Putu Fajar Arcana
Kompas, 5 Sep 2010.
Orang tua yang sederhana itu tetap tangguh memainkan jari-jarinya di atas tuts mesin tik yang huruf-hurufnya sudah tampak lumer. Semua oleh deraan jutaan kali ujung jari Jakob. Lebih-lebih saat ini, lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 26 Agustus 1939, ini sedang menyelesaikan draf buku berjudul Pola Personalitas Kebudayaan Sunda, yang menurut rencana setebal 400 halaman.
”Sekarang tinggal membuat pengantarnya. Tetapi, seluruh halaman buku itu saya ketik sendiri. Ya, di sini, ruang kerja saya,” tutur Jakob, pertengahan Agustus 2010.
Semangat kerja dan keinginan keras menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang membedah ”kemapanan” cara berpikir lama membuat Jakob ”kurang peduli” pada soal-soal penghasilan dari menulis buku.
”Seluruh buku yang saya tulis dan diterbitkan oleh penerbit komersial hampir-hampir tidak ada honornya. Bahkan, ada dua buku yang saya tulis, di mana penerbit memperoleh bantuan dari Ford Foundation, saya sendiri malah nyaris tidak diberi apa-apa…,” tutur Jakob.
Jelas pensiunan guru besar di STSI Bandung ini tidak sedang menggugat, apalagi mengeluhkan kenyataan. Ia paham benar, penulis buku memiliki posisi tawar paling lemah di antara mata rantai penerbitan buku.
”Tetapi, kalau saya terus meratap, tidak akan berkarya. Yang penting karya saya dibaca, apalagi dipakai acuan, itu sudah bangga,” katanya.
Buku-buku karya Jakob yang sampai kini masih menjadi acuan di sekolah-sekolah dan kampus, misalnya, Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1979), Masyarakat dan Sastra Indonesia Populer (1979), serta Perkembangan Teater Modern dan Sastra Indonesia (1980). ”Mungkin buku saya tentang novel populer itu adalah buku yang pertama membahas tentang novel-novel pop yang pada tahun 1970-an tidak diacuhkan oleh para kritikus sastra,” ujar Jakob.
Apa yang membuat Anda begitu tegar menghadapi dunia penerbitan yang tidak adil itu?
Pokoknya tugas saya menulis, sebarkan pemikiran, lalu dibaca orang, ya sudah cukup begitu saja.
Kenapa tidak menulis artikel di koran saja yang honornya lebih jelas?
Ya, seharusnya begitu, ya. Tetapi, buku-buku tetap harus ditulis untuk mengembangkan pemikiran yang lebih mendasar dan mendalam. Meskipun kondisinya, ya, seperti ini. Terkadang penerbit itu kasih honor, tetapi seperti dicicil. Kalau saya perlu beli bensin baru mereka kasih Rp 100.000 atau Rp 200.000. Itu pun sulit sekali menemui direktur penerbitannya. Lama-lama saya malas….
Honor menulis di koran juga kan tidak terlalu besar kan, ya? Apakah Anda tidak pernah merasa putus asa melihat kecilnya penghargaan terhadap hasil kerja intelektual itu?
Kalau dari menulis, apalagi membuat buku, jangan mengharap dapat duitlah. Tetapi, saya tetap menulis, pokoknya ada yang mau menerbitkan syukurlah. Pokoknya pikiran saya begitu, ya, begitu. Syukur juga kalau diterima orang…. Seperti kajian-kajian saya tentang kebudayaan Sunda itu kan diterima orang, saya cukup senang.
Keindonesiaan
Perbincangan di senja yang rapuh karena mendung menggelayut di sekitar Pasirlayung, Bandung, itu sesekali di sela oleh deru mesin kendaraan di Jalan Padasuka yang padat. Beberapa kali saya harus mendekati Jakob Sumardjo yang duduk di sofa coklat tua sebelah kiri. Suaranya seperti hilang ditelan deru.
Belakangan Anda sangat serius menekuni kebudayaan Nusantara, terutama Sunda. Saya dengar Anda naik ke bukit-bukit di Sumedang, seorang diri, untuk meneliti sebuah situs. Apa sesungguhnya obsesi Anda?
Saya sedang cari benang merah di antara budaya-budaya Nusantara sejak saya menulis buku tentang Arkeologi Kebudayaan Indonesia. Di situ saya mengulas tentang ulos Batak, rumah gadang Minang, cerita-cerita Jawa dan Sunda, perisai-perisai Papua. Awalnya tertarik pada Sunda sih karena dorongan Pak Saini KM (dosen STSI Bandung).
Saya menemukan pola pikir yang serupa. Dasarnya, seluruh kebudayaan di Indonesia itu percaya bahwa keberadaan itu dualistik. Pengalaman hidup atau ada ini sendiri dualistik. Ada gelap-terang, laki-laki-perempuan, hulu-hilir. Semua suku mengenal ini. Ini menjadi dua hal yang selalu berselisih. Cara pandang semua kebudayaan itu berpasangan. Tetapi, cara pemecahan masalah pada masing-masing suku itu berbeda. Papua cenderung konflik itu dipelihara, bahkan salah satunya harus jadi korban. Makanya, di situ budaya perang itu hidup karena perang syarat untuk keselamatan dan kesuburan.
Di Jawa, polanya macapat kelima pancer, mereka percaya empat pasangan utara-selatan-timur-barat harus disinergikan menjadi sesuatu yang baru: harmoni. Ini tujuan utama dari perbedaan. Di Sunda, tidak ada sintesa. Dua-duanya harus dihargai walau pada suatu kali harus bersatu. Ada tubuh yang paradoksal di situ.
Apakah dalam kehidupan sehari-hari konsep berpikir seperti ini banyak berpengaruh?
Tentu saja. Sangat berpengaruh. Kesimpulan ini saya ambil setelah meneliti sastra, mitos, tata ruang kampung, dan benda-benda budaya yang menjadi tinggalan sebuah kebudayaan.
Setelah masuknya konsep bernegara modern, katakanlah kita menjadi Indonesia, bagaimana kita menempatkan konsep berpikir tradisional ini?
Yang terjadi ada dominasi Barat yang dibawa oleh kolonialisme. Sekarang kita tetap memakai cara pemerintahan Barat. Cara pemerintahan tradisional makin lama makin lenyap, kecuali sisanya di Yogyakarta.
Menurut saya begini. Modernitas itu nasional boleh. Tetapi, itu tidak bisa dipaksakan pada seluruh wilayah Indonesia. Rakyat kita masih punya pola pikir kepemimpinan yang tradisional. Nasional itu sebagai tujuan, tetapi pola penerapannya harus mengikuti pola pikir daerah.
Di Sunda, misalnya, pengaturan kampungnya tidak bisa dilakukan seperti di Jawa. Lurah di Sunda belum tentu satu-satunya yang berkuasa, masih ada kekuasaan adat dan kekuasaan agama. Ini pola tiga. Di Jawa segalanya diatur oleh pemerintah. Maka, bila otonomi daerah hanya memindahkan konsep berpikir modern ke daerah itu tidak ada artinya. Sebab, segala sesuatunya harus diterjemahkan ke dalam pola berpikir lokal.
Konsep Indonesia di situ di mana?
Ya, kan ada Bhinneka Tunggal Ika itu. Tunggal ika-nya itu pada tujuan, semua orang tujuannya sama: jadi makmur. Tetapi, cara berpikir atau metodenya itulah yang berbeda-beda. Cara orang Minang, Papua, atau Sunda memakmurkan dirinya berbeda dengan orang Jawa.
Posisi nasionalisme di situ di mana juga ya?
Itulah tugas negara. Yang jelas pola pembangunan di setiap wilayah budaya itu jangan disamakan. Terkadang ada bias. Karena yang menyusun konsep nasional itu orang Jawa, dibawalah konsep Jawa itu menjadi nasional. Akibatnya, bisa bentrok dengan Aceh, bentrok yang lain gitu kan….
Dengan pola ini, Anda tidak khawatir muncul disintegrasi karena daerah begitu diberi keleluasaan?
Saya kira tidak. Ini kan proyek nasional dengan kontrol nasional, bukan oleh daerah. Menurut saya, ini hanya soal cara kok. Kalau ini berhasil, justru pikiran untuk memberontak atau memisahkan diri tak akan muncul karena kan daerah punya keleluasaan untuk memakmurkan dirinya sendiri berdasarkan potensi lokalnya.
Malah menurut saya, pemerintah pusat akan dijunjung tinggi karena metode (pembangunan) yang digunakan memakmurkan daerah.
Konsep Bernegara
Menurut Jakob Sumardjo, konsep bernegara yang lebih sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia akan lebih ramah dengan kondisi Indonesia. Sementara sejak munculnya negara Indonesia (modern) pembagian wilayah provinsi cenderung mengabaikan wilayah sosial budaya. Pembagian wilayah negara cenderung disederhanakan ke dalam wilayah geografis. Hal itu berlangsung sampai pada tataran kampung, di mana konsep-konsep Jawa, seperti adanya RT/RW, dipaksakan pada beberapa wilayah provinsi.
”Kalau begini kita cenderung abai pada wilayah emperik. Itulah kelemahan kita, tidak melihat realitas emperik karena hanya berlandaskan pada bacaan teori. Sukses di Barat belum tentu sukses di sini,” ujar Jakob.
Jakob Sumardjo lahir di Klaten, tetapi kemudian besar di Yogyakarta. Ia tidak pernah lulus sekolah dasar lantaran saat ujian nilai berhitungnya cuma empat. ”’Padahal, nilai saya untuk Bahasa Indonesia delapan dan Ilmu Pengetahuan Umum sembilan,” tutur Jakob. Meski begitu, ia berhasil masuk Sekolah Guru Bawah (SKB) di Yogyakarta. Jakob kemudian masuk SMA BOPKRI, Yogyakarta, dilanjutkan Sekolah Guru Atas (SGA) dan IKIP Sanatha Darma, Yogyakarta, Jurusan Sejarah sampai sarjana muda.
Ayah tiga anak ini kemudian memperoleh sarjana penuh di IKIP Bandung. Seluruh keahliannya di bidang sastra, arkeologi, dan filsafat seni ia pelajari secara otodidak dari buku-buku. Jakob Sumardjo akhirnya pensiun sebagai guru besar di STSI Bandung. Sampai kini ia masih memberi kuliah di berbagai universitas di Bandung dengan mata kuliah Filsafat Seni dan Budaya.
Menurut Jakob, konsep bernegara Indonesia seharusnya memerhatikan sosio-kultur lokal karena kebenaran dalam konsep nasional bernegara belum tentu benar pada tataran lokal. Oleh sebab itu, sistem nasional seharusnya mengadopsi sistem lokal sehingga tidak mengalami benturan pada tataran praksis. ”Jangan ada pemaksaan betapapun sistem lokal harus diadopsi untuk diberlakukan setempat,” kata Jakob Sumardjo.
”Romo Mangun (YB Mangunwijaya) sudah bilang bahwa pembangunan kita itu harus didekati secara kebudayaan, tidak secara politik ideologis seperti sekarang ini,” ujar Jakob.
Saat senja benar-benar jatuh di titik barat, Jakob minta diri. Ia minta izin untuk kembali ke bilik kerjanya yang sederhana. Dari bilik itulah pemikiran-pemikirannya ditulis dan kemudian disebarkan melalui buku-buku dan koran. Jakob tak berharap terlalu muluk dari hasil ketekunannya itu. Ia cukup puas jika buku-bukunya dihargai, dibaca, dan dijadikan bahan acuan studi….
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=200828636612676
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar