Senin, 03 Oktober 2011

Pelukis Gelombang Laut

Dody Kristianto*
http://sastra-indonesia.com/

Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Tubuhnya perlahan bangkit dari lautan yang selama ini menyelubunginya. Ia nampak elok nan gemulai. Benar-benar menunjukkan sebuah arsiran dan detil rinci air lautan yang membentuknya. Cahaya bulan terang memberi warna kuning langsat pada kulitnya yang semula bening. Ia nampak rupawan. Rambutnya tergerai panjang. Setiap lekuknya berasal dari percikan gelombang. Gelombang nyalang, ketika malam sangat hening dan tak ada suara lain terdengar selain deru gelombang yang panjang.

Dan perempuan itu mulai melangkah gemulai. Matanya menatap bulan yang nampak bulat sempurna. Dari wujud kesempurnaan bulan, mata perempuan terbentuk, sangat terang dan meneduhkan bagi siapa pun yang beradu pandang. Ia merentangkan tangan. Lalu satu demi satu tetes air terbang membalut tubuhnya. Lantas buliran air itu berubah menjadi gaun putih nan anggun. Berpadu padan dengan wajahnya yang seterang cahaya bulan.

Lalu perempuan itu berjalan. Sangat pelan. Ia meninggalkan gelombang yang selama ini membungkusnya. Keanggunannya bagai seorang putri kerajaan. Kerajaan yang hanya ada dalam khayalan. Kerajaan bagi mereka yang percaya impian. Perempuan itu ibarat kupu-kupu terlahir dari butir kepompong. Butir kepompong gelombang yang tak henti menerjang daratan. Lalu perempuan itu berjalan pelan. Ia menatap jauh. Memandang ke arahku…

***

Perempuan yang tercipta dari gelombang itu adalah imajiku yang tertuang dalam wujud lukisan. Lukisan yang kuhibahkan kepada kantor dan kini terpajang di tengah ruang kantor. Lokasi yang kukira sangat strategis. Orang-orang yang berlalu-lalang bisa menikmati lukisanku. Bahkan bosku pun mengakui hasil goresan kuasku. Ia mengatakan kalau aku sepatutnya menjadi seorang seniman, bukan kasir pada pekerjaanku saat ini. Aku hanya tersenyum kecut mendengar pujian dari bosku. Juga rekan-rekanku yang lain. Namun mereka tidak tahu yang kurasakan selama ini. Mereka tak mengerti sesuatu yang membayangi diriku.

Yang selama ini terjadi adalah gejolak jiwaku. Gejolak jiwa yang menderu ketika menyaksikan gelombang menerjang. Gelombang yang mengasah dan membentuk diriku hingga aku tabah menghadapi kerasnya kota besar. Gelombang yang senantiasa membayangiku ke manapun. Di mana aku berada, aku selalu terngiang mendengar bisikan gelombang. Sampai pada inti atom terdalam, aku kerap terhanyut oleh partikel-partikel gelombang.

Aku dibesarkan di sebuah desa nelayan. Desa tepi pantai, yang hidup sehari-harinya takkan dapat terlepas dari gelombang. Karena dari situlah para penduduk memperoleh nafkah. Termasuk juga ayahku. Sebenarnya ketika masih berusia 6 tahun, aku adalah anak yang paling enggan diajak melaut. Aku lebih memilih bermain di hamparan pasir pantai, mencari tempat yang agak jauh dari bibir pantai. Terkadang aku bersembunyi di tempat penjemuran ikan, saat ayah maupun saudara-saudaraku yang lain mengajakku melaut. Aku berlari sekencang mungkin, menghindari kejaran mereka.

Gerak gelombang yang selalu menerjang membuatku sangat takut kala itu. Aku tak pernah bisa membayangkan, mengapa pergerakan sekumpulan tetes air yang bersatu dengan tetes lainnya dapat menghasilkan tenaga yang begitu besar. Bahkan aku kerap berandai-andai seumpama gelombang yang menerjang itu sebesar rumah. Bahkan lebih besar dari rumah. Tentu gelombang itu akan menelan tubuh kecilku. Menggilingnya dalam satu gilasan raksasa yang membuat diriku hancur berkeping-keping. Sebuah fantasi yang kubayangkan setiap detik dapat terjadi pada diriku.

Apalagi, aku pernah mendengar cerita dari orang-orang tua di desa, bahwa gelombang besar pernah melanda desaku, menewaskan beberapa orang, termasuk kakek dan nenekku. Cerita yang membuatku bergidik. Pun yang bercerita adalah paman dan bibiku. Mereka adalah orang yang selalu mengatakan padaku, bahwa merekalah yang mendidik ayah menjadi seorang nelayan tangguh, setelah orang tua ayah meninggal. Lantas mereka menyuruh aku agar tidak bermain-main dekat pantai karena pantai dijaga oleh dedemit yang setiap saat akan mencari tumbal anak kecil seusiaku.

Namun berbeda dengan ayahku. Ia selalu berpikir bahwa gelombang adalah kawan bagi nelayan. Tidak akan ada gelombang yang menelan nelayan. Gelombang akan mengantar nelayan menuju sumber penghidupan. Tak ada yang harus ditakutkan. Hal ini selalu ditanamkan ayah pada teman-temannya, termasuk pada anak-anaknya, tak terkecuali diriku. Memang ayah dikenal sebagai penyemangat di kalangan nelayan lainnya. Bila nelayan-nelayan lain berputus asa menghadapi sedikitnya hasil tangkapan, maka ayah akan membakar semangat mereka. Ia meminta para nelayan melaut lebih jauh lagi hingga didapat hasil tangkapan yang memuaskan.

Tapi aku tak tahu mengapa, setiap kali ayah dan saudaraku yang lain mengajakku melaut, aku selalu enggan. Sudah berkali-kali kukatakan pada ayah dan saudara-saudaraku bila aku takut akan gelombang yang setiap saat menelanku. Lantas, ayah marah bila aku selalu mengatakan hal yang sama. Terkadang ia sampai memukul pantatku hingga aku menangis sekerasnya. “Tidak ada gelombang besar. Kamu tidak boleh jadi penakut. Kamu itu lelaki yang tumbuh di lautan”, tandas ayah di tengah tangisanku. Namun biasanya ibu akan mendekatiku dan menenangkanku. “Cup cah bagus, ayahmu hanya ingin kamu berani melaut. Kamu harus berani nak. Gelombang itu tidak menakutkan!”, tukas ibu sembari menggendongku. Setelah itu segalanya akan berlangsung seperti biasa. Aku bersembunyi menghindar tiap kali ayah mengajakku melaut.

Suatu ketika, aku bernasib sial. Saudaraku tertuaku memergokiku sedang bermain di tempat penjemuran ikan. Ia mendekapku dengan erat. Aku meronta semampuku. Akan tetapi sia-sia. Tubuh kakakku terlalu kuat untuk kugoyahkan. Aku hanya bisa menangis sekeras mungkin. Sedang tubuh kecilku ini sudah pasti akan dibawa ke kapal, melaut bersama ayah dan nelayan lainnya.

Hawa pengap dan amis ikan segera menyergapku. Begitu juga dengan ayunan gelombang yang menghentak kapal. Seketika itu aku merasa pusing. Aku tak berani menatap sekitar. Tubuhku meringkuk di sudut kapal sembari menangis sekuatku. Nelayan yang lain hanya tertawa melihat tingkahku. Tapi tidak dengan ayah. Ia langsung menentengku, membawaku ke bagian depan kapal. “Lihat ke depan. Tidak ada yang harus kamu takutkan”, seru ayah.

Aku terus menangis sambil melihat ke depan. Tampak hanya ada hamparan gelombang laut dan garis khayal pertemuan antara langit dan lautan. Aku lantas terdiam memandang apa yang tergelar di depanku. Sungguh indah. Lebih indah disbanding pemandangan serupa yang kusaksikan di daratan. Mengetahui tangisku mulai lerai, ayah langsung mengelus rambutku. “Bagaimana Nak? Tak ada yang harus kamu takuti kan?”, kata ayah sambil mengecup ubun-ubunku.

Ayah pun melepas gendongannya pada tubuhku. Perlahan ia meninggalkan aku. Sementara aku masih termangu di pinggir kapal, membiarkan gelombang menggoyang tubuhku. Aku masih terpana oleh pemandangan yang baru saja kusaksikan. Lalu aku menengok ke bawah, berkaca pada gelombang yang masih menderu. Aku menyaksikan bayanganku terpantul kabur, bersahutan dengan gelombang laut yang terus saja bergerak. Gerakan lamat-lamat yang bisa kupandang. Bahkan kunikmati bersama air mataku yang mulai mengering.

Hari-hari selanjutnya, aku berani ikut rombongan ayah melaut. Aku mersakan goyangan gelombang sebagai suatu buaian. Bagaimana sinar matahari yang memantul di lautan membuat imajinasiku melayang. Terkadang aku memikirkan gelombang itu tiba-tiba menjelma sekawanan kupu-kupu. Melayang dengan lincah di atas lautan. Lalu, tiba-tiba seekor ikan berukuran lumayan besar melesat, menenggak kawanan kupu-kupu itu. Tidak hanya sebatas ikut melaut, kala fajar belum menyingsing aku telah berdiri di bibir pantai. Merasakan bagaimana gelombang laut memerciki kakiku.

Gelombang laut makin lama makin menjadi-jadi di depanku. Ia seolah memainkan sebuah pertunjukan besar. Aku kerap menyaksikan sebuah kapal rakssa menyembul dari balik gelombang. Kapal yang berukuran lebih besar dari kapal yang biasa digunakan ayahku melaut. Kadang juga wujud satria berkuda yang berderap di atas laut. Ia berlari menuju arahku yang diam termangu di bibir pantai. Lantas ketika akan menerjangku, satria berkuda itu pecah, menjelma kembali gelombang yang menabrak tubuhku. Aku tersadar bahwasanya tubuhku baru saja diguyur oleh sepercik gelombang. Gelombang yang selalu kupermainkan dan mengajakku bermain-main.

Aku belajar untuk menggambar wujud-wujud yang dibentuk oleh permainan gelombang. Aku menorehkan coretan di atas pasir. Coretan beraneka ragam. Ada kalanya sesosok satria, kemudian sepasang pengantin yang berjalan di atas lautan, atau pun seekor elang yang melesat tiba-tiba dari balik gelombang. Coretan yang selanjutnya mewarnai pesisir pantai dan membuat para nelayan terheran-heran dengan tingkah polaku.

Seiring berlalunya waktu, gelombang masih terus berderap di dalam otakku. Ketika aku telah bersekolah kebiasaanku menggambar gelombang masih terus berlanjut. Intensitasnya bahkan semakin menggila. Sepulang aku bersekolah sampai menjelang malam aku masih duduk di bibir pantai, sembari menunggu gelombang membentuk dirinya jadi bermacam wujud. Termasuk wujud seorang putri rupawan. Lalu putrid itu berjalan perlahan menghampiriku. Terus aku mulai menggambarnya di atas buku gambar, memberinya gaun beraneka ragam yang terbuat dari butiran gelombang pula. Aku melakukan hal ini ketikahampir malam dan bulan purnama menjelang. Namun seperti sebelumnya terjadi, gelombang itu tak pernah membentuk dirinya menjadi seorang putri. Aku pun tetap termangu di bibir pantai.

Bahkan aku lebih sering terduduk sendirian ketika malam. Menanti putri rupawan melangkah pelan ke arahku. Menjulurkan tangannya dan ia mengajakku berdansa. Seolah aku adalah seorang pangeran yang telah lama dinantinya. Lalu kami berdua pun berdansa, beriring musik gelombang yang terus bergulung tanpa henti. Tanpa pernah mengenal waktu. Tak hanya di atas gelombang. Aku berdansa dengan sang putri di atas kertas putih yang telah kupersiapkan. Kertas yang akan tergores dengan sapuan gerakan lembut kami berdua.

Ternyatalah, putri rupawan hanya gejolak dalam hatiku yang tak mampu kuredam. Gejolak yang muncul dari kegilaanku terhadap gelombang. Gelombang yang semula kutakuti ternyata jadi bagian tak terpisahkan dalam hidupku. Aku merasa tubuhku turut tercipta dari tetesan gelombang dan sedang menunggu suatu penyatuan dengan gulungan gelombang.

***

Kini aku hidup di kota besar dan bekerja sebagai seorang kasir. Sudah 14 tahun aku meninggalkan desa, meninggalkan terjangan gelombang yang telah menempa dan membentuk diriku. Kali terakhir aku melihat gelombang di desa 7 tahun lalu, ketika menghadiri pemakaman ayah. Seorang lelaki tua yang begitu bangga pada gelombang hingga nafas terakhirnya. Ia tetap gagah meski dibalut tubuh renta. Berada di tengah gelombang untuk mencari sebanyak mungkin ikan. Menurut saudara-saudaraku, ayah memang sempat melaut sebelum ia mangkat.

Aku menyaksikan telah banyak yang berubah di desaku. Tempat aku biasa berdiri menatap gelombang telah digerus oleh gelombang. Maka pemerintah setempat membangun pemecah gelombang agar gerusan itu tidak sampai pada rumah penduduk. Kukira gelombang merangsek memakan pantai karena kerinduan mereka pada diriku. Kerinduan yang sangat terlalu hingga mereka berderap kencang mencari diriku. Aku tak pernah ragu akan hal itu.

Di kota aku sangat tersiksa. Tak ada gelombang yang dapat aku abadikan. Setiap aku berjalan-jalan di tengah kota, yang kulihat hanyalah gelombang yang telah terpecah pada aliran sungai-sungai kecil yang kotor. Dan di sungai yang kian keruh itu, aku mendengar mereka merintih merasakan perilaku manusia kota yang tak pernah benar-benar memahami mereka. Rasa sakit mereka sampai ke telingaku, mengiris-iris hatiku. Membuat darahku memanas dan menderu kencang. Aku sudah tidak kuasa mendengar rintihan mereka.

Di tepian pantai kota yang juga kotor, aku mencoba menggambar gelombang sebagai mayat-mayat yang bangkit. Dan dalam kesenyapan malam, mayat-mayat itu melangkah dan mengepung kota yang tengah terlelap. Wajah mereka teramat mengerikan. Tangan mereka yang penuh darah memanjang, mencari tubuh manusia. Lalu mayat-mayat itu masuk dalam mimpi manusia, menghantui mereka, lantas menenggelamkan mereka dalam satu terjangan gelombang besar. Manusia tak berdaya. Mereka kelam dalam keganasan gelombang. Termasuk diriku.

*) mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar