. Oleh sebab itu Cabo makan hingga sekenyang-kenyangnya.
Setelah makan, Sirwai bertanya kepada orang-orang ” Bagaimana, dapatkan kita membantu tamu kita ini?”
Lalu ia berpaling kepada Cabo dan bertanya ”Inginkah anda melepaskan lelah beberapa hari di kampung ini?”
“Saya ingin segera kembali ke kampung halamanku. Tetapi perjalanan lewat pegunungan sangat berat dan memakan waktu lama bagi saya. Oleh sebab itu saya ingin lewat laut saja. Bolehkan saya meminjam sebuah perahu dan dayung?”
Orang-orang bersedia membantunya lalu Sirwai menjawab “Perahu dan dayung akan kami berikan. Ikutilah, saya akan mengantarmu ke pantai!”
Cabo mengucapkan terimakasih atas kebaikan hati orang-orang Ormu lalu ia pergi bersama Sirwai. Cabo meninggalkan rumah laki-laki itu. Abu tetap mengikuti tuannya. Sirwai membawa tamunya ke suatu tempat yang sunyi di pantai. Di sana telah siap sebuah perahu dan sebuah dayun.
“Silakan duduk, Cabo. Saya telah lama berpikir tentang mimpimu itu. Batu yang kau impikan itu sekarang ada dalam noken saya. Batu itu sungguh ajaib. Sebentar dalam perjalanan, batu ini akan mendampingimu. Batu inilah yang akan membantu kampungmu untuk membuat gerabah. Tetapi akan terjadi suatu yang luar biasa. Engkau harus mempersembahkan suatu kurban yang besar kepada batu ini dan engkau sendiri yang akan menjadi kurban itu,” kata Sirwai.
“Di mana dan bagaimana dengan batu ini saya tidak mengerti,” sela Cabo.
“Batu dan Abu akan membimbingmu lebih lanjut,” kata Sirwai lagi.
Setelah itu, Cabo lebih banyak mendengar daripada berbicara. Mulai saat itu kekuatan gaib terasa mengalir ke dalam tubuhnya. Cabo masih ingat akan mimpinya di mana akan terjadi sesuatu yang luar biasa pada dirinya.
“Saya tahu bahwa apa yang telah engkau katakan itu adalah benar. Sebab saya akan menyelamatkan kampung Kayubatu dari kesengsaraan. Dan saya rela berkorban demi kebahagiaan dan kemakmuran sesama. Saudaraku Tiaghe akan mengetahui bahwa kami telah berhutang budi terhadapmu. Kaum kerabatku akan terkenang selalu kepada orang yang telah berjasa terhadap kampung halamanku. Orang-orang Kayubatu akan menjunjung tinggi keluhuran hati orang-orang ormu,” kata Cabo.
Dalam gelap malam dan hanya diterangi cahaya bintang, Cabo mengayuh perahunya menyusuri pantai. Di malam yang sepi dan olengan ombak mulai menyulitkan perjalanan Cabo. Tetapi ia tak gentar dan sabar, bahwa perjalanan akan berakhir di tanjung Suaja, kampung halamannya. Abu duduk di bawah kaki tuannya. Kadang-kadang ia mengangkat kepalanya dan menatap Cabo dengan penuh kesetiaan. Sepanjang malam Cabo terus mendayung. Secara teratur ia mengayunkan dayungnya ke dalam air dengan tanpa rasa bosan. Malam yang panjang itu hampir berakhir, hal itu diketahui dengan munculnya semburat terang di ufuk timur. Di sebelah kanan Cabo nampak pula gunung-gunung. Tidak berapa lama kemudian Cabo telah melihat tanjung Suaja. Abu duduk sejenak di dekat kaki Cabo, lalu ia memalingkan kepala ke arah darat. Di ujung selatan dari tanjung Suaja yang disebut tanjung Utu, Cabo mengarahkan perahu ke pantai dan menariknya ke darat.
Setelah itu ia mengumpulkan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu kering. Kemudian dipasangnya api di bagian bawah depan perahu lalu ditimbuni dengan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu tadi. Setelah menyala, api pun menjulang tinggi yang mula-mula menghanguskan tepi perahu, tetapi lama-kelamaan menghabiskan seluruh bagian perahu. Cabo tidak menunggu sampai seluruh perahu terbakar karena ia ingin mandi di laut. Laut, selain tempat untuk mendirikan rumah, tetapi juga merupakan tempat ia dilahirkan. Abu berjalan kian kemari sambil menyalak sementara tuannya sedang mandi di laut. Setelah mandi Cabo merasa ada seperti kekuatan gaib yang menyuruhnya pergi. Sesuai dengan mimpi Cabo sebelumnya, ia berjalan sambil menggenggam batu ajaib. Abu berjalan di depan dan Cabo mengikuti dari belakang. Mereka mendaki sebuah bukit yang berbentuk tanjung. Setiba di puncak bukit tanjung, Cabo dan Abu berhenti.
Cabo sadar bahwa saat yang luar biasa akan terjadi. Ia melihat sekeliling lalu berpaling ke arah timur, barat, utara, dan selatan. Cabo yakin bahwa tujuannya akan segera tercapai dan ia telah sampai untuk mengurbankan diri. Dengan meundukkan kepala, ia menantikan sesuatu yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian apa yang dinanti-nantikan benar-benar terjadi, dari kejauhan terdengar gemuruh angin yang semakin dekat semakin keras gemuruhnya. Tiba-tiba tanah di bawah kaki Cabo terbelah diiringi dengan suara gemeretak tanah yang terbelah. Abu terkejut dan hendak melarikan diri dari tempat itu, akan tetapi Cabo menahan anjing itu dengan kuat. Abu merasa kagum atas ketabahan dan keikhlasan tuannya untuk itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi. Kemudian terdengar bunyi petir menggelegar dasyat. Tanah yang terbelah semakin lebar dan tubuh Cabo dan Abu terjatuh ke dalam celah yang menganga tersebut. Setelah tubuh keduanya masuk ke dalam celah, celah itu dengan cepat tertutup kembali dan menelan tubuh mereka berdua.
Hingga keesokan harinya Tiaghe Pui mencari ikan di laut menggunakan perahu. Usaha untuk mencari ikan kali ini pun nampaknya kurang mendapatkan hasil yang maksimal. Namun semanjak kepergian Cabo Pui, seolah-olah ikan kembali lagi berkumpul ke teluk sehingga kebutuhan masyarakat akan ikan dapat terpenuhi lagi. Tiaghe senantiasa memikirkan Cabo, saudaranya. Dalam hati ia selalu bertanya, “Di mana Cabo gerangan? Apakah ia telah berhasil dalam pencariannya?”.
Tiaghe amat resah dan gelisah. Untuk melenyapkan kegundahan hatinya ia pun segera pulang ke rumah. Tiaghe mendayung perahunya perlahan menuju rumah. Setelah sampai, perahu diikat di tiang rumah. Baru saja ia selasai mengikat perahu, tiba-tiba terdengar suara petir menggelagar di angkasa. Tiang-tiang rumah bergoyag keras seakan-akan terjadi gempa bumi yang dasyat.
“Itu mungkin merupakan suatu tanda. Cabo pernah berkata bahwa ia harus memperhatikan tanda-tanda yang ditunjukkan oleh alam. Sementara ia keluar dari perahu, istrinya pun keluar dari rumah.
“Untunglah engkau telah pulang Tiaghe. Saya sangat sedih. Apakah engkau tidak mendengar bunyi petir tadi?” tanya istri Tiaghe.
“Mungkin ada sesuatu mengenai Cabo, Bu. Tanda yang kita nanti-nantikan telah terlihat. Mari kita pergi untuk mencari Cabo! Bawalah sebuah pinggan tempat sagu dan sepotong kayu!” perintah Tiaghe kepada istrinya.
Setelah itu Tiaghe dan istri bergegas untuk mencari Cabo menggunakan perahu. Tiaghe tidak ragu lagi. Perahu ditepikan dan mereka mendaki sebuat tanjung yang membukit.
“Dari sanalah terdengar suara tadi, mungkin telah terjadi sesuatu.” kata Tiaghe yang diikuti oleh istrinya dalam diam.
Dengan susah payah mereka mendaki tanjung yang terjal itu. Peluh bercucuran membasahi kedua badan pasangan suami istri ini. Tiaghe tidak ingin beristirahat sebelum mencapai puncak tanjung. Ia bersemangat sekali, karena teringat pada pesan Cabo. Ketika tiba di puncak bukit, mereka melihat lautan luas yang bebas terbentang. Setelah beberapa saat memandang lautan, mereka melanjutkan perjalanan menuruni bukit menuju pantai. Di pantai mereka menemukan sisa-sisa pembakaran perahu, bekas kaki Cabo dan anjingnya. Tiaghe dan istrinya mengikuti jejak kaki itu hingga ke tanjung Out, tempat di mana Cabo dan Abu menghilang. Tiaghe menemukan tanda-tanda yang ajaib pada tanah tempat Cabo dan Abu menghilang.
“Engkau lihat benda yang berwarna merah ini? Ajaib, di sini tak ada sesuatu pun selain batu karang, tetapi banyak tanah merah yang lembek.” kata Tiaghe kepada istrinya sambil menunjuk ke tanah.
Tiaghe mencoba menggali lapisan tanah merah itu menggunakan tongkat yang dibawa oleh istrinya. Dari hasil galian itu Tiaghe menemukan batu ajaib.
“Sekarang saya tahu bahwa Cabo berdiri di sini, sebab batu inilah yang dicari. Mari kita bawa batu ini ke rumah,” kata Tiaghe.
“Saya juga ingin membawa tanah ini,” sela istri Tiaghe sambil mengisi tanah merah ke dalam pinggan. Tiaghe dan istrinya kini sadar bahwa mereka tak akan melihat Cabo lagi sepanjang masa.
“Di atas tempat inilah Cabo dan Abu menghilang,” kata Tiaghe Pui.
Istri Tiaghe menangis, begitu juga Tiaghe. Air mata berlinang di pipi mereka berdua. Setelah beberapa lama mereka menangis, mereka kembali ke rumah. Jalan yang ditempuh adalah menyusuri tanjung Suaja. Setiba di kampung, Tiaghe dan istrinya mengaduk tanah merah itu dengan pasir. Semula mereka mencoba membuat mangkuk kecil. Mereka menggunakan batu ajaib untuk mengerjakan mangkuk hingga menjadi licin dan bagus.
Beberapa hari kemudian, Tiaghe memanggil penduduk kampung untuk berkumpul. Ia menceritakan tentang penyebab kepargian Cabo. Setelah mendengar penuturan Tiaghe, penduduk kampung merasa terharu dan kagum. Untuk menguatkan kepercayaan penduduk kampung, Tiaghe memperlihatkan mangkuk kecil yang telah dibuat. Salah seorang wanita dari penduduk kampung memegang mangkuk sambil berkata, “Mangkuk ini belum selesai dikerjakan, sebaiknya dibakar dahulu agar menjadi keras dan kuat.”
Hari demi hari terus berlalu. Kemakmuran kampung Kayubatu perlahan mulai nampak berkat pengorbanan Cabo Pui. Penduduk kampung Kayubatu terus mengenang jasa dan pengorbanan Cabo sepanjang masa. Sejak saat itu kaum kerabat Pui mulai membuat kerajinan tangan yang terbuat dari tanah liat.
Setalah peristiwa penemuan batu ajaib yang kemudian diberi nama Kecabo itu, kian hari jumlah Kecabo kian bertambah banyak. Kecabo asli yang pertama kali ditemukan oleh Cabo Pui sampai saat ini masih ada dan dirawat dengan baik oleh Isak Pui.
_____________March 3, 2010
*) Pemenang II Sayembara Penulisan Cerita Rakyat 2009
**) Guru SMA YPPK Taruna Dharma Kotaraja
Dijumput dari: http://sastralisanpapua.blogspot.com/2010/03/cabo-dan-batu-ajaib.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar