Kamis, 06 Oktober 2011

Tuti, Dharta, dan Hari Esok

Eka Budianta *
Kompas, 11 Feb 2007

INDONESIA dikaruniai jiwa-jiwa yang teguh dan pikiran brilian. Itulah kekayaan termahal bangsa ini yang tidak boleh dilupakan. Kepergian dua penyair “paruh waktu”, Tuti Gintini (45) dan AS Dharta (83), pada awal Februari 2007 dengan jelas mencatatkan hal ini. Mengapa terpaksa disebut “penyair paruh waktu”? Karena kepenyairan mereka menumpang pada predikat lain yang lebih mapan.

Tuti Gintini lebih dikenal sebagai wartawati dan produser MetroTV. Ia pernah meraih Hadiah Adinegoro, lambang supremasi wartawan di negeri ini. Tuti adalah seorang penulis pariwisata terbaik untuk Indonesia. Wartawan senior Rosihan Anwar memujinya karena, untuk menuliskan keindahan Tanah Airnya, Tuti menyelam ke dasar lautan. Padahal, penyair yang berjiwa halus ini bukan penyelam. Naik motor dan menyetir mobil pun tidak berani.

Tokoh satu lagi, AS Dharta, adalah pendiri dan sekretaris pertama Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). “Ia lebih banyak berperan sebagai orang partai ketimbang sebagai sastrawan,” kata penyair senior, Taufiq Ismail. Padahal, Dharta—yang akrab dengan Rendra dan dianggap guru oleh mendiang Pramoedya Ananta Toer—sepanjang 1950-an banyak memproduksi esei dan puisi dengan berbagai nama samaran: antara lain Klara Akustia, Kelana Asmara, Yogiswara, dan Rodji.

AS Dharta sendiri semacam singkatan yang menyamar. Aslinya adalah Adi Sidharta, lahir di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, 27 Maret 1924. Adapun Tuti Gintini lahir dengan nama Tan Siau Gin, 26 Januari 1962 di Kemantran, Tegal, Jawa Tengah. Ada banyak alasan mengapa keduanya perlu dikenang dalam sebuah refleksi. Pertama, karena mereka wafat pada hari yang berurutan. Mula-mula Dharta pada hari Rabu, 7 Februari; kemudian Tuti pada Kamis tanggal 8.

Dharta meninggal karena usia lanjut, setelah dirawat di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, sedangkan Tuti wafat di klinik Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, menjelang berangkat berobat ke Singapura. Tuti menderita kanker antara jantung dan paru-paru. Mestinya ia berangkat 2 Februari, tetapi batal karena banjir nyaris merendam seluruh Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan rumahnya di Bekasi.

Kegetiran dan penderitaan

Alasan kedua, baik Tuti maupun Dharta mempunyai kepedulian yang mendalam terhadap urusan sosial. “Saya tidak menyangka Tuti telah menjadi penulis dan wartawan yang menyuarakan kepentingan rakyat kecil,” kata Ibundanya, Tjioe Wie Kiauw, yang populer dengan panggilan Ibu Yuliani. Dalam usia 77 tahun, perempuan yang melahirkan Tuti itu terdengar tulus bicaranya dan jernih pikirannya.

“Tuti itu anak mama. Sama sekali tidak mengenal kasih sayang ayah. Ia yatim sejak kecil. Suami saya, Tan Ek Tjioe, tidak mewariskan apa-apa selain lima orang anak yang masih kecil-kecil,” kata Ibu Yuliani. Nadanya getir, sedih, tetapi dibuat humor. Ayahanda Tuti seorang aktivis, tidak pernah pulang sesudah peristiwa 1965. Saudara-saudaranya cuma berani menyebut kata “tersangkut”. Selebihnya hanya penderitaan dalam diam.

Dengan susah payah, berdagang kelontong, Yuliani membesarkan lima anaknya. Tuti yang bungsu. “Kami ini orang susah, tetapi anak-anak saya malah memilih jadi seniman. Bagaimana? Apakah mau jadi lebih melarat lagi?” ia bertanya kepada Dadang Christanto, kakak Tuti.

“Biarin, Ma!” kata Yuliani menirukan anaknya. “Eh, sekarang Dadang jadi pelukis dan pematung terkenal, tinggal di Brisbane, Australia. Kok bisa ya?” Dia juga ingat, Tuti berangkat kuliah ke Jakarta berbekal setumpuk daster untuk dijual. Hingga mendekati ajalnya pun, Tuti gemar berjualan aksesori perempuan, termasuk kalung mote. Kesulitan hidup telah membuatnya ulet dan terus berjuang.

“Musim hujan tidak juga menolongku dari kabut-kabut yang membujukku bersatu dengan luka-luka”. Begitu bunyi satu sajak Tuti Gintini yang paling terkenal. Disiarkan dalam harian Sinar Harapan, 23 Januari 1982, genap seperempat abad sebelum meninggal. Ibu Yuliani heran. “Saya tidak pernah bercerita apa-apa tentang ayah mereka. Tetapi, dalam karya-karya Dadang dan Tuti terasa sakit hati yang tidak berkesudahan,” katanya.

Kegetiran serupa juga dirasakan oleh keluarga AS Dharta. “Sepanjang hidupnya, kepada siapa pun, bapak selalu mendendangkan agar Pasal 33 UUD 45 segera dilaksanakan dengan benar,” kata Ira Dharta, putri semata wayang. Ira ikut merasakan keprihatinan ayahnya atas tidak terjaminnya kesejahteraan rakyat. “Kita harus mengutamakan perlakuan yang manusiawi.” tambah putri penulis buku puisi berjudul Rangsang Detik ini. Dharta pernah menjadi guru bahasa Inggris untuk guru taman kanak-kanak di Cianjur.

Sepanjang hayatnya, Dharta yang dimakamkan tidak jauh dari rumahnya adalah warga Cianjur, persisnya di Cibeber. Setengah abad silam ketika berjaya sebagai Sekretaris Pertama Lekra, Dharta memang banyak bepergian. Sebuah kartu pos bertanggal 20 Februari 1953 dikirimnya dari Wina, Austria, untuk musuh besar dan sahabatnya, HB Jassin. “Ini gambar tempat istirahat buruh di Rumania. Memang bukan suatu surga,” tulisnya bercanda.

Ditambahkan lagi, “Demam musim winter bikin saya rindu hawa panas dan kawan-kawan di Tanah Air.” Perdebatan sastra Indonesia saat itu diramaikan oleh penolakan Dharta terhadap Angkatan ’45 (terutama Chairil Anwar) dengan norma hidupnya. Dalam serangannya: Kepada Seniman “Universiil”, Dharta menulis: “Mengapa HB Jassin tidak mengupas djiwa korrup mereka. Sampai akhir hayatnya, Dharta terkenal suka bicara berapi-api. Prosais Martin Aleida membesuknya di RS UKI seminggu sebelum meninggal. “Cukup lihat dia dari jauh saja. Kalau mendekat, dia pasti bicara penuh semangat sampai dadanya tersengal-sengal,” kenang Martin.

Meski langit kelam

Dengan menggunakan nama Klara Akustia, Dharta menulis sajak-sajak yang heroik, patriotis, penuh semangat. “Tetapi, pada masa Orde Baru, karena takut, banyak kritikus sastra Indonesia sengaja menggelapkan sejarahnya sendiri,” tulis Korrie Layun Rampan, dengan SMS dari Kutai, Kalimantan Timur. Korrie menyatakan tetap kagum pada karya-karya Dharta. “Pengarang Lekra adalah sastrawan Indonesia,” tegasnya.

Ungkapan duka atas wafatnya Tuti dan Dharta bertaburan dari sejumlah seniman di berbagai penjuru. Pelukis Hardi di Jakarta mengenang Tuti sebagai penulis yang melayani dan membesarkan banyak seniman tanpa pamrih. Hal serupa dinyatakan deklamator terkenal, Jose Rizal, yang sedang berada di Tanjung Pinang. “Tuti bersikap familiar dan tidak pernah mengeluh,” katanya.

Dr Henri Supriyanto, pakar ludruk Jawa Timur, mengenang saat-saat menjelang koran tempat mereka bekerja, Sinar Harapan, dibreidel pada Agustus 1985. “Dalam pertemuan dalang di Nganjuk, Tuti bersikap sangat bersaudara, terbuka, dan membagi-bagikan uang saku tanpa arogan,” tulisnya. Tuti dikenang teman-temannya di Lampung, Cirebon, termasuk oleh bintang sinetron Jajang C Noer yang bilang: “Dengan segala kesederhanaan ia perempuan yang mandiri, bertanggung jawab atas keberadaan keluarganya.”

Pernyataan Jajang bahwa Tuti juga seorang ibu yang penuh kasih, dan istri yang penuh pengertian, sama sekali tidak berlebihan. Dalam upacara pelepasan jenazah di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jatibening, Bekasi, hal itu terbukti. Lala, remaja putri 16 tahun, dengan teguh bernyanyi solo di depan jenazah ibunya. Sidang perkabungan terharu mendengarnya.

Putri bungsu dari dua anak Tuti dengan Joseph Ginting itu menyelesaikan lagu dengan merdu dan khidmat: “Aku tahu ada hari esok/Meski langit kan kelam”.

Lala bernyanyi tentang keteguhan hati yang tak terlupakan. Hal serupa dilakukan oleh “anak angkat” Dharta, yaitu Budi Setiyono. Penulis lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, itu sedang mengumpulkan esai, puisi, dan berbagai tulisan Dharta. Perlu diingat pikiran-pikiran cemerlang Dharta telah melahirkan cendekiawan baru dari dalam maupun luar negeri.

Itulah potensi pengarang di hari esok. Mereka adalah harta karun setiap bangsa. Karya-karya Tuti Gintini juga sedang dihimpun menjadi biografi dan kesaksian. Sobat kentalnya, Martha Sinaga, menyiapkan biografi Tuti sebagai manusia yang merdeka. Penyair, citra diri sang Maha Pencipta.

* Eka Budianta, Pekerja Budaya
http://cabiklunik.blogspot.com/2007/02/esai-tuti-dharta-dan-hari-esok.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar