Kamis, 10 November 2011

Bilik Sederhana Jakob Sumardjo

Putu Fajar Arcana
Kompas, 5 Sep 2010.

Orang tua yang sederhana itu tetap tangguh memainkan jari-jarinya di atas tuts mesin tik yang huruf-hurufnya sudah tampak lumer. Semua oleh deraan jutaan kali ujung jari Jakob. Lebih-lebih saat ini, lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 26 Agustus 1939, ini sedang menyelesaikan draf buku berjudul Pola Personalitas Kebudayaan Sunda, yang menurut rencana setebal 400 halaman.

”Sekarang tinggal membuat pengantarnya. Tetapi, seluruh halaman buku itu saya ketik sendiri. Ya, di sini, ruang kerja saya,” tutur Jakob, pertengahan Agustus 2010.

Semangat kerja dan keinginan keras menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang membedah ”kemapanan” cara berpikir lama membuat Jakob ”kurang peduli” pada soal-soal penghasilan dari menulis buku.

”Seluruh buku yang saya tulis dan diterbitkan oleh penerbit komersial hampir-hampir tidak ada honornya. Bahkan, ada dua buku yang saya tulis, di mana penerbit memperoleh bantuan dari Ford Foundation, saya sendiri malah nyaris tidak diberi apa-apa…,” tutur Jakob.

Jelas pensiunan guru besar di STSI Bandung ini tidak sedang menggugat, apalagi mengeluhkan kenyataan. Ia paham benar, penulis buku memiliki posisi tawar paling lemah di antara mata rantai penerbitan buku.

”Tetapi, kalau saya terus meratap, tidak akan berkarya. Yang penting karya saya dibaca, apalagi dipakai acuan, itu sudah bangga,” katanya.

Buku-buku karya Jakob yang sampai kini masih menjadi acuan di sekolah-sekolah dan kampus, misalnya, Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1979), Masyarakat dan Sastra Indonesia Populer (1979), serta Perkembangan Teater Modern dan Sastra Indonesia (1980). ”Mungkin buku saya tentang novel populer itu adalah buku yang pertama membahas tentang novel-novel pop yang pada tahun 1970-an tidak diacuhkan oleh para kritikus sastra,” ujar Jakob.

Apa yang membuat Anda begitu tegar menghadapi dunia penerbitan yang tidak adil itu?

Pokoknya tugas saya menulis, sebarkan pemikiran, lalu dibaca orang, ya sudah cukup begitu saja.

Kenapa tidak menulis artikel di koran saja yang honornya lebih jelas?

Ya, seharusnya begitu, ya. Tetapi, buku-buku tetap harus ditulis untuk mengembangkan pemikiran yang lebih mendasar dan mendalam. Meskipun kondisinya, ya, seperti ini. Terkadang penerbit itu kasih honor, tetapi seperti dicicil. Kalau saya perlu beli bensin baru mereka kasih Rp 100.000 atau Rp 200.000. Itu pun sulit sekali menemui direktur penerbitannya. Lama-lama saya malas….

Honor menulis di koran juga kan tidak terlalu besar kan, ya? Apakah Anda tidak pernah merasa putus asa melihat kecilnya penghargaan terhadap hasil kerja intelektual itu?

Kalau dari menulis, apalagi membuat buku, jangan mengharap dapat duitlah. Tetapi, saya tetap menulis, pokoknya ada yang mau menerbitkan syukurlah. Pokoknya pikiran saya begitu, ya, begitu. Syukur juga kalau diterima orang…. Seperti kajian-kajian saya tentang kebudayaan Sunda itu kan diterima orang, saya cukup senang.

Keindonesiaan

Perbincangan di senja yang rapuh karena mendung menggelayut di sekitar Pasirlayung, Bandung, itu sesekali di sela oleh deru mesin kendaraan di Jalan Padasuka yang padat. Beberapa kali saya harus mendekati Jakob Sumardjo yang duduk di sofa coklat tua sebelah kiri. Suaranya seperti hilang ditelan deru.

Belakangan Anda sangat serius menekuni kebudayaan Nusantara, terutama Sunda. Saya dengar Anda naik ke bukit-bukit di Sumedang, seorang diri, untuk meneliti sebuah situs. Apa sesungguhnya obsesi Anda?

Saya sedang cari benang merah di antara budaya-budaya Nusantara sejak saya menulis buku tentang Arkeologi Kebudayaan Indonesia. Di situ saya mengulas tentang ulos Batak, rumah gadang Minang, cerita-cerita Jawa dan Sunda, perisai-perisai Papua. Awalnya tertarik pada Sunda sih karena dorongan Pak Saini KM (dosen STSI Bandung).

Saya menemukan pola pikir yang serupa. Dasarnya, seluruh kebudayaan di Indonesia itu percaya bahwa keberadaan itu dualistik. Pengalaman hidup atau ada ini sendiri dualistik. Ada gelap-terang, laki-laki-perempuan, hulu-hilir. Semua suku mengenal ini. Ini menjadi dua hal yang selalu berselisih. Cara pandang semua kebudayaan itu berpasangan. Tetapi, cara pemecahan masalah pada masing-masing suku itu berbeda. Papua cenderung konflik itu dipelihara, bahkan salah satunya harus jadi korban. Makanya, di situ budaya perang itu hidup karena perang syarat untuk keselamatan dan kesuburan.

Di Jawa, polanya macapat kelima pancer, mereka percaya empat pasangan utara-selatan-timur-barat harus disinergikan menjadi sesuatu yang baru: harmoni. Ini tujuan utama dari perbedaan. Di Sunda, tidak ada sintesa. Dua-duanya harus dihargai walau pada suatu kali harus bersatu. Ada tubuh yang paradoksal di situ.

Apakah dalam kehidupan sehari-hari konsep berpikir seperti ini banyak berpengaruh?

Tentu saja. Sangat berpengaruh. Kesimpulan ini saya ambil setelah meneliti sastra, mitos, tata ruang kampung, dan benda-benda budaya yang menjadi tinggalan sebuah kebudayaan.

Setelah masuknya konsep bernegara modern, katakanlah kita menjadi Indonesia, bagaimana kita menempatkan konsep berpikir tradisional ini?

Yang terjadi ada dominasi Barat yang dibawa oleh kolonialisme. Sekarang kita tetap memakai cara pemerintahan Barat. Cara pemerintahan tradisional makin lama makin lenyap, kecuali sisanya di Yogyakarta.

Menurut saya begini. Modernitas itu nasional boleh. Tetapi, itu tidak bisa dipaksakan pada seluruh wilayah Indonesia. Rakyat kita masih punya pola pikir kepemimpinan yang tradisional. Nasional itu sebagai tujuan, tetapi pola penerapannya harus mengikuti pola pikir daerah.

Di Sunda, misalnya, pengaturan kampungnya tidak bisa dilakukan seperti di Jawa. Lurah di Sunda belum tentu satu-satunya yang berkuasa, masih ada kekuasaan adat dan kekuasaan agama. Ini pola tiga. Di Jawa segalanya diatur oleh pemerintah. Maka, bila otonomi daerah hanya memindahkan konsep berpikir modern ke daerah itu tidak ada artinya. Sebab, segala sesuatunya harus diterjemahkan ke dalam pola berpikir lokal.

Konsep Indonesia di situ di mana?

Ya, kan ada Bhinneka Tunggal Ika itu. Tunggal ika-nya itu pada tujuan, semua orang tujuannya sama: jadi makmur. Tetapi, cara berpikir atau metodenya itulah yang berbeda-beda. Cara orang Minang, Papua, atau Sunda memakmurkan dirinya berbeda dengan orang Jawa.

Posisi nasionalisme di situ di mana juga ya?

Itulah tugas negara. Yang jelas pola pembangunan di setiap wilayah budaya itu jangan disamakan. Terkadang ada bias. Karena yang menyusun konsep nasional itu orang Jawa, dibawalah konsep Jawa itu menjadi nasional. Akibatnya, bisa bentrok dengan Aceh, bentrok yang lain gitu kan….

Dengan pola ini, Anda tidak khawatir muncul disintegrasi karena daerah begitu diberi keleluasaan?

Saya kira tidak. Ini kan proyek nasional dengan kontrol nasional, bukan oleh daerah. Menurut saya, ini hanya soal cara kok. Kalau ini berhasil, justru pikiran untuk memberontak atau memisahkan diri tak akan muncul karena kan daerah punya keleluasaan untuk memakmurkan dirinya sendiri berdasarkan potensi lokalnya.

Malah menurut saya, pemerintah pusat akan dijunjung tinggi karena metode (pembangunan) yang digunakan memakmurkan daerah.

Konsep Bernegara

Menurut Jakob Sumardjo, konsep bernegara yang lebih sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia akan lebih ramah dengan kondisi Indonesia. Sementara sejak munculnya negara Indonesia (modern) pembagian wilayah provinsi cenderung mengabaikan wilayah sosial budaya. Pembagian wilayah negara cenderung disederhanakan ke dalam wilayah geografis. Hal itu berlangsung sampai pada tataran kampung, di mana konsep-konsep Jawa, seperti adanya RT/RW, dipaksakan pada beberapa wilayah provinsi.

”Kalau begini kita cenderung abai pada wilayah emperik. Itulah kelemahan kita, tidak melihat realitas emperik karena hanya berlandaskan pada bacaan teori. Sukses di Barat belum tentu sukses di sini,” ujar Jakob.

Jakob Sumardjo lahir di Klaten, tetapi kemudian besar di Yogyakarta. Ia tidak pernah lulus sekolah dasar lantaran saat ujian nilai berhitungnya cuma empat. ”’Padahal, nilai saya untuk Bahasa Indonesia delapan dan Ilmu Pengetahuan Umum sembilan,” tutur Jakob. Meski begitu, ia berhasil masuk Sekolah Guru Bawah (SKB) di Yogyakarta. Jakob kemudian masuk SMA BOPKRI, Yogyakarta, dilanjutkan Sekolah Guru Atas (SGA) dan IKIP Sanatha Darma, Yogyakarta, Jurusan Sejarah sampai sarjana muda.

Ayah tiga anak ini kemudian memperoleh sarjana penuh di IKIP Bandung. Seluruh keahliannya di bidang sastra, arkeologi, dan filsafat seni ia pelajari secara otodidak dari buku-buku. Jakob Sumardjo akhirnya pensiun sebagai guru besar di STSI Bandung. Sampai kini ia masih memberi kuliah di berbagai universitas di Bandung dengan mata kuliah Filsafat Seni dan Budaya.

Menurut Jakob, konsep bernegara Indonesia seharusnya memerhatikan sosio-kultur lokal karena kebenaran dalam konsep nasional bernegara belum tentu benar pada tataran lokal. Oleh sebab itu, sistem nasional seharusnya mengadopsi sistem lokal sehingga tidak mengalami benturan pada tataran praksis. ”Jangan ada pemaksaan betapapun sistem lokal harus diadopsi untuk diberlakukan setempat,” kata Jakob Sumardjo.

”Romo Mangun (YB Mangunwijaya) sudah bilang bahwa pembangunan kita itu harus didekati secara kebudayaan, tidak secara politik ideologis seperti sekarang ini,” ujar Jakob.

Saat senja benar-benar jatuh di titik barat, Jakob minta diri. Ia minta izin untuk kembali ke bilik kerjanya yang sederhana. Dari bilik itulah pemikiran-pemikirannya ditulis dan kemudian disebarkan melalui buku-buku dan koran. Jakob tak berharap terlalu muluk dari hasil ketekunannya itu. Ia cukup puas jika buku-bukunya dihargai, dibaca, dan dijadikan bahan acuan studi….

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=200828636612676

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar