Dody Kristianto*
http://sastra-indonesia.com/
Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Tubuhnya perlahan bangkit dari lautan yang selama ini menyelubunginya. Ia nampak elok nan gemulai. Benar-benar menunjukkan sebuah arsiran dan detil rinci air lautan yang membentuknya. Cahaya bulan terang memberi warna kuning langsat pada kulitnya yang semula bening. Ia nampak rupawan. Rambutnya tergerai panjang. Setiap lekuknya berasal dari percikan gelombang. Gelombang nyalang, ketika malam sangat hening dan tak ada suara lain terdengar selain deru gelombang yang panjang.
Dan perempuan itu mulai melangkah gemulai. Matanya menatap bulan yang nampak bulat sempurna. Dari wujud kesempurnaan bulan, mata perempuan terbentuk, sangat terang dan meneduhkan bagi siapa pun yang beradu pandang. Ia merentangkan tangan. Lalu satu demi satu tetes air terbang membalut tubuhnya. Lantas buliran air itu berubah menjadi gaun putih nan anggun. Berpadu padan dengan wajahnya yang seterang cahaya bulan.
Lalu perempuan itu berjalan. Sangat pelan. Ia meninggalkan gelombang yang selama ini membungkusnya. Keanggunannya bagai seorang putri kerajaan. Kerajaan yang hanya ada dalam khayalan. Kerajaan bagi mereka yang percaya impian. Perempuan itu ibarat kupu-kupu terlahir dari butir kepompong. Butir kepompong gelombang yang tak henti menerjang daratan. Lalu perempuan itu berjalan pelan. Ia menatap jauh. Memandang ke arahku…
***
Perempuan yang tercipta dari gelombang itu adalah imajiku yang tertuang dalam wujud lukisan. Lukisan yang kuhibahkan kepada kantor dan kini terpajang di tengah ruang kantor. Lokasi yang kukira sangat strategis. Orang-orang yang berlalu-lalang bisa menikmati lukisanku. Bahkan bosku pun mengakui hasil goresan kuasku. Ia mengatakan kalau aku sepatutnya menjadi seorang seniman, bukan kasir pada pekerjaanku saat ini. Aku hanya tersenyum kecut mendengar pujian dari bosku. Juga rekan-rekanku yang lain. Namun mereka tidak tahu yang kurasakan selama ini. Mereka tak mengerti sesuatu yang membayangi diriku.
Yang selama ini terjadi adalah gejolak jiwaku. Gejolak jiwa yang menderu ketika menyaksikan gelombang menerjang. Gelombang yang mengasah dan membentuk diriku hingga aku tabah menghadapi kerasnya kota besar. Gelombang yang senantiasa membayangiku ke manapun. Di mana aku berada, aku selalu terngiang mendengar bisikan gelombang. Sampai pada inti atom terdalam, aku kerap terhanyut oleh partikel-partikel gelombang.
Aku dibesarkan di sebuah desa nelayan. Desa tepi pantai, yang hidup sehari-harinya takkan dapat terlepas dari gelombang. Karena dari situlah para penduduk memperoleh nafkah. Termasuk juga ayahku. Sebenarnya ketika masih berusia 6 tahun, aku adalah anak yang paling enggan diajak melaut. Aku lebih memilih bermain di hamparan pasir pantai, mencari tempat yang agak jauh dari bibir pantai. Terkadang aku bersembunyi di tempat penjemuran ikan, saat ayah maupun saudara-saudaraku yang lain mengajakku melaut. Aku berlari sekencang mungkin, menghindari kejaran mereka.
Gerak gelombang yang selalu menerjang membuatku sangat takut kala itu. Aku tak pernah bisa membayangkan, mengapa pergerakan sekumpulan tetes air yang bersatu dengan tetes lainnya dapat menghasilkan tenaga yang begitu besar. Bahkan aku kerap berandai-andai seumpama gelombang yang menerjang itu sebesar rumah. Bahkan lebih besar dari rumah. Tentu gelombang itu akan menelan tubuh kecilku. Menggilingnya dalam satu gilasan raksasa yang membuat diriku hancur berkeping-keping. Sebuah fantasi yang kubayangkan setiap detik dapat terjadi pada diriku.
Apalagi, aku pernah mendengar cerita dari orang-orang tua di desa, bahwa gelombang besar pernah melanda desaku, menewaskan beberapa orang, termasuk kakek dan nenekku. Cerita yang membuatku bergidik. Pun yang bercerita adalah paman dan bibiku. Mereka adalah orang yang selalu mengatakan padaku, bahwa merekalah yang mendidik ayah menjadi seorang nelayan tangguh, setelah orang tua ayah meninggal. Lantas mereka menyuruh aku agar tidak bermain-main dekat pantai karena pantai dijaga oleh dedemit yang setiap saat akan mencari tumbal anak kecil seusiaku.
Namun berbeda dengan ayahku. Ia selalu berpikir bahwa gelombang adalah kawan bagi nelayan. Tidak akan ada gelombang yang menelan nelayan. Gelombang akan mengantar nelayan menuju sumber penghidupan. Tak ada yang harus ditakutkan. Hal ini selalu ditanamkan ayah pada teman-temannya, termasuk pada anak-anaknya, tak terkecuali diriku. Memang ayah dikenal sebagai penyemangat di kalangan nelayan lainnya. Bila nelayan-nelayan lain berputus asa menghadapi sedikitnya hasil tangkapan, maka ayah akan membakar semangat mereka. Ia meminta para nelayan melaut lebih jauh lagi hingga didapat hasil tangkapan yang memuaskan.
Tapi aku tak tahu mengapa, setiap kali ayah dan saudaraku yang lain mengajakku melaut, aku selalu enggan. Sudah berkali-kali kukatakan pada ayah dan saudara-saudaraku bila aku takut akan gelombang yang setiap saat menelanku. Lantas, ayah marah bila aku selalu mengatakan hal yang sama. Terkadang ia sampai memukul pantatku hingga aku menangis sekerasnya. “Tidak ada gelombang besar. Kamu tidak boleh jadi penakut. Kamu itu lelaki yang tumbuh di lautan”, tandas ayah di tengah tangisanku. Namun biasanya ibu akan mendekatiku dan menenangkanku. “Cup cah bagus, ayahmu hanya ingin kamu berani melaut. Kamu harus berani nak. Gelombang itu tidak menakutkan!”, tukas ibu sembari menggendongku. Setelah itu segalanya akan berlangsung seperti biasa. Aku bersembunyi menghindar tiap kali ayah mengajakku melaut.
Suatu ketika, aku bernasib sial. Saudaraku tertuaku memergokiku sedang bermain di tempat penjemuran ikan. Ia mendekapku dengan erat. Aku meronta semampuku. Akan tetapi sia-sia. Tubuh kakakku terlalu kuat untuk kugoyahkan. Aku hanya bisa menangis sekeras mungkin. Sedang tubuh kecilku ini sudah pasti akan dibawa ke kapal, melaut bersama ayah dan nelayan lainnya.
Hawa pengap dan amis ikan segera menyergapku. Begitu juga dengan ayunan gelombang yang menghentak kapal. Seketika itu aku merasa pusing. Aku tak berani menatap sekitar. Tubuhku meringkuk di sudut kapal sembari menangis sekuatku. Nelayan yang lain hanya tertawa melihat tingkahku. Tapi tidak dengan ayah. Ia langsung menentengku, membawaku ke bagian depan kapal. “Lihat ke depan. Tidak ada yang harus kamu takutkan”, seru ayah.
Aku terus menangis sambil melihat ke depan. Tampak hanya ada hamparan gelombang laut dan garis khayal pertemuan antara langit dan lautan. Aku lantas terdiam memandang apa yang tergelar di depanku. Sungguh indah. Lebih indah disbanding pemandangan serupa yang kusaksikan di daratan. Mengetahui tangisku mulai lerai, ayah langsung mengelus rambutku. “Bagaimana Nak? Tak ada yang harus kamu takuti kan?”, kata ayah sambil mengecup ubun-ubunku.
Ayah pun melepas gendongannya pada tubuhku. Perlahan ia meninggalkan aku. Sementara aku masih termangu di pinggir kapal, membiarkan gelombang menggoyang tubuhku. Aku masih terpana oleh pemandangan yang baru saja kusaksikan. Lalu aku menengok ke bawah, berkaca pada gelombang yang masih menderu. Aku menyaksikan bayanganku terpantul kabur, bersahutan dengan gelombang laut yang terus saja bergerak. Gerakan lamat-lamat yang bisa kupandang. Bahkan kunikmati bersama air mataku yang mulai mengering.
Hari-hari selanjutnya, aku berani ikut rombongan ayah melaut. Aku mersakan goyangan gelombang sebagai suatu buaian. Bagaimana sinar matahari yang memantul di lautan membuat imajinasiku melayang. Terkadang aku memikirkan gelombang itu tiba-tiba menjelma sekawanan kupu-kupu. Melayang dengan lincah di atas lautan. Lalu, tiba-tiba seekor ikan berukuran lumayan besar melesat, menenggak kawanan kupu-kupu itu. Tidak hanya sebatas ikut melaut, kala fajar belum menyingsing aku telah berdiri di bibir pantai. Merasakan bagaimana gelombang laut memerciki kakiku.
Gelombang laut makin lama makin menjadi-jadi di depanku. Ia seolah memainkan sebuah pertunjukan besar. Aku kerap menyaksikan sebuah kapal rakssa menyembul dari balik gelombang. Kapal yang berukuran lebih besar dari kapal yang biasa digunakan ayahku melaut. Kadang juga wujud satria berkuda yang berderap di atas laut. Ia berlari menuju arahku yang diam termangu di bibir pantai. Lantas ketika akan menerjangku, satria berkuda itu pecah, menjelma kembali gelombang yang menabrak tubuhku. Aku tersadar bahwasanya tubuhku baru saja diguyur oleh sepercik gelombang. Gelombang yang selalu kupermainkan dan mengajakku bermain-main.
Aku belajar untuk menggambar wujud-wujud yang dibentuk oleh permainan gelombang. Aku menorehkan coretan di atas pasir. Coretan beraneka ragam. Ada kalanya sesosok satria, kemudian sepasang pengantin yang berjalan di atas lautan, atau pun seekor elang yang melesat tiba-tiba dari balik gelombang. Coretan yang selanjutnya mewarnai pesisir pantai dan membuat para nelayan terheran-heran dengan tingkah polaku.
Seiring berlalunya waktu, gelombang masih terus berderap di dalam otakku. Ketika aku telah bersekolah kebiasaanku menggambar gelombang masih terus berlanjut. Intensitasnya bahkan semakin menggila. Sepulang aku bersekolah sampai menjelang malam aku masih duduk di bibir pantai, sembari menunggu gelombang membentuk dirinya jadi bermacam wujud. Termasuk wujud seorang putri rupawan. Lalu putrid itu berjalan perlahan menghampiriku. Terus aku mulai menggambarnya di atas buku gambar, memberinya gaun beraneka ragam yang terbuat dari butiran gelombang pula. Aku melakukan hal ini ketikahampir malam dan bulan purnama menjelang. Namun seperti sebelumnya terjadi, gelombang itu tak pernah membentuk dirinya menjadi seorang putri. Aku pun tetap termangu di bibir pantai.
Bahkan aku lebih sering terduduk sendirian ketika malam. Menanti putri rupawan melangkah pelan ke arahku. Menjulurkan tangannya dan ia mengajakku berdansa. Seolah aku adalah seorang pangeran yang telah lama dinantinya. Lalu kami berdua pun berdansa, beriring musik gelombang yang terus bergulung tanpa henti. Tanpa pernah mengenal waktu. Tak hanya di atas gelombang. Aku berdansa dengan sang putri di atas kertas putih yang telah kupersiapkan. Kertas yang akan tergores dengan sapuan gerakan lembut kami berdua.
Ternyatalah, putri rupawan hanya gejolak dalam hatiku yang tak mampu kuredam. Gejolak yang muncul dari kegilaanku terhadap gelombang. Gelombang yang semula kutakuti ternyata jadi bagian tak terpisahkan dalam hidupku. Aku merasa tubuhku turut tercipta dari tetesan gelombang dan sedang menunggu suatu penyatuan dengan gulungan gelombang.
***
Kini aku hidup di kota besar dan bekerja sebagai seorang kasir. Sudah 14 tahun aku meninggalkan desa, meninggalkan terjangan gelombang yang telah menempa dan membentuk diriku. Kali terakhir aku melihat gelombang di desa 7 tahun lalu, ketika menghadiri pemakaman ayah. Seorang lelaki tua yang begitu bangga pada gelombang hingga nafas terakhirnya. Ia tetap gagah meski dibalut tubuh renta. Berada di tengah gelombang untuk mencari sebanyak mungkin ikan. Menurut saudara-saudaraku, ayah memang sempat melaut sebelum ia mangkat.
Aku menyaksikan telah banyak yang berubah di desaku. Tempat aku biasa berdiri menatap gelombang telah digerus oleh gelombang. Maka pemerintah setempat membangun pemecah gelombang agar gerusan itu tidak sampai pada rumah penduduk. Kukira gelombang merangsek memakan pantai karena kerinduan mereka pada diriku. Kerinduan yang sangat terlalu hingga mereka berderap kencang mencari diriku. Aku tak pernah ragu akan hal itu.
Di kota aku sangat tersiksa. Tak ada gelombang yang dapat aku abadikan. Setiap aku berjalan-jalan di tengah kota, yang kulihat hanyalah gelombang yang telah terpecah pada aliran sungai-sungai kecil yang kotor. Dan di sungai yang kian keruh itu, aku mendengar mereka merintih merasakan perilaku manusia kota yang tak pernah benar-benar memahami mereka. Rasa sakit mereka sampai ke telingaku, mengiris-iris hatiku. Membuat darahku memanas dan menderu kencang. Aku sudah tidak kuasa mendengar rintihan mereka.
Di tepian pantai kota yang juga kotor, aku mencoba menggambar gelombang sebagai mayat-mayat yang bangkit. Dan dalam kesenyapan malam, mayat-mayat itu melangkah dan mengepung kota yang tengah terlelap. Wajah mereka teramat mengerikan. Tangan mereka yang penuh darah memanjang, mencari tubuh manusia. Lalu mayat-mayat itu masuk dalam mimpi manusia, menghantui mereka, lantas menenggelamkan mereka dalam satu terjangan gelombang besar. Manusia tak berdaya. Mereka kelam dalam keganasan gelombang. Termasuk diriku.
*) mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar