Jumat, 20 Januari 2012

DAMPAK LICENTIA POETICA BERNAMA “KREDO PUISI” TERHADAP EKSISTENSI BAHASA

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Pada tanggal 02 Oktober 2011 yang lalu, tepatnya pukul 20:08 WIB, di Grup Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), terjadi satu interaksi sangat menarik dengan tema pembahasan “licentia poetica” dalam sebuah diskusi yang diawali oleh posting Dimas Arika Mihardja (DAM) melalui tulisan:
Silakan memberikan respon dan sedapat mungkin memberikan alasan atau contoh: setiap penyair memiliki licentia poetica dalam penulisan puisi (kebebasan penyair dalam memilah dan memilih cara dan gaya ungkap puisinya). Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat dapat dihasilkan totalitas pengungkapan. Lantaran bahasa dan komunikasi senantiasa harus diutamakan, maka pelanggaran dimungkinkan sejauh untuk kebutuhan ekspresi puitik. Bagaimana menurut Anda?

Setelah menyimak dengan seksama dan mengikuti penuh khidmat seluruh pendapat yang masuk melalui komentar, akhirnya timbul keinginan untuk turut mengungkapkan sedikit pandangan melalui esai sederhana ini. Tentu saja dengan harapan, kepada siapapun yang nanti sempat membacanya, akan dapat memberi anggapan maupun tanggapan terkait licentia poetica yang oleh Shaw (1972: 291) dikatakan; Licentia Poertica adalah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.

Bahwasanya kata “licentia poetica” yang mungkin di mata sebagian penyair masih sangat asing, namun oleh kalangan penyair lainnya bisa jadi telah menjadi santapan sehari-hari, dalam kenyataannya lebih menyerupai “tameng” bagi penyair untuk memerdekakan diri demi menulis (berkarya) sebebas mungkin. Termasuk di antaranya kemungkinan melanggar kaidah-kaidah bahasa yang ada. Kata “licentia poetica” ini seakan menyerupai nomina abstrak alias kata benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Mengapa? Karena kita hanya sering mendengar tentangnya, bahkan selalu menggunakannya, tetapi tidak tahu dengan pasti bagaimana bentuk dan wujud aslinya. Dengan kata lain, masalah sistem, batasan, cakupan, dan lain sebagainya terkait penerapannya dalam karya sastra (puisi), hingga saat ini masih menjadi “tanda tanya” besar.

Paradigma yang berkembang selama ini tentang licentia poetica tak lebih dari kata “bebas” atau “merdeka” dalam menulis. Dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan leluasa menumpahkan kreatifitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apapun. Dengan licentia poetica perjalanan seorang penyair akan sangat aman dan nyaman, bebas hambatan, tak ada gangguan dari siapapun. Sehingga kesan yang timbul mengisyaratkan bahwa kaidah bahasa yang kita kenal dengan nama resmi “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” atau lebih sering disebut EYD, yang mulai resmi berlaku sejak tahun 1972 setelah menggantikan Ejaan Republik (Ejaan Suwandi), seolah-olah serupa hujan deras yang senantiasa menyertai, mengiringi, bahkan menjadi aral melintang dalam perjalanan seorang penyair. Dari derasnya hujan ini, muncullah licentia poetica sebagai “payung” yang luas-lebar sebagai pelindung.

Lantaran demikian abstraknya, licentia poetica pun tumbuh dan berkembang sebagai sesuatu yang sifatnya individu dalam lingkup masyarakat bahasa dan sastra, tak terkecuali kalangan penyair. Di mana “kebebasan” dimaksud lantas diinterpretasikan, dimaknai, serta dieksplorasi sedemikian rupa oleh masing-masing penggunanya. Tentu saja dengan cara, metode, maupun tingkat kemampuan yang berbeda dan nafsi-nafsi pula.

Contoh paling dekat adalah seorang Sutardji Calzoum Bachri (SCB) –dalam diskusi BPSM disebut sebagai Presiden Licentia Poetica– yang dengan mantapnya memproklamirkan sebuah temuan fenomenal bertajuk “Kredo Puisi” pada tanggal 30 Maret 1973, sebagaimana berikut :

KREDO PUISI

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk mengantarkan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.

Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya.

Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya yang kreatif.

Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksen tuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri

Bandung, 30 Maret 1973
(O, Amuk, Kapak, 1981:13-14)


Seyogyanya, membicarakan “Kredo Puisi” SCB yang membingungkan di atas tentulah sesuatu yang butuh penalaran ekstra dan hendaknya merupakan kajian representatif. Terlebih jika harus menelusuri asal-muasal berikut segudang tendesinya. Namun dalam tulisan ini kemungkinan hanya akan memandang sisi luarnya saja yang berkaitan dengan licentia poetica, berikut potensi dampaknya terhadap eksistensi bahasa. Karena di samping keterbatasan waktu serta bahan acuan, ihwal Kredo Puisi ini juga telah sering dibahas dengan terang-jelas oleh banyak kalangan yang lebih kompeten. Mulai dari penyair, pemerhati sastra-budaya, hingga para kritikus sastra. Jadi harap mafhum sebelumnya jika nantinya tulisan ini ternyata tidak menyuguhkan “fenomena” Kredo Puisi secara detail.

Kredo Puisi –dalam kurun waktu tertentu– memang bukanlah isapan jempol belaka, karena serta-merta diikuti dan ditegaskan dengan karya-karya yang sungguh berbeda dari karya penyair lainnya. Dalam karya-karya SCB yang berkiblat pada Kredo Puisi, kita tidak akan menemukan pertalian kata dan makna. Apalagi jika harus mencari sangkut-pautnya secara leksikal ke dalam kamus, tidak ada jalan sama sekali. Karena seluruh kemungkinan itu memang telah dimatikan oleh SCB melalui “kredo” yang dengan sangat tegas menulis bahwa kata-kata dalam puisinya adalah mantra. Tak pelak, dengan licentia poetica berlabel Kredo Puisi, sepak terjang SCB dalam meramu, menjungkir-balikkan, mempreteli, menguliti, hingga mencincang kata demi kata lewat karyanya, seakan tak terbendung. Namun fenomena ini justru mendapat resepsi dan tempat tersendiri dalam lingkup masyarakat bahasa-sastra. Entah karena unik dan menarik, karena tidak tahu dan kurang mengerti, atau mungkin karena benar-benar telah terkena mantra yang disebut dalam Kredo Puisi.

Kemudian timbul pertanyaan: apakah licentia poetica sejenis ini bukannya malah berpotensi membunuh bahasa? Sebab logisnya; ketika kata sudah dilepas-bebaskan dari makna, ketika kamus tak lagi diperlukan dan justru dianggap belenggu, lalu untuk apa lagi ada pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan? Jika memang kata benar-benar akan dikembalikan menjadi mantra –menurut “Kredo Puisi” kata pertama adalah mantra– apa tidak sebaiknya Fakultas Bahasa dan Sastra di unversitas-universitas seantero negeri diganti saja namanya menjadi Fakultas Dukun dan Mantra? Kalau demikian, apakah tidak sebaiknya lafal butir ketiga dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi: “…menjunjung bahasa persatuan…” direvisi saja menjadi “…menjunjung mantra persatuan…”?

Karena menurut artinya sendiri dalam KBBI, “mantra” adalah: 1) perkataan atau ucapan yg memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam pembagiannya lagi mantra dikelompokkan atas: a) mantra kejahatan, yaitu mantra untuk perbuatan-perbuatan jahat dan mencelakai orang lain; b) mantra keselamatan, yakni mantra untuk menjaga diri dari bahaya; c) mantra penawar, atau dikenal sebagai mantra pengobatan terhadap orang sakit; d) mantra pitanggang, kerap dijadikan mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.

Lalu, mantra mana yang dimaksud oleh Kredo Puisi? Setelah membaca mantra-mantra temuan Kredo Puisi, pertanyaannya; sudah berapa banyak orang sakit yang berhasil disembuhkan? Sudah berapa kali mencelakai orang akibat sihir-menyihir, teluh-meneluh, santet-menyantet, dan semacamnya? Sudah berapa banyak orang yang terselamatkan dari bahaya? Atau, perempuan mana yang kira-kira “mau” tidak bersuami seumur hidupnya karena terkena mantra Kredo Puisi? Mohon maaf, bukan lantaran tidak mempercayai mitologi dan semacamnya, tetapi jika “mantra” harus dijadikan acuan sejenis licentia poetica dalam karya sastra, barangkali perlu dipertimbangkan untuk menggolongkan paranormal kondang –yang tentu identik dengan mantra– Ki Joko Bodo sebagai “penyair” juga.

Tanpa bermaksud “apapun” terhadap “siapapun”, namun licentia poetica bernama Kredo Puisi sungguh telah menanamkan idealisme segar-nanar-bingar-sangar dalam paham pelaku sastra yang lain, terutama generasi selanjutnya. Betapa tidak, bahkan bocah-bocah tingkat sekolah dasar yang baru belajar mengenal huruf pun sudah diharuskan melahap kreasi individu hasil temuan Kredo Puisi melalui buku yang masuk ke sekolah-sekolah atas petuah pemerintah yang mengurusi bidang pendidikan (Depdiknas) –pada masanya.

Lalu bagaimana dampaknya terhadap perkembangan bahasa sendiri? Sungguh miris mengatakannya, karena idealnya pada tingkatan bangku sekolah seperti demikian, semestinya bahasa Indonesia-lah (termasuk di dalamnya EYD) yang harus dijadikan asupan utama. Bukan justru menjejali sekolahan dengan karya-karya sastra yang penuh dengan penyimpangan “orang-orang tertentu” saja. Tengoklah sekarang ke sekeliling kita, betapa kebebasan “seorang” penemu Kredo Puisi jauh lebih dikenal luas, dipuja-puja, bahkan melegenda di seantero negeri.

Bandingkan dengan tokoh-tokoh pelopor bahasa semisal Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal juga sebagai “insinyur bahasa” lantaran kegigihannya memperjuangkan bahasa Indonesia semenjak masih bernama bahasa Melayu. Atau deretan nama pemakalah dalam Kongres Bahasa pertama kali di Solo pada tanggal 25-29 Juni 1938 seperti Ki Hadjar Dewantara, Djamaluddin Adi Negoro, Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin, Soekardjo Soerjopranoto, Kusuma St. Pamuntjak, Sanusi Pane, hingga Muhammad Tabrani, yang merupakan salah satu titik tolak lahirnya kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Atau Amin Singgih yang berhasil menarik minat para guru, mahasiswa, sastrawan, wartawan, hingga para pengusaha dan birokrat melalui siaran khusus bahasa Indonesia di stasiun TVRI pada tahun 1970-an. Atau “panglima pembakuan bahasa” Anton Moeliono yang juga begitu banyak memberi andil dalam proses pembakuan bahasa Indonesia. Ke mana pula tenggelamnya nama para ahli bahasa semisal JS. Badudu hingga Ajip Rosidi yang begitu setianya mengkaji, membenahi, lalu memperkenalkan serta mengajak seluruh bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Adakah yang masih sudi untuk sekedar mengingat nama mereka?

Beruntunglah, karena setelah sekian lama tidak ada yang berani mengatakan “tidak” pada Kredo Puisi (mungkin karena takut terkena mantera), akhirnya seorang pengelana dari bencah tanah Jawa bernama Nurel Javissyarqi lalu datang berbicara selantang-lantangnya, segamblang-gamblangnya, seterang-terangnya, demi membuka mata dunia terkait Kredo Puisi berikut sekelumit dinamikanya. Upaya membuat melek mata dunia ini disusun dengan sangat runut, aktual dan tajam dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (SastraNESIA dan PUstaka puJAngga, 2011), yang lalu diapresiasi dengan riang-girang-senang oleh banyak kalangan.*

Usai menyinggung sedikit tentang Kredo Puisi, pada gilirannya kita kembali bertanya; seperti apakah gerangan resepsi masyarakat bahasa dan sastra sendiri terhadap teka-teki licentia poetica? Tugas inilah yang layak menjadi “PR” utama bagi kita semua. Karena harus diakui bahwa licentia poetica hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur dalam ranah masyarakat bahasa. Apa pasal? Tentu saja karena dari sekian banyak definisi dan pengertian, tetap saja tidak ada kejelasan tentang batasan, ketentuan, maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri. Sedangkan para pelaku sastra –khususnya penyair– mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu ujung tombak sekaligus “penunjuk jalan” dalam hal penggunaan bahasa.

Bayangkanlah bagaimana jadinya jika penunjuk jalan yang justru nyasar duluan lalu kencing berdiri di sembarang tempat? Ibarat pepatah, jika pemegang tampuk “Ing Ngarso Sung Tulodo” sudah doyan kencing berdiri, kemungkinan konfoi barisan “Ing Madya Mangun Karso” hingga “Tut Wuri Handayani” yang membututi di belakang nantinya bukan lagi kencing berlari, tetapi kencing nungging dan jungkir balik.

Jadi, seperti apa dan bagaimana licentia poetica sebenarnya? Untuk pertanyaan ini kemungkinan memang sulit untuk dijawab dengan pasti. Tetapi dalam rangka pencarian, tidak ada salahnya jika kita sama-sama bergelut dan bergumul dengan peluh-keluh demi menilik benar-benar tingkat “kebebasan” kita dalam mencipta karya sastra — yang di dalamnya menggunakan jasa gratis “bahasa” itu. Adapun ilustrasi langsung secara sederhana perihal keterkaitan “licentia poetica” dengan “kaidah EYD” dari sisi struktur atau gaya penulisan, akan coba kita jajal bersama dalam catatan selanjutnya (MENGENALI STRUKTUR PENULISAN AMIR HAMZAH, CHAIRIL ANWAR, DAN DIMAS ARIKA MIHARDJA).

Demikian catatan selayang pandang terhadap licentia poetica bernama “Kredo Puisi” dari balik kaca mata pengguna bahasa. Jika ternyata dalam catatan ini banyak cara bertutur yang kurang berkenan di hati pihak-pihak tertentu, harap dimaklumi. Sebab sejatinya sama sekali tidak terbersit niat untuk meminus-negatifkan apapun dan siapapun. Tulisan ini dibuat semata-mata dengan tujuan membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa dan penggiat sastra.

Sedikit harapan; semoga putra-putri negeri belum lupa, bahwa dalam kalender setiap tahun, tanggal 28 Oktober masih tetap berwarna merah. Seperti halnya segala anggapan, tanggapan, atau apapun rupanya terhadap tulisan ini, akan selalu setia dinanti, dengan hati yang juga merah.

Yogyakarta, Oktober 2011

Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
————————————————————————-
*) Beberapa di antaranya dapat dibaca di :
http://sastra-indonesia.com/tag/edisi-khusus
http://pustakapujangga.com/category/nurel-javissyarqi/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150187765254368
http://bahasa.kompasiana.com/2011/06/17/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung-jawab-tanggapan-atas-buku-menggugat-tanggung-jawab-kepenyairan-sutardji-calzoum-bachri-karya-nurel-javissyarqi/

Dijumput dari: http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/10/09/dampak-licentia-poetica-bernama-kredo-puisi-terhadap-eksistensi-bahasa/

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar