Kamis, 10 November 2011

Kado Puisi dari Jimmy

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Apa yang sederhana memang langka. Apa yang sederhana menggoda mata. Karena langka dan menggoda, maka orang senantiasa mengharapkan ia ada. Demikian pula pada puisi Indonesia mutakhir. Mencari yang sederhana ibarat mencari tokek di kota metropolitan. Sekali pun ada sebagian sajak yang setia menampilkan hal-hal yang sederhana, namun karena ditulis oleh pengalaman penyair yang sempit dan dangkal, maka tidak ada sumur kata-kata. Kalau pun ada, betapa dangkal dan kering sumur itu.

Saya kira ucapan Boris Pasternak—dalam Dr. Zhivago—masih relevan di turunkan di sini: ”Hal-hal yang menakjubkan”, kata Pasternak, ”tidak lain adalah hal-hal sederhana, tapi disentuh oleh tangan jenius”. Sekalipun yang sederhana itu berada dalam pesona, tapi karena yang menyentuhnya adalah tangan yang tidak kreatif, maka ia tidak mempesona.

Kesederhanaan tidak berurusan dengan tema besar dan kecil. Kesederhanaan pada mulanya adalah bahasa ekonomi, bahasa sosiologi, kemudian diambil-alih oleh bahasa agama dan kini dipakai dalam bahasa (kritik) sastra. Apakah substansial membicarakan puisi dari sisi kesederhanaan ungkapan? Tentu saja. Siapa bilang tidak.

Sesuatu yang sederhana umumnya muncul dari hal-hal yang remeh-temeh. Karena itu, para aktivis dan pejuang kemerdekaan dulu berlomba-lomba menggunakan penggada besar, sementara para penyair lirik justru menulis oleh embun dan sayap kupu-kupu. Puisi yang menggunakan ungkapan sederhana sebagaian besar puisi hemat kata, puisi pendek. Di sana kesederhanaan terolah dengan apik dan terjaga. Lain halnya dengan puisi panjang yang bagaikan novel, tak jarang kata-kata yang muncul bukan suasana tapi kata-kata yang keberatan ide.

Godaan terbesar seorang penyair adalah menampilkan kata-kata yang membahana. Diam dianggap bukan sebagai maqam yang bisa mengantarkan sang penyair meraih otentisitas. Sunyi dianggap sudah lama berkarat besi sehingga puisi-puisinya terdengar bergemerincing bagaikan lonceng azura. Tak ada ketakziman, apalagi kediam-dirian dan keheningan. Yang ada cuma teriakan massal, mirip sajak demonstrasi saat reformasi.

Maka ketika saya menemukan kata-kata yang sederhana dalam puisi-puisi Jimmy, tiba-tiba saya teringat pada tudingan Nirwan Dewanto terhadap kecenderungan puisi penyair Lampung—termasuk Jimmy—yang menampilkan kata-kata ajaib. ”Kesedrhanaan tak lagi menarik bagi para penyair terkini, tak terkecuali penyair Lampung”. Nirwan betul. Tapi tidak semua sajak Jimmy ajaib, karena kata dan bahasa yang digunakan sudah mengalami penulisan-ulang. Malah terdapat cukup banyak ungkapan yang sederhana sebagaimana yang dimau Nirwan. Provokasi Nirwan ternyata cukup kena dan berhasil.

Kado pertama Jimmy yang terangkum dalam Puan Kecubung (KataKita, 2009) tak menampilkan kata-kata membahana, tapi mirip prosa yang diam. ”Pada sebuah pokok jambu saya pernah melihatmu berbincang dengan sekelompok semut sedang memintal sarang. Waktu itu, matahari masih susup oleh kabut dan satu dua daun uzur jatuh tersungkur karena lamur”. Atau kalimat yang mengejar metafora dengan bunyi yang terjaga di ujung baris: ”Bayangkan, bulan memar karena sepi melebar dan rama-rama acap liar lantaran banyak ada terkena sampar”.

Sederhana atau ajaibkah kalimat itu? Kita bisa berdebat panjang soal sederhana dan tidak sederhana dalam sajak dari berbagai sisi. Tapi bukan itu yang terpenting dalam sebuah sajak, sekalipun akan tetap menarik dipersoalkan. Jimmy bicara pada kita tidak dengan kata-kata massal, tapi individual. Bukan dengan kata-kata bunyi tapi sunyi. Sebab, seperti ditulis dalam sajak Bukit Fatima I, ”sunyi sudah lama jadi nyanyi”. Tanpa sunyi tak ada puisi. Kita berasal dari sunyi, kata Paz, dan kepada sunyi kita kembali.

Cukup banyak sajak Jimmy yang terasa pasif, lembut dan sederhana. Tapi tak jarang pula sajak yang menuntut kita merenungkan siratan makna dari takdir yang tersembunyi di balik hutan rimbun imaji. Kadang-kala muncul metafora absurd, seperti misalnya ”menyuapi sepotong bulan”.

Jimmy adalah penyair yang gemar pada labirin sekaligus pada yang feminin. Karena Jimmy mencoba menyuarakan dunia puan, sementara ia sendiri sang tuan, maka ada baiknya kita mendengarkan pengakuan Jimmy ini: ”Puan, aku tumbuh di tengah retakan/berulang kali kehilangan akar/sebatang kara antara ladang cinta/dan belantara kata-kata”.

Fragmen sajak Tamsil Damar Batu itu cenderung menghadirkan komunikasi searah, bicara dengan diri sendiri, sebuah monolog batin yang hening namun masih terasa nenes. Dari sekian model dan bentuk sajak yang dihadirkan, entah mengapa saya justru menyukai sajak Jimmy yang bercerita dengan berusaha memasuki sajak dramatik.

Syahdan, pada suatu hari Hamlet menemui Ophelia, dan berkata: ”Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba, memintal benang-benang kabut, lalu mengharamkan tubuhku larut, dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut”. Ophelia menjawab: ”Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa mematikan lampu saat hendak tidur, agar birahiku tak terlihat, yang membenamkanmu ke dalam jerat”.

Apa cuma Ophelia yang punya birahi? Apa dalam kalimat-kalimat itu terjadi dialog atau monolog? Tak mudah menjawabnya. Aktor dan produser ternama Rusia, Stanislavski, sempat juga kewalahan menjelaskan secarik kalimat yang menyerupai puisi dalam naskah Shakespere saat bicara tentang sifat soliloqui di atas panggung. Kalimat ”dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat/Lalu undur sejauh jarak lengannya/Dan dengan tangan yang lain di keningnya….”, bagi Stanislavski menghadirkan pertanyaan: ”apa dalam kalimat-kalimat itu dapat kalian rasakan hubungan tanpa kata-kata antara Hamlet dan Ophelia? Apakah dalam keadaan seperti itu pernah kalian alami sesuatu yang mengalir dari diri kalian, suatu arus yang datang dari mata, dari ujung jari atau yang keluar melewati pori-pori?”

Dalam sajak-sajak Jimmy ada gerak lakon yang berbaur dengan gerak lirik. Sajak Jimmy berjudul Rencana Seorang Aktor tentu bisa ditafsirkan memiliki hubungan dengan buku Persiapan Seorang Aktor, tapi bisa juga tidak. Hamlet dan Ophelia dalam sajak Jimmy memiliki persenyawaan dengan Hamlet dan Ophelia dalam drama, bisa juga tidak.

Sebagian sajak Jimmy tampaknya menyerupai susunan naskah drama dengan dialog-dialog yang berpsang-pasangan (seperti tampak dalam sajak Venus, Tentang Lajang, Lelaki dan Ikan (A), Lelaki dan Ikan (), Rumah Juru Timbang 2, Rumah Juru Timbang 3, Tonil Kadi & Kala). Jimmy memang pernah mengatakan: jika terdapat bentuk pengucapan drama dalam sajaknya, hal itu wajar saja mengingat ia sendiri seorang yang terlibat dalam dunia teater, dan jadi orang dalam pada Komunitas Berkat Yakin (salah satu komunitas teater yang ada di Lampung).

Pengalaman Jimmy bergelut di jagad teater tidak sia-sia. Malah ikut memperkaya pengucapan sajak-sajaknya. Misalnya, bagaimana Jimmy menempatkan sajak dramatik dengan memilih pengucapan prosa lirik. Di sana ada kisah tentang seorang aktor sedang berjalan pelan mengitari panggung pertunjukan outdoor, menuju ufuk lembut. Di sana tampak sekali matahari seperti dalam Orang Asing Albert Camus; yang memberat pada kedua mata tokohnya, seolah ingin melata, ”dari satu ufuk ke ufuk lain tubuhku” (sajak Saat Sakit). Tapi matahari tak akan pernah lagi menitipkan cahaya sekali pun renyai yang setiap senja menghampiri kita (Rencana Seorang Aktor).

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali di siang hari. Makin lama kata-kata yang digunakan Jimmy tampak berakbut dan bersayap kupu-kupu, yang hanya bisa betah di cuaca. Kalimat-kalimatnya yang lembayung, yang tangkas bermain dalam dua aras tematis; gelap dan gumun, cerita dan drama, dialog dan monolog, mirip seperti kisah tentang jukung tanpa arah tujuan karena telah kehilangan ufuk; terombang-ambing di laut lepas tanpa tahu kapan akan menepi.

Pertemuan ufuk yang gelap dan gumun melahirkan pengucapan prosa dan pantun, dengan nada dasar yang kadang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Ada nada jazz, juga sonata yang berdebar serta gemetar yang hanya sebentar, lalu berseling kelakar, beragam perbalahan yang disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman luka yang belum sampai histeria. Kata-katanya seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak. Tak urung, Jimmy mengingatkan saya pada satu kalimat Nietzsche: ”Penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”.

Bagaimana pun, bentuk liris adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sementara. Sajak lirik bahkan tak jarang menjelma dari apa yang oleh Joyce disebut ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”.

Lirik pada mulanya sebuah syair yang diiringi dengan petikan alat lira (dalam sastra Yunani). Lirik secara spontan melahirkan atau mewujudkan perasaan batin seseorang. Bersama dengan epik dan dramatik, lirik termasuk dari tiga jenis pokok sastra. Lirik mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca. Lirik sendiri terbagi menurut ode, elegi, soneta. Ada juga yang membedakan lirik langsung dan lirik tak langsung. Lirik langsung yaitu suara batin si penyair langsung diperdengarkan, sementara lirik tak langsung aku lirik menyembunyikan diri di belakang lambang atau metafora.

Penyair lirik berusaha mengungkapkan perasaaan secara lebih sadar mengenai emosi sesaat, ketimbang dirinya sendiri saat merasakan denyut gravitasi emosi yang sedang naik-turun. Denyut itulah yang menjadi penghubung beragam unsur dan anasir dalam sebuah sajak dan diolah ke dalam orbit untuk kemudian ditransformasi—atau ditransmutasi—ke dalam bentuk sajak.

Sebuah sajak dicapai ketika vitalitas yang telah mengalir dan membentuk pusaran di sekitar tokoh-tokoh, lalu mengisi setiap tokoh itu dengan tenaga vital yang dia anggap sebagai sebuah kehidupan estetik yang sesuai dan tak bisa diraba. Inilah bentuk dramatik, yang juga kita rasakan dalam sebagian sajak Jimmy. Sajak dramatik menampilkan sebuah jeritan, irama atau gairah jiwa dan berproses menjadi narasi yang mengalir dan memancar, hingga akhirnya menguatkan dirinya sendiri melalui eksistensi.

Gambaran estetik dalam bentuk sajak dramatik mirip sakramen, atau kehidupan yang tersucikan, atau yang terpancarkan dari ”rahim imajinasi” (James Joyce). Rahasia kehidupan estetis—seperti penciptaan materi—bisa diraih dan sang penyair seperti Pencipta—atau ciptaan—yang berada di dalam atau di belakang, di luar atau di atas karyanya. Bentuknya terkadang samar, tak terlihat, namun terasah oleh eksistensinya—atau mencoba mengasah dirinya sendiri melalui eksistensinya—sambil bersantai makan kuwaci dan minum segelas kopi.

Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat suasana melankolia dengan guratan kata-kata cinta, kisah-kisah mistis di perkampungan misterius yang dihuni para tuan dan puan yang bergelut dengan perih. Bahkan ada ajakan untuk bercinta dengan puitis: “Mari, cium ranum keningku/sebelum kau alum dirajam waktu”. Ritme dan komposisi sajaknya tampak tertata dengan rapi. Ada warna yang berkilau embun, seni rupa kurva dan musik lirih.

Kata-kata yang muncul terkadang terasa memberat oleh kegandrungan bercerita. Jimmy memang penyair yang gemar bercerita, kadang secara gamblang. Dengan gaya bercerita, dengan bentuk yang menyerupai drama, sajak-sajak Jimmy hendak memenuhi tantangan lama, bahwa kisah-kisah dan drama-drama tua bisa menjelma masyarakat yang hidup tanpa ikatan kenyataan. Sebab, dunia kisah-kisah adalah sebuah kriminalitas dalam ingatan seorang penyair masa lampau. Maka kesusastraan kisah-kisah adalah sebuah dunia berbahaya karena ia bisa beroposisi terhadap realitas, dengan mengubahnya jadi cerita-cerita.

Untuk menegaskan bahwa puisi sebagai kisah-kisah, Jimmy memasukkan kalimat-kalimat berkisah, bahkan muncul kata syahdan sebanyak dua kali dalam buku ini. Sebagai cerita-cerita, puisi Jimmy menjadikan yang purba bukan sebagai masa lampau, tapi justru yang menyekarang. Jika kita menengok sejumlah kitab suci, di sana berjibun puisi kisah-kisah.

Saya suka pada kejernihan bahasa yang digunakan Jimmy, terutama ketika melukiskan kisah tablo dalam lima babak yang beberapa baitnya menyerupai gurindam: ”sudah tiga ratus pagi habis/ia belum juga ceguk dan menangis….di dalam, seorang lelaki telanjang/terus memasak dengan gasang”. Ada banyak kosakata yang asing—dalam arti yang masih jarang digunakan. Saya kira inilah salah satu kelebihan Jimmy dari penyair Lampung yang lain.

Simak pula kesederhanaan puisi Mencari Alamat: “sudah bergantikah warna cat rumahmu?/musim hujan sudah lama tiba/aku belum sempat menyimpan payung dan mantel/cuma ada potret kekasih, sajak-sajak lama/dan dongeng Zarahustra”. Mencari rumah ziarah bagi Jimmy ternyata tak mudah, kadang kala dengan via dolorosa (jalan penuh duka): “bagaimana jalan menuju rumahmu sekarang? Seperti lintas Sumatera atau jalan Dolorosa?”

Tak ada yang mengejutkan dalam sajak-sajak Jimmy. Tak ada kamuflase atau suspens, atau yang baru, karena sebagian besar sajaknya berangkat dari metafora yang menggelorakan imaji melalui pertemuan sunyi dan bunyi, drama purba dan lirik tua. Sebagaimana Jimmy mengutip Gao Xingjian dalam kata pembuka bukunya, maka saya ingin menegaskan juga: dalam sajak-sajakmu ”tak ada keajaiban/itulah yang dikatakan Puan Kecubung kepadaku”.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar